Angkutan Truk Batubara Dilarang Lewat Jalan Umum di Sumsel Mulai 8 November 2018

Palembang, Sekda Provinsi Sumsel, Nasrun Umar di Ruang Rapat Bina Praja, mengatakan, Pergub nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batubara Melalui Jalan Umum dicabut.

Keputusan itu diambil untuk menindaklanjuti banyaknya keluhan masyarakat atas penggunaan jalan umum oleh angkutan batubara.

Sekda Provinsi Sumsel, Nasrun Umar di Ruang Rapat Bina Praja, mengatakan, Pergub nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batubara Melalui Jalan Umum dicabut.

Dengan demikian aturan dikembalikan dengan Perda nomor 5 tahun 2011.

“Dengan pencabutan Pergub tersebut maka angkutan batubara dilarang melintas di jalan umum mulai 8 November 2018 pukul 00.00,” ujarnya, Selasa (6/11/2018)

Maka dari itu seluruh angkutan batubara di Wilayah Kabupaten Lahat dan Muara Enim supaya mengalihkan semua angkutan batubara yang menggunakan jalan umum ke angkutan kereta api dan jalan khusus.

Menurutnya, dengan penutupan jalan umum untuk angkutan batubara sesuai instruksi Gubernur Sumsel, maka Dinas Perhubungan Provinsi Sumsel bersama instansi terkait lainnya diminta untuk melakukan pengawasan angkutan batubara di jalan raya.

“Saya minta Dishub Sumsel dapat melakukan pengawasan angkutan batubara di jalan raya. Dan ingat, mulai nanti tidak ada lagi angkutan batubara yang melintasi di jalan umum,” tegasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Sumsel, Nelson Firdaus menambahkan, dengan dicabutnya Pergub tersebut, maka pihaknya bersama Tim Terpadu akan melakukan pengawasan dan penertiban angkutan batubara di jalan raya.

“Mulai 8 November kita akan lakukan pengawasan dan penertiban. Kalau nanti masih ada yang kedapatan melintas di jalan raya, maka akan kita beri sanksi berupa tilang,” jelasnya.

Setelah Pergub ini dicabut, angkutan batubara harus melewati jalur alternatif dan tidak menggunakan jalan umum, khususnya jalan lintas Kabupaten Muara Enim sampai dengan Kota Prabumulih.

“Untuk itu, angkutan batubara mulai 8 November harus menggunakan jalan khusus angkutan batubara yang dikelola oleh PT Titan Infra Energy melalui PT Servo Lintas Raya,” katanya.

Sementara itu, Kepala ESDM Provinsi Sumsel Robert Heri menjelaskan, selama ini angkutan yang membawa batubara dan melintasi jalan umum mencapai 5 juta ton.

“Kita sudah melakukan rapat dan PT Titan Infra Energy melalui PT Servo Lintas Raya melalui jalur khusus angkutan batubara itu siap menampung 5 juta ton tersebut.”

“Bahkan, kondisi jalan, dermaga, timbangan semua sudah lengkap dan siap,” jelasnya. (TS/Linda)

Sumber: Tribunsumsel.com

Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018. Aturan ini diharapkan jadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia.

Sebagai instrumen legal, Perpres Reforma Agraria memuat norma untuk menata ulang struktur agraria yang memastikan petani penggarap, nelayan, dan kelompok masyarakat pra-sejahtera dapat mengakses tanah negara, perlindungan terhadap hak tanah, dan menerima manfaat penyelesaian konflik agraria.

Dengan landasan itu, perpres ini menggunakan tiga strategi dalam pelaksanaan reforma agraria, yaitu, sertifikasi hak milik, redistribusi tanah negara dan mekanisme penyelesaian konflik agraria.

Satu hal perlu jadi perhatian, Perpres Reforma Agraria belum tegas menempatkan posisi masyarakat adat beserta hak-haknya dalam kerangka reforma agraria, terlihat dari taka da penyebutan masyarakat adat sebagai salah satu subyek reforma agraria.

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Posisi masyarakat adat

Perpres Reforma Agraria menyebutkan, subyek reforma agraria terdiri dari tiga kategori, yaitu perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum.

Subyek perorangan berupa petani penggarap, nelayan dan kelompok pekerja formal/informal. Sedangkan kelompok masyarakat, adalah kelompok dengan hak kepemilikan bersama atas tanah. Terakhir, badan hukum adalah koperasi dan badan usaha milik desa.

Masyarakat adat tak tercantum sebagai subyek reforma agraria. Walaupun terdapat kategori kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, namun kategori masyarakat itu tak merujuk pada masyarakat adat, karena definisi kelompok yang dimaksud bersifat artifisial (dibentuk atas kepentingan bersama), alih-alih sebagai kesatuan sosial organik masyarakat adat.

Ketidakjelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria berimplikasi serius terhadap persoalan-persoalan agraria terkait masyarakat adat. Setidaknya terdapat dua persoalan, yaitu, pertama, secara paradigmatik, perpres ini mengabaikan ada persoalan agraria terkait masyarakat adat dari kerangka kebijakan reforma agraria.

Kedua, pada tingkat operasional, perpres ini mengeluarkan persoalan agraria terkait masyarakat adat dari skema perlindungan hak tanah dan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang disasar dari kerangka kebijakan reforma

 

Selain itu, perpres reforma agraria inkonsisten dengan rujukan hukum, yaitu Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Secara gamblang, TAP MPR IX/2001 menjelaskan, reforma agraria sebagai usaha menata ulang struktur agraria yang berkeadilan dengan memastikan hak masyarakat adat. Artinya, persoalan ketidakadilan dan ketidakpastian hak masyarakat adat masuk dalam ruang lingkup reforma agraria.

Selanjutnya, Perpres Reforma Agraria menutup mata atas kenyataan konflik-konflik agraria masyarakat adat terkait penentuan obyek reforma agraria. Perpres ini menyebutkan, obyek atau tanah reforma agraria (tora) antara lain, tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah dari pelepasan kawasan hutan, dan tanah bekas hak erfpacht (hak barat).

Bila ditelaah lebih dalam, kita bisa melihat banyak konflik hak masyarakat adat berada pada kriteria tora itu, misal, konflik-konflik perkebunan sawit di Sumatera Barat sejak pemberian hak erpacht. Dalam beberapa kasus berlanjut dalam bentuk baru jadi HGU. Konflik itu muncul karena abai pengakuan legal hak ulayat saat konsolidasi (konversi) jadi tanah negara—saat proses pemberian hak erfpacht maupun HGU.

Begitu juga dengan konflik masyarakat adat di kawasan hutan. Pada kasus terakhir, 9,3 juta hektar wilayah adat diklaim berada di kawasan hutan (BRWA, 2018). Ketiadaan pengakuan legal hak ulayat dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh negara jadi penyebab konflik agraria masyarakat adat di kawasan hutan ini.

Dari konflik-konflik agraria itu setidaknya menunjukkan dua hal penting. Pertama, konflik agraria masyarakat adat bersifat historis, yaitu konflik berlaku pada rentang waktu lama karena minim perlindungan hak, baik sejak masa kolonial sampai sekarang. Kedua, konflik-konflik agraria masyarakat adat menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dalam menata ulang struktur agraria (sumber daya alam).

Dengan kata lain, persoalan agraria masyarakat adat adalah masalah struktural dengan menyertakan perangkat hukum beserta struktur yang mengabaikan hak.

Perpres Reforma Agraria, belum begitu tajam melihat kenyataan konflik agraria terkait hak masyarakat adat pada tora. Dalam perpres ini memang menyebutkan, hak ulayat bukan bagian dari obyek reforma agraria, namun memasukkan tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawasan hutan sebagai obyek reforma agraria yang notabene potensial tumpang tindih dengan hak ulayat atau dalam kondisi berkonflik.

Artinya, penentuan kriteria tora belum sepenuhnya jelas (clean and clear) dan bisa mempersulit implementasi reforma agraria itu sendiri serta berpotensi melahirkan konflik baru.

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Perbaikan substansi

Perpres Reforma Agraria, merupakan terobosan kebijakan dalam menjawab persoalan struktural agraria, namun aturan ini memerlukan perbaikan terkait kejelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria. Alasan- alasan pokok pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria adalah, pertama, mempertegas kembali masyarakat adat sebagai korban ketidakadilan agraria dan mengakui kenyataan bahwa konflik agraria masyarakat adat lahir karena ketidakadilan agraria.

Dalam konteks ini, upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan melingkupi penyelesaian konflik masyarakat adat.

Kedua, penegasan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria diharapkan mampu menyentuh penyebab utama persoalan agraria masyarakat adat, yaitu soal perlindungan hak ulayat. Menempatkan kembali posisi masyarakat adat dalam kerangka reforma agraria sebenarnya mempertegas mandat TAP MPR No. IX/2001 sebagai dasar hukum perpres ini. Yaitu, perlindungan hak ulayat terintegrasi dengan penataan kembali struktur agraria. Dalam hal ini, skema legalisasi hak atas tanah sebagai pengejawantahan perlindungan hak dalam perpres ini semestinya melingkupi juga pengakuan hak ulayat.

 

Keterangan foto utama: Masyarakat adat penjaga hutan. Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena di hutan adat Marena yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

KLHK Menangi Gugatan Rp 17 Triliun, Baru Dieksekusi Rp 30 Miliar

Jakarta -Sejak menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mencatat sudah membawa 517 kasus pidana kejahatan lingkungan ke pengadilan. Ada juga 18 kasus gugatan perdata dan 503 sanksi administratif.

Awal bulan ini Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata terhadap tiga perusahaan besar yang terkait kebakaran hutan 2015. Mahkamah mewajibkan ketiganya, PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP), PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan PT Palmina Utama, membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan sebesar Rp 1,3 triliun.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi juga memenangkan KLHK atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014. Majelis hakim menghukum BMH membayar Rp 78,5 miliar dari gugatan Rp7,9 triliun.

Selain itu, KLHK juga menang gugatan atas PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Jika dihitung semua gugatan yang berhasil dimenangkan, KLHK tercatat lebih dari Rp 17 triliun.

“Jadi keseluruhan banyak juga Rp 17 triliunan, yang sudah (eksekusi) baru Rp 30-an miliar. Jadi memang kita sedang terus berusaha karena eksekusi itu kan kewenangannya di pengadilan,” kata Siti saat Blak blakan dengan detikcom yang tayang, Selasa (25/9/2018).

Pengadilan dimaksud antara lain Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami sudah menyurati mereka,” Siti menambahkan.

Menurut Siti, pihaknya mengajukan gugatan ke sejumlah perusahaan pelaku kebakaran hutan dan perusak lingkungan murni untuk penegakkan hukum. Dia mengklaim baru di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah penegakkan hukum itu sangat ditekankan.

“Saya membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LIngkungan Hidup dan Kehutanan. Hal terpenting bagi pemerintah adalah memberikan efek jera,” kata Siti.

Mulai 8 November, pengangkutan batubara di Sumsel harus lewat jalan khusus

JAKARTA. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) melarang pengangkutan batubara melintasi jalan umum, dan mengalihkannya ke jalan khusus. Kebijakan itu mulai berlaku pada 8 November 2018 mendatang.

Kepala Bidang Teknik dan Penerimaan Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumsel Aries Syafrizal mengungkapkan, pelarangan sebenarnya telah diinstruksikan sejak tujuh tahun lalu, yakni tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumsel Nomor 05 Tahun 2011.

Pelarangan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan, seperti faktor keselamatan, untuk mengurangi tingkat kemacetan, serta pengurangan kapasitas beban jalan.

Namun, menurut Aries, ada sejumlah faktor yang menghambat realisasi dari pelarangan akses jalan umum untuk pengangkutan batubara. Utamanya ialah soal kesiapan infrastruktur, sehingga baru bisa direalisasikan akhir tahun ini.

“Jalan khususnya belum siap. Nah, sekarang sudah siap, jadi kita coba. Ini baru uji coba, mudah-mudahan bisa jalan. Jadi semua angkutan batubara sudah enggak boleh lagi pakai jalan umum,” kata Aries kepada KONTAN saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/10).

Uji coba tersebut akan dilakukan mulai 8 November dengan masa evaluasi selama satu minggu. Jika masih ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang melanggar dengan melalui jalan umum, maka Pemda setempat akan mengeluarkan peringatan hingga pencabutan Surat Rekomendasi Pengangkutan dan Penjualan (SRPP) batubara.

Aries mengungkapkan, saat ini ada 128 IUP di Provinsi Sumsel. Dari jumlah tersebut, baru 37 perusahaan yang aktif melakukan produksi. Setidaknya, ada lima kabupaten dengan sebaran IUP paling banyak, yakni Kabupaten Muara Enim, Lahat, Ogan Komering Ulu (Oku), Musi Banyuasin (Muba), dan Musi Rawas (Mura).

Namun, hanya IUP di tiga kabupaten yang akan terkena kebijakan ini, yakni di Muara Enim, Lahat dan Oku. “Cuma tiga kabupaten, yang di luar itu, yaitu Muba sama Mura sudah tidak pakai jalan umum, Karena mereka dekat sungai,” jelas Aries.

Adapun, jalan yang akan dipakai sebagai akses pengangkutan batubara ini adalah jalan khusus milik PT Titan Infra Energy. Melalui anak usahanya, Servo Lintas Raya (SLR), Titan akan menangani rantai distribusi batubara dengan IUP Operasi Produksi yang bekerja sama dengan skema Business to Business (B to B).

Director Compliance and External Affairs PT Titan Infra Energy Taufik M. Ahmad menjelaskan, pihaknya memiliki jalan khusus untuk pengangkutan batubara sepanjang 113 kilometer (KM) dengan kapasitas jalan sekitar 15 juta ton per tahun. Menurut Taufik, proses bisnis antara pihaknya dengan IUP yang bekerja sama cukup sederhana.

Prosesnya, IUP bisa mengirimkan batubara ke Intermediate Stockpile (IS), di mana ada dua IS yang dimiliki Titan di jalan khusus tersebut, yakni IS 107 dan IS 113.

Dari IS itu, Titan selanjutnya akan mengangkut batubara ke pelabuhan yang ada di KM 0 dengan menggunakan truck 30 ton/120 ton. Dari pelabuhan, Titan akan menyediakan angkutan hingga batubara sampai ke tongkang yang telah ditunjuk, serta jadwal yang telah ditentukan oleh IUP.

“Bisa dikatakan demikian (Titan hanya sebagai rantai distribusi), sampai ke pelabuhan. Dari pelabuhan, tongkang dan kedatangannya mereka (IUP) yang menentukan,” jelas Taufik.

Namun, jasa distribusi ini pun bisa menyesuaikan berdasarkan kesepakatan bisnis dari Titan dan IUP yang bersangkutan. Mengenai soal tarif, Taufik tidak memberikan rinciannya. Hanya saja, Taufik bilang, harga sesuai kesepakatan B to B dengan menyesuaikan jenis tambang batubaranya.

“Harganya juga tidak akan lebih dari sekitar tarif kalau kirim ke Peleburan RMK, yang melewati Palembang. Bervariasi tergantung dari jenis tambangnya dari mana. Kita ingin develop soal harga dengan bagian komersial,” ungkapnya.

Saat ini, Taufik menyebut bahwa sudah ada delapan IUP yang telah bekerja sama dengan Titan sejak tiga bulan lalu. Saat ini, pihaknya tengah fokus untuk menjaga kesiapan infrastruktur, alat angkut dan sarana penunjang lainnya sehingga proses distribusi batubara melalui jalan khusus ini tidak mengalami kendala.

“Menurut data, saat ini ada sekitar 5 juta ton yang melewati jalan umum. Kita sedang siapkan agar jika 5 juta ton itu melalui jalan khusus, tidak ada kendala,” ujar Taufik.
Masih Menyimpan Kekhawatiran

Di sisi lain, pengalihan distribusi batubara ini menyimpan sejumlah kekhawatiran. Di antaranya datang dari Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI). Juru Bicara APLSI Rizal Calvary menekankan, pemerintah harus mengantisipasi agar dengan adanya pengalihan ini, pasokan batubara khususnya untuk pembangkit listrik tidak terganggu.

Pasalnya, Rizal menyebut bahwa pasokan batubara dari Sumsel sangat signifikan dan strategis terhadap sebagian besar pembangkit yang ada di Sumatera dan Jawa, baik dari sisi volume maupun akses pengiriman. Sehingga, lanjut Rizal, penting untuk memastikan bahwa pasokan batubara dari Sumsel sebagai sumber energi dan ekonomi tidak terkendala adanya kebijakan tersebut.

“Kalau di pembangkit, yang paling penting pasokan (batubara) harus siap tersedia. Soal distribusi itu kan yang paling penting kelayakan mobil, sopir dan kepatuhan jadwal. Intinya dari kami sih soal ketersediaan pasokan, ” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Sumsel (APBS) Andi Asmara. Ia tak menepis bahwa awalnya para pengusaha batubara resistensi terhadap kebijakan ini. Namun, sebagai jalan tengah, para pengusaha tetap akan mengikuti peraturan ini, meski pihaknya terus akan menyampaikan aspirasi sembari mencari alternatif yang lain.

“Kami dukung, tapi keinginan pengusaha tambang juga terus akan menyampaikan aspirasi. Ini juga kan masalah janji politik, kami akan bertatap muka langsung dengan Pak Gubernur, mungkin ada alternatif yang bisa kita sampaikan dan bicarakan bersama,” ujarnya.

Menurut Andi, para pengusaha batubara telah banyak memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembangunan Sumsel dan perekonomian masyarakat sekitar. Mulai dari kontribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta menggulirkan roda ekonomi seperti pembukaan lapangan kerja, menghidupkan jasa angkutan batubara, dan sektor pendukung lainnya.

Ia berujar, ada potensi kerugian yang harus ditanggung pengusaha dari kebijakan pengalihan ke jalan khusus ini. “Masyarakat dan daerah juga menikmati. Dengan adanya batubara, PAD jadi signifikan meningkat. (Pengalihan jalan) ini rugi pasti, karena kita kan sudah investasi, mengatur ini cukup panjang dan koordinasi dengan semua pihak,” ujarnya.

Sementara menurut Aries Syafrizal, selain pertimbangan dampak terhadap jalan umum, pemakaian jalan khusus untuk batubara ini juga bisa menjadi peluang pengembangan investasi di Provinsi Sumsel. Aries menyebut, pemerintah mendorong swasta, baik perusahaan maupun konsorsium untuk membangun jalan khusus.

Di luar jalan khusus yang dimiliki Titan, Aries bilang, ada jalan khusus yang saat ini siap dibangun oleh pengusaha transportir dan dermaga. “Ada satu lagi yang sudah survei di lapangan, tinggal jalan saja mereka. Memang kita serahkan pada swasta, siapa pun bisa membangun. Kita mengundang investasi, silakan saja,” terangnya.

Aries pun membenarkan, sumbangan batubara untuk Provinsi Sumsel terhitung signifikan. Ia mencontohkan, per tahun, ada sekitar Rp. 1,7 triliun yang disumbangkan dari royalti batubara, dengan produksi batubara di Sumsel tak kurang dari 45 juta per tahun.

“Untuk tahun lalu seperti itu, memang besar (produksi dan penerimaan) dari batubara,” tandasnya.

Sumber: Kontan.co.id

Sektor Agraria dan Tata Ruang pada Empat Tahun Jokowi, Seperti Apa?

Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla, pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Ia bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria, pertanahan dan tata ruang. Periode empat tahun pemerintahan Jokowi, kementerian ini mengklaim meraih beberapa capaian kerja meskipun masih banyak pekerjaan seperti konflik pertanahan di mana-mana, agenda reforma agraria juga masih berjalan.

Komitmen Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menata persoalan agraria. Kementerian ini mulai dengan sertifikasi tanah yang selama ini dinilai sulit, lama, dan mahal. Untuk itu, pemerintah lakukan percepatan sertifikasi tanah di Indonesia melalui pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).

Keseriusan pemerintah melaksanaan penataan agraria juga ditegaskan dengan penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria tertanggal 24 September 2018.

Peraturan ini, katanya, wujud pemerintah ingin menjamin pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

“Pada 2018, dari 7 juta target PTSL sampai dengan Oktober ini kita berhasil mendaftarkan tanah di seluruh Indonesia 6,192,875 bidang. Kita optimistis akan melampaui target,” kata Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN dalam temu media pekan lalu.

Sofyan mengatakan, negara akan menjamin sertifikat ini. “Tidak akan mungkin lagi sertifikat diganggu gugat, kalau ternyata salah, negara yang akan bayar,” katanya seraya bilang ketentuan mengenai Itu akan masukan dalam UU Pertanahan.

Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria merupakan harapan baru masyarakat Indonesia guna mempercepat capaian reforma agraria.

Sofyan bilang, KATR fokus menjalankan agenda reforma agraria dengan penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan. Agenda reforma agraria, katanya, jalan melalui penataan aset disertai akses untuk kemakmuran rakyat.

Menurut dia, reforma agraria hadir karena melihat berbagai persoalan bidang lahan, sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. “Ini terjadi karena ada ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” katanya.

Selain itu, kualitas lingkungan turun, banyak sengketa dan konflik agraria, kemiskinan dan pengangguran, alihfungsi lahan pertanian masif, serta kesenjangan sosial.

Reforma agraria, katanya, mengakui dan melindungi hak masyarakat adat dan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan. “Juga meminimalkan dampak negatif yang dapat merusak kualitas lingkungan,” katanya.

Selain itu, lanjut Sofyan, reforma agraria harus menjamin semua pihak untuk mendapatkan perlakuan adil dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Juga mengedepankan kepastian hukum bagi penerima tanah objek reforma agraria (tora), keterbukaan informasi bagi seluruh pihak, tertib penyelenggaraan negara, profesionalitas dan akuntabilitas.

“Selama ini, ada masyarakat tinggal di kampung, tetapi tak bisa kita diberikan hak apapun karena masih dalam kawasan hutan.”

Presiden, katanya, memerintahkan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan dari kawasan hutan. KLHK, memberikan lebih 994.000 hektar kawasan hutan untuk rakyat.

“Untuk tanah terlantar dan transmigrasi yang selama ini belum bersertifikat akan disertifikatkan. HGU yang ditelantarkan kita ambil alih dan dibagikan kepada masyarakat.”

Konflik lahan warga dan PTPN. Warga Mantadulu berdiskusi bersama kuasa hukum di halaman PN Malili, 11 Januari 2018. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Untuk menjalankan agenda reforma agraria, KATR/BPN membuat perencanaan penataan aset atas penguasaan dan kepemilikan tora, penataan akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksitora. Lalu, peningkatan kepastian hukum dan legalisasi tora, penanganan sengketa dan konflik agraria, serta kegiatan lain yang mendukung reforma agraria.

“Perencanaan reforma agraria jadi acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian lembaga dan rencana pembangunan daerah,” katanya.

Capaian redistribusi tanah 2015 sebanyak 95.741 bidang (target 107.150), tahun 2016 sebanyak 143.234 (target 170.562), tahun 2017 sebanyak 23.214 bidang (target 23.925), 2018 sebanyak 82.230 (target 350.650). Dalam RPJMN target 400.000 bidang, terealisasi 344.419.

Sementara capaian inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) tahun 2015, sebanyak 88.384 bidang dari target awal 144.900. Tahun 2016, sebanyak 522.457 bidang dari target 612.365, 2017 (106.957 bidang, target 120.445). Pada 2018, sebanyak 189.058 bidang daei target 719.612.

Saat ini, katanya, telah terbentuk kelembagaan reforma agraria baik nasional diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, tingkat pusat Menteri ATR/Kepala BPN, provinsi diketuai gubernur. Dia bilang, kelembagaan ini langkah maju agar reforma agraria terkoordinasi dengan baik.

Gugus tugas

KATR/BPN membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Hingga kini sudah terbentuk 23 provinsi melalui SK gubernur. M. Ikhsan, Direktur Jenderal Penataan Agraria KATR/BPN juga mengatakan, kelahiran Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, sejalan dengan pelepasan 994.000 hektar kawasan hutan nanti lewat redistribusi tanah.

“Di lapangan sedang inventarisasi. Ini harus jelas jangan sampai dimanfaatkan lagi oleh orang-orang tertentu, harus benar-benar profesional dan selektif terhadap subjek reforma agraria. Memang untuk masyarakat kurang mampu,” katanya.

ahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

Penyelesaian konflik

Dalam proses penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan pada 2015 ada 2.145 kasus 947 selesai. Pada 2016, ada 2.996 konflik dan selesai 1.570 kasus. Tahun 2017, sebanyak 3.293 konflik, selesai 1.034, dan pada 2018 sebanyak 2.368 konflik, selesai 480 kasus.

Secara persentase, konflik dominan terjadi antara perorangan dengan eprorangan yaitu 6.071 kasus (56,20%), masyarakat dengan pemerintah 2.866 kasus (26,53%), perorangan dengan badan hukum 1.668 kasus (15,44%), badan hukum dengan abdan hukum 131 kasus (1,21%), dan antar kelompok masyarakat 66 kasus (0,61%).

“Salah satu akar permasalahan sengketa penguasaan tanah adalah bukti kepemilikan tanah dan ketimpangan penguasaan,” katanya.

Untuk itu, KATR/BPN, kata Sofyan, sudah tandatangan nota kesepahaman dengan kepolisian dan kejaksaan. Kerjasama ini, katanya, untuk membentuk penguatan dan percepatan penyelesaian sengketa dan konflik yang berkepastian hukum.

“Hambatannya, kurang sumber daya manusia yang mampu menganalisis kasus. Juga sulit pembuatan rekapitulasi data karena belum tertib Kantor Pertanahan dan Kanwil untuk entry data penanganan kasus sengketa konflik dan perkara.”

Untuk mempercepat pendaftaran tanah, Jokowi mengeluarkan Inpres Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap. Harapannya, pada 2025, seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar. Dia bilang, hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum tanah, menyelesaikan konflik, mendukung inklusi keuangan dan tertib administrasi pertanahan.

Sepanjang periode 2015-31 September 2018, sudah ada 11.498.444 bidang tanah terdaftar. Sertifikat tanah langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi sebanyak 2.224.354 bidang tanah.

“Jaringan di daerah terkendala hingga input capaian dalam sistem jadi lambat. Partisipasi masyarakat juga rendah. Karena ada ketakutan membayar pajak jika sertifikat sudah jadi.”

Melalui izin yang diterbitkan Pemda Sumbawa Barat pada 2014 lalu PT. Pulau Sumbawa Agro kini melakukan penanaman sisal di lahan yang diklaim sebagai tanah adat komunitas adat Talonang. Aktivitas penanaman ini mendapat penjagaan dari polisi setempat dengan alasan mencegah adanya konflik dengan warga. Foto : Wahyu Chandra

Pengadaan tanah

KATR/BPN, kata Sofyan, ikut berkontribusi dalam penyediaan tanah guna mendukung pembangunan proyek strategis nasional. Hingga kini, pengadaan tanah lebih 34.000 hektar.

Pengadaan tanah untuk membangun 45 ruas jalan tol seluas 13.838 hektar, untuk pengembangan lima jaringan rel kereta api 63 hektar, dua proyek irigasi pertanian di Leuwigoong empat hektar dan di Lhok Guci 174 hektar. Untuk bendungan 7.949 hektar, kawasan ekonomi khusus (KEK) 8.183 hektar, pos lintas batas 26 hektar, proyek pembangkit listrik 4.131 hektar, kilang minyak 3,5 hektar.

Untuk pengadaan tanah, katanya, juga masih ada kendala. Masih lemah pemahaman penyusunan dokumen perencanaan pada instansi yang memerlukan tanah. Lokasi pengadaan tanah tak didukung data awal, tidak sesuai RTRW dan berada di dalam kawasan hutan.

“Masih terjadi sengketa, keberatan ganti rugi, maupun persyaratan perizinan yang tak lengkap oleh instansi yang memerlukan tanah. Juga peraturan perundangan yang belum efisien,” katanya.

 

Konsolidasi tanah

Selama empat tahun kepemimpinan Jokowi-JK, KATR/BPN, berupaya konsolidasi tanah di berbagai wilayah di Indonesia. Tujuannya, agar bidang tanah atau hunian lebih tertata, terjadi pelebaran dan peningkatan akses infrastruktur, terutama jalan. Juga mengurangi risiko spekulasi tanah, dan mendukung perencanaan tata ruang berkelanjutan.

Namun, katanya, selama ini upaya konsolidasi tanah banyak menemui kendala seperti sulit mencapai kesepakatan dengan tipologi masyarakat beragam, kurang koordinasi internal dan eksternal antarinstansi dan stakeholder. Lalu, status tanah belum semua terdaftar dan seringkali tak sesuai dokumen dan masih kurang pemahaman manfaat konsolidasi tanah karena minim anggaran sosialisasi kepada masyarakat.

Kalau upaya konsolidasi tanah terkendala, katanya, bisa menyebabkan menghambat pembangunan infrastruktur. Capaian konsolidasi tanah hingga saat ini 5.512 hektar, melibatkan 11.599 keluarga.

“Perlu ada penguatan dasar hukum konsolidasi tanah. Perencanaan konsolidasi tanah pertanian dan non pertanian di beberapa wilayah di Indonesia dapat meningkatkan kualitas dan nilai lahan. Kita akan terus mengembangkan konsolidasi tanah,” katanya.

Capaian infrastruktur agraria antara lain, peta dasar seluas 20.038.100 hektar, peta tematik 21,5 juta hektar, peta pengadaan tanah 5,4 juta bidang, peta dasar skala 1:5.000 untuk RDTR di 33 lokasi, dan surveyor kadaster berlisensi 7.271 orang,

“Peta dasar dan peta tematik yang dihasilkan dapat mendorong pemanfaatan lahan yang lebih optimal.”

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Partisipasi masyarakat dilibatkan dalam delinasi batas bidang, penanaman batas bidang, dan pengumpulan berkas. Pendekatan pembangunan partisipatif dapat meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat.

Hal ini, kata Sofyan, masih ada kendala, seperti keterbatasan peralatan teknis dan peta dasar dengan citra satelit beresolusi tinggi, permasalahan operasional seperti tak ada patok batas, peta batas hutan kecil, maupun batas desa belum definitif.

Gerakan pemda, katanya, juga kurang dalam mengikutsertakan masyarakat maupun kompetensi sebagian juru ukur pihak ketiga terbatas.

Sesuaikan tata ruang untuk infrastruktur?

KATR?BPN pun, katanya, menjalankan strategi tata ruang melalui sinkronisasi, koordinasi dengan kementerian lembaga dan pemerintah daerah serta penyusunan rencana detail tata ruang. “Ini akan mendukung pembangunan proyek strategis nasional sesuai rencana tata ruang,” katanya.

Dia bilang, penyusunan rencana tata ruang dibuat untuk mendukung infrastruktur strategis nasional, sekitar 79% dari 376 proyek. Ia terdiri dari 152 proyek pembangkit listrik 35 GW (83 sesuai tata ruang, 69 perlu rekomendasi ATR, 69 proyek jalan tol (64 sesuai tata ruang), jaringan jalur kereta api 47 proyek (44 sesuai tata ruang), waduk 56 proyek–55 sesuai tata ruang. Lalu, bandar udara 21 proyek, pelabuhan dan feeder tol laut 30 proyek, 29 sesuai tata ruang.

“Bagi proyek strategis nasional masih memerlukan rekomendasi KATR/BPN, perlu segera difasilitasi,” katanya.

Status dokumen tata ruang di Indonesia total 1.838, 45 (2,5%) sudah sah melalui perda. Lalu, 1.793 rencana detail tata ruang (RDTR) (97,5%) belum sah melalui perda.

“Untuk memperkuat fungsi rencana tata ruang, kami sedang akselerasi pembuatan RDTR.”

Selama ini, kata Sofyan, masih banyak kendala dalam pengesahan RDTR, seperti keterbatasan sumber daya manusia di daerah karena perubahan organisasi perangkat daerah (OPD). Penyelesaian rencana tata ruang terhambat karena keterbatasan data spasial tematik.

“Juga ada keterbatasan kendali Direktorat Jenderal Tata Ruang dalam pembinaan kepada seluruh pemda dan masyarakat,” katanya, seraya bilang, peraturan banyak mengenai perundangan tata ruang juga jadi penyebab.

Baca juga: Konflik warga Mantadulu, Sulawesi Selatan dengan PTPN.Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan