Pinus Sumsel Mengadakan Pembekalan Kepada Kader Pertambangan

Pinus sumsel- Mengadakan Pembekalan kepada kader-kader  yang terpilih untuk meningkatkan kualitas pelatihan kader berdasarkan dari hasil pelatihan pada 2-3 agustus 2018 kemarin .

“Ini merupakan bagian dari Program Pinus Sumsel sekaligus  strategi untuk memastikan keberlangsungan kegiatan kedepan untuk kader yang nantinya akan diterjunkan langsung di masyarakat wilayah pertambangan Sumatera Selatan. Diharapkan dengan kader yang lebih terlatih akan membawa kemanfaatan di tengah masyarakat secara khusus.

Titik tekan dalam pelaksanaan pembekalan kader ini agar kader mampu berjuang membangun masyarakat tambang khususnya. Selain itu, materi yang disampaikan lebih kepada penyadaran tentang keadilan gender dan analisis sosial.

Pada hari pertama kegiatan tersebut  disampaikan oleh pakar dibidang gender yaitu Ressy Tri mulyani, beliau menyampaikan materi-materi terkait hal-hal tentang keadilan Gender. bahwasanya keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

 

“Perlu diingat kalau kesetaraan gender di Indonesia tidak sama seperti di luar negeri. Kesetaraan gender di Indonesia tidak ingin menjadikan perempuan sebagai laki-laki maupun sebaliknya,” tuturnya.

“Ada batas-batas nilai kodrat dan norma yang harus tetap dipatuhi. Kodrat perempuan adalah hamil, melahirkan, dan menyusui. Sedangkan kodrat laki-laki adalah menghasilkan sperma. Di luar dari itu, seperti memasak dan bekerja, adalah peran yang bisa dilakukan keduanya.”

Beliau pun menegaskan jika pemberian fasilitas dan akses untuk perempuan ini pun bukan sebuah privilege. Melainkan, sebuah strategi untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak, yang kemudian berdampak pada kesejahteraan.

Pinus sebagai lembaga yang memfokuskan Pembangunan Sistem Informasi Pertambangan Minerba serta meningkatkan pelaporan untuk peningkatan partisipasi publik dalam pengawasn sektor minerba, berharap kegiatan setelah pembekalan ini selesai para kader dapat menjalankan sesuai yang dengan harapan.

Ke 5 Kader ini yang  nantinya akan live in selama 1 bulan di 2 desa yang terletak di Musi Banyuasin dan Muara Enim, dan melakukan pengorganisasian masyarakat diwilayah pertambangan Pertengahan Agusutus 2018 mendatang.

 

 

 

 

 

 

Pinus Menerbitkan Buku Pedoman Memahami Reklamasi dan Pascatambang

Proses dalam penambangan mau tidak mau akan merubah bentuk dan bentang alam dari sebelumnya.  Reklamasi dan pascatambang adalah salah satu upaya untuk meminimalisir perubahan alam dan lingkungan tersebut, serta memastikan lahan bekas tambang tetap mempunyai manfaat setelah operasi pertambangan selesai.  Untuk itu, pelaksanaan reklamasi dan pascatambang tambang harus melibatkan masyarakat secara aktif mulai dari perencaan, pelaksanaan dan pengawasan reklamasi dan pasca tambang.
Buku ini diterbitkan dengan tujuan untuk  memberikan pemahaman bagi  masyarakat, terkait reklamasi  dan pasca tambang.  Buku disertai  dengan bahasa dan gambar ilustrasi agar masyarakat pembaca dari berbagai latar belakang dapat memahami reklamasi dan pasca tambang secara mudah.  Dengan pemahaman tersebut, diharapkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan reklamasi dan pasca  tambang dapat meningkat.

 

Download Versi PDF nya disini.

Tumpahan Batubara di Pantai Lampuuk: Pemerintah Didesak Usut Tuntas, Perusahaan Harus Tanggung Jawab

Pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, merana. Pantai indah andalan pariwisata itu tercemar tumpahan batubara. Setidaknya 7.000 ton batubara yang diangkut kapal tongkang milik perusahaan pabrik semen PT Lafarge Cement Indonesia (LCI), mencemari pantai itu. Berbagai kalangan mendesak pemerintah segera mengusut tragedi ini dan anak perusahaan PT Holcim Indonesia harus bertanggung jawab segera menangani tumpahan batubara agar tak merusak laut lebih luas.

 

Henri Soebagio, Direktur Eksekutif Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) ditemui Mongabay di Jakarta, Senin (6/8/18) mengatakan, pemerintah harus merespon dengan dua hal. Pertama, memerintahkan perusahaan segera membersihkan tumpahan. Kedua, kalau tidak, pemerintah bisa melakukan dulu, lalu perusahaan harus membayar biaya yang keluar.

Dari segi hukum, katanya, sebetulnya UU 32 tahun 2009 memungkinkan pemerintah memberikan sanksi administratif untuk pemulihan. Atau bisa clean up dulu tanpa harus menunggu. Pemerintah clean up dulu, lalu meminta ganti kepada si pelaku,” katanya.

Guna menghindari hal serupa terjadi lagi–mengingat kejadian serupa sudah berulangkali–, katanya, tindakan tegas perlu dilakukan.

“Mulai bekukan izin, proses audit, pengawasan jalan, mana-mana saja yang belum dipenuhi si pelaku usaha itu diperintahkan memenuhi.”

 

Tongkang batubara ini terus melintasi Sungai Musi di tengah Kota Palembang. Beberapa kali tongkang batubara ini menabrak tiang Jembatan Ampera, termasuk tiang Jembatan Musi VI dan IV, yang menyebabkan pembangunan meleset dari target waktunya. Foto: Nopri Ismi

 

Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengatakan, ada dua hal perlu digarisbawahi dari tragedi batubara tumpah di pesisir pantai ini. Petama, kecelakaan laut yang kemungkinan besar karena ketidaklayakan kapal. Kedua, ada pengabaian informasi BMKG soal keselamatan dan keamanan pelayaran. Apalagi, katanya, jalur yang dilalui tongkang ini berhadapan langsung dengan laut lepas.

Dia bilang, ada indikasi pelanggaran UU Pelayaran, baik sengaja oleh perusahaan pengoperasi maupun syahbandar di pelabuhan. Untuk itu, katanya, perlu investigasi mendalam oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) agar penyebab kecelakaan laut dan oknum terlibat bisa proses hukum berlaku.

Dia bilang, ada pelanggaran UU Lingkungan Hidup dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Bentuk pelanggarannya, kata Halim, sengaja maupun tidak menyebabkan pencemaran laut atau kerusakan ekosistem pesisir atau laut.

“Berkaitan dengan ini, masyarakat terdampak bisa mengajukan gugatan terhadap perusahaan dan pemerintah atas kelalaian yang ditimbulkan.”

Guna mengatasi dampak lebih buruk terhadap ekosistem pesisir, katanya, Bupati Aceh Besar bisa pembersihan untuk meminimalisasi dampak negatif lebih luas dari tumpahan batubara itu.

“Upaya ini bisa dengan mendesak komitmen perusahaan agar bertanggung jawab penuh, baik membiayai ongkos pembersihan pantai hingga pemulihan ekosistem maupun bertanggung jawab di mata hukum atas kelalaian aktivitas usaha mereka,” katanya.

Ariefsyah Nasution, Pengkampanye Laut Greenpeace Indonesiamenyesalkan tumpahan batubara dari tongkang yang akan mensuplai muatan ke LCI ini.

“Kami mendukung gerakan masyarakat sipil di Aceh mendesak pimpinan perusahaan termasuk pemerintah menuntaskan investigasi penyebab utama insiden serta prioritas pemulihan lingkungan,” katanya.

LCI, katanya, harus bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan. sosial dan ekonomi yang terjadi. Selain itu, keberadaan dan operasi pabrik semen perlu evaluasi kembali dengan serius dan menyeluruh. “Ini harus jadi bagian evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan dan operasional perusahaan.”

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara menyayangkan peristiwa ini. Menurut dia, Lhokga merupakan pantai berpasir putih yang luar biasa indah, dan tempat nelayan sandar.

“Bisa dibayangkan pencemaran dan berapa banyak biota laut maupun terumbu karang rusak.”

Dia bilang, terumbu karang perlu sekitar 60 tahun untuk bisa tumbuh kembali dengan baik. “Artinya sudah berapa banyak karbon lepas karena pencemaran ini?”

Belum lagi, katanya, biota yang tercemar dan mati. Belum lagi, kala biota laut tercemar dan jadi konsumsi manusia.

Sebenarnya, kata Susan, pencemaran seperti ini sering terjadi. Tahun lalu di Teluk Balikpapan. Sanksi dan hukuman kepada pelaku pencemaran pun cenderung lemah dan tak memberi efek jera. Paling hanya ganti rugi, atau denda.

“Padahal yang dirusak kehidupan nelayan dan biota di laut. Seharusnya negara berani mencabut izin. Negara baik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemenko Maritim, harus tegas.”

Tidak hanya terumbu karang yang rusak, biota laut juga menjadi korban akibat tumpahan batubara ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 mendorong negara menjamin hak konstitusional nelayan, salah satu hak mendapatkan pesisir yang bersih dan sehat. “Jadi negara harus tegas. Ini soal laut dan hidup nelayan.”

Hingga kini, katanya, laut masih jadi tempat sampah besar mengalirkan limbah industri seperti tambang. Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, kurun 1998-2017, diperkirakan terjadi 37 kasus tumpahan minyak di perairan Indonesia.

Dia sebutkan, pencemaran perairan Timor di Nusa Tenggara Timur tahun 2016 karena ledakan ladang minyak di blok Atlas Australia milik Petroleum Authoritu of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP). “Sampai kini kerugian ekologis karena pencemaran belum dipulihkan.”

Kasus lain, pada 2017 di Teluk Bayur, Kota Padang, Sumatera Barat terjadi tumpahan minyak sawit mentah 50 ton milik PT Wira Inno Mas. Ia berdampak pada biota laut dan menyulitkan nelayan tradisional di wilayah itu. Juga kasus pencemaran laut di pesisir pantai Indonesia karena pembangunan PLTU.

Sampai 2017, Kiara mencatat ada 979 desa pesisir mengalami pencemaran air. Sebanyak 204 desa pesisir mengalami pencemaran tanah dan 1.257 desa alami pencemaran udara. Sumber pencemaran, katanya, sebagian besar dari pabrik atau perusahaan-perusahaan yang eksplorasi sumber daya laut dan pesisir.

“Berbagai pencemaran yang selama ini terjadi menurunkan kualitas perairan di Indonesia. Tak hanya merusak ekosistem, juga mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari sumber daya laut dan pesisir,” kata Susan.

Keterangan foto utama:Batubara yang diangkut kapal tongkang sebanyak 7 ribu ton dari Palembang ini, berceceran di pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (01/8/2018). Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sumber : Mongabay

oleh di 7 August 2018

 

 

Pinus Mengadakan Pelatihan Bagi Masyarakat Sipil untuk Memahami Reklamasi dan Pascatambang di Sektor Minerba

Reklamasi dan pascatambang merupakan kegiatan penting dalam pertambangan untuk memastikan pengembalian lahan sebagaimana peruntukan awalnya sebelum lahan ditambang. Dalam hal ini, kegiatan reklamasi dan pascatambang menjadi penting untuk meminimalisir dampak pertambangan terhadap lingkungan. Fungsi reklamasi adalah untuk meminimalisir dampak pertambangan terhadap lingkungan, antara lain ditujukan untuk pencegahan erosi atau mengurangi kecepatan aliran air limpasan dari pertambangan, serta menjaga lahan agar tidak labil dan produktif. Dalam Permen ESDM No. 07 tahun 2014 tentang pelaksaan reklamasi dan pascatambang pada kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK yang telah menyelesaikan kegiatan studi kelayakan wajib menyusun rencana reklmasi tahap operasi produksi dan rencana pascatambang berdasarkan dokumen lingkungan hidup yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Serta harus memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana yang tertuang dalam permen tersebut. Seperti perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pertambangan serta keselamatan dan kesehatan kerja. Jika suatu kegiatan pertambangan tidak direklamasi dapat berdampak bagi perubahan penampakan bentang alam. Lahan yang dulunya hutan, perbukitan, perkebunan atau pertanian, berubah tanpa vegetasi dan dipenuhi lubang.

Untuk menjamin reklamasi dan pascatambang dilaksanakan, Perusahaan yang melakukan eksplorasi wajib menyediakan jaminan reklamasi dan pascatambang sebagai jaminan perbaikan lingkungan atas lahan yang terganggu akibat aktivitas pertambangan. Penempatan jaminan reklamasi harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari kalender sejak rencana reklamasi di setujui. Namun pada kenyataannya masih sekitar 50% perusahaan di Indonesia yang baru menempatkan jaminan reklamasi dan pascatambang. Padahal perusahaan tersebut sudah menjalankan kegiatan Operasi Produksi. Belum lagi untuk perusahaan yang IUP nya telah dicabut yang ternyata belum menempatkan dana jaminan reklamasinya.

Hal ini menjadi perhatian kita bersama untuk melakukan pengawasan dalam reklamasi dan pascatambang dalam bentuk partisipasi masyarakat. Dengan adanya Pelatihan ini diharapkan adanya pengetahuan yang lebih dalam mengenai peran partisipasi masyarakat
dalam melakukan pengawasan reklamasi dan pascatambang. Untuk itu kami bermaksud mengadakan “Pelatihan Untuk Masyarakat Sipil Untuk Memahami reklamasi dan pascatambang di Sektor Minerba”.

 

Menindaklanjuti Program Pinus yaitu untuk membangun sistem informasi pertambangan minerba dan membuat sistem pelaporan untuk peningkatan partisipasi publik dalam pengawasan Sektor Minerba, pada tanggal 2-3 Agustus Pinus mengadakan Pelatihan Reklamasi untuk masarakat sipil yang di ikuti oleh kader-kader yang sudah terpilih melalui tahap seleksi, peserta yang mengikuti pelatihan berjumlah 15 orang diantaranya mahasiswi UNSRI , MHI Sumsel, Walhi Sumsel, Haki, LBH Sumsel, Serikat Perempuan Sumsel, Lingkar Hijau, dan Perwakilan Masyarakat tambang.

 

Pada kegiatan tersebut dihadiri oleh kepala bagian teknik dan Penerimaan DESDM Provinsi Sumatera Selatan yaitu  Dr. Ir Aries Syafrizal., M.Si. Beliau menyampaikan beberapa materi dan konsep-konsep dasar reklamasi yang mengacu pada UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara bahwa  Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

Kenapa harus melakukan reklamasi?

Reklamasi merupakan suatu usaha untuk memperbaiki lingkungan hidup. Pertambangan di Indonesia sudah ada dimana-mana. Setelah selesai melakukan kegiatan pertambangan, kegiatan ini akan meninggalkan lubang besar dan kerusakan lingkungan hidup di sekitarnya karena bekas galian dan zat-zat kimiawi serta lahan tandus. Hal tersebut sangat berdampak negatif, oleh karena itu dibutuhkan reklamasi, agar bekas galian tambang dapat diperbaiki bahkan difungsikan

Perusahaan pertambangan wajib untuk melakukan pemulihan kawasan bekas pertambangan dan telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

  1. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan:

Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang Kuasa Pertambangan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat sekitarnya.

  1. Pasal 46 ayat (4) dan (5) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969t:

Sebelum meninggalkan bekas wilayah Kuasa Pertambangannya, baik karena pembatalan maupun karena hal yang lain, pemegang Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu melakukan usaha-usaha pengamanan terhadap benda-benda maupun bangunan-bangunan dan keadaan tanah di sekitarnya yang dapat membahayakan keamanan umum.

Regulasi diatas menjadi pijakan untuk melakukan perbaikan lingkungan pasca tambang sehingga dampak kerusakan lingkungan bahkan sosial dapat diminimisasi. Prosedur teknis reklamasi tambang hingga penutupan tambang juga telah disiapkan secara jernih oleh pemerintah. Ketentuan reklamasi diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.

Hal-hal yang mesti diperhatikan selama pengerjaan reklamasi adalah sebagai berikut:

  1. Reklamasi wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan terganggu, yang meliputi:
  2. Lahan bekas tambang
  3. Lahan di luar bekas tambang. Lahan bekas tambang seperti timbunan tanah penutup (overburden), timbunan bahan baku/produksi, jalur transportasi, pabrik/instalasi pengolahan/pemurnian, kantor dan perumahan, pelabuhan/dermaga.

Reporting pelaksanaan reklamasi itu dilaporkan ada Menteri, Gubernur hingga Walikota atau Bupati. Penilaian keberhasilan ditentukan oleh pemerintah. Apabila dari hasil penilaian menunjukkan fakta terbalik maka pemerintah dapat menunjuk pihak ketigas untuk melaksanakan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi oleh pihak lain ini dilakukan dengan memanfaatkan Jaminan Reklamasi.

Pada pelatihan tersebut juga dilanjutkan dengan sesi ke 2 yang  diisi oleh Inspektr Pertambangan ESDM Provinsi Sumatera Selatan yaitu Wendy Binur S.T, beliau memaparkan beberapa tugas pokok inspektur pertambangan. Inspektur tambang adalah pihak yang berwenang untuk mengawasi kegiatan operasional perusahaan pertambangan dan memberi sanksi kepada perusahaan tambang bila terjadi pelanggaran. “Kewenangan inspektur tambang adalah mengawasi tambang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang berizin yang legal,” ujar Wendy Binur.

Agenda Hari ke-2 Kunjungan Peserta Pelatihan ke PT. Bukit Asam Muara Enim

Pinus juga mengunjungi PT. Bukit Asam Muara Enim, Kegiatan ini merupakan agenda  Pinus beserta peserta pelatihan mengunjungi PT. Bukit Asam. Sebagai perusahaan pertambangan plat merah, PT Bukit Asam (Persero), Tbk. memiliki andil besar dalam menyukseskan program Nawa Cita yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menuju perubahan Indonesia yang lebih berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi. Bukit Asam terus berupaya untuk meningkatkan kinerja serta kesejahteraan karyawan maupun masyarakat di sekitar perusahaan melalui visi dan misi sebagai perusahaan energi kelas dunia yang peduli lingkungan.

Sejurus dengan program yang sedang di jalankan oleh Presiden Jokowi dan JK, Bukit Asam mempunyai harapan besar agar visi-misi perusahaan yang dijalankan dapat terus berkembang, mampu memajukan perusahaan, serta kinerja perusahaan dapat terus meningkat.

“Sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih besar pula kepada negara dan masyarakat sekitar kehidupan masyarakat sekitar dapat terjamin dan sejahtera dengan berpegang nilai-nilai yang ada pada perusahaan. ujar M Sobri.

Kunjungan Ke Lapangan

Satu jam berlalu para peserta diajak menuju ke tempat penanaman pohon di areal pasca tambang PT. Bukit Asam (persero), Tbk, sampai di areal pasca tambang, ke 15 peserta tersebut diberikan pengarahan dan contoh bagaimana PT. Bukit Asam Melakukan tahap reklamasi pascatambang. di Areal tersebut banyak beberapa contoh tanaman yang cocok untuk di tanam di lahan area pasca tambang, sehingga dengan demikian hal tersebut dapat diikuti oleh seuruh perusahaan pertambangan se Indonesia khususnya Sumatera selatan.

kembali pada tujuan pelatihan ini, pinus mengharapkan kepada 15 peserta tersebut memahami tahapan-tahapan yang sudah di berikan pemahaman selama kegiatan berlangsung dan dapat memberikan kontribusi untuk masyarakat sipil pada kegiatan selanjutnya.

 

Pemerintah Kaji Pungutan Ekspor Batu Bara

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan pemerintah tengah mengkaji alternatif menjaga keuangan PT PLN (Persero) sebagai pengganti jika penetapan harga khusus batu bara domestik dicabut. Salah satunya adalah pemberlakuan pungutan ekspor batubara. Nantinya, penambang yang menjual batubaranya ke luar negeri wajib menyetor sejumlah uang jika harga batubara melewati batas yang ditentukan pemerintah.

“Besaran pungutannya tergantung. Sekarang harga di Newcastle (Coal Price Index) US$ 125 per ton. Nanti ada kalorinya berapa, kami hitung,” ungkap Luhut di kantornya, Senin 30 Juli 2018.

Luhut irit berbicara soal detil opsi ini. Soalnya, kata dia, rencana tersebut masih dalam pembahasan bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PLN. Dia optimistis kebijakan nantinya akan menguntungkan semua pihak.

Dia pun tak bisa memastikan apakah pencabutan harga khusus batubara berlaku dalam waktu dekat. “Kami belum lihat tahun ini. Tapi bisa saja nanti kalau perhitungan tuntas kami bisa pertimbangkan,” tutur dia.

Luhut mengemukakan pencabutan harga khusus bertujuan untuk menambah pendapatan negara. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, regulasi harga batubara domestik membuat negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 6 triliun tahun ini. Sementara, pemerintah tengah mencari segala cara untuk menekan defisit neraca perdagangan.

Pengusaha batubara menyambut positif perubahan skema ini. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, pungutan ekspor adalah solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. Sebab, PLN tetap mendapatkan dana untuk menekan biaya produksi setrum. Sedangkan pengusaha tetap bisa beroperasi dengan jaminan harga batubara yang ditentukan pasar.

Hendra mengemukakan pembatasan harga terbukti sulit dilaksanakan. Banyak penambang belum bisa memasok batubara karena tak cocok dengan standar milik PT PLN (Persero) sebagai pembeli. Pembangkit batubara PLN hanya mampu menerima batubara dengan Spesifikasi 4.000-5.000 kalori per gram. Padahal, penjual harus memenuhi kuota DMO sesuai dengan kewajiban pemerintah. Jika tak mencapai kuota, pemerintah bakal memangkas batas produksi batubara penambang di tahun berikutnya.

Kementerian Energi sebenarnya membolehkan penambang melakukan transfer kuota. Artinya, penambang yang tidak menjual batubara sesuai kewajiban bisa membeli kuota dari perusahaan yang memiliki persentase produksi berlebih. Namun surat itu tak membuat masalah beres. Sebab, banyak penambang yang keberatan harus membeli kuota dengan harga yang mahal.

“Banyak perusahaan yang sudah melaporkan kesulitan memasok batubara karena kebijakan ini,” ungkap Hendra.

Asosiasi nantinya akan menghelat kajian lanjutan untuk skema pungutan ekspor. Bisa saja, kata Hendra, dana nantinya dikelola oleh lembaga khusus. Skemanya seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang mengelola setoran ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO).

“Kami akan mengkaji detil arahnya dan dari pemerintah maunya bagaimana,” tutur Hendra.

Meski begitu, Hendra memberi catatan bahwa asosiasi menginginkan kebijakan khusus batubara domestik hanya berlaku hingga tahun depan. Sebab, ini sesuai dengan komitmen pemerintah menahan tarif listrik sampai 2019.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono mengakui masih ada penambang batu bara yang belum melaksanakan kewajibannya. Pemerintah saat ini juga sulit menghukum perusahaan yang melanggar. Sebagian besar di antaranya adalah penambang kecil yang mengantongi izin dari pemerintah provinsi. Namun, kata Bambang, hal itu bukan satu-satunya alasan pemerintah untuk membatalkan kebijakan. “Penambang memang ada yang memenuhi dan ada yang tidak. Tapi belum ada rencana itu (penghapusan harga khusus batubara)” tutur dia.
Sumber : Tempo.co

Reporter: Robby Irfany

Editor: Ali Akhmad Noor Hidayat

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan