Pemerintah Benahi Tata Kelola 20 Juta Hektar Kebun Sawit

Pemerintah menyatakan, izin-izin perkebunan sawit di seluruh Indonesia, sudah mencapai 20 jutaan hektar. Luasan sebesar itulah yang akan dibenahi tata kelolanya melalui kebijakan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang moratorium izin sawit.

”Izin lokasi terekam sudah sekitar 20 juta hektar,” kata Bambang, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian usai menghadiri rembug nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, akhir November lalu.

Meskipun begitu, soal data kebun sawit, hingga kini masih simpang siur. Angka 20 jutaan hektar itu dari data Kementerian Pertanian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dan Badan Pusat Statistik.

Dari angka itu, 16,38 juta hektar sudah ditanami sawit. Data Direktorat Jenderal Perkebunan, berbeda, luasan tanam 14,31 hektar. Ada selisih 2,77 juta hektar.

Selisih luasan itu, katanya, bisa karena ada tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan, lahan belum legal atau belum terdaftar dalam surat tanda daftar usaha budidaya (STDB) sawit.

Berdasarkan data Kementan, ada 5,81 juta hektar merupakan perkebunan sawit rakyat, 7,79 juta hektar perusahaan besar swasta dan 713.120 hektar perkebunan negara.

”Kami punya motivasi kuat menyempurnakan pendataan ini. Perbedaan data ini kita maklumi karena sedang menertibkan itu,” katanya.

Melalui inpres itu, akan ada penyelesaian masalah pendataan perkebunan sawit, antara lain mengidentifikasi perkebunan yang masuk kawasan hutan. Juga soal ganti rugi masyarakat, dari proses izin lokasi yang ada berapa luasan layak terbit hak guna usaha (HGU).

Dengan begitu, katanya, bukan mustahil kalau nanti ada penambahan luasan setelah hasil verifikasi data izin Kementan, seluas 14,03 juta hektar itu. ”Itu berarti bukan tanam baru, tapi baru ketahuan.”

Kolaborasi pemerintah pusat, kabupaten dan provinsi, katanya, jadi kunci pembenahan tata kelola sawit ini.

Pendataan akurat dan kredibel, jadi acuan budidaya sawit berkelanjutan, pemilihan bibit, budidaya lahan gambut, tata kelola dan lain-lain. Dengan begitu, katanya, produktivitas perkebunan bisa terjamin, begitu juga legalitas lahan.

Dalam tiga tahun moratorium izin sawit ini, pemerintah akan mengevaluasi peningkatan kinerja petani swadaya, terutama produktivitas tiga ton per hektar jadi 6-9 ton per hektar.

Pada masa itu, kata Bambang, pemerintah bisa menyudahi pembukaan lahan baru karena produktivitas jadi tujuan utama.

“Pada tahun keempat, setelah kami rapikan semua, kami setop dulu tak memberikan izin sampai terlihat perubahan peningkatan produktivitas ini.”

Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Langkah intensifikasi, mennekankan produktivitas ini juga melalui kemitraan antara pengusaha dan petani serta mendorong peremajaan perkebunan sawit.

Sedangkan kampanye-kampanye yang menyatakan sawit menimbulkan banyak masalah, harap Bambang, bisa terjawab dengan legalitas lahan dan standar sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).

”Jika telah ISPO, baik masyarakat atau perusahaan berarti suda selenggarakan perkebunan taat asas ketentuan berlaku,” katanya.

Mansuetus Darto, Ketua Umum SPKS mengatakan, kebijakan moratorium izin sawit ini memberikan nafas baru bagi petani swadaya dan mandiri.

Kebijakan ini, katanya, memberikan peluang kepada petani swadaya mandiri untuk memperoleh pemberdayaan, legalitas dan peningkatan produktivitas.

SPKS meminta, pemerintah memutuskan pabrik-pabrik sawit berskala besar agar bermitra dengan petani kecil (rakyat) yang tak memiliki kebun. Melalui kemitraan ini, katanya, diharapkan nasib petani swadaya bisa lebih baik.

Selain itu, katanya, pendataan petani baik dalam kawasan hutan maupun non kawasan penting dalam menyelesaikan tata kelola perkebunan sawit.

Senada dikatakan Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia. Dia mengatakan, moratorium izin sawit berdampak positif bagi produk sawit Indonesia, agar tak terus menerus mengeksploitasi hutan, mengabaikan aspek sosial dan lingkungan.

Yanuar Nugroho, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan mengatakan, perkebunan sawit Indonesia terluas di dunia.

”Signifikan [dilakukan] jadikan perkebunan sawit Indonesia paling produktif, mensejahterakan petani dan bebas konflik,” katanya.

Menurut dia, penyelesaian tata kelola sawit tak bisa melalui bisnis biasa (business as usual), juga perlu terobosan dan fokus produktivitas dan industri hilir.

ISPO dan peremajaan sawit

Menurut Bambang, dari areal perkebunan sawit 14,3 juta hektar, baru 20,48% atau 2.350.318 hektar lahan sudah memiliki sertifikasi ISPO dengan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mencapai 10,204 juta ton (26,99%).

Data simpang siur, katanya, karena ada masalah tumpang tindih lahan dan legalitas lahan. Upaya penguatan dan percepatan itu, ISPO ini pun sejalan dengan upaya kebijakan moratorium sawit. ”Nanti akan data total perkebunan sawit pada provinsi prioritas, yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah dan Papua Barat.”

Pada tiga tahun ke depan, dia optimis tak ada perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Lima tahun ke depan, katanya, semua perkebunan akan memiliki sertifikasi ISPO, baik swasta nasional maupun milik masyarakat. Pemerintah pun, katanya, sedang revisi permentan untuk menyesuaikan target dan wajib ISPO, lima tahun mendatang sudah 100%.

Seiring dengan itu, Kementan pun penguatan ISPO bekerjasama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN). Tujuannya, sertifikasi ini bisa lebih cepat dengan keberterimaan tinggi hingga skala internasional.

Soal ISPO, muatan tertinggi dari penguatan dengan menambah kriteria. Ada dua prinsip baru hendak ditambahkan dalam aturan. Pertama, traceability (keterlacakan). Kedua, hak asasi manusia.

Traceability, kita akan menuju ke sana, bukan menolak itu tetapi kemampuan mewujudkan untuk produk sawit belum bisa sekarang, kasihan petani sawit kita,” katanya.

Dia sebutkan, dari 5,6 juta petani rakyat, ada 1,7 juta disinyalir berada di kawasan hutan. Fakta lapangan, banyak perkebunan sawit masyarakat di belakang rumah mereka sendiri dan di tengah pemukiman.

”Kalau kita terima traceability itu, artinya hanya tandan buah segar rakyat hanya bisa dipasarkan untuk biodiesel, tak bisa digunakan makanan. Industri ketakutan menerima sawit petani yang belum ISPO.”

Dia berharap, melalui inpres ini dapat mempercepat penyelesaian masalah sawit rakyat dalam kawasan dan memiliki sertifikasi ISPO.

Mengenai HAM katanya, tersurat sudah masuk.”Sudah masuk sebetulnya dalam kriteria ISPO, penyelamatan tenaga kerja dan hak-hak tenaga kerja.”

Dia beralasan, kalau HAM masuk tegas, bisa jadi kala terjadi perkelahian di perkebunan bisa menyebabkan sawit ditolak.

Untuk perkembangan peremajaan sawit, Kementan mengakui optimis menerbitkan 42.950 rekomendasi teknis guna merealisasikan program peremajaan kebun sawit seluas 185.000 hektar.

Selain itu, ada beberapa tantangan, kata Bambang, harus dihadapi dalam menarik minat masyarakat berkomitmen pada peremajaan kebun. Antara lain, pembayaran untuk rekomendasi teknis tahun lalu masih banyak petani rakyat ragu. Juga petani masih belum tertarik dengan bantuan dana peremajaan Rp25 juta per hektar karena dianggap terlalu kecil untuk menggarap lahan sekaligus memenuhi kebutuhan selama periode tak produksi.

“Mereka masih bersikukuh tetap percaya pada pohon dari benih asalan meski cuma menghasilkan satu sampai dua tandan buah segar. Kami perlu penyuluhan untuk seperti ini,” katanya.

Dari total perkebunan sawit rakyat, 5,6 juta hektar, seluas 2,4 juta hektar harus diremajakan dengan berbagai pertimbangan seperti usia pohon tak lagi produktif, penggunaan benih asalan hingga produktivitas rendah dan budidaya tak mendukung.

Menurut Bambang, realisasi peremajaan atas rekomendasi teknis yang sudah dijalankan kemungkinan baru bisa terlaksana tahun depan. Dia bilang, perlu ada beberapa persiapan untuk merealisasikan peremajaan seperti penguatan kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia dan penyiapan sarana dan prasarana.

 

Sumber: www.mongabay.co.id

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan