Pembangunan Rendah Karbon Harus Jadi Perhatian Capres-Cawapres

  • Dalam visi misi maupun perbincangan kedua kubu capres-cawapres belum ambisius menyikapi ancaman ranjau pemanasan global yang akan mempengaruhi semua warga
  • Kebijakan publik terkait perubahan iklim harus selaras dan sejajar satu dengan yang lain secara lintas sektor dan isu, dalam dan antar kementerian atau lembaga serta pusat maupun daerah
  • Bahasan para capres-cawapres masih belum menyentuh pada pemahaman lingkungan yang penting dalam upaya pembangunan rendah karbon. Konsep pembangunan rendah karbon pun belum menjadi dasar kuat dalam rencana pembangunan yang tertuang dalam visi-misi kedua kubu
  • Pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon, setidaknya mempertimbangkan tiga aspek utama, yakni, pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, kelestarian lingkungan tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat terjadi dengan mengecilkan kesenjangan sosial.

Laporan soal perubahan iklim terbitan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/ IPCC) akhir 2018, belum menjadi perbincangan kedua calon presiden dan wakil yang akan bertarung pada Pilpres 2019. Pada 17 Februari ini, Komisi Pengawas Pemilu (KPU) adakan debat capres edisi kedua dengan tema, energi, lingkungan, sumber daya alam, infrastruktur dan pangan. Berbagai kalangan menekanan, soal perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon menjadi perhatian para capres-cawapres.

Sonny Mumbunan dari Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia mengatakan, dalam visi misi maupun perbincangan kedua kubu capres-cawapres belum ambisius menyikapi ancaman ranjau pemanasan global yang akan mempengaruhi semua warga.

Dia mengatakan, siapapun yang terpilih jadi presiden mau tak mau akan menghadapi tantangan waktu 12 tahun yang disebut dalam laporan IPCC. Ia merupakan batas waktu bumi menuju pemanasan global pada 1,5 derajat celcius.

“Laporan IPCC mengandung sejumlah perihal penting yang akan memperngaruhi makhluk hidup, dan menentukan perikehidupan manusia serta pengorganisasian masyarakat dunia dan Indonesia masa datang,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Selasa (13/2/19).

Indonesia, sudah meratifikasi Persetujuan Paris pada 2016 dengan sebuah UU. Indonesia juga telah menyampaikan niat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca melalui National Intended Contribution (NDC).

Dalam laporan itu disebutkan, dengan tingkat kepercayaan tinggi pemanasan akan mencapai 1,5 derajat celcius antara 2030 dan 2052, sekitar satu dekade dari sekarang. Kalau pemanasan terus berlangsung dengan laju saat ini, dibanding suhu pra-industri, kegiatan-kegiatan manusia ditaksir menyebabkan pemanasan global antara 0,8 hingga 1,2 derajat celcius.

“Bukan akan kiamat seperti yang disampaikan beberapa pihak, ibarat berjalan dengan ranjau, jika ini dibiarkan ranjau akan makin banyak, Karena itu perlu adaptasi,” kata Sonny.

Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Thamrin School-sebuah inisiatif multipihak mendorong pemikiran kritis dan progresif tentang tata kelola sumber daya alam, lingkungan dan perubahan iklim. Mereka memberikan sejumlah rekomendasi kepada calon presiden dan wakil presiden mempertimbangkan laporan IPCC.

Rekomendasi ini penting mengingat risiko-risiko laju pemanasan global bisa muncul dalam berbagi konteks, kepulauan, keragaman hayati dan ekosistem, ketahanan pangan, kesehatan, kebencanaan, infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi.

Rekomendasi ini disusun setelah diskusi mendalam sejumlah pakar, pembentuk opini antara lain Edvin Aldrian dari BPPT–ikut menyusun laporan IPCC–, Sonny Mumbunan (RCCC UI), Alan F Koropitan (Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB), Herry Purnomo (Cifor), Nur Hidayati (Walhi), Ari Mochamad (Thamrin School). Lalu, Briggitta Isworo (Harian Kompas), Vanny Narita (ALMI), Jay Fajar (Mongabay Indonesia), Agus Sari (Landscape Indonesia), Dewi Suralaga (CLUA), Togu Manurung (Departemen Hasil Hutan IPB), Januar Dwi Putra (Satgas 155), Asclepias Rachmi (IIEE), Irvan Pulungan (TGUPP Jakarta), Jalal (A+ CSR Indonesia), Hizbullah Arif (Hjauku.com), Mohammad Fadl (APIK) dan Arina Apriyana (WRI).

Menariknya, tim diskusi ini juga melibatkan rohaniawan Victor Rembeth juga pegiat kebencanaan. Kehadiran rohaniawan, kata Sonny, penting sebagai elemen paling dekat dan langsung berhubungan dengan masyarakat. Saat ini, sudah disusun materi khutbah Jum’at dengan tema adaptasi perubahan iklim. Selain itu, ada juga perwakilan tim sukses kedua paangan calon presiden dan wakil presiden.

Kebakaran gambut terjadi di kebun sawit di Dusun Benuang, Desa Teluk Nilap, Kecamatan Kubu Darussalam, Rokan Hilir. Di dusun ini sedikitnya 14 rumah dan sejumlah kendaraan roda dua hangus terbakar pada pekan lalu. Hingga Jumat lalu, api masih berkobar. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Mereka yang punya pendekatan masing-masing dengan isu perubahan iklim diminta mengemukakan tiga poin penting yang harus dilakukan Indonesia terkait laporan IPCC. Poin-poin ini kemudian dikerucutkan jadi 17 poin utama, antara lain, pertama, Indonesiakan laporan IPCC. Dampak pemanasan global dan keperluan menstabilkan iklim dalam laporan IPCC perlu disesuaikan dengan konteks Indonesia.

Contoh, bagaimana arti emisi gas rumah kaca tetap tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, dan kejadian bencana alam di Indonesia.

“Atau apa makna stabilisasi iklim global bagi industri dan komoditas penting Indonesia seperti batubara dan sawit?”.

Kedua, perjelas terjemahan dan penilaian NDC Indonesia. Target NDC Indonesia perlu dijabarkan rinci di dalam negeri. NDC terkait upaya menerjemahkan laporan IPCC dan hasil riset ilmiah ke dalam kehidupan sehari-hari hingga level operasional di pemerintahan baik dari segi konten maupun dari segi pertanggungjawaban di lapangan.

“Turunan NDC jelas dan kongkrit perlu untuk menyelarakan kebijakan perubahan iklim kita.”

Ketiga, penjajaran dan penyelarasan perencanan pembangunan terkait perubahan iklim di pusat dan daerah.

Lalu rekomendasi lain dari tim ini terkait integrasi dan koordinasi pembangunan yang sepadan dengan perubahan iklim.

“Penyusunan rencana pembangunan nasional berupaya rendah karbon sekaligus mendorong integrasi dan koordinasi seperti aksi Bappenas dalam RPJMN. Ini perlu diapresiasi,” katanya.

Integrasi sektoral, katanya, soal data dan informasi seperti data curah hujan dari BMKG terintegrasi dengan data Kementerian Kesehatan untuk pencegahan wabah demam berdarah.

Asclepias Rachmi dari Indonesia Institute for Energy Economics (IIEE) mengatakan, kebijakan publik terkait perubahan iklim harus selaras dan sejajar satu dengan yang lain secara lintas sektor dan isu, dalam dan antar kementerian atau lembaga serta pusat maupun daerah.

“Perlu dibuat semacam matriks yang menampilkan peran dan sumbangan tiap-tiap sektor,” kata Rachmi.

Saat ini, setidaknya ada empat perencanaan daerah soal sektor energi. Pertama, ada rencana aksi daerah (RAD) untuk penurunan emisi gas rumah kaca. RAD ini sudah mulai sejak 2014 dan dilaporkan setiap tahun.

Pada 2017, setelahkaji ulang ada kesenjangan pada pemerintahan provinsi. “Pemerintah provinsi sudah diminta menyesuaikan kembali.”

Kedua, rencana umum energi daerah (RUED), baru berjalan dua tahun. Ia perlu dapat perhatian, apakah RUED dan rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca sudah selaras.

Ketiga, ada rencana umum kelistrikan daerah. “Ini belum terlalu jelas bagaimana kaitan dengan RUED dan RAN penurunan emisi gas rumah kaca.”

Keempat, ada sustainable development goals (SDGs) poin ke-tujuh untuk energi bersih.

Laporan IPCC menyiratkan perubahan cukup mendasar dan cepat dalam cara menangani perubahan iklim dan kemungkinan dampak risiko. Karena itu, kata Sonny, perlu ada transformasi pengorganisasian ekonomi dan masyarakat.

Pengembangan ekonomi hijau, katanya, perlu ada transisi agar menggantikan penyerapan kerja yang bergantung fosil dan ekonomi tinggi karbon.

“Perubahan iklim harus jadi persoalan pribadi sekaligus perkara publik.”

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Pembangunan rendah karbon

Tjokorda Nirarta Samadhi, Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia mengatakan, bahasan para capres-cawapres masih belum menyentuh pada pemahaman lingkungan yang penting dalam upaya pembangunan rendah karbon. Bahkan, konsep pembangunan ini belum menjadi dasar kuat dalam rencana pembangunan yang tertuang dalam visi-misi kedua kubu.

”Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang dihitung makro, belum memasukkan koreksi-koreksi keterbatasan lingkungan,” katanya.

Untuk itu, katanya, pada calon pemimpin Indonesia, diharapkan memiliki pemahaman mendasar bagaimana mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan peka lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan dan rendah karbon, kata Koni, sapaan akrabnya, pada dasarnya mempertimbangkan tiga aspek utama, yakni, pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, kelestarian lingkungan tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat terjadi dengan mengecilkan kesenjangan sosial. “Ketiganya menjadi bagian yang saling berjalan beriringan.”

Koni contohkan, angka produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2010 sebesar Rp6.422 triliun. Angka ini belum memperhitungkan penipisan dan kerusakan sumber daya alam, Rp635 triliun. Dengan ada degradasi sumber daya alam itu, seharusnya GDP Indonesia terkoreksi jadi Rp5.787 triliun.

Menurut dia, perlu ada strategi pertumbuhan berkelanjutan inklusif. ”Faktor pendorong, inovasi dan kelestarian.”

Adapun makna ‘lestari,’ katanya, berarti transisi menuju pembangunan rendah karbon. Kota dengan masyarakat bergerak mudah, berudara bersih dan produktif. Juga, produktivitas sumber daya alam, lahan dan hutan kaya keragaman hayati, berinvestasi pada sumber daya manusia serta memperkuat komunitas.

Hingga kini, pemerintah belum menerbitkan peraturan presiden soal perencanaan pembangunan rendah karbon. Aturan ini bisa membantu pemerintah periode selanjutnya mengimplementasikan pembangunan rendah karbon melalui RPJMN.

Sejauh ini, Kementerian Bappenas sedang merancang aturan pembangunan rendah karbon berlandaskan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Melalui upaya itu, katanya, akan ada skenario kebijakan lintas sektor dalam melihat kemungkinan-kemungkinan mencapai target pembangunan yang bisa mengurangi dampak negatif bagi lingkungan, namun tetap menjamin pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan.

”Implementasi pembangunan rendah karbon pun perlu terintegrasi lintas kementerian dan lembaga, pemerintah pusat hingga daerah. Jadi, Kementerian Dalam Negreri memegang peranan kunci dalam pembangunan rendah karbon ini,” katanya.

Koni pun mengingatkan, berdasarkan hasil pertemuan IPCC menuntut langkah agresif. Dia katakan, dalam laporan itu ada skenario drastis, misal, berhenti menggunakan batubara.

”Apakah ini realistis? Mungkin jika berhenti sama sekali tidak realistis. Transisinya seperti apa, itu tantangan berat dalam bentuk kebijakan pembangunan,” katanya.

Kini, porsi energi terbarukan sekitar 12% dari target 23% pada 2025. Capaian itu, katanya, cukup baik mengingat saat ini Indonesia masih sangat bergantung energi batubara.

”Pembangunan kita harus diatur sedemikian rupa, supaya tidak banyak mengandalkan energi fosil, mengelola lahan dan hutan dalam tata kelola jauh lebih ketat,” katanya.

Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan IKlim Walhi Nasional menyebutkan, kedua paslon tak berani berbicara visi-misi energi kotor menuju energi bersih. Meski ada komitmen energi terbarukan, namun masih belum jelas ingin berbuat seperti apa padahal transisi energi perlu waktu lama.

“Hal inilah yang penting lebih dahulu dibahas, dibandingkan bicara komitmen energi terbarukan, berupa bioethanol dan biofuel.”

Baik Yuyun maupun Koni, meyakini, transparansi skenario rencana enegi Indonesia ini jadi kunci. “Misal, skenario gunakan batubara. Barangkali itu pilihan benar. Tapi kita kan tidak tahu dan tidak diberitahu pemerintah alasan-alasan yang mendasari mengapa ini dipilih,” katanya.

Ketika hal ini jelas bagi publik, masyarakat pun dapat mempertimbangkan pilihan itu masuk akal atau tidak.

 

Begini hutan adat Kinipan, setelah pembukaan untuk kebun sawit perusahaan. Hutan bertutupan bagus, terbabat jadi kebun monukultur, apakah itu pembangunan rendah karbon? Foto: dokumen Laman Kinipan

Masalah lingkungan

Sementara, Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia Jumat (15/2/19) mengatakan, dalam debat kedua capres harus menunjukkan komitmen kuat mengatasi berbagai permasalahan lingkungan.

“Hal yang menentukan hajat hidup bangsa Indonesia ke depan justru banyak ditentukan bagaimana kualitas lingkungan membaik atau merosot,” katanya.

Dia meminta, kedua paslon menunjukkan komitmen menindak kejahatan korporasi di sektor lingkungan.Dia contohkan, kasus kebakaran hutan dan lahan 2015 yang menyeret korporasi, setidaknya 11 kasus perdata—sudah vonis hukum—dengan total harus membayar Rp18,9 triliun tetapi belum eksekusi.

“Kami ingin mengingatkan kepada siapapun nanti presiden dan wakil, bisa tegas jalankan eksekusi hukum.”

Dia bilang, kerugian hutan, lingkungan, dan kekaragaman hayati karena korporasi sangat masif. Kerusakan lingkungan ini, katanya, mengancam ratusan ribu bahkan jutaan orang.

Selain itu, katanya. kedua pasangan capres dan cawapres seharusnya memiliki solusi konkrit menghentikan karhutla dan menegakkan hukum.

Ririn Sefsani, Team Leader Human Rights Defender Kemitraan mengatakan, pembahasan dalam debat kedua merupakan hal penting karena tema usungan akar dari hajat hidup orang.

Dahniar Andriani, Direktur Eksekutif Perkumpulan HuMa mengatakan, ketika membahas mengenai isu lingkungan tak lepas dari isu masyarakat adat. Pengakuan, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat atas sumber daya alam dan agraria harus dengan keseriusan kuat kedua pasangan capres cawapres.

Berdasarkan catatan HuMa, hingga Desember 2018, terjadi 326 konflik sumberdaya alam dan agraria. Konflik di 158 kabupaten kota pada 32 provinsi dengan luas 2.101.858,221 hektar. Ia melibatkan 286.631 jiwa korban, terdiri 176.337 masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal.

Khalisah Khalid, Koordinator Deivisi Politik Walhi Nasional mengatakan, debat putaran kedua menantang kedua capres menunjukkan komitmen menyelesiakan sengkarut sumber daya alam dan lingkungan.

Dalam pengelolaan sumber daya alam, katanya, seringkali terjadi pelanggaran hukum dan perundang-undangan. Ia juga erat kaitan dengan pengabaian bahkan penyingkiran masyarakat adat.

Korporasi, katanya, seringkali membonceng proses demokrasi termasuk politik elektoral, modus mereka salah satu melalui obral perizinan.

“Persoalan ini harus berani diselesaikan kedua paslon. Perlu keberanian untuk memulihkan lingkungan.”

Hal lain yang luput perhatian adalah mengenai komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% atas usaha sendiri dan 41% jika ada bantuan internasional dalam Paris Agreement.

“Kedua pasangan capres cawapres harus memperhatikan dan melanjutkan komitmen ini untuk menjaga kepentingan dan kepercayaan rakyat.”

 

Keterangan foto utama: Pembangunn harusnya jaga mangrove bukan merusak. Masyarakat di Kampung Beting, Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, menanam mangrove, demi memperbaiki kondisi lingkungannya. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Sumber: Mongabay.co.id

 

Sekolah Kelapa Sawit Didirikan di Musi Banyuasin. Kenapa Bukan Pendidikan Konservasi Diutamakan?

  • Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menginisiasi lahirnya Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Kelapa Sawit Muba Maju Berjaya dan Program Studi D3 Budidaya Kelapa Sawit dan Teknologi Pengelolaan Kelapa Sawit di Politeknik Sekayu. Februari 2018, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan [Menko PMK] Puan Maharani dan Mendikbud Muhadjir Effendi melakukan peletakan batu pertama pembangunannya dan Mendikbud akan melaporkan hal ini ke Presiden Jokowi.
  • Alasan didirikan SMK Kelapa Sawit Muba Maju Berjaya karena komoditi utama perkebunan di Kabupaten Muba adalah kelapa sawit. Luasannya mencapai 340 ribu hektar, yang sekitar 70 persen dikelola perusahaan dan 30 persen oleh masyarakat.
  • Dinas Pendidikan Sumatera Selatan akan menerapkan kurikulum kelapa sawit pada 25 SMK Pertanian di Sumsel. Dukungan disampaikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit [BPDP-KS] kepada pemerintah Kabupaten Muba.
  • Pegiat lingkungan meminta, Pemerintah Kabupaten Muba tidak mendorong lahirnya sekolah perkebunan sawit tersebut. Seharusnya, yang dikembangkan adalah sekolah berbasis pertanian dan pendidikan konservasi, sesuai karakter masyarakat Sumatera Selatan. Banyak persoalan yang belum terselesaikan akibat aktivitas perkebunan sawit, seperti konflik lahan

 

Ditengah kecaman berbagai pihak terkait perkebunan kelapa sawit, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, justru menggagas lahirnya Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Kelapa Sawit yang terintegrasi dengan Politeknik Sekayu. Apakah ini mampu menyelesaikan berbagai persoalan terkait aktivitas perkebunan sawit?

Awal Februari 2018, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan [Menko PMK] Puan Maharani dan Mendikbud Muhadjir Effendi melakukan peletakan batu pertama pembangunan SMK Kelapa Sawit Muba Maju Berjaya.

Rencana pembangunan SMK Kelapa Sawit itu akan dilaporkan Mendikbud Muhadjir Effendi ke Presiden Jokowi. Hal ini diketahui setelah adanya pertemuan Wakil Bupati Muba Beni Hernedi dengan Muhadjir Effendi, Jumat [08/2/2019] lalu.

“Kemendikbud menyambut baik dan siap merealisasikan program tersebut dan program ini akan segera dilaporkan ke Presiden RI,” kata Muhadjir, seperti dikutip dari Sriwijaya Post.

Mengapa Kabupaten Muba memiliki gagasan membangun SMK Kelapa Sawit?

Sawit yang hingga saat ini belum tuntas penanganan masalahnya, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, justru menggagas lahirnya Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Kelapa Sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Adio Syafri, mantan Staf Khusus Bidang Lingkungan Hidup Bupati Muba, kepada Mongabay Indonesia, Senin [11/2/2019], menyampaikan sejumlah alasan. “Komoditi utama perkebunan di Kabupaten Muba yakni kelapa sawit. Luasannya mencapai 340 ribu hektar yang sekitar 70 persen dikelola perusahaan dan 30 persen oleh masyarakat,” katanya. “Jumlah masyarakat yang bergantung hidupnya dengan perkebunan sawit sekitar 35 ribu kepala keluarga, dengan asumsi setiap kepala keluarga mengelola tiga hektar kebun sawit,” jelasnya.

Namun saat ini, perkebunan sawit di Muba mengalami kendala yakni produktivitas yang rendah. Salah satunya dikarenakan usia pohon sawitnya tua sehingga perlu penanaman ulang. “Dalam upaya memastikan perbaikan produktivitas, replanting dan pengolaan hasil produksi agar sesuai dengan permintaan pasar, sudah seharusnya kapasitas masyarakat ditingkatkan melalui pendidikan dan pendampingan. Terutama, pada generasi muda masyarakat yang berkebun sawit,” jelasnya.

Targetnya, SMK Kelapa Sawit itu melahirkan tenaga terdidik dari kalangan muda yang siap melayani dan mengasistensi petani dalam penerapansistem pertanian terbaik. “Sehingga, komoditi masyarakat benar-benar produktif dan dikelola dengan baik, sesuai permintaan pasar.”

Terkait persoalan lingkungan hidup yang selama ini banyak dikritik terhadap perkebunan sawit di Indonesia, Adio Syafri menjelaskan lembaga pendidikan ini justru berkeinginan perkebunan sawit di Muba menjadi lebih peduli dengan lingkungan hidup. “Melalui penerapan sistem pertanian terbaik, ini berdampak terhadap pelestarian lingkungan yang secara langsung akan mendukung Muba sebagai kabupaten lestari,” katanya.

 

erkebunan sawit banyak dikritik karena begitu banyak meninggalkan persoalan lingkungan dan konflik sosial di masyarakat. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

Dukungan

Setelah peletakan batu pertama pembangunan SMK Kelapa Sawit, Dinas Pendidikan Sumatera Selatan mengatakan akan menerapkan kurikulum kelapa sawit pada 25 Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Pertanian di Sumatera Selatan. Penerapan kurikulum ditargetkan 2019 ini. Pada 2018 lalu, sebanyak 60 guru telah mendapatkan pelatihan guna mengajarkan kurikulum kelapa sawit di SMK Pertanian di Sumsel.

Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) mendukung insiator Kabupaten Muba untuk mendirikan SMK Kelapa Sawit Muba Maju Berjaya serta Program Studi D3 Budidaya Kelapa Sawit dan Teknologi Pengelolaan Kelapa Sawit di Politeknik Sekayu.

“Kami sambut baik dan siap dukung penuh inisiator Pemkab Muba mendirikan SMK Kelapa Sawit Muba Maju Berjaya serta Program Studi D3 Budidaya Kelapa Sawit dan Teknologi Pengelolaan Kelapa Sawit di Politeknik Sekayu,” kata Dono Boestami, Direktur Utama BPDP-KS, di Jakarta, pada 21 September 2018 lalu, seperti dikutip dari Berita Pagi.

Dalam pertemuan tersebut, dinyatakan BPDP-KS akan membantu penguatan para tenaga pendidik dan dosen terkait pengetahuan kelapa sawit. Juga, akan menyalurkan para peserta didik ke perguruan tinggi perkebunan yang menjadi mitra lembaga tersebut.

Hutan alam Indonesia sudah banyak yang digantikan perkebunan sawit. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

Salah sasaran

Syahroni, Direktur INAgri [Institut Agroekologi Indonesia], menyatakan gagasan sekolah kelapa sawit itu salah sasaran. Persoalan besar sektor kelapa sawit di Indonesia, sebagaimana juga di Kabupaten Muba bukan hanya terletak pada keterampilan tenaga kerja industri hilir, melainkan lebih mendasar lagi. Yakni, persoalan tata kelola dan hubungan antara petani dengan perusahaan yg masih belum adil.

Pertama, pekerjaan rumah terbesar bagi pemerintah Kabupaten Muba adalah memperbaiki paket program tentang pengelolaan perkebunan sawit untuk kesejahteraan petani dengan model koperasi tani (cooperative farming). Juga, tata laksana budidaya yang selaras nilai-nilai agroekologis,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Senin (11/2/2019).

Kedua, ini menunjukan ketidakberpihakan pada perkebunan rakyat. Sektor perkebunan di Indonesia, khususnya di Muba bukan hanya kelapa sawit. Perkebunan karet dan kelapa sudah melekat dengan kehidupan dan budaya pertanian masyarakat Muba yang seharusnya dibangkitkan. “Sekolah itu mengabaikan potensi besar tersebut,” ujarnya.

Ketiga, pengabaian hak rakyat atas industri. “Karet dan kelapa, dua komoditas utama perkebunan rakyat di Muba, namun kehidupan petaninya masih terpuruk. Oleh karena itu, pembangunan industri hilir karet dan kelapa memiliki nilai penting untuk dimajukan, terutama dalam pendidikan serta penularan pengetahuan, keterampilan, dan teknologi pengolahan hasil panen kedua komoditas tersebut.

Keempat, mengancam tanaman pangan. Perkebunan sawit di Indonesia hari ini adalah raksasa monokultur yang banyak mengubah bentang alam dan nilai-nilai agroekologis setempat. Dalam catatan INAgri, banyak petani di Muba yang mengubah lahan tanaman pangan, terutama sawah, menjadi perkebunan sawit akibat rendahnya intervensi pemerintah untuk memajukan sektor tanaman pangan.

“Bandingkan perkebunan karet dan kelapa yang lebih dikuasai petani, dan secara agroekologis selaras dan bersanding tanaman pangan. Ini artinya, Kabupaten Muba lebih mendahulukan sumber daya manusia terkait perkebunan sawit dibandingkan tanaman pangan, sehingga ke depan tanaman pangan menjadi terancam,” kata Syahroni.

Pertanian, apakah masih menarik perhatian generasi muda untuk menggelutinya? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumatera Selatan, cukup terkejut apresiasi pemerintah terhadap aktivitas perkebunan kelapa sawit yang sampai saat ini menyisakan berbagai persoalan.

“Saya heran, dengan fakta banyaknya persoalan yang disebabkan perkebunan sawit justru pemerintah memberikan apresiasi dengan mendirikan sekolah atau kurikulum terkait dengan kelapa sawit,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Senin.

Di Kabupaten Muba, kata Sobri, sebenarnya masih banyak persoalan perkebunan sawit. Berdasarkan Walhi Sumsel, dari luasan Kabupaten Muba sekitar 1,5 juta hectar, sekitar 1,2 juta dikuasai perusahaan dan pemerintah. Hanya 300 ribu hektar lahan dikuasai masyarakat Muba yang berjumlah sekitar 620 ribu jiwa, sebagian besar petani.

“Aktivitas perkebunan sawit ini memunculkan berbagai konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah. Hingga kini sebagian besar belum terselesaikan. Termasuk konflik yang memakan korban jiwa,” kata Sobri.

Belum lagi konflik antara perusahaan dengan pemerintah terkait Suaka Margasatwa Dangku. “Sampai saat ini Walhi belum mengetahui bentuk penyelesaiannya,” kata Sobri.

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi UIN Raden Fatah Palembang, mempertanyakan target manusia dari sekolah kejuruan kelapa sawit itu. “Saya khawatir, sumber daya manusia yang dihasilkan justru mendorong masyarakat untuk memperluas perkebunan sawit bukan mengoptimalkan kebun yang ada. Jika ini terjadi, tambah habis bae bentang alam ini, hanya untuk sawit,” katanya, Senin [11/2/2019].

“Kenapa tidak mengembangkan sekolah atau membuat kurikulum konservasi pada lembaga pendidikan? Ini kan sesuai karakter masyarakat Sumatera Selatan yang berpijak pada nilai-nilai Prasasti Talang Tuwo. Pendidikan terkait nilai-nilai konservasi ini jauh lebih penting sebab sudah dirusak oleh perilaku tamak dalam mengelola bentang alam untuk kepentingan ekonomi,” tandasnya.

Sumber: Mongabay.co.id

 

Menanti Adu Gagasan Politik Lingkungan dalam Debat Capres Putaran Kedua

  • Pada 17 Februari nanti, debat putaran kedua capres-cawapres berlangsung dengan tema pangan, energi, sumber daya alam, lingkungan dan infrastruktur
  • Organisasi masyarakat sipil menekankan, dalam debat putaran kedua nanti, para kandidat bisa mengelaborasi permasalahan lingkungan dengan baik, bisa membahas komitmen dan strategi mengatasi persoalan lingkungan. Kedua paslon berani berdebat pada level substansi dan menjangkau problem mendasar persoalan lingkungan dan sumber daya alam. Bukan hanya sebatas isu lingkungan di permukaan
  • KPU diminta memilih panelis yang memiliki kompetensi dan integritas. Orang-orang yang memiliki catatan buruk dalam agenda perlindungan lingkungan, terlebih yang membela perusak lingkungan sebaiknya tidak ditunjuk menjadi panelis
  • Beberapa usulan isu bisa jadi bahasan atau pemantik dalam debat putaran kedua, seperti anak kecil banyak meninggal di lubang bekas tambang batubara, kebakaran hutan dan lahan, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria serta transisi dari energi fosil, batubara ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.

 

 

 

Putaran kedua debat calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) akan berlangsung pada 17 Februari mendatang. Tema yang diangkat mengenai pangan, energi, sumber daya alam, lingkungan dan infrastruktur. Organisasi masyarakat sipil memberikan berbagai masukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), antara lain, Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), audiensi dengan KPU Selasa (22/1/19). Masukan juga datang dari Walhi dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.

“Salah satu poin masukan kita kemarin, bagaimana segmentasi itu tidak terlalu kaku. Hingga isu-isu yang sebenarnya memiliki keterkaitan, bisa langsung dibahas oleh para kandidat dengan durasi yang cukup,” kata Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur ICEL di Jakarta, Kamis (24/1/19).

Dia mengatakan, kelima tema dalam debat putaran kedua memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Harapannya, dalam debat putaran kedua nanti, para kandidat bisa mengelaborasi permasalahan lingkungan dengan baik. Mereka bisa membahas komitmen dan strategi mengatasi persoalan lingkungan.

Dia juga soroti pemilihan panelis. “Panelis memiliki peran penting dalam debat ini. Kami berharap, panelis yang ditunjuk memiliki rekam jejak dan pengalaman yang baik terhadap lingkungan,” kata Dodo, panggilan akrabnya.

ICEL mendorong, KPU memilih panelis yang memiliki kompetensi dan integritas. Orang-orang yang memiliki catatan buruk dalam agenda perlindungan lingkungan, katanya, terlebih yang membela perusak lingkungan sebaiknya tidak ditunjuk menjadi panelis.

KPU, katanya, biasa menunjuk panelis berasal dari akademisi. KPU, hendaknya memilih akademisi yang secara keilmuan dan integritas bisa dipercaya. Sebab, katanya, tak jarang akademisi justru memanfaatkan keilmuan yang dimiliki untuk membela perusak lingkungan.

Keberagaman panelis juga bagus, katanya, tak hanya akademisi juga aktivis lingkungan maupun jurnalis.

KPU, katanya, bisa melacak siapa calon panelis yang berintegritas dan mampu membangun komunikasi dengan organisasi masyarakat sipil yang selama ini bekerja untuk isu penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam.

“Penting untuk kedua calon masuk kepada perdebatan yang konseptual dan strategis.”

Khalisah Khalid, Ketua Tim Adhoc Politik Keadilan Ekologis Walhi Nasional mendorong, kedua paslon berani berdebat pada level substansi dan menjangkau problem mendasar persoalan lingkungan dan sumber daya alam. Bukan hanya sebatas isu lingkungan di permukaan.

“Tema kedua ini urgen mengingat makin meningkatnya bencana ekologis, kebakaran hutan dan ekosistem rawa gambut yang terus membayangi beberapa provinsi di Indonesia. Juga konflik lingkungan, sumber daya alam dan agraria terus terjadi,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Dia berharap, debat putaran pertama tidak terjadi lagi karena cenderung penuh dengan tipu muslihat yang sebenarnya tak substansial dan tak menyentuh persoalan mendasar.

Alin contohkan, ketika berbicara mengenai hak asasi manusia, sebenarnya hak atas lingkungan juga termasuk HAM. “Fakta pelanggaran HAM ekonomi dan sosial, seperti perampasan tanah, ketimpangan penguasaan sumber daya alam dan agraria, tata kelola sumber alam buruk dan lain-lain tidak muncul di permukaan,” katanya.

Dia khawatir, kalau antar segmen dalam debat putaran kedua nanti lebih parsial. Dia ingin, persoalan lingkungan dan sumber daya alam terelaborasi lebih mendalam. Dengan begitu, publik bisa mengetahui sejauh mana integritas kedua paslon dalam melihat isu ini.

“Kami menantang kedua paslon ini untuk menjawab sengkarut sumber daya alam. Indonesia masih bertumpu pada industri ekstraktif dan dalam praktik penuh pelanggaran HAM, koruptif.”

Dia juga berharap, kedua paslon bisa menyampaikan tawaran atau agenda maupun strategi membangun sistem hukum yang membuat efek jera bagi penjahat lingkungan. “Sebagian besar aktornya, korporasi dan berelasi juga dengan kekuasaan,” katanya.

Menurut Alin, beberapa kasus bisa jadi bahasan atau pemantik dalam debat putaran kedua, seperti anak kecil banyak meninggal di lubang bekas tambang batubara, kebakaran hutan dan lahan, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan agraria.

“Walhi sendiri sebenarnya membangun komunikasi dengan KPU sejak 9 Agustus tahun lalu. Kita meminta tema lingkungan masuk dalam debat. Jadi kita membangun satu argumentasi urgensi mengapa tema lingkungan penting diangkat,” katanya.

Alin bilang, Walhi juga menyampaikan usulan-usulan pertanyaan dengan harapan bisa dielaborasi lebih jauh oleh tim panelis. “Tentu saja kami bersedia diajak berdiskusi lebih jauh oleh tim panelis jika memang dikehendaki.”

Beberapa usulan pertanyaan yang disampaikan kepada KPU, katanya, antara lain mengenai problem struktural sumber daya alam dan lingkungan, kebakaran hutan dan lahan, korupsi sumber daya alam, upaya menahan laju emisi sesuai Perjanjian Paris, meninggalkan ketergantungan dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan dan lain-lain.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengatakan, KPU perlu melakukan perbaikan dalam format debat capres-cawapres. Juga meningkatkan kualitas dan kedalaman isu-isu prioritas.

Dengan begitu, katanya, debat putaran kedua, masing-masing paslon bisa menerjemahkan visi-misi dengan jelas, lugas, otentik, menjawab persoalan, dan menawarkan solusi untuk perbaikan kualitas lingkungan dan sumber daya alam jika terpilih nanti.

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Tema debat putaran kedua ini, katanya, sangat strategis karena jadi jantung ketahanan ekonomi dan pembangunan nasional. Indonesia dianugerahi sumber daya alam dan potensi ekonomi besar baik dalam bumi, air dan kekayaan alam lain. Dengan begitu, katanya, harus benar-benar terkelola sejalan dengan mandat konstitusi demi kepentingan rakyat, masa sekarang maupun mendatang. “Jangan sampai karena ketidakcakapan pemimpin mengelola sumber daya alam, anugerah berlipat ganda ini alih-alih menjadi berkah, justru jadi jebakan pembangunan.”

Dia berharap, KPU dapat mengangkat isu-isu prioritas dan penting di sektor energi dan tata kelola migas, pertambangan, serta sumber daya alam yang selama ini jadi permasalahan dan tantangan bersama.

“Ini penting agar dapat jadi bahan diskusi dan pendidikan politik bagi kandidat, peserta pemilu, maupun pemilih untuk perkembangan demokrasi, substantif dan rasional,” katanya.

Sejumlah aspek penting yang menjadi masukan, katanya, antara lain mengenai aspek ketahanan energi baik sisi konsistensi kebijakan dan reformasi regulasi, strategi pencadangan dan pengusahaan, pengembangan infrastruktur dan hilirisasi, pengendalian dan pengawasan. Juga soal fiskal dan subsidi energi, maupun agenda transisi energi dari berbasis fosil ke energi terbarukan yang bersih bagi lingkungan dan berkelanjutan.

“Kemudian aspek tata kelola sumber daya alam. Baik sisi pengelolaan perizinan dan kontrak, dinamika desentralisasi, hilirisasi dan divestasi, pengelolaan penerimaan negara dan pajak, penerapan sistem anti-korupsi, hingga mitigasi dampak sosial dan lingkungan dari pengelolaan sektor energi dan sumber alam,” katanya.

Maryati juga mengapresiasi KPU, yang telah terbuka dan menerima masukan publik dalam penyelenggaraan pemilu 2019 ini.

Sumber: Mongabay.co.id

 

 

KPK Soal Izin Lahan Sawit dari KLHK: ‘That’s Not Acceptable’

Jakarta, CNN Indonesia — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkritik Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait pelepasan hutan produksi untuk perkebunan kelapa sawit di Buol, Sulawesi Tengah. Sebab, lahan itu didapat dalewat penyuapan.

“Saya baru dengar bahwa lahan dulu yang dikeluarkan dengan cara suap itu pelepasan kawasan hutannya sudah terjadi beberapa bulan terakhir, dan that’s not acceptable di mata KPK,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam acara diskusi “Melawan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam” di gedung KPK, Jakarta, Jumat (25/1).

Menurut Syarif, pelepasan hutan produksi tersebut agak sensitif karena sebelumnya terkait kasus suap mantan Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu yang memberikan izin perkebunan kepada Siti Hartati Murdaya selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation (HIP) atau PT Cipta Cakra Murdaya (CCM).

“Ini agak sensitif, tetapi harus saya katakan karena pelepasan prinsip itu dulu dia dapat dari Amran Batalipu dengan disuap oleh Hartati. Sekarang pelepasan kawasannya diberikan lagi kepada dia. That’s not acceptable,” cetus Syarif.

KPK pun meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus introspeksi diri soal itu.

“Seharusnya izin prinsip itu tidak jadi karena didapatkan dengan menyuap,” ujar Syarif.

Keputusan Menteri (Kepmen) yang dipermasalahkan adalah Keputusan Menteri LHK Nomor SK.517/MenLHK/Setjen/PLA.2/11/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Batas Areal Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Atas Nama Hardaya Inti Plantations di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, seluas 9.964 hektare.

Akibat penerbitan kepmen tersebut, Hardaya Inti Plantations (HIP) pun mendapatkan izin untuk mengelola lahan seluas hampir 10.000 ha di Buol.

Penyusunan RPJMN Sektor Kehutanan Masih Berbasis Ekonomi?

  • Draf RPJMN 2020-2024 sektor kehutanan sedang disusun dengan lima elemen penataan ulang (redesain) pembangunan hutan Indonesia, yakni redesain pemerintahan hutan, pemanfaatan hutan, pemantauan hutan, pengelolaan hutan dan jasa/nilai hutan
  • Hutan masih dilihat hanya sebagai sumber ekonomi untuk menaikkan pendapatan ekonomi hingga kian menyusut dan melepaskan emisi karbon dan menaikkan suhu bumi serta mengancam keberlanjutan kehidupan manusia
  • Kalau menganut pembangunan berkelanjutan yang memuat sustainabilitas sistem ekonomi, sosial dan ekologi, maka pola pertanian harus berubah dari deforestasi ke pertanian yang menciptakan nilai tambah sumber daya alam
  • Perlu ada cara berpikir baru dalam penetapan perencanaan nasional kehutanan. Begitu pula pola pikir perencanaan pembangunan dari mengeksploitasi hutan jadi menyelamatkan hutan untuk kehidupan manusia.

 

 

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/ Bappenas) menggelar konsultasi publik nasional untuk penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024 sektor kehutanan. Berbagai kalangan menilai draf RPJMN masih berpola pikir ekonomi semata.

”Ini terlalu economy oriented, tak ada aspek ekologi dan tidak ada aspek sosial. Bisa tidak kita bongkar dokumen ini?” kata Emil Salim, Menteri Lingkungan Pertama Indonesia memberikan catatan kritis soal draf background study RPJMN ini.

Dia menekankan, penyusunan RPJMN perlu mengubah sudut pandang, tak hanya pembangunan ekonomi juga mempertimbangkan lingkungan dan sosial.

Saat ini, katanya, pola pikir dan perencanaan harus diubah, dengan menempatkan penyelamatan ekosistem hutan sebagai fokus afar fungsi ekosistem alami berjalan.

”Karena itu pola pikir perencanaan pembangunan harus diubah dari mengeksploitasi hutan jadi menyelamatkan hutan untuk kehidupan manusia,” katanya.

Selama ini, hutan selalu jadi sebagai sumber ekonomi untuk menaikkan pendapatan ekonomi. Dampaknya, hutan kian menyusut dan melepaskan emisi karbon hingga menaikkan suhu bumi dan mengancam keberlanjutan kehidupan manusia.

Dalam RPJMN itu, salah satu menggunakan pendekatan sistem ekologi yang terbagi dalam tujuh region, yang nanti akan dibagi lagi dalam ekoregion, yakni, Sumatera, Jawa, Bali Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Redesign pembangunan hutan dalam tujuh region mengabaikan kondisi geologis lempeng tektonis Euro-Asia, Australia, Pasifik, beda ekosistem akibat Wallace Line,” katanya.

Tak hanya itu, redisain pun dipengaruhi Samudera Hindia dan Pasifik pada kawasan khatulistiwa, serta dampak cincin api. “Hingga, perbedaan ekosistem dalam tujuh region ini pun mempengaruhi pembangunannya. Karakter hutan pada region itupun berbeda-beda.”

Perbedaan ekosistem dari masing-masing wilayah, katanya, harus diperhitungkan dengan pendekatan ekosistem mengacu sistem pembangunan berkelanjutan.

”Jika membangun Indonesia dengan alur pikiran keberlanjutan, ekologi, ekonomi dan sosial, perbedaan masing-masing ekosistem di pulau harus diperhitungkan,” katanya.

Dia bilang, melihat dari tutupan lahan nasional, kenaikan deforestasi terjadi karena lahan pertanian. Kalau melihat data 2000-2017, pola pertanian dengan pemberian lahan mencapai 50%, meski kontribusi ekonomi hanya 11% terhadap ekonomi nasional.

Emil melihat, ini jadi tak efisien dan merugikan lingkungan, melepas emisi karbon dan menghilangkan keragamanhayati.

Dengan pola pembangunan berkelanjutan yang memuat sustainabilitas sistem ekonomi, sosial dan ekologi, maka pola pertanian harus berubah dari deforestasi ke pertanian yang menciptakan nilai tambah sumber daya alam.

Emil juga menyoroti dalam dokumen ini tak ada peranan kedudukan dan kehidupan masyarakat adat yang erat kaitan dengan hutan itu sendiri. ”Hutan hanya dilihat sebagai pohon, air, karbon, untuk biodiversiti. Padahal, pemerintah mengakui sendiri kemampuan masyarakat adat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan.”

Potensi korupsi kehutanan

Berdasarkan data Anti-Corruption Clearing House KPK hingga Mei 2018, terdapat 12 kasus korupsi sektor Sumber Daya Alam terutama sektor kehutanan, terkait penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Lebih 24 pejabat proses hukum. Bahkan, satu kasus Azmun Ja’far kerugian negara mencapai Rp1,2 triliun.

KPK menyatakan, korupsi tak semata karena sistem administrasi pemerintahan, juga persoalan kelembagaan, yakni, keterbukaan informasi, jejaring dan jaringan kekuasaan.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, draf ini masih belum melihat ruh tata kelola dalam perencanaan itu. ”Fakta lapangan atau sosial politik tak pernah menjadi variabel utama. Ini selalu diasumsikan sebagai parameter pendukung,” katanya.

Begitu juga dalam penyelesaian masalah, tidak ada pemetaan sosial. Padahal, dalam penyusunan program atau kegiatan perlu ada informasi keragaman dan kedalaman masalah. Hal itu, katanya, tidak ada dalam penetapan tata kelola ini.

Begitu juga masalah kinerja, kata Hariadi, unit kerja di semua lembaga dipaksa mencapai outcome padahal kerja yang sesungguhnya hanya untuk capaian administrasi. ”Begitu juga rendahnya kapasitas lembaga dan ukuran keberhasilan biasa tidak menyatakaan kenyaataan keberhasilan di lapangan.”

Untuk itu, katanya, perlu ada cara berpikir baru dalam penetapan perencanaan nasional kehutanan.

 

 

***

”Hutan jadi masa depan kita, selain mendapatkan mata pencaharian, juga memberikan warisan generasi ke depan,” kata Nur Hygiawati Rahayu, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas saat pemaparan draf background study RPJMN 2020-2024, di Jakarta, akhir tahun lalu.

Pada sektor kehutanan, draf studi RPJMN 2020-2024 jadi langkah pemerintah dalam mendesain ulang pembangunan hutan Indonesia. Nantinya, landasan redesain ini jadi peta jalan pembangunan hutan 2045.

Adapun lima elemen penataan ulang (redesain) pembangunan hutan Indonesia, yakni redesain pemerintahan hutan, pemanfaatan hutan, pemantauan hutan, pengelolaan hutan dan jasa/nilai hutan.

Melalui landasan itu, pada 2025, Indonesia sudah memiliki kemantapan penataan dan penggunaan kawasan hutan dan hingga 2045 sumber daya hutan bisa membawa pada kedaulatan pangan, energi, dan air.

“Tahun 2045, pergerakan ke depan kita tahu sumber daya hutan itu sangat erat dengan kedaulatan pangan, energi dan air. Kita ke depan akan menguasai pangsa pasar dunia dari produk hasil hutan.”

Pengembangan masterplan pembangunan kehutanan menuju 2045 ini berlandaskan sinergi rencana kehutanan tingkat nasional, rencana pembangunan jangka panjang, dan dokumen National Determined Contribution Indonesia.

Implementasi ini menggunakan prinsip, antara lain, menjembatani prinsip trade-off antara tujuan pertumbuhan ekonomi makro dengan tujuan nilai penting jasa ekosistem sumber daya hutan, mewujudkan proses pengambilan keputusan berlandaskan pengetahuan dan fakta (science and evidence based policy making process). Juga mengacu integrated landscape approach dan menerapkan prinsip transparansi dan partisipatif dalam menyusun kebijakan.

Dilihat kecenderungan, katanya, sumber daya hutan sekarang akan berkurang mengingat jumlah penduduk bertambah hingga keperluan lahan juga meningkat.

”Tentu dari tren kecenderungan, kita tidak bisa lihat dari kebutuhan ekonomi kemudian lingkungan, tidak bisa siapa yang dahulu tapi harus berjalan beriringan,” katanya.

Melalui langkah penataan kembali dan pengelolaan hutan, katanya, Indonesia mampu mencegah pelepasan emisi karbon ke udara dan tetap menjaga keragamanhayati.

Adapun, penyusunan redesain kawasan hutan ini, Bappenas menghitung antara lain melalui indeks daya dukung dan daya tampung lingkungan, kemudian berdasarkan wilayah yang memiliki high conservation value atau keragamanhayati dan penyimpanan karbon tinggi.

Berdasarkan draf masterplan redesain pembangunan hutan Indonesia, terdapat 72.330.909 hektar jadi arahan optimasi ke hutan lindung. Nur berharap, luasan hutan ini tidak berubah fungsi.

Kalau dihadapkan pada pilihan rehabilitasi, proses ini dinilai memerlukan waktu lama. Luasan hutan itu, katanya, sangat baik tak hanya dari sisi keragamanhayati, juga secara sosial konflik masih sangat kecil, bahkan tak ada.

Dia bilang, ada 7,4 juta hektar alokasi penggunaan lain (APL) yang memiliki nilai konservasi tinggi. “Kita harapkan ini dijaga, tidak ada izin baru. Meski tidak menutup kemungkinan sudah ada yang dibebani izin. Kalaupun iya, harus menggunakan proses yang berkelanjutan,” katanya.

Bappenas akan menawarkan kepada pemerintah daerah untuk menaikkan status seluas itu jadi kawasan hutan. Sedangkan kawasan hutan yang sudah terdegradasi jadi APL.

Luasan APL itu tidak berada di satu hamparan hingga jadi tantangan tersendiri. Sementara itu, ada kawasan hutan yang memerlukan rehabilitasi dan restorasi seluas 8.036.504 hektar.

Sumber: Mongabay.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan