Koalisi Ungkap Kelemahan Sistem Informasi Hasil Hutan, Apa Kata Menteri Siti?

Jakarta – Koalisi Anti Mafia Hutan melakukan investigasi terhadap beberapa perusahaan kehutanan di Jambi dan Kalimantan Barat, guna melihat sejauh mana efektivitas pemberlakuan sistem Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH). Hasilnya, masih ditemukan beberapa kelemahan dalam implementasi sistem ini. Poin-poin penting fokus investigasi antara lain soal potensi kerugian negara dan deforestasi.

SIPUHH, merupakan serangkaian perangkat elektronik yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tujuannya, mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan informasi penatausahaan hasil hutan kayu. Ketentuan SIPUHH diatur melalui P.42 dan P.43 tahun 2015.

Dengan sistem ini, kegiatan pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan, peredaran, serta pengolahan hasil hutan kayu dapat ditelusuri. Semula, sistem ini untuk memperkuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Temuan investigasi pada perusahaan-perusahaan di Jambi dan Kalbar itu, antara lain, perusahaan tak memiliki laporan hasil produksi (LHP) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, tak ada laporan kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di dalam website PNBP. Dengan begitu, ada indikasi perusahaan tak melakukan kegiatan selama tiga tahun terakhir.

“Temuan kami di lapangan menemukan tumpukan kayu bulat tanpa ID barcode di areal kerja perusahaan,” kata Rusdiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, akhir Oktober lalu dalam temu media di Jakarta.

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar memaparkan temuan dari kajian beberapa perusahaan di sana. Dari analisis tutupan lahan pada satu perusahaan dari 2015 sampai 2018 terjadi perubahan karena ada pemanenan kayu hutan tanaman dan pembukaan lahan.

Temuan lain soal perusahaan belum memiliki sertifikat legalitas kayu (VLK/PHPL) tetapi sudah beroperasi.

Iqbal Damanik, Peneliti Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, temuan-temuan lapangan mengkonfirmasi masih banyak kelemahan dalam implementasi SIPUHH.

“Sebenarnya, kita melihat SIPUHH sudah mulai advanced. SIPUHH memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Karena dulu ada beberapa proses mulai dari pembuatan laporan produksi, sampai ke SK usaha, pembayaran PNBP, itu jadi satu sistem yang baik. Awalnya kan sistem ini untuk memotong rantai birokrasi supaya gak ada korupsi. Tak ada demand dari birokrasi untuk tindak pidana korupsi,” katanya.

Sistem sudah dipermudah, dalam level tertentu, SIPUHH jadi persoalan ketika sistem informasi lebih baik tetapi pengawasan lemah. Sulit menguji ketaatan perusahaan di dalam SIPUHH.

“Siapa yang menguji ini? KLHK juga kesulitan. Apa kita bisa tahu ada mencuci kayu-kayu ilegal dalam SIPUHH. Persoalan PNBP itu sebenarnya tidak jadi soal bagi perusahaan, karena mereka mampu bayar. Apakah kayu yang ditebang itu legal atau tidak? Itu yang tidak bisa dibuktikkan.”

Persoalan lain, katanya, mengenai transparansi. SIPUHH, tak memberikan akses data kepada pemantau independen. Tak bisa lakukan lacak balak karena pemantau independen tak punya akun untuk mengecek dari mana saja kayu-kayu tebangan perusahaan.

“SIPUHH ini sistem informasi dan birokrasi sudah baik. Apakah transparan, akuntabel dan bisa diuji? Fakta-fakta temuan di Jambi dan Kalbar membuktikan. SIPUHH diharapkan mampu memberikan solusi meminimalisir praktik-praktik manipulatif.”

Untuk melakukan monitoring optimal, katanya, perlu transparansi agar data sajian dapat disandingkan dengan kondisi riil lapangan.

Menurut Iqbal, sistem validasi data dalam SIPUHH tak mampu memotret kondisi nyata tingkat tapak. Bukan tidak mungkin, katanya, kayu ilegal justru diselundupkan dan masuk bersama kayu legal.

“Manipulasi data masih mungkin terjadi karena self assessment oleh perusahaan. Verifikasi lapangan terbatas. Terutama pasca masuk ke industri.”

Dengan kondisi ini, katanya, penelusuran terbatas setelah kayu jatuh dan batang di tengah hutan hingga ke luar konsesi.

Kayu-kayu bulat hasil pembalakan liar yang diamankan petugas di Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

SIPUHH, katanya, tak mampu mendeteksi apabila pelaku usaha sama sekali tidak melaporkan aktivitas. Ia juga tak mempunyai mekanisme menghentikan peredaran kayu bila industri kayu disisipkan kayu ilegal.

Iqbal mendesak, transaparansi data maupun informasi ke publik dalam SIPUHH. Juga mendorong keterlibatan multi pihak dalam mengawasi tata kelola kehutanan guna menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan.

“Kita juga meminta untuk verifikasi lapangan terpadu dengan melibatkan multi pihak untuk menilai kesesuaian data dalam SIPUHH dengan kondisi lapangan. Ini meminimalisir penyimpangan dan pelanggaran serius,” katanya.

Selain itu, katanya, sistem basis data online peredaran kayu perlu terintegrasi dengan informasi lain yang mendukung verifikasi dan validasi informasi, misal, kondisi tutupan hutan tingkat tapak.

“Juga harus ditingkatkan kepatuhan dengan memperberat sanksi bagi korporasi yang melanggar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Terkait hasil kajian itu, Auriga telah menyampaikan kepada KPK. Dia berharap, KPK bisa menindaklanjuti temuan ini. “Ini ada potensi kerugian negara.”

Apa kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Siti menjawab soal temuan investigasi Auriga ini. Ada SIPUHH, katanya, justru membuat alur produksi kayu jadi lebih transparan. Alur produksi kayu mulai dari sumber sampai pembeli diikuti terus.

“Kalau di lapangan ada berbagai kesulitan, seperti teknis, listrik, jaringan internet itu soal lain,” katanya, seraya bilang KLHK terus berupaya memperbaiki sistem itu.

Dia tak setuju, kalau dikatakan SIPUHH tak transparan. Siti bilang, justru sistem ini didesain untuk agar transparan. “Tapi kalau ada kekurangan-kekurangan, mungkin saja bisa terjadi. Memang kita mendapatkan laporan ada beberapa tempat yang kesulitan. Kadang-kadang soal teknis, kalau dia dikaitkan dengan PNBP dan lain-lain, saya kira itu harus kita cek,” kata Siti.

Untuk memperkuat SIPUHH, katanya, KLHK sedang menyiapkan sistem informasi produksi hutan lestari secara keseluruhan. Sistem ini menggabungkan tata usaha kayu dengan perpajakan dan penegakan hukum.

“Jadi di kita sedang membangun dan memperbaiki terus sistemnya. Termasuk nanti sistem legalitas kayu. Jadi kalau sekarang kan masih ditemukan banyak kesulitan di lapangan. Sistem legalitas kayu sudah selesai, SIPUHH online sudah selesai.”

Dia menyadari, beberapa kelemahan di lapangan mungkin saja terjadi mengingat Indonesia sedemikian luas. “Spot-nya juga bisa dibayangkan mulai dari pohon, ditebang, sampai di tempat penampungan dan sebagainya. Yang jelas kita terus improve sistem ini.”

Sumber: Mongabay.co.id

 

 

Kebijakan dan Kelola Hutan yang Baik, Kunci Hindarkan Bencana Ekologis Perubahan Iklim

Emisi karbon pemicu perubahan suhu bumi yang memantik perubahan iklim sudah sejak lama di bahas para pihak. Dalam Kesepatan Paris yang dihasilkan pada COP21 tahun 2015, para pihak melakukan konsensus untuk menjaga ambang kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius, yang dapat ditekan menjadi 1,5 derajat Celcius.

Pertemuan terakhir Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bangkok bulan September lalu, -yang berupaya untuk mendetailkan Kesepakatan Paris, bahkan sampai memerlukan sesi tambahan waktu. Proses ini berlangsung alot dan butuh komitmen tegas dari semua negara untuk mengatasi masalah iklim yang kini mengancam kita semua.

Sementara para pihak masih bernegosiasi, ancaman perubahan lingkungan terus berjalan. Laporan panel terbaru IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyebutkan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius saja akan meningkatkan risiko bencana ekologis.

Jika tidak segera ditangani, maka dalam kurun waktu 12 tahun lagi, kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sudah pasti akan memporak-porandakan kehidupan manusia. Secara khusus, kelompok paling rentan, yaitu masyarakat miskin adalah yang paling terdampak.

Meski ancaman sudah mendekat, memanipulasi iklim bumi lewat pendekatan geo-engineering lebih mengemuka. Idenya, dengan teknik geologi tertentu, dapat menyedot jutaan giga ton karbon di atmosfer. Padahal, hingga sekarang belum diketahui efek samping manipulasi iklim tersebut terhadap kehidupan umat manusia dan ekosistem yang ada di bumi.

Demikian juga, -meski menunjukkan tren yang baik, pemanfaatan energi terbaru, pengurangan bahan bakar minyak dan pemanfaatan teknologi transportasi terbaru yang lebih efisien belum cukup untuk mencapai target penurunan emisi global.

Sebaliknya untuk mencapai tujuan menjaga ambang suhu bumi agar tidak terjadi perubahan iklim perlu dilakukan lewat upaya yang lebih sistematis. Pemulihan ekosistem, rehabilitasi lahan dan hutan, penyertaan masyarakat lewat dan pengakuan hak-hak lokal, adalah langkah yang penting untuk diadopsi agar dapat mencapai hasil penurunan emisi yang signifikan.

Di bawah ini, penulis akan menyajikan hal penting dilakukan untuk mencapai tujuan penurunan emisi yang signifikan.

 

1. Memperkuat Hak Tanah Masyarakat dan Masyarakat Adat

Telah terbukti bahwa masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam memanfaatkan sumber daya mereka secara berkelanjutan. Sebanyak 40% hutan global berada di tangan masyarakat adat dan komunitas lokal. Bahkan, hampir dari separuh lahan dunia dikaitkan dengan klaim “wilayah adat’, namun hanya 10% dari klaim tersebut yang mendapatkan pengakuan hukum.

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengamankan wilayah kelola mereka. Sebaliknya kapitalisasi sumberdaya hutan mendorong munculnya kekeliruan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih mengemukakan kepentingan ekonomi.

Dengan mengakui hak masyarakat lokal atas akses dan pengelolaan hutan merupakan solusi iklim yang paling efektif, efisien dan berkeadilan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi jejak karbon dan melindungi hutan dunia.

 

2. Memulihkan Hutan dan Ekosistem lainnya

Bagian yang tidak kalau pentingnya adalah melakukan restorasi hutan dan perbaikan ekosistem. Hal ini bisa ditempuh dengan pemulihan lahan dan hutan yang terdegradasi, menjadi vegetasi yang lengkap sehingga akan kaya terhadap ekosistem.

Melalui hutan yang dipulihkan potensi penyerapan karbon akan kembali ke status awalnya, hutan primer sekaligus membangun ketahanan ekosistem.

 

3. Mencegah Emisi Lebih Lanjut dari Perubahan Ekosistem

Hutan, secara khusus gambut yang utuh berkontribusi sebagai penyimpan karbon. Namun saat ini pembukaan dan pemanfaatan lahan gambut adalah cara melakukan pengeringan. Dibuatlah kanal-kanal untuk menurunkan muka air gambut yang pada akhirnya membawa petaka baru.

Penghilangan muka air gambut membuat gambut rentan terbakar, yang pada akhirnya gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar. Pemulihan fungsi gambut akan mencegah emisi sekitar 1,53 Gt CO2 per tahun, terutama di Eropa, Rusia dan Indonesia.

Selanjutnya, penelitian Griscom (2017) menyebut pemanfaatan lahan terlantar untuk tujuan pertanian akan mengurangi tekanan yang besar pada hutan. Pengelolaan lahan pertanian dengan memanfaatkan pupuk organik dan mengurangi pemakaian bahan kimia, juga akan membawa dampak baik untuk mencegah emisi. Pemanfaatan lahan ini bisa menurunkan 0,12 GtCO2 emisi per tahun.

 

4. Pengelolaan Hutan yang Bertanggung Jawab

Restorasi dan perluasan hutan sangat penting untuk peningkatan penyerapan karbon. Di Indonesia salah satu upaya yang dikembangkan adalah perhutanan sosial. Di Jambi, Komunitas Konservasi Indonesia WARSI terlibat aktif dalam mendorong percepatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang kemudian diadaptasi pemerintah menjadi perhutanan sosial.

Dari pengalaman yang dilakukan, perhutanan sosial mampu mengatasi laju deforestasi. Di Jambi, salah satu kawasan yang dikelola masyarakat dengan skema perhutanan sosial berada di Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo. Sejak dikelola masyarakat dengan skema Hutan Desa, pada kawasan ini tidak terjadi lagi pengurangan tutupan hutan.

Perhutanan Sosial mndorong masyarakat yang memiliki hak kelola hutan turut bertanggung jawab untuk menjaga hutan mereka. Dengan mengelola hutan, kerusakan hutan dapat dihindari. Masyarakat dapat memanfaatkan kayu secara terbatas lewat aturan yang ketat, juga melakukan pemanfaatan produk non kayu dan jasa ekosistem.

Pelibatan masyarakat menjadi kunci untuk menjaga fungsi hutan dan memberikan manfaat yang luas untuk masyarakat sekitarnya. Upaya yang dilakukan masyarakat ini harusnya bisa menjadi bagian penting dalam penghitungan deforestasi, sehingga aksi masyarakat yang memelihara hutannya juga menjadi komponen dalam penurunan emisi.

Dengan memberi akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan, bencana ekologis pun dapat dihindari.

 

Sumber: Mongabay.co.id

Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018. Aturan ini diharapkan jadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia.

Sebagai instrumen legal, Perpres Reforma Agraria memuat norma untuk menata ulang struktur agraria yang memastikan petani penggarap, nelayan, dan kelompok masyarakat pra-sejahtera dapat mengakses tanah negara, perlindungan terhadap hak tanah, dan menerima manfaat penyelesaian konflik agraria.

Dengan landasan itu, perpres ini menggunakan tiga strategi dalam pelaksanaan reforma agraria, yaitu, sertifikasi hak milik, redistribusi tanah negara dan mekanisme penyelesaian konflik agraria.

Satu hal perlu jadi perhatian, Perpres Reforma Agraria belum tegas menempatkan posisi masyarakat adat beserta hak-haknya dalam kerangka reforma agraria, terlihat dari taka da penyebutan masyarakat adat sebagai salah satu subyek reforma agraria.

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Posisi masyarakat adat

Perpres Reforma Agraria menyebutkan, subyek reforma agraria terdiri dari tiga kategori, yaitu perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum.

Subyek perorangan berupa petani penggarap, nelayan dan kelompok pekerja formal/informal. Sedangkan kelompok masyarakat, adalah kelompok dengan hak kepemilikan bersama atas tanah. Terakhir, badan hukum adalah koperasi dan badan usaha milik desa.

Masyarakat adat tak tercantum sebagai subyek reforma agraria. Walaupun terdapat kategori kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, namun kategori masyarakat itu tak merujuk pada masyarakat adat, karena definisi kelompok yang dimaksud bersifat artifisial (dibentuk atas kepentingan bersama), alih-alih sebagai kesatuan sosial organik masyarakat adat.

Ketidakjelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria berimplikasi serius terhadap persoalan-persoalan agraria terkait masyarakat adat. Setidaknya terdapat dua persoalan, yaitu, pertama, secara paradigmatik, perpres ini mengabaikan ada persoalan agraria terkait masyarakat adat dari kerangka kebijakan reforma agraria.

Kedua, pada tingkat operasional, perpres ini mengeluarkan persoalan agraria terkait masyarakat adat dari skema perlindungan hak tanah dan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang disasar dari kerangka kebijakan reforma

 

Selain itu, perpres reforma agraria inkonsisten dengan rujukan hukum, yaitu Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Secara gamblang, TAP MPR IX/2001 menjelaskan, reforma agraria sebagai usaha menata ulang struktur agraria yang berkeadilan dengan memastikan hak masyarakat adat. Artinya, persoalan ketidakadilan dan ketidakpastian hak masyarakat adat masuk dalam ruang lingkup reforma agraria.

Selanjutnya, Perpres Reforma Agraria menutup mata atas kenyataan konflik-konflik agraria masyarakat adat terkait penentuan obyek reforma agraria. Perpres ini menyebutkan, obyek atau tanah reforma agraria (tora) antara lain, tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah dari pelepasan kawasan hutan, dan tanah bekas hak erfpacht (hak barat).

Bila ditelaah lebih dalam, kita bisa melihat banyak konflik hak masyarakat adat berada pada kriteria tora itu, misal, konflik-konflik perkebunan sawit di Sumatera Barat sejak pemberian hak erpacht. Dalam beberapa kasus berlanjut dalam bentuk baru jadi HGU. Konflik itu muncul karena abai pengakuan legal hak ulayat saat konsolidasi (konversi) jadi tanah negara—saat proses pemberian hak erfpacht maupun HGU.

Begitu juga dengan konflik masyarakat adat di kawasan hutan. Pada kasus terakhir, 9,3 juta hektar wilayah adat diklaim berada di kawasan hutan (BRWA, 2018). Ketiadaan pengakuan legal hak ulayat dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh negara jadi penyebab konflik agraria masyarakat adat di kawasan hutan ini.

Dari konflik-konflik agraria itu setidaknya menunjukkan dua hal penting. Pertama, konflik agraria masyarakat adat bersifat historis, yaitu konflik berlaku pada rentang waktu lama karena minim perlindungan hak, baik sejak masa kolonial sampai sekarang. Kedua, konflik-konflik agraria masyarakat adat menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dalam menata ulang struktur agraria (sumber daya alam).

Dengan kata lain, persoalan agraria masyarakat adat adalah masalah struktural dengan menyertakan perangkat hukum beserta struktur yang mengabaikan hak.

Perpres Reforma Agraria, belum begitu tajam melihat kenyataan konflik agraria terkait hak masyarakat adat pada tora. Dalam perpres ini memang menyebutkan, hak ulayat bukan bagian dari obyek reforma agraria, namun memasukkan tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawasan hutan sebagai obyek reforma agraria yang notabene potensial tumpang tindih dengan hak ulayat atau dalam kondisi berkonflik.

Artinya, penentuan kriteria tora belum sepenuhnya jelas (clean and clear) dan bisa mempersulit implementasi reforma agraria itu sendiri serta berpotensi melahirkan konflik baru.

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Perbaikan substansi

Perpres Reforma Agraria, merupakan terobosan kebijakan dalam menjawab persoalan struktural agraria, namun aturan ini memerlukan perbaikan terkait kejelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria. Alasan- alasan pokok pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria adalah, pertama, mempertegas kembali masyarakat adat sebagai korban ketidakadilan agraria dan mengakui kenyataan bahwa konflik agraria masyarakat adat lahir karena ketidakadilan agraria.

Dalam konteks ini, upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan melingkupi penyelesaian konflik masyarakat adat.

Kedua, penegasan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria diharapkan mampu menyentuh penyebab utama persoalan agraria masyarakat adat, yaitu soal perlindungan hak ulayat. Menempatkan kembali posisi masyarakat adat dalam kerangka reforma agraria sebenarnya mempertegas mandat TAP MPR No. IX/2001 sebagai dasar hukum perpres ini. Yaitu, perlindungan hak ulayat terintegrasi dengan penataan kembali struktur agraria. Dalam hal ini, skema legalisasi hak atas tanah sebagai pengejawantahan perlindungan hak dalam perpres ini semestinya melingkupi juga pengakuan hak ulayat.

 

Keterangan foto utama: Masyarakat adat penjaga hutan. Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena di hutan adat Marena yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

KLHK Menangi Gugatan Rp 17 Triliun, Baru Dieksekusi Rp 30 Miliar

Jakarta -Sejak menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mencatat sudah membawa 517 kasus pidana kejahatan lingkungan ke pengadilan. Ada juga 18 kasus gugatan perdata dan 503 sanksi administratif.

Awal bulan ini Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata terhadap tiga perusahaan besar yang terkait kebakaran hutan 2015. Mahkamah mewajibkan ketiganya, PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP), PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan PT Palmina Utama, membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan sebesar Rp 1,3 triliun.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi juga memenangkan KLHK atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014. Majelis hakim menghukum BMH membayar Rp 78,5 miliar dari gugatan Rp7,9 triliun.

Selain itu, KLHK juga menang gugatan atas PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Jika dihitung semua gugatan yang berhasil dimenangkan, KLHK tercatat lebih dari Rp 17 triliun.

“Jadi keseluruhan banyak juga Rp 17 triliunan, yang sudah (eksekusi) baru Rp 30-an miliar. Jadi memang kita sedang terus berusaha karena eksekusi itu kan kewenangannya di pengadilan,” kata Siti saat Blak blakan dengan detikcom yang tayang, Selasa (25/9/2018).

Pengadilan dimaksud antara lain Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami sudah menyurati mereka,” Siti menambahkan.

Menurut Siti, pihaknya mengajukan gugatan ke sejumlah perusahaan pelaku kebakaran hutan dan perusak lingkungan murni untuk penegakkan hukum. Dia mengklaim baru di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah penegakkan hukum itu sangat ditekankan.

“Saya membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LIngkungan Hidup dan Kehutanan. Hal terpenting bagi pemerintah adalah memberikan efek jera,” kata Siti.

Sektor Agraria dan Tata Ruang pada Empat Tahun Jokowi, Seperti Apa?

Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla, pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Ia bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria, pertanahan dan tata ruang. Periode empat tahun pemerintahan Jokowi, kementerian ini mengklaim meraih beberapa capaian kerja meskipun masih banyak pekerjaan seperti konflik pertanahan di mana-mana, agenda reforma agraria juga masih berjalan.

Komitmen Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menata persoalan agraria. Kementerian ini mulai dengan sertifikasi tanah yang selama ini dinilai sulit, lama, dan mahal. Untuk itu, pemerintah lakukan percepatan sertifikasi tanah di Indonesia melalui pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).

Keseriusan pemerintah melaksanaan penataan agraria juga ditegaskan dengan penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria tertanggal 24 September 2018.

Peraturan ini, katanya, wujud pemerintah ingin menjamin pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

“Pada 2018, dari 7 juta target PTSL sampai dengan Oktober ini kita berhasil mendaftarkan tanah di seluruh Indonesia 6,192,875 bidang. Kita optimistis akan melampaui target,” kata Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN dalam temu media pekan lalu.

Sofyan mengatakan, negara akan menjamin sertifikat ini. “Tidak akan mungkin lagi sertifikat diganggu gugat, kalau ternyata salah, negara yang akan bayar,” katanya seraya bilang ketentuan mengenai Itu akan masukan dalam UU Pertanahan.

Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria merupakan harapan baru masyarakat Indonesia guna mempercepat capaian reforma agraria.

Sofyan bilang, KATR fokus menjalankan agenda reforma agraria dengan penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan. Agenda reforma agraria, katanya, jalan melalui penataan aset disertai akses untuk kemakmuran rakyat.

Menurut dia, reforma agraria hadir karena melihat berbagai persoalan bidang lahan, sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. “Ini terjadi karena ada ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” katanya.

Selain itu, kualitas lingkungan turun, banyak sengketa dan konflik agraria, kemiskinan dan pengangguran, alihfungsi lahan pertanian masif, serta kesenjangan sosial.

Reforma agraria, katanya, mengakui dan melindungi hak masyarakat adat dan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan. “Juga meminimalkan dampak negatif yang dapat merusak kualitas lingkungan,” katanya.

Selain itu, lanjut Sofyan, reforma agraria harus menjamin semua pihak untuk mendapatkan perlakuan adil dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Juga mengedepankan kepastian hukum bagi penerima tanah objek reforma agraria (tora), keterbukaan informasi bagi seluruh pihak, tertib penyelenggaraan negara, profesionalitas dan akuntabilitas.

“Selama ini, ada masyarakat tinggal di kampung, tetapi tak bisa kita diberikan hak apapun karena masih dalam kawasan hutan.”

Presiden, katanya, memerintahkan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan dari kawasan hutan. KLHK, memberikan lebih 994.000 hektar kawasan hutan untuk rakyat.

“Untuk tanah terlantar dan transmigrasi yang selama ini belum bersertifikat akan disertifikatkan. HGU yang ditelantarkan kita ambil alih dan dibagikan kepada masyarakat.”

Konflik lahan warga dan PTPN. Warga Mantadulu berdiskusi bersama kuasa hukum di halaman PN Malili, 11 Januari 2018. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Untuk menjalankan agenda reforma agraria, KATR/BPN membuat perencanaan penataan aset atas penguasaan dan kepemilikan tora, penataan akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksitora. Lalu, peningkatan kepastian hukum dan legalisasi tora, penanganan sengketa dan konflik agraria, serta kegiatan lain yang mendukung reforma agraria.

“Perencanaan reforma agraria jadi acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian lembaga dan rencana pembangunan daerah,” katanya.

Capaian redistribusi tanah 2015 sebanyak 95.741 bidang (target 107.150), tahun 2016 sebanyak 143.234 (target 170.562), tahun 2017 sebanyak 23.214 bidang (target 23.925), 2018 sebanyak 82.230 (target 350.650). Dalam RPJMN target 400.000 bidang, terealisasi 344.419.

Sementara capaian inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) tahun 2015, sebanyak 88.384 bidang dari target awal 144.900. Tahun 2016, sebanyak 522.457 bidang dari target 612.365, 2017 (106.957 bidang, target 120.445). Pada 2018, sebanyak 189.058 bidang daei target 719.612.

Saat ini, katanya, telah terbentuk kelembagaan reforma agraria baik nasional diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, tingkat pusat Menteri ATR/Kepala BPN, provinsi diketuai gubernur. Dia bilang, kelembagaan ini langkah maju agar reforma agraria terkoordinasi dengan baik.

Gugus tugas

KATR/BPN membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Hingga kini sudah terbentuk 23 provinsi melalui SK gubernur. M. Ikhsan, Direktur Jenderal Penataan Agraria KATR/BPN juga mengatakan, kelahiran Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, sejalan dengan pelepasan 994.000 hektar kawasan hutan nanti lewat redistribusi tanah.

“Di lapangan sedang inventarisasi. Ini harus jelas jangan sampai dimanfaatkan lagi oleh orang-orang tertentu, harus benar-benar profesional dan selektif terhadap subjek reforma agraria. Memang untuk masyarakat kurang mampu,” katanya.

ahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

Penyelesaian konflik

Dalam proses penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan pada 2015 ada 2.145 kasus 947 selesai. Pada 2016, ada 2.996 konflik dan selesai 1.570 kasus. Tahun 2017, sebanyak 3.293 konflik, selesai 1.034, dan pada 2018 sebanyak 2.368 konflik, selesai 480 kasus.

Secara persentase, konflik dominan terjadi antara perorangan dengan eprorangan yaitu 6.071 kasus (56,20%), masyarakat dengan pemerintah 2.866 kasus (26,53%), perorangan dengan badan hukum 1.668 kasus (15,44%), badan hukum dengan abdan hukum 131 kasus (1,21%), dan antar kelompok masyarakat 66 kasus (0,61%).

“Salah satu akar permasalahan sengketa penguasaan tanah adalah bukti kepemilikan tanah dan ketimpangan penguasaan,” katanya.

Untuk itu, KATR/BPN, kata Sofyan, sudah tandatangan nota kesepahaman dengan kepolisian dan kejaksaan. Kerjasama ini, katanya, untuk membentuk penguatan dan percepatan penyelesaian sengketa dan konflik yang berkepastian hukum.

“Hambatannya, kurang sumber daya manusia yang mampu menganalisis kasus. Juga sulit pembuatan rekapitulasi data karena belum tertib Kantor Pertanahan dan Kanwil untuk entry data penanganan kasus sengketa konflik dan perkara.”

Untuk mempercepat pendaftaran tanah, Jokowi mengeluarkan Inpres Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap. Harapannya, pada 2025, seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar. Dia bilang, hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum tanah, menyelesaikan konflik, mendukung inklusi keuangan dan tertib administrasi pertanahan.

Sepanjang periode 2015-31 September 2018, sudah ada 11.498.444 bidang tanah terdaftar. Sertifikat tanah langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi sebanyak 2.224.354 bidang tanah.

“Jaringan di daerah terkendala hingga input capaian dalam sistem jadi lambat. Partisipasi masyarakat juga rendah. Karena ada ketakutan membayar pajak jika sertifikat sudah jadi.”

Melalui izin yang diterbitkan Pemda Sumbawa Barat pada 2014 lalu PT. Pulau Sumbawa Agro kini melakukan penanaman sisal di lahan yang diklaim sebagai tanah adat komunitas adat Talonang. Aktivitas penanaman ini mendapat penjagaan dari polisi setempat dengan alasan mencegah adanya konflik dengan warga. Foto : Wahyu Chandra

Pengadaan tanah

KATR/BPN, kata Sofyan, ikut berkontribusi dalam penyediaan tanah guna mendukung pembangunan proyek strategis nasional. Hingga kini, pengadaan tanah lebih 34.000 hektar.

Pengadaan tanah untuk membangun 45 ruas jalan tol seluas 13.838 hektar, untuk pengembangan lima jaringan rel kereta api 63 hektar, dua proyek irigasi pertanian di Leuwigoong empat hektar dan di Lhok Guci 174 hektar. Untuk bendungan 7.949 hektar, kawasan ekonomi khusus (KEK) 8.183 hektar, pos lintas batas 26 hektar, proyek pembangkit listrik 4.131 hektar, kilang minyak 3,5 hektar.

Untuk pengadaan tanah, katanya, juga masih ada kendala. Masih lemah pemahaman penyusunan dokumen perencanaan pada instansi yang memerlukan tanah. Lokasi pengadaan tanah tak didukung data awal, tidak sesuai RTRW dan berada di dalam kawasan hutan.

“Masih terjadi sengketa, keberatan ganti rugi, maupun persyaratan perizinan yang tak lengkap oleh instansi yang memerlukan tanah. Juga peraturan perundangan yang belum efisien,” katanya.

 

Konsolidasi tanah

Selama empat tahun kepemimpinan Jokowi-JK, KATR/BPN, berupaya konsolidasi tanah di berbagai wilayah di Indonesia. Tujuannya, agar bidang tanah atau hunian lebih tertata, terjadi pelebaran dan peningkatan akses infrastruktur, terutama jalan. Juga mengurangi risiko spekulasi tanah, dan mendukung perencanaan tata ruang berkelanjutan.

Namun, katanya, selama ini upaya konsolidasi tanah banyak menemui kendala seperti sulit mencapai kesepakatan dengan tipologi masyarakat beragam, kurang koordinasi internal dan eksternal antarinstansi dan stakeholder. Lalu, status tanah belum semua terdaftar dan seringkali tak sesuai dokumen dan masih kurang pemahaman manfaat konsolidasi tanah karena minim anggaran sosialisasi kepada masyarakat.

Kalau upaya konsolidasi tanah terkendala, katanya, bisa menyebabkan menghambat pembangunan infrastruktur. Capaian konsolidasi tanah hingga saat ini 5.512 hektar, melibatkan 11.599 keluarga.

“Perlu ada penguatan dasar hukum konsolidasi tanah. Perencanaan konsolidasi tanah pertanian dan non pertanian di beberapa wilayah di Indonesia dapat meningkatkan kualitas dan nilai lahan. Kita akan terus mengembangkan konsolidasi tanah,” katanya.

Capaian infrastruktur agraria antara lain, peta dasar seluas 20.038.100 hektar, peta tematik 21,5 juta hektar, peta pengadaan tanah 5,4 juta bidang, peta dasar skala 1:5.000 untuk RDTR di 33 lokasi, dan surveyor kadaster berlisensi 7.271 orang,

“Peta dasar dan peta tematik yang dihasilkan dapat mendorong pemanfaatan lahan yang lebih optimal.”

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Partisipasi masyarakat dilibatkan dalam delinasi batas bidang, penanaman batas bidang, dan pengumpulan berkas. Pendekatan pembangunan partisipatif dapat meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat.

Hal ini, kata Sofyan, masih ada kendala, seperti keterbatasan peralatan teknis dan peta dasar dengan citra satelit beresolusi tinggi, permasalahan operasional seperti tak ada patok batas, peta batas hutan kecil, maupun batas desa belum definitif.

Gerakan pemda, katanya, juga kurang dalam mengikutsertakan masyarakat maupun kompetensi sebagian juru ukur pihak ketiga terbatas.

Sesuaikan tata ruang untuk infrastruktur?

KATR?BPN pun, katanya, menjalankan strategi tata ruang melalui sinkronisasi, koordinasi dengan kementerian lembaga dan pemerintah daerah serta penyusunan rencana detail tata ruang. “Ini akan mendukung pembangunan proyek strategis nasional sesuai rencana tata ruang,” katanya.

Dia bilang, penyusunan rencana tata ruang dibuat untuk mendukung infrastruktur strategis nasional, sekitar 79% dari 376 proyek. Ia terdiri dari 152 proyek pembangkit listrik 35 GW (83 sesuai tata ruang, 69 perlu rekomendasi ATR, 69 proyek jalan tol (64 sesuai tata ruang), jaringan jalur kereta api 47 proyek (44 sesuai tata ruang), waduk 56 proyek–55 sesuai tata ruang. Lalu, bandar udara 21 proyek, pelabuhan dan feeder tol laut 30 proyek, 29 sesuai tata ruang.

“Bagi proyek strategis nasional masih memerlukan rekomendasi KATR/BPN, perlu segera difasilitasi,” katanya.

Status dokumen tata ruang di Indonesia total 1.838, 45 (2,5%) sudah sah melalui perda. Lalu, 1.793 rencana detail tata ruang (RDTR) (97,5%) belum sah melalui perda.

“Untuk memperkuat fungsi rencana tata ruang, kami sedang akselerasi pembuatan RDTR.”

Selama ini, kata Sofyan, masih banyak kendala dalam pengesahan RDTR, seperti keterbatasan sumber daya manusia di daerah karena perubahan organisasi perangkat daerah (OPD). Penyelesaian rencana tata ruang terhambat karena keterbatasan data spasial tematik.

“Juga ada keterbatasan kendali Direktorat Jenderal Tata Ruang dalam pembinaan kepada seluruh pemda dan masyarakat,” katanya, seraya bilang, peraturan banyak mengenai perundangan tata ruang juga jadi penyebab.

Baca juga: Konflik warga Mantadulu, Sulawesi Selatan dengan PTPN.Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan