Koalisi Ungkap Kelemahan Sistem Informasi Hasil Hutan, Apa Kata Menteri Siti?

Jakarta – Koalisi Anti Mafia Hutan melakukan investigasi terhadap beberapa perusahaan kehutanan di Jambi dan Kalimantan Barat, guna melihat sejauh mana efektivitas pemberlakuan sistem Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH). Hasilnya, masih ditemukan beberapa kelemahan dalam implementasi sistem ini. Poin-poin penting fokus investigasi antara lain soal potensi kerugian negara dan deforestasi.

SIPUHH, merupakan serangkaian perangkat elektronik yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tujuannya, mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan informasi penatausahaan hasil hutan kayu. Ketentuan SIPUHH diatur melalui P.42 dan P.43 tahun 2015.

Dengan sistem ini, kegiatan pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan, peredaran, serta pengolahan hasil hutan kayu dapat ditelusuri. Semula, sistem ini untuk memperkuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Temuan investigasi pada perusahaan-perusahaan di Jambi dan Kalbar itu, antara lain, perusahaan tak memiliki laporan hasil produksi (LHP) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, tak ada laporan kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di dalam website PNBP. Dengan begitu, ada indikasi perusahaan tak melakukan kegiatan selama tiga tahun terakhir.

“Temuan kami di lapangan menemukan tumpukan kayu bulat tanpa ID barcode di areal kerja perusahaan,” kata Rusdiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, akhir Oktober lalu dalam temu media di Jakarta.

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar memaparkan temuan dari kajian beberapa perusahaan di sana. Dari analisis tutupan lahan pada satu perusahaan dari 2015 sampai 2018 terjadi perubahan karena ada pemanenan kayu hutan tanaman dan pembukaan lahan.

Temuan lain soal perusahaan belum memiliki sertifikat legalitas kayu (VLK/PHPL) tetapi sudah beroperasi.

Iqbal Damanik, Peneliti Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, temuan-temuan lapangan mengkonfirmasi masih banyak kelemahan dalam implementasi SIPUHH.

“Sebenarnya, kita melihat SIPUHH sudah mulai advanced. SIPUHH memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Karena dulu ada beberapa proses mulai dari pembuatan laporan produksi, sampai ke SK usaha, pembayaran PNBP, itu jadi satu sistem yang baik. Awalnya kan sistem ini untuk memotong rantai birokrasi supaya gak ada korupsi. Tak ada demand dari birokrasi untuk tindak pidana korupsi,” katanya.

Sistem sudah dipermudah, dalam level tertentu, SIPUHH jadi persoalan ketika sistem informasi lebih baik tetapi pengawasan lemah. Sulit menguji ketaatan perusahaan di dalam SIPUHH.

“Siapa yang menguji ini? KLHK juga kesulitan. Apa kita bisa tahu ada mencuci kayu-kayu ilegal dalam SIPUHH. Persoalan PNBP itu sebenarnya tidak jadi soal bagi perusahaan, karena mereka mampu bayar. Apakah kayu yang ditebang itu legal atau tidak? Itu yang tidak bisa dibuktikkan.”

Persoalan lain, katanya, mengenai transparansi. SIPUHH, tak memberikan akses data kepada pemantau independen. Tak bisa lakukan lacak balak karena pemantau independen tak punya akun untuk mengecek dari mana saja kayu-kayu tebangan perusahaan.

“SIPUHH ini sistem informasi dan birokrasi sudah baik. Apakah transparan, akuntabel dan bisa diuji? Fakta-fakta temuan di Jambi dan Kalbar membuktikan. SIPUHH diharapkan mampu memberikan solusi meminimalisir praktik-praktik manipulatif.”

Untuk melakukan monitoring optimal, katanya, perlu transparansi agar data sajian dapat disandingkan dengan kondisi riil lapangan.

Menurut Iqbal, sistem validasi data dalam SIPUHH tak mampu memotret kondisi nyata tingkat tapak. Bukan tidak mungkin, katanya, kayu ilegal justru diselundupkan dan masuk bersama kayu legal.

“Manipulasi data masih mungkin terjadi karena self assessment oleh perusahaan. Verifikasi lapangan terbatas. Terutama pasca masuk ke industri.”

Dengan kondisi ini, katanya, penelusuran terbatas setelah kayu jatuh dan batang di tengah hutan hingga ke luar konsesi.

Kayu-kayu bulat hasil pembalakan liar yang diamankan petugas di Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

SIPUHH, katanya, tak mampu mendeteksi apabila pelaku usaha sama sekali tidak melaporkan aktivitas. Ia juga tak mempunyai mekanisme menghentikan peredaran kayu bila industri kayu disisipkan kayu ilegal.

Iqbal mendesak, transaparansi data maupun informasi ke publik dalam SIPUHH. Juga mendorong keterlibatan multi pihak dalam mengawasi tata kelola kehutanan guna menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan.

“Kita juga meminta untuk verifikasi lapangan terpadu dengan melibatkan multi pihak untuk menilai kesesuaian data dalam SIPUHH dengan kondisi lapangan. Ini meminimalisir penyimpangan dan pelanggaran serius,” katanya.

Selain itu, katanya, sistem basis data online peredaran kayu perlu terintegrasi dengan informasi lain yang mendukung verifikasi dan validasi informasi, misal, kondisi tutupan hutan tingkat tapak.

“Juga harus ditingkatkan kepatuhan dengan memperberat sanksi bagi korporasi yang melanggar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Terkait hasil kajian itu, Auriga telah menyampaikan kepada KPK. Dia berharap, KPK bisa menindaklanjuti temuan ini. “Ini ada potensi kerugian negara.”

Apa kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Siti menjawab soal temuan investigasi Auriga ini. Ada SIPUHH, katanya, justru membuat alur produksi kayu jadi lebih transparan. Alur produksi kayu mulai dari sumber sampai pembeli diikuti terus.

“Kalau di lapangan ada berbagai kesulitan, seperti teknis, listrik, jaringan internet itu soal lain,” katanya, seraya bilang KLHK terus berupaya memperbaiki sistem itu.

Dia tak setuju, kalau dikatakan SIPUHH tak transparan. Siti bilang, justru sistem ini didesain untuk agar transparan. “Tapi kalau ada kekurangan-kekurangan, mungkin saja bisa terjadi. Memang kita mendapatkan laporan ada beberapa tempat yang kesulitan. Kadang-kadang soal teknis, kalau dia dikaitkan dengan PNBP dan lain-lain, saya kira itu harus kita cek,” kata Siti.

Untuk memperkuat SIPUHH, katanya, KLHK sedang menyiapkan sistem informasi produksi hutan lestari secara keseluruhan. Sistem ini menggabungkan tata usaha kayu dengan perpajakan dan penegakan hukum.

“Jadi di kita sedang membangun dan memperbaiki terus sistemnya. Termasuk nanti sistem legalitas kayu. Jadi kalau sekarang kan masih ditemukan banyak kesulitan di lapangan. Sistem legalitas kayu sudah selesai, SIPUHH online sudah selesai.”

Dia menyadari, beberapa kelemahan di lapangan mungkin saja terjadi mengingat Indonesia sedemikian luas. “Spot-nya juga bisa dibayangkan mulai dari pohon, ditebang, sampai di tempat penampungan dan sebagainya. Yang jelas kita terus improve sistem ini.”

Sumber: Mongabay.co.id

 

 

Kebijakan dan Kelola Hutan yang Baik, Kunci Hindarkan Bencana Ekologis Perubahan Iklim

Emisi karbon pemicu perubahan suhu bumi yang memantik perubahan iklim sudah sejak lama di bahas para pihak. Dalam Kesepatan Paris yang dihasilkan pada COP21 tahun 2015, para pihak melakukan konsensus untuk menjaga ambang kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius, yang dapat ditekan menjadi 1,5 derajat Celcius.

Pertemuan terakhir Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bangkok bulan September lalu, -yang berupaya untuk mendetailkan Kesepakatan Paris, bahkan sampai memerlukan sesi tambahan waktu. Proses ini berlangsung alot dan butuh komitmen tegas dari semua negara untuk mengatasi masalah iklim yang kini mengancam kita semua.

Sementara para pihak masih bernegosiasi, ancaman perubahan lingkungan terus berjalan. Laporan panel terbaru IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyebutkan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius saja akan meningkatkan risiko bencana ekologis.

Jika tidak segera ditangani, maka dalam kurun waktu 12 tahun lagi, kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sudah pasti akan memporak-porandakan kehidupan manusia. Secara khusus, kelompok paling rentan, yaitu masyarakat miskin adalah yang paling terdampak.

Meski ancaman sudah mendekat, memanipulasi iklim bumi lewat pendekatan geo-engineering lebih mengemuka. Idenya, dengan teknik geologi tertentu, dapat menyedot jutaan giga ton karbon di atmosfer. Padahal, hingga sekarang belum diketahui efek samping manipulasi iklim tersebut terhadap kehidupan umat manusia dan ekosistem yang ada di bumi.

Demikian juga, -meski menunjukkan tren yang baik, pemanfaatan energi terbaru, pengurangan bahan bakar minyak dan pemanfaatan teknologi transportasi terbaru yang lebih efisien belum cukup untuk mencapai target penurunan emisi global.

Sebaliknya untuk mencapai tujuan menjaga ambang suhu bumi agar tidak terjadi perubahan iklim perlu dilakukan lewat upaya yang lebih sistematis. Pemulihan ekosistem, rehabilitasi lahan dan hutan, penyertaan masyarakat lewat dan pengakuan hak-hak lokal, adalah langkah yang penting untuk diadopsi agar dapat mencapai hasil penurunan emisi yang signifikan.

Di bawah ini, penulis akan menyajikan hal penting dilakukan untuk mencapai tujuan penurunan emisi yang signifikan.

 

1. Memperkuat Hak Tanah Masyarakat dan Masyarakat Adat

Telah terbukti bahwa masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam memanfaatkan sumber daya mereka secara berkelanjutan. Sebanyak 40% hutan global berada di tangan masyarakat adat dan komunitas lokal. Bahkan, hampir dari separuh lahan dunia dikaitkan dengan klaim “wilayah adat’, namun hanya 10% dari klaim tersebut yang mendapatkan pengakuan hukum.

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengamankan wilayah kelola mereka. Sebaliknya kapitalisasi sumberdaya hutan mendorong munculnya kekeliruan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih mengemukakan kepentingan ekonomi.

Dengan mengakui hak masyarakat lokal atas akses dan pengelolaan hutan merupakan solusi iklim yang paling efektif, efisien dan berkeadilan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi jejak karbon dan melindungi hutan dunia.

 

2. Memulihkan Hutan dan Ekosistem lainnya

Bagian yang tidak kalau pentingnya adalah melakukan restorasi hutan dan perbaikan ekosistem. Hal ini bisa ditempuh dengan pemulihan lahan dan hutan yang terdegradasi, menjadi vegetasi yang lengkap sehingga akan kaya terhadap ekosistem.

Melalui hutan yang dipulihkan potensi penyerapan karbon akan kembali ke status awalnya, hutan primer sekaligus membangun ketahanan ekosistem.

 

3. Mencegah Emisi Lebih Lanjut dari Perubahan Ekosistem

Hutan, secara khusus gambut yang utuh berkontribusi sebagai penyimpan karbon. Namun saat ini pembukaan dan pemanfaatan lahan gambut adalah cara melakukan pengeringan. Dibuatlah kanal-kanal untuk menurunkan muka air gambut yang pada akhirnya membawa petaka baru.

Penghilangan muka air gambut membuat gambut rentan terbakar, yang pada akhirnya gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar. Pemulihan fungsi gambut akan mencegah emisi sekitar 1,53 Gt CO2 per tahun, terutama di Eropa, Rusia dan Indonesia.

Selanjutnya, penelitian Griscom (2017) menyebut pemanfaatan lahan terlantar untuk tujuan pertanian akan mengurangi tekanan yang besar pada hutan. Pengelolaan lahan pertanian dengan memanfaatkan pupuk organik dan mengurangi pemakaian bahan kimia, juga akan membawa dampak baik untuk mencegah emisi. Pemanfaatan lahan ini bisa menurunkan 0,12 GtCO2 emisi per tahun.

 

4. Pengelolaan Hutan yang Bertanggung Jawab

Restorasi dan perluasan hutan sangat penting untuk peningkatan penyerapan karbon. Di Indonesia salah satu upaya yang dikembangkan adalah perhutanan sosial. Di Jambi, Komunitas Konservasi Indonesia WARSI terlibat aktif dalam mendorong percepatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang kemudian diadaptasi pemerintah menjadi perhutanan sosial.

Dari pengalaman yang dilakukan, perhutanan sosial mampu mengatasi laju deforestasi. Di Jambi, salah satu kawasan yang dikelola masyarakat dengan skema perhutanan sosial berada di Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo. Sejak dikelola masyarakat dengan skema Hutan Desa, pada kawasan ini tidak terjadi lagi pengurangan tutupan hutan.

Perhutanan Sosial mndorong masyarakat yang memiliki hak kelola hutan turut bertanggung jawab untuk menjaga hutan mereka. Dengan mengelola hutan, kerusakan hutan dapat dihindari. Masyarakat dapat memanfaatkan kayu secara terbatas lewat aturan yang ketat, juga melakukan pemanfaatan produk non kayu dan jasa ekosistem.

Pelibatan masyarakat menjadi kunci untuk menjaga fungsi hutan dan memberikan manfaat yang luas untuk masyarakat sekitarnya. Upaya yang dilakukan masyarakat ini harusnya bisa menjadi bagian penting dalam penghitungan deforestasi, sehingga aksi masyarakat yang memelihara hutannya juga menjadi komponen dalam penurunan emisi.

Dengan memberi akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan, bencana ekologis pun dapat dihindari.

 

Sumber: Mongabay.co.id

Soal Angkutan Batubara, Gubernur Herman Deru Tawarkan Win Win Solution

PALEMBANG – Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menerima Asosiasi Pertambangan Batubara Sumatera Selatan (APBS), dalam rangka silaturahmi dan memperkenalkan pengurus APBS di Ruang Tamu Gubernur Sumsel Rabu (07/11).

Adapun rombongan APBS antara lain Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Sumsel Andi Asmara, Anggota Dewan Pembina Asosiasi Pertambangan Batubara Sumsel Benny, Ketua Bidang Umum dan Organisasi APBS Mirson Farizal, Wakil Bendahara APBS Agustinus Thamrin.

Gubernur Sumsel Herman Deru menyambut baik kehadiran APBS. Saat ini diakui HD batubara tengah menjadi buah bibir bagi masyarakat.

Dimana Terhitung mulai 8 November 2018 jalan umum di Sumsel dipastikan steril dari angkutan truk batubara.

Melalui kebijakan yang telah diputuskan tersebut, ia berharap aktivitas masyarakat di sepanjang jalan umum yang kerap dilintasi truk batubara bisa lebih nyaman.

“Saya yakin sama persepsinya apa yang Saya sampaikan ini, tidak ada satu titik pun pemikiran Saya bertindak sebelah pihak, bahkan jauh juga dari pemikiran material. Saya sebagai Pemimpin di daerah ini membuka diri untuk dengan dijalankannya Peraturan Gubernur, sambil mencarikan bukan sekedar solusi tapi terobosan win – win,” ungkapnya.

Menurutnya, kebijakan tersebut sudah melalui pemikiran yang matang. Dimana pemerintah daerah akan mencarikan jalan keluar terbaik untuk jangka panjang.

“Mencari jalan terbaik bukan berarti menghindari aturan ini. Ketika ini besok kita laksanakan kita harus selalu berpikir positif bahwa apapun terdampak, kita bersatu mencarikan jalan keluar baik untuk semua jangka panjang, tidak ada acting dan sandiwara disini,” katanya

Sementara itu terkait Pencabutan Pergub Sumsel No.23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara mulai 8 November 2018, sejumlah tokoh di Sumsel angkat bicara di antaranya Sigit Muhaimin (Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan/Kabid PTKP/HMI Cabang Palembang).

Kemudian Drs. H Umar Said (Tokoh Agama/Ketua Forum Umat Islam/FUI Sumsel) dan juga dari kalangan mahasiswa Joko Susanto (Mahasiswa UIN RF Palembang).

Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan/Kabid PTKP/HMI Cabang Palembang) Sigit Muhaimin, misalnya mengatakan, secara umum mendukung kebijakan pencabutan Pergub tersebut oleh Gubernur Sumsel yang baru H. Herman Deru dan merubahnya dengan transportasi angkutan batubara hanya dengan jalur kereta api dan jalur jalan khusus batubara dalam melintas.

Dia Berharap, dengan tidak diperbolehkannya lagi mobil truk angkutan batubara melintas di jalan raya atau jalan umum, peristiwa kemacetan dan kecelakaan tabrakan terhadap masyarakat dapat diminimalisir atau bahkan tidak ada lagi di Sumsel.

Demikian halnya Drs. H Umar Said Tokoh Agama/Ketua Forum Umat Islam/FUI Sumsel mengaku sangat mendukung kebijakan Pergub Sumsel yang baru tersebut.

Menurutnya transportasi khusus angkutan batubara di Sumsel sudah dibuat atau sudah ada yakni jalan servo. Pembisnis angkutan batubara kendaraannya seharusnya melintas di jalan tersebut.

Jika tetap melintas di jalan umum kata Drs H Umar Said infrastruktur jalan umum akan cepat rusak berlobang dan lebih parahnya lagi sopir mobil truk sering ugal-ugalan sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban jiwa.

Untuk itu dia meminta dalam pelaksanaanya, perlunya pengawasan yang intensif oleh pihak yang terkait dari aparat keamanan, Bupati atau Walikota bahkan tingkat kecamatan. Sehingga pembisnis batubara mentaati benar aturan yang baru tersebut.

Sementara itu salah seorang Mahasiswa UIN Raden Fatah, Joko Susanto juga mengutarakan hal yang sama.

Dirinya menyambut baik dan mendukung kebijakan sistem transportasi angkutan batubara tersebut. Diapun berharap pebisnis angkutan batubara harus mentaati aturan yang baru tersebut jika tidak ingin ribuan kendaraanya tidak beroperasi lagi.

Masyarakat menurutnya sudah capek bahkan geram melihat perilaku pengemudi truk angkutan batubara yang sering ugal-ugalan, merusak jalan umum.

Karena yang untung pebisnis transportasi batubara, sementara masyarakat rugi jalan umum rusak, bahkan nyawa warga rawan melayang.

 

Sumber: Sripoku.com

Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018. Aturan ini diharapkan jadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia.

Sebagai instrumen legal, Perpres Reforma Agraria memuat norma untuk menata ulang struktur agraria yang memastikan petani penggarap, nelayan, dan kelompok masyarakat pra-sejahtera dapat mengakses tanah negara, perlindungan terhadap hak tanah, dan menerima manfaat penyelesaian konflik agraria.

Dengan landasan itu, perpres ini menggunakan tiga strategi dalam pelaksanaan reforma agraria, yaitu, sertifikasi hak milik, redistribusi tanah negara dan mekanisme penyelesaian konflik agraria.

Satu hal perlu jadi perhatian, Perpres Reforma Agraria belum tegas menempatkan posisi masyarakat adat beserta hak-haknya dalam kerangka reforma agraria, terlihat dari taka da penyebutan masyarakat adat sebagai salah satu subyek reforma agraria.

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Posisi masyarakat adat

Perpres Reforma Agraria menyebutkan, subyek reforma agraria terdiri dari tiga kategori, yaitu perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum.

Subyek perorangan berupa petani penggarap, nelayan dan kelompok pekerja formal/informal. Sedangkan kelompok masyarakat, adalah kelompok dengan hak kepemilikan bersama atas tanah. Terakhir, badan hukum adalah koperasi dan badan usaha milik desa.

Masyarakat adat tak tercantum sebagai subyek reforma agraria. Walaupun terdapat kategori kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, namun kategori masyarakat itu tak merujuk pada masyarakat adat, karena definisi kelompok yang dimaksud bersifat artifisial (dibentuk atas kepentingan bersama), alih-alih sebagai kesatuan sosial organik masyarakat adat.

Ketidakjelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria berimplikasi serius terhadap persoalan-persoalan agraria terkait masyarakat adat. Setidaknya terdapat dua persoalan, yaitu, pertama, secara paradigmatik, perpres ini mengabaikan ada persoalan agraria terkait masyarakat adat dari kerangka kebijakan reforma agraria.

Kedua, pada tingkat operasional, perpres ini mengeluarkan persoalan agraria terkait masyarakat adat dari skema perlindungan hak tanah dan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang disasar dari kerangka kebijakan reforma

 

Selain itu, perpres reforma agraria inkonsisten dengan rujukan hukum, yaitu Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Secara gamblang, TAP MPR IX/2001 menjelaskan, reforma agraria sebagai usaha menata ulang struktur agraria yang berkeadilan dengan memastikan hak masyarakat adat. Artinya, persoalan ketidakadilan dan ketidakpastian hak masyarakat adat masuk dalam ruang lingkup reforma agraria.

Selanjutnya, Perpres Reforma Agraria menutup mata atas kenyataan konflik-konflik agraria masyarakat adat terkait penentuan obyek reforma agraria. Perpres ini menyebutkan, obyek atau tanah reforma agraria (tora) antara lain, tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah dari pelepasan kawasan hutan, dan tanah bekas hak erfpacht (hak barat).

Bila ditelaah lebih dalam, kita bisa melihat banyak konflik hak masyarakat adat berada pada kriteria tora itu, misal, konflik-konflik perkebunan sawit di Sumatera Barat sejak pemberian hak erpacht. Dalam beberapa kasus berlanjut dalam bentuk baru jadi HGU. Konflik itu muncul karena abai pengakuan legal hak ulayat saat konsolidasi (konversi) jadi tanah negara—saat proses pemberian hak erfpacht maupun HGU.

Begitu juga dengan konflik masyarakat adat di kawasan hutan. Pada kasus terakhir, 9,3 juta hektar wilayah adat diklaim berada di kawasan hutan (BRWA, 2018). Ketiadaan pengakuan legal hak ulayat dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh negara jadi penyebab konflik agraria masyarakat adat di kawasan hutan ini.

Dari konflik-konflik agraria itu setidaknya menunjukkan dua hal penting. Pertama, konflik agraria masyarakat adat bersifat historis, yaitu konflik berlaku pada rentang waktu lama karena minim perlindungan hak, baik sejak masa kolonial sampai sekarang. Kedua, konflik-konflik agraria masyarakat adat menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dalam menata ulang struktur agraria (sumber daya alam).

Dengan kata lain, persoalan agraria masyarakat adat adalah masalah struktural dengan menyertakan perangkat hukum beserta struktur yang mengabaikan hak.

Perpres Reforma Agraria, belum begitu tajam melihat kenyataan konflik agraria terkait hak masyarakat adat pada tora. Dalam perpres ini memang menyebutkan, hak ulayat bukan bagian dari obyek reforma agraria, namun memasukkan tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawasan hutan sebagai obyek reforma agraria yang notabene potensial tumpang tindih dengan hak ulayat atau dalam kondisi berkonflik.

Artinya, penentuan kriteria tora belum sepenuhnya jelas (clean and clear) dan bisa mempersulit implementasi reforma agraria itu sendiri serta berpotensi melahirkan konflik baru.

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Perbaikan substansi

Perpres Reforma Agraria, merupakan terobosan kebijakan dalam menjawab persoalan struktural agraria, namun aturan ini memerlukan perbaikan terkait kejelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria. Alasan- alasan pokok pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria adalah, pertama, mempertegas kembali masyarakat adat sebagai korban ketidakadilan agraria dan mengakui kenyataan bahwa konflik agraria masyarakat adat lahir karena ketidakadilan agraria.

Dalam konteks ini, upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan melingkupi penyelesaian konflik masyarakat adat.

Kedua, penegasan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria diharapkan mampu menyentuh penyebab utama persoalan agraria masyarakat adat, yaitu soal perlindungan hak ulayat. Menempatkan kembali posisi masyarakat adat dalam kerangka reforma agraria sebenarnya mempertegas mandat TAP MPR No. IX/2001 sebagai dasar hukum perpres ini. Yaitu, perlindungan hak ulayat terintegrasi dengan penataan kembali struktur agraria. Dalam hal ini, skema legalisasi hak atas tanah sebagai pengejawantahan perlindungan hak dalam perpres ini semestinya melingkupi juga pengakuan hak ulayat.

 

Keterangan foto utama: Masyarakat adat penjaga hutan. Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena di hutan adat Marena yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

KLHK Menangi Gugatan Rp 17 Triliun, Baru Dieksekusi Rp 30 Miliar

Jakarta -Sejak menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mencatat sudah membawa 517 kasus pidana kejahatan lingkungan ke pengadilan. Ada juga 18 kasus gugatan perdata dan 503 sanksi administratif.

Awal bulan ini Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata terhadap tiga perusahaan besar yang terkait kebakaran hutan 2015. Mahkamah mewajibkan ketiganya, PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP), PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan PT Palmina Utama, membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan sebesar Rp 1,3 triliun.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi juga memenangkan KLHK atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014. Majelis hakim menghukum BMH membayar Rp 78,5 miliar dari gugatan Rp7,9 triliun.

Selain itu, KLHK juga menang gugatan atas PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Jika dihitung semua gugatan yang berhasil dimenangkan, KLHK tercatat lebih dari Rp 17 triliun.

“Jadi keseluruhan banyak juga Rp 17 triliunan, yang sudah (eksekusi) baru Rp 30-an miliar. Jadi memang kita sedang terus berusaha karena eksekusi itu kan kewenangannya di pengadilan,” kata Siti saat Blak blakan dengan detikcom yang tayang, Selasa (25/9/2018).

Pengadilan dimaksud antara lain Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami sudah menyurati mereka,” Siti menambahkan.

Menurut Siti, pihaknya mengajukan gugatan ke sejumlah perusahaan pelaku kebakaran hutan dan perusak lingkungan murni untuk penegakkan hukum. Dia mengklaim baru di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah penegakkan hukum itu sangat ditekankan.

“Saya membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LIngkungan Hidup dan Kehutanan. Hal terpenting bagi pemerintah adalah memberikan efek jera,” kata Siti.

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan