Tambang Ilegal Sumsel Rugikan Negara Ratusan Miliar per Tahun

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan telah menutup 8 tambang batubara ilegal pada tahun 2019. Tambang ilegal tersebut ditaksir menyebabkan kerugian negara sebesar ratusan miliar rupiah per tahunnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatra Selatan, Robert Heri berujar, dari 8 tambang ilegal yang berhasil ditutup, total negara menderita kerugian Rp432 miliar per tahun. Setiap satu tambang batu bara ilegal merugikan negara Rp54 miliar per tahun. Kerugian tersebut baru dihitung dari sisi royalti yang seharusnya diterima negara, belum termasuk kerugian lingkungan karena lubang bekas tambang tidak direklamasi.

“Tapi permasalahannya, menutup tambang ilegal hari ini, besok sudah ada yang baru lagi. Lusa tutup lagi, besoknya ada lagi,” ujar Robert di sela Pembinaan Kegiatan Pertambangan kepada Pemerintah Daerah dan Izin Usaha Pertambangan Sumsel, Jumat (30/

Atas dasar itu, pihaknya pun memulai investigasi untuk mencari para penadah atau penyuplai batu bara ilegal tersebut. Hasilnya, 12 penadah batubara ilegal sudah ditertibkan. Banyak di antaranya beroperasi di Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Diketahui, para penadah tersebut membeli batubara hasil penambangan ilegal di kawasan Tanjung Enim dan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim.

Namun, upaya tersebut dinilai kurang cukup. Pasalnya, para penambang batubara ilegal ternyata mencari penadah lain yang beroperasi di luar Sumatera Selatan. Sebagian beralih ke penadah yang beroperasi di Pelabuhan Panjang, Lampung, sebagian lainnya dialihkan ke Pulau Jawa. Diketahui, ada 5 tempat penadah batubara ilegal yang beroperasi di wilayah Lampung. Selain dijual ke penadah, berdasarkan investigasi pihaknya, ada beberapa industri yang menampung hasil tambang batubara ilegal tersebut.

Akhirnya pihaknya pun bekerja sama dengan Pemprov Lampung, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Pelabuhan Panjang, Pelindo II Pelabuhan Bakauheni, dan Merak untuk tidak mengizinkan angkutan truk batubara yang tidak dilengkapi dokumen resmi. Dokumen yang dikatakan Robert, yakni Surat Rekomendasi Pengangkutan dan Penjualan (SRPP). Kerja sama tersebut pun difasilitasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasi kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Kalau tidak ada dokumen SRPP itu berarti ilegal, begitu saja. Jadi jangan dibiarkan naik kapal yang tidak ada dokumen seperti itu,” ujar dia.

Disamping itu, berdasarkan riset, Robert mengklaim bahwa cadangan batu bara yang berada di wilayah Sumsel jumlahnya mencapai 22,24 miliar ton atau 47 persen dari jumlah cadangan nasional. Dari jumlah tersebut, rata-rata jumlah produksi sebanyak 46-48 juta ton per tahun.

Sebelumnya, terdapat 362 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi di Sumsel. Namun, setelah koordinasi dan supervisi mineral dan batu bara dari KPK pada 2009, 222 diantaranya dicabut. Dari 140 pemegang IUP di Sumsel tersebut, 56 perusahaan bersih dan 84 diantaranya bermasalah terkait jaminan reklamasi.

Sebanyak 68 pemegang IUP yang bermasalah reklamasi tersebut dibekukan karena tidak melakukan jaminan reklamasi sesuai pasal 96 UU Nomor 4 Tahun 2009 dan pasal 2 ayat 1 Perpu Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pascatambang.

“16 diantaranya masih diberi tenggat waktu melaksanakan reklamasi sampai Oktober nanti. Jika tidak menempatkan jaminan reklamasi, IUP-nya bakal dicabut,” kata dia.

Sementara itu, Gubernur Sumsel Herman Deru berujar, kerja sama dengan KSOP dan Pelindo II di Lampung berdasarkan hasil permintaan pihaknya kepada KPK untuk difasilitasi. Dengan kerja sama seluruh pihak, aksi penambangan batubara ilegal bisa diatasi.

“Selain merugikan negara, tambang ilegal ini pun berbahaya bagi para pekerjanya karena pasti tidak ada standar keamanan saat proses penambangan. Saya harap juga ada tindak lanjut dari penegak hukum untuk pelaku tambang ilegal ini,” ujar dia.

 

Sumber: Cnn.indonesia

KPK Dorong Pemprov dan Pemkab Lamsel Inventarisasi Tambang Batubara

BANDAR LAMPUNG (Lampost.co) — KPK RI Terus mendorong pencegahan pengangkutan batubara ilegal, yang diangkut dengan kendaraan tonase besar dari Provinsi Sumatera Selatan melewati Lampung hingga menuju Pulau Jawa.

Salah satu rencana jangka menengah dan panjang yakni meminta Terminal Khusus (Tersus) dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Batubara di Wilayah Lampung, dan Pemprov Lampung harus memiliki peraturan terkait jalur khusus pengangkatan batubara.

Dari hasil pendataan KPK ternyata sekitar 70% batubara yang diangkut dari provinsi tetangga diseberangkan ke Pulau Jawa, sisanya masuk ke provinsi Lampung yakni 30%. Terdata beberapa perusahaan yang membutuhkan batubara, ada di Lampung Selatan, Bandar Lampung, Lampung Utara.

“Ya kami bagaimana kami fungsi pencegahan Trigger mengkoordinasikan para pihak memperbaiki tata kelola ini artinya negara nggak kelihatan nggak ada kerugian negara, royalti nggak hilang di tambang batubara ilegal ya Lampung juga jalan nggak rusak jembatan rusak,” ujar Kasatgas Koordinasi Supervisi Pencegahan Korwil III KPK Dian Patria, Jumat, 30 Agustus 2019.

Pihaknya meramu formula agar pendistribusian batubara bisa terpantau dan tidak menggunakan jalur Ilegal dengan truk tonase besar, ataupun legal yang diharuskan melalui jalur kereta. Usulan KPK bersama dengan Dinas ESDM Provinsi Lampung dan Pemprov Sumsel, yakni melakukan pendataan berapa pabrik di Lampung yang menggunakan batubara dan kebutuhan mereka, sehingga berapa kebutuhan batubara di Lampung bisa termonitor dan dikoordinasikan dengan perusahaan batubara di Sumatera Selatan.

Kemudian KSOP Panjang dan ASDP Bakauheni telah dibe surat edaran agar menahan atau tidak mengeluarkan surat izin berlayar, batubara yang tidak melalui jalur kereta atau ilegal. Namun, KSOP dan ASDP belum tentu mengetahui secara langsung apakah batubara tersebut ilegal.

Pola komunikasi yang dilakukan yakni, Pihak KSOP dan ASDP bisa berkoordinasi dengan Pemprov Lampung, dari mana asal tambang tersebut, ilegal atau tidak, kemudian Pemprov Lampung juga dibangun komunikasi dengan Pemprov Sumatera Selatan soal, perusahaan legal, jumlahnya, asal dan kapasitas atau kuota batubara dari Sumatera Selatan ke Lampung.

“Hanya KSOP juga nggak bisa semena-mena juga kan kalau tidak ada informasi yang informasi resmi, hanya kalau ke sumsel kan kejauhan maka perlu dari Lampung. ketiga penegakan hukum, pengawasan Jalan Raya tuh, tonase harus ditegakan,” katanya.

Sementara Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi mengatakan terkait batu bara pihaknya akan buat peraturan gubernur atau lebih dari peraturan gubernur. Ia mengatakan aturannya harus dilaksanakan sesuai arahan KPK dan solusinya juga harus diberikan sehingga bisnisnya tetap berjalan. Kemudian di Provinsi Lampung juga tidak mengalami kerugian, kemudian dishub juga diminta untuk melakukan pemantauan agar jangan ada lagi truk tonase besar yang melewati jalan umum.

“Peraturan gubernur kita keluarkan supaya tidak dilanggar aturannya,” katanya.

sumber: lampungpost.co

ESDM: 3000 Perusahaan Belum Kasih Jaminan Pasca-Tambang

Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada 3.121 perusahaan tambang yang belum menempatkan jaminan pasca tambang, dari total 4.524 perusahaan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot menyebutkan, banyaknya perusahaan yang belum menempatkan terutama berasal dari perusahaan izin usaha pertambangan, penanaman modal dalam negeri (IUP PMDN).

Lebih lanjut, Bambang menyebutkan, dari 4.524 perusahaan, sebanyak 4.403 merupakan IUP PMDN, yang mana sebanyak 1.283 perusahaan sudah dan sisanya 3.120 belum menempatkan jaminan pasca tambang.

“IUP PMDN yang diterbitkan dari jumlah 4.043 baru 1.283 yang menempatkan,” kata Bambang di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (11/7/2019).

Bambang pun menjelaskan, kegiatan pasca tambang dilakukan setelah berakhir sebagian atau seluruhnya. Pengajuan rencana pasca tambang berdasarkan kesepakatan pemangku kepentingan yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, KL, dan dinas terkait. Begitu juga dengan penetapan jaminan pasca tambangnya.

Untuk perhitungan meliputi biaya langsung seperti pembongkaran, reklamasi, remediasi, dan pemantauan. Kemudian, biaya tidak langsungnya meliputi perencanaan dan demobilisasi.

Penempatan jaminan secara bertahap dan dua tahun sebelum umur tambang berakhir harus 100%. Pelaksanaan dan pencairan jaminan pasca tambang ialah dilaksanakan pada saat umur tambang berakhir dan pencairannya.
dilakukan tiap triwulan sesuai dengan kemajuan pelaksanaan.

Sementara itu, untuk kegiatan reklamasi, dalam paparannya, Bambang menyebut, dari total 4.867 perusahaan, yang telah menempatkan jaminan reklamasi baru 2.966 perusahaan. Sisanya, sebanyak 1.901 belum menempatkan jaminan.

Dari total 4.867 perusahaan, sebanyak 4.655 merupakan perusahaan IUP PMDN yang mana sebanyak 2.760 sudah menempatkan jaminan reklamasi dan sisanya 1.895 belum.

“IUP PMDN yang diterbitkan Pemprov masih banyak yang belum masih 59%,” tambahnya.

Kegiatan reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, memperbaiki kualitas lingkungan, dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

“Kegiatan reklamasi sambil kegiatan operasi pertambangan dilakukan, untuk menata, memulihkan kualitas lingkungan dan ekosistem dan sesuai kembali sesuai peruntukannya,” jelas Bambang.

Dia menjabarkan, pengajuan rencana reklamasi dan penetapan serta penempatan jaminan reklamasi ditetapkan berdasarkan kesepakatan pemangku kepentingan yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian lembaga (K/L), dan dinas terkait.

Adapun perhitungannya yakni, biaya langsung berupa penataan lahan, revegetasi, air asam tambang, perawatan. Ada juga biaya tidak langsung seperti perencanaan.

“Di pelaksanaan reklamasi mereka harus melakukan penataan lahan, revegetasi penataan lahan,” pungkasnya. (gus/gus)

 

Sumber: CNN Indonesia

Pinus Gelar Diskusi dengan Ombudsman

Palembang, 20/06/2019- Pinus Sumsel mengadakan pertemuan dengan Ombudsman untuk membahas  pertambangan ilegal yang ada di Sumatera Selatan.

Kinerja pemerintah Sumatera Selatan dinilai cukup baik terkait review izin usaha pertambangan (IUP) dalam koordinasi dan supervisi pertambangan mineral dan batubara (minerba) yang diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kementerian ESDM (Dinas Energi dan Sumberdaya Alam) 2014-2016.

Semua informasi terkait pertambangan minerba itu dapat dipantau di http://minerba.desdm.sumselprov.go.id, yang merupakan website resmi dari sistem informasi pertambangan provinsi Sumatera Selatan. Sistem informasi ini diharapkan menjadi media pelaporan perusahaan-perusahaan terkait produksi dan penjualan produk minerba di Sumsel yang dapat diakses langsung publik. Dengan begitu, masyarakat luas tahu bagaimana kekayaan minerba mereka telah dimanfaatkan perusahaan pemegang IUP. Sistem pengaduan publik juga sudah dikembangkan, sehingga masyarakat dapat melaporkan langsung aktivitas perusahaan. Sistem pelaporan dan pengaduan masyarakat, akan terintegrasi dengan sistem LAPOR! (Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat) yang dikembangkan Kantor Staf Presiden.

Direktur PINUS Rabin Ibnu Zainal mengungkapkan, sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan batubara masih menjadi pekerjaan rumah  bagi Pemerintah provinsi Sumatera Selatan dan pihak terkait lainnya. Yakni, tindak lanjut bekas wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang izinnya sudah dicabut atau diakhiri, kemudian masih maraknya tambang ilegal. “Kegiatan pertambangan adalah produk layanan publik, seharusnya tidak bisa menambang sebelum mendapat izin. Ketika penyelenggara pelayanan publik lalai lakukan tugas, maka ada tambang ilegal,”ungkapnya.

“Untuk tambang ilegal, terutama di Tanjung Enim, ini milik rakyat, disana kalau kita melintas, banyak sekali karung-karung berisi batubara di pinggir jalan, dan ini ada pengepulnya, Penegakan hukum masih lemah, ada tambang ilegal dibiarkan saja. Pembiaran ini adalah maladministrasi oleh penyelenggara negara”. Ia juga menyatakan bahwa pertambangan ilegal ini telah merugikan negara lebih dari Rp. 4 Milyar pertahun dalam satu lubang tambang. Kerugian lainnya adalah pertambangan ilegal dapat merusak lingkungan dan kesehatan.

kondisi ini juga pernah disampaikan juga oleh  Kepala Dinas Pertambangan dan ESDM Provinsi Sumsel, Robert Heri. di Hotel Novotel Palembang, Kamis (25/10/2018).”Tambang batubara ilegal yang mayoritas dikelola oleh masyarakat umum masih marak di Sumsel”. ungkapnya

Menanggapi hal tersebut, Adrian Agustian Kepala Ombudsman Sumsel  memberikan respon positif. “Saya berterima kasih akan hasil temuan PINUS Sumsel mengenai pertambangan ilegal di sumatera selatan, hasil ini akan dijadikan referensi  dan menindaklanjuti rencana ke depan untuk segera mengambil tindakan dalam menyelesaikan kegiatan  Pertambangan Ilegal yang marak terjadi di Sumatera Selatan”.

Diskusi  ini merupakan rangkaian kegiatan sebelum melakukan kajian mengenai praktik pertambangan ilegal. Ombudsman akan meminta data dari berbagai kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sebelum ke lapangan. Dari hasil temuan lapangan kemudian akan disusun laporan untuk memberikan masukan kepada seluruh instansi terkait.

Lalu, apa langkah selanjutnya?

Usai diskusi yang digelar Rabu (20/06/2019) Pihak Ombudsman  akan menindaklanjuti.  Diantaranya akan membentuk tim investigasi untuk menyelesaikan permasalahan pertammbangan ilegal yang berada di sumatera selatan.

Dilarang Jalan Darat, Sungai Musi Terancam Angkutan Batubara?

  • Sejak 8 November 2018, Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel], Herman Deru, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Semua angkutan batubara yang melalui jalan umum di darat dilarang.
  • Kebijakan ini mendapat dukungan pemerintah maupun masyarakat di Kabupaten Muara Enim dan Lahat yang selama ini terganggu dengan angkutan batubara di darat melalui jalan umum.
  • Namun, tidak semua perusahaan batubara menggunakan jalan khusus atau kereta api. Ada yang menggunakan jalur air yakni melalui Sungai Musi.
  • Dikhawatirkan, angkutan batubara di Sungai Musi yang meningkat, memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem perairannya.

 

Sejak akhir 2018, Pemerintah Sumatera Selatan [Sumsel] melarang angkutan batubara menggunakan jalan umum. Larangan itu seharusnya mendorong perusahaan batubara mengakutnya melalui jalan khusus, atau kereta api. Ternyata, sebagian menggunakan jalur air atau sungai. Terancamkah Sungai Musi?

“Tambah coklat saja airnya, sejak banyak kapal tongkangnya. Kami kian sulit mendapatkan ikan. Tepian sungai juga erosi. Mungkin karena gelombang tongkang ukuran besar itu melintas. Tapi entahlah, kami orang kecil, tidak bisa apa-apa. Menerima saja,” kata nelayan yang dipanggil Mang Sin, saat mencari ikan di kawasan Pulokerto, Gandus, Palembang, Kamis [04/7/2019] lalu.

“Tidak tahu juga, yang jelas sejak tongkang batubara melintasi Sungai Musi, ikan kian sedikit. Kami juga takut agak ke tengah sungai, takut jaring atau perahu tertabrak tongkang. Semoga, ikan tetap banyak,” ujar nelayan dari Desa Arisanmusi, Kabupaten Muara Enim, yang tidak mau menyebutkan namanya. Desa Arisanmusi berada di tepian Sungai Musi.

Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, terhitung 8 November 2018, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Keputusan ini membuat pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lahat dan Muara Enim menjadi nyaman menggunakan jalan umum yang selama ini dipenuhi truk-truk yang mengangkut batubara.

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jalur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Namun, Sungai Musi juga digunakan sebagai jalur angkutan batubara dengan kapal tongkang besar. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

Terkait kebijakan tersebut, dikutip dari Korankito.com, Jonidi, yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim, mengimbau angkutan batubara di Lahat dan Muara Enim menggunakan kereta api atau jalan khusus.

Kebijakan itu akhirnya membuat perusahaan batubara mengalihkan angkutan ke sungai. Dikutip dari Palpos.id, pada 11 April 2019, Herman Deru menghadiri soft launching Transportasi Sungai dan Peresmian Terminal Batubara Muara Lawai, di Desa Muara Lawai Kabupaten Lahat, yang dibangun dan dikelola PT. Batubara Mandiri [BM], masuk Bima Citra Group.

“Ini adalah inovasi transportasi luar biasa, memindahkan trafik di darat ke air yang akan mengurangi lalu lintas harian di jalan raya. Kita sudah mengalami kepadatan jumlah kendaraan,” ungkapnya.

 

 

Tagboat yang setiap hari menarik tongkang yang mengangkut batubara di Sungai Musi. Foto: Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

Hentikan batubara

“Batubara itu energi kotor. Kotor dari hulu ke hilir. Dari menggali, mengangkut, hingga menghasilkan listrik. Mau di darat maupun di air, pasti memberikan dampak negatif pada lingkungan. Tumpahannya di sungai sangat jelas, mencemari ekosistem. Jadi wajar, jika banyak nelayan mengeluh populasi ikan terus berkurang,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, Jumat [05/7/2019].

“Menurut kami, sudah saatnya pemerintah beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan. Tinggalkan batubara,” ujarnya.

Selain berdampak pada lingkungan, tingginya aktivitas angkutan batubara di Sungai Musi, memungkinkan juga meningkatnya peristiwa tongkang batubara menabrak tiang jembatan.

“Jangan sampai tragedi tongkang batubara menabrak Jembatan Ampera terjadi terus. Ampera itu aset vital kita. Memang sekarang kebijakannya batas angkutan sungai hanya sampai sore, untuk menghindari tabrakan. Tapi frekuensinya tambah tinggi,” kata Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus [Pilar Nusantara], lembaga non-pemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel, Jumat [05/7/2019]. “Belum lagi tumpahannya ke Sungai Musi yang pasti berdampak pada biota air,” lanjutnya.

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, kapal tongkang batubara menabrak tiang Jembatan Ampera kali pertama 11 April 2005. Tongkang yang menabrak itu berbendera Singapura, bernama Topniche 7 Singapura. Meskipun tidak menyebabkan korban, namun menyebabkan kekacauan lalu lintas di Sungai Musi. Kejadian yang sama berulang hampir setiap tahun, baik terpantau media massa maupun tidak.

Bahkan, tiang pancang Jembatan Musi IV yang tengah dikerjakan juga menjadi sasaran ditabrak tongkang bermuatan batubara, sehingga pembangunannya sempat tertunda beberapa bulan. Peristiwa pertama pada 23 November 2016. Sebuah tongkang bermuatan 8 ribu ton batubara yang ditarik tagboat Surya Wira, menurut saksi mata, menghantam tiang-tiang penyangga proyek jembatan tersebut.

Nelayan yang semakin sulit mendapatkan ikan di Sungai Musi. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Pada 31 Maret 2017, peristiwa itu terulang. Sebuah tongkang bermuatan batubara menghantam 12 tiang pancang jembatan. Kali ini dampak terhadap jembatan yang direncanakan panjangnya 1.225 meter cukup parah. Satu tiang pancang tenggelam, enam tiang miring, tiga tiang goyang, dan dua tiang yang masih tegak. Peristiwa itu diduga karena tali pengikat tongkang dengan tagboat Tanjung Buyut putus, sehingga tongkang tidak terkendali.

“Terkait ancaman ini, tampaknya perlu regulasi tegas membatasi jumlah tongkang yang melalui bawah jembatan di Sungai Musi. Juga, tata cara pengangkutannya,” papar Rabin.

 

Sumber: Mongabay.co.id

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan