Sektor Agraria dan Tata Ruang pada Empat Tahun Jokowi, Seperti Apa?

Era kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla, pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Ia bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria, pertanahan dan tata ruang. Periode empat tahun pemerintahan Jokowi, kementerian ini mengklaim meraih beberapa capaian kerja meskipun masih banyak pekerjaan seperti konflik pertanahan di mana-mana, agenda reforma agraria juga masih berjalan.

Komitmen Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menata persoalan agraria. Kementerian ini mulai dengan sertifikasi tanah yang selama ini dinilai sulit, lama, dan mahal. Untuk itu, pemerintah lakukan percepatan sertifikasi tanah di Indonesia melalui pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL).

Keseriusan pemerintah melaksanaan penataan agraria juga ditegaskan dengan penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria tertanggal 24 September 2018.

Peraturan ini, katanya, wujud pemerintah ingin menjamin pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah.

“Pada 2018, dari 7 juta target PTSL sampai dengan Oktober ini kita berhasil mendaftarkan tanah di seluruh Indonesia 6,192,875 bidang. Kita optimistis akan melampaui target,” kata Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN dalam temu media pekan lalu.

Sofyan mengatakan, negara akan menjamin sertifikat ini. “Tidak akan mungkin lagi sertifikat diganggu gugat, kalau ternyata salah, negara yang akan bayar,” katanya seraya bilang ketentuan mengenai Itu akan masukan dalam UU Pertanahan.

Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria merupakan harapan baru masyarakat Indonesia guna mempercepat capaian reforma agraria.

Sofyan bilang, KATR fokus menjalankan agenda reforma agraria dengan penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan. Agenda reforma agraria, katanya, jalan melalui penataan aset disertai akses untuk kemakmuran rakyat.

Menurut dia, reforma agraria hadir karena melihat berbagai persoalan bidang lahan, sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan. “Ini terjadi karena ada ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,” katanya.

Selain itu, kualitas lingkungan turun, banyak sengketa dan konflik agraria, kemiskinan dan pengangguran, alihfungsi lahan pertanian masif, serta kesenjangan sosial.

Reforma agraria, katanya, mengakui dan melindungi hak masyarakat adat dan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan. “Juga meminimalkan dampak negatif yang dapat merusak kualitas lingkungan,” katanya.

Selain itu, lanjut Sofyan, reforma agraria harus menjamin semua pihak untuk mendapatkan perlakuan adil dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Juga mengedepankan kepastian hukum bagi penerima tanah objek reforma agraria (tora), keterbukaan informasi bagi seluruh pihak, tertib penyelenggaraan negara, profesionalitas dan akuntabilitas.

“Selama ini, ada masyarakat tinggal di kampung, tetapi tak bisa kita diberikan hak apapun karena masih dalam kawasan hutan.”

Presiden, katanya, memerintahkan Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan dari kawasan hutan. KLHK, memberikan lebih 994.000 hektar kawasan hutan untuk rakyat.

“Untuk tanah terlantar dan transmigrasi yang selama ini belum bersertifikat akan disertifikatkan. HGU yang ditelantarkan kita ambil alih dan dibagikan kepada masyarakat.”

Konflik lahan warga dan PTPN. Warga Mantadulu berdiskusi bersama kuasa hukum di halaman PN Malili, 11 Januari 2018. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Untuk menjalankan agenda reforma agraria, KATR/BPN membuat perencanaan penataan aset atas penguasaan dan kepemilikan tora, penataan akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksitora. Lalu, peningkatan kepastian hukum dan legalisasi tora, penanganan sengketa dan konflik agraria, serta kegiatan lain yang mendukung reforma agraria.

“Perencanaan reforma agraria jadi acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian lembaga dan rencana pembangunan daerah,” katanya.

Capaian redistribusi tanah 2015 sebanyak 95.741 bidang (target 107.150), tahun 2016 sebanyak 143.234 (target 170.562), tahun 2017 sebanyak 23.214 bidang (target 23.925), 2018 sebanyak 82.230 (target 350.650). Dalam RPJMN target 400.000 bidang, terealisasi 344.419.

Sementara capaian inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) tahun 2015, sebanyak 88.384 bidang dari target awal 144.900. Tahun 2016, sebanyak 522.457 bidang dari target 612.365, 2017 (106.957 bidang, target 120.445). Pada 2018, sebanyak 189.058 bidang daei target 719.612.

Saat ini, katanya, telah terbentuk kelembagaan reforma agraria baik nasional diketuai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, tingkat pusat Menteri ATR/Kepala BPN, provinsi diketuai gubernur. Dia bilang, kelembagaan ini langkah maju agar reforma agraria terkoordinasi dengan baik.

Gugus tugas

KATR/BPN membentuk Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Hingga kini sudah terbentuk 23 provinsi melalui SK gubernur. M. Ikhsan, Direktur Jenderal Penataan Agraria KATR/BPN juga mengatakan, kelahiran Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, sejalan dengan pelepasan 994.000 hektar kawasan hutan nanti lewat redistribusi tanah.

“Di lapangan sedang inventarisasi. Ini harus jelas jangan sampai dimanfaatkan lagi oleh orang-orang tertentu, harus benar-benar profesional dan selektif terhadap subjek reforma agraria. Memang untuk masyarakat kurang mampu,” katanya.

ahan ulayat masyarakat di Sorong Selatan, yang berkonflik dengan perusahaan. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

Penyelesaian konflik

Dalam proses penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan pada 2015 ada 2.145 kasus 947 selesai. Pada 2016, ada 2.996 konflik dan selesai 1.570 kasus. Tahun 2017, sebanyak 3.293 konflik, selesai 1.034, dan pada 2018 sebanyak 2.368 konflik, selesai 480 kasus.

Secara persentase, konflik dominan terjadi antara perorangan dengan eprorangan yaitu 6.071 kasus (56,20%), masyarakat dengan pemerintah 2.866 kasus (26,53%), perorangan dengan badan hukum 1.668 kasus (15,44%), badan hukum dengan abdan hukum 131 kasus (1,21%), dan antar kelompok masyarakat 66 kasus (0,61%).

“Salah satu akar permasalahan sengketa penguasaan tanah adalah bukti kepemilikan tanah dan ketimpangan penguasaan,” katanya.

Untuk itu, KATR/BPN, kata Sofyan, sudah tandatangan nota kesepahaman dengan kepolisian dan kejaksaan. Kerjasama ini, katanya, untuk membentuk penguatan dan percepatan penyelesaian sengketa dan konflik yang berkepastian hukum.

“Hambatannya, kurang sumber daya manusia yang mampu menganalisis kasus. Juga sulit pembuatan rekapitulasi data karena belum tertib Kantor Pertanahan dan Kanwil untuk entry data penanganan kasus sengketa konflik dan perkara.”

Untuk mempercepat pendaftaran tanah, Jokowi mengeluarkan Inpres Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap. Harapannya, pada 2025, seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar. Dia bilang, hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum tanah, menyelesaikan konflik, mendukung inklusi keuangan dan tertib administrasi pertanahan.

Sepanjang periode 2015-31 September 2018, sudah ada 11.498.444 bidang tanah terdaftar. Sertifikat tanah langsung diserahkan oleh Presiden Jokowi sebanyak 2.224.354 bidang tanah.

“Jaringan di daerah terkendala hingga input capaian dalam sistem jadi lambat. Partisipasi masyarakat juga rendah. Karena ada ketakutan membayar pajak jika sertifikat sudah jadi.”

Melalui izin yang diterbitkan Pemda Sumbawa Barat pada 2014 lalu PT. Pulau Sumbawa Agro kini melakukan penanaman sisal di lahan yang diklaim sebagai tanah adat komunitas adat Talonang. Aktivitas penanaman ini mendapat penjagaan dari polisi setempat dengan alasan mencegah adanya konflik dengan warga. Foto : Wahyu Chandra

Pengadaan tanah

KATR/BPN, kata Sofyan, ikut berkontribusi dalam penyediaan tanah guna mendukung pembangunan proyek strategis nasional. Hingga kini, pengadaan tanah lebih 34.000 hektar.

Pengadaan tanah untuk membangun 45 ruas jalan tol seluas 13.838 hektar, untuk pengembangan lima jaringan rel kereta api 63 hektar, dua proyek irigasi pertanian di Leuwigoong empat hektar dan di Lhok Guci 174 hektar. Untuk bendungan 7.949 hektar, kawasan ekonomi khusus (KEK) 8.183 hektar, pos lintas batas 26 hektar, proyek pembangkit listrik 4.131 hektar, kilang minyak 3,5 hektar.

Untuk pengadaan tanah, katanya, juga masih ada kendala. Masih lemah pemahaman penyusunan dokumen perencanaan pada instansi yang memerlukan tanah. Lokasi pengadaan tanah tak didukung data awal, tidak sesuai RTRW dan berada di dalam kawasan hutan.

“Masih terjadi sengketa, keberatan ganti rugi, maupun persyaratan perizinan yang tak lengkap oleh instansi yang memerlukan tanah. Juga peraturan perundangan yang belum efisien,” katanya.

 

Konsolidasi tanah

Selama empat tahun kepemimpinan Jokowi-JK, KATR/BPN, berupaya konsolidasi tanah di berbagai wilayah di Indonesia. Tujuannya, agar bidang tanah atau hunian lebih tertata, terjadi pelebaran dan peningkatan akses infrastruktur, terutama jalan. Juga mengurangi risiko spekulasi tanah, dan mendukung perencanaan tata ruang berkelanjutan.

Namun, katanya, selama ini upaya konsolidasi tanah banyak menemui kendala seperti sulit mencapai kesepakatan dengan tipologi masyarakat beragam, kurang koordinasi internal dan eksternal antarinstansi dan stakeholder. Lalu, status tanah belum semua terdaftar dan seringkali tak sesuai dokumen dan masih kurang pemahaman manfaat konsolidasi tanah karena minim anggaran sosialisasi kepada masyarakat.

Kalau upaya konsolidasi tanah terkendala, katanya, bisa menyebabkan menghambat pembangunan infrastruktur. Capaian konsolidasi tanah hingga saat ini 5.512 hektar, melibatkan 11.599 keluarga.

“Perlu ada penguatan dasar hukum konsolidasi tanah. Perencanaan konsolidasi tanah pertanian dan non pertanian di beberapa wilayah di Indonesia dapat meningkatkan kualitas dan nilai lahan. Kita akan terus mengembangkan konsolidasi tanah,” katanya.

Capaian infrastruktur agraria antara lain, peta dasar seluas 20.038.100 hektar, peta tematik 21,5 juta hektar, peta pengadaan tanah 5,4 juta bidang, peta dasar skala 1:5.000 untuk RDTR di 33 lokasi, dan surveyor kadaster berlisensi 7.271 orang,

“Peta dasar dan peta tematik yang dihasilkan dapat mendorong pemanfaatan lahan yang lebih optimal.”

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Partisipasi masyarakat dilibatkan dalam delinasi batas bidang, penanaman batas bidang, dan pengumpulan berkas. Pendekatan pembangunan partisipatif dapat meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat.

Hal ini, kata Sofyan, masih ada kendala, seperti keterbatasan peralatan teknis dan peta dasar dengan citra satelit beresolusi tinggi, permasalahan operasional seperti tak ada patok batas, peta batas hutan kecil, maupun batas desa belum definitif.

Gerakan pemda, katanya, juga kurang dalam mengikutsertakan masyarakat maupun kompetensi sebagian juru ukur pihak ketiga terbatas.

Sesuaikan tata ruang untuk infrastruktur?

KATR?BPN pun, katanya, menjalankan strategi tata ruang melalui sinkronisasi, koordinasi dengan kementerian lembaga dan pemerintah daerah serta penyusunan rencana detail tata ruang. “Ini akan mendukung pembangunan proyek strategis nasional sesuai rencana tata ruang,” katanya.

Dia bilang, penyusunan rencana tata ruang dibuat untuk mendukung infrastruktur strategis nasional, sekitar 79% dari 376 proyek. Ia terdiri dari 152 proyek pembangkit listrik 35 GW (83 sesuai tata ruang, 69 perlu rekomendasi ATR, 69 proyek jalan tol (64 sesuai tata ruang), jaringan jalur kereta api 47 proyek (44 sesuai tata ruang), waduk 56 proyek–55 sesuai tata ruang. Lalu, bandar udara 21 proyek, pelabuhan dan feeder tol laut 30 proyek, 29 sesuai tata ruang.

“Bagi proyek strategis nasional masih memerlukan rekomendasi KATR/BPN, perlu segera difasilitasi,” katanya.

Status dokumen tata ruang di Indonesia total 1.838, 45 (2,5%) sudah sah melalui perda. Lalu, 1.793 rencana detail tata ruang (RDTR) (97,5%) belum sah melalui perda.

“Untuk memperkuat fungsi rencana tata ruang, kami sedang akselerasi pembuatan RDTR.”

Selama ini, kata Sofyan, masih banyak kendala dalam pengesahan RDTR, seperti keterbatasan sumber daya manusia di daerah karena perubahan organisasi perangkat daerah (OPD). Penyelesaian rencana tata ruang terhambat karena keterbatasan data spasial tematik.

“Juga ada keterbatasan kendali Direktorat Jenderal Tata Ruang dalam pembinaan kepada seluruh pemda dan masyarakat,” katanya, seraya bilang, peraturan banyak mengenai perundangan tata ruang juga jadi penyebab.

Baca juga: Konflik warga Mantadulu, Sulawesi Selatan dengan PTPN.Pada Kamis 13 Juli 2017, Ibrahim, 72 tahun, warga Mantadulu, transmigran dari Lombok Tengah mempelihatkan sertifikat tanah yang diklaim PTPN XIV. Konflik lahan antara warga dan perusahaan, termasuk perusahaan negara, banyak terjadi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Program SETAPAK 2 Usung Tema : ”Transformasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia”

Banyaknya permasalahan kehutanan  dan pengelolaan hutan di Indonesia, seperti  deforestasi yang jumlahnya begitu  besar membuat banyak pihak prihatin dan memberikan banyak perhatian terhadap nasib hutan di Indonesia, tak terkecuali para penggiat kehutanan dari  pihak asing seperti yang digagas oleh The Asia Foudation ( TAF ).

Sejak digagas tahun 2011 dengan dukungan UK Climate Change Unit (UKCCU), program Selamatkan Hutan dan Lahan melalui Perbaikan Tata Kelola (SETAPAK) The Asia Foundation meyakini bahwa tata kelola hutan dan lahan yang baik adalah kunci bagi pembangunan sektor hutan yang berkelanjutan yang bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat desa sekitar hutan serta pelestarian lingkungan.

Atas dasar itulah The Asia Foundation ( TAF ) melalui  program SETAPAK   mengadakan temu mitra Program SETAPAK 2 (Forestival 4), yang setiap tahun diadakan.  Tema yang diusung dalam  acara Temu Mitra Program SETAPAK 2 (Forestival 4) kali ini adalah ”Transformasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia.”

Sebanyak 130 orang perwakilan dari 64 mitra Program SETAPAK 2  dari  14 provinsi tersebut berkumpul di Jakarta untuk menghadiri Forestival 4 dalam upaya mengevaluasi serta mensinergikan program kerja dan berbagai gerakan dan kebijakan yang mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan dengan mengedepankan asas kelestarian, keadilan, dan kesetaraan.

64 mitra yang merupakan organisasi masyarakat sipil dari 14 provinsi dan nasional tersebut berasal dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, Jakarta, dan Bogor.

Melalui program SETAPAK 2  mereka sepakat  semakin mengokohkan perannya untuk:

  1. Mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan sebagai upaya untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan,
  2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor hutan dan lahan,
  3. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman di sektor kehutanan dan penggunaan lahan melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil di daerah-daerah untuk memantau tindakan pemerintah dalam proses penerbitan izin dan perbaikan kebijakan,
  4. Membantu penyusunan strategi kampanye dan upaya advokasi untuk perlindungan sumber daya alam,
  5. Menganalisis data dan informasi untuk mengadvokasi isu penyalahgunaan anggaran, gender, dan keputusan pemerintah terkait kasus sumber daya alam.

“Program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif serta mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, “ ungkap  Sandra Hamid , Country Representative The Asia Foundation (TAF), dalam keterangannya di Jakarta Selasa ( 30/10/2018).

Sebagai hasil prgram tersebut, menurut Lili Hasanuddin selaku Direktur Program SETAPAK 2, mengatakan bahwa capaian dari program SETAPAK bersama para mitranya adalah sebagai berikut:

  • Menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait, anggaran, kebijakan mediasi konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan lain-lain untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan.
  • 16% izin usaha yang melanggar dicabut secara nasional melalui Korsup Minerba KPK.
  • Berkontribusi 13% terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Dimana 222,385 hektar telah diizinkan untuk dikelola warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.

“Dengan capaian tersebut Mitra SETAPAK telah berkontribusi dalam mendorong Transformasi  Sektor Tata Kelola Hutan dan Lahan di 14 Provinsi,” tegas Lili pada kesempatan yang sama

Program Setapak 2 tersebut lanjut Lili,  juga berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup. Langkah lainnya adalah dengan bekerjasama dengan pemerintah dan membuat program-program yang fokus terhadap perempuan.

Meski belum maksimal menurut Lili, capaian tersebut merupakan hasil kerja keras maksimal dari seluruh elemen yang mendukung program tersebut. Kedepan menurut Lili akan terus diupayakan capaian yang lebih optimal lagi.

Sementara itu Peter Rajadiston selaku Deputy Head of United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU), dalam sambutannya mengapresiasi kerja keras 64 mitra program SETAPAK 2 dalam mendorong Tata Kelola Hutan dan Lahan melalui keterbukaan informasi, penegakan hukum, keadilan gender, anggaran dan keuangan berkelanjutan, kebijakan, dan ruang kelola rakyat.

Untuk menjaring berbagai masukan dari para peserta Forestival 4 yang berlangsung di Jakarta, Selasa ( 30/10/2018 ) tersebut peserta diminta untuk menuliskan berbagai ide dan gagasan untuk Tata Kelola Hutan dan Lahan kedepan yang lebih baik lagi. Nantinya seluruh masukan tersebut akan dibahas lebih dalam dan menjadi masukan untuk program kedepannya menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan yang berkelanjutan.

Menurut Sulthon, Direktur Eksekutif  Forest Watch Indonesia ( FWI ), mengungkapkan bahwa Tata Kelola Hutan dan Lahan kedepan harus benar-benar sesuai dengan azas dan amanah yang diemban oleh UUD 45 pasal 33.

“ Pengelolaah hutan harus sepenuhnya diperuntukan bagi kepentingan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh negara, agar terjadi keadilan dan berkelanjutan,” ujar Sulthon di sela-sela acara Forestival 4 tersebut di Jakarta.

sumber: Eksekutif.id

Mendorong Keterlibatan Kelompok Perempuan untuk Pengelolaan SDA yang Adil dan Berkelanjutan

ALIH fungsi lahan yang ditandai maraknya izin-izin kebun sawit, hutan tanaman industri, dan tambang, berdampak besar kepada salah satu kelompok rentan di masyarakat yaitu, perempuan. Dari berbagai hasil kajian, kelompok perempuanlah yang menanggung dampak paling parah dari lemahnya TKHL (Tata Kelola Hutan dan Lahan) di tingkat lokal.

Hal ini akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya alam. Perubahan peran produktif ini mengakibatkan terampasnya wilayah kelol perempuan, hilangnya mata pencaharian, dan penghasilan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi perempuan di dalam rumah tangga.

Padahal, perspektif gender sangat penting dalam isu lingkugan, karena dengan adanya perspektif tersebut, posisi perempuan dan laki-laki berada dalam posisi yang setara, terutama dalam hal kesempatan dan partisipasi.

Perspektif ini juga digadang-gadang memperkaya upaya perbaikan TKHL dengan melibatkan perempuan dalam proses advokasi dan perumusan kebijakan TKHL.

Oleh karena itu, analisis gender dalam TKHL akan membantu mengidentifikasi kesenjagan berbasis gender untuk merancang program yang dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan dalam isu lingkungan.

Kendati demikian ada sejumlah tantangan yang harus dihadapai dalam upaya mengimplementasi Pendekatan Gender Responsif (GRA). Masih minimnya inisiatif sebuah institusi maupun mitra untuk melibatkan kelompok perempuan secara aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka terkait pengelolaab hutan dan lahan yabg adil dan berkelanjutan.

Selama ini, mitra menerjamahkan GRA sebagai women specific programme yang fokus kepada kegiatan ekonomi mikro, dan tidka mendorng perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kampung/desa, termasuk advokasi untuk perlindugan kepada sumber daya alam.

Melihat kesenjangan antara konsep dan implementasi GRA pada fase pertama program SETAPAK (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola), The Asia Foundation mendorong mitra untuk mengintegrasikan GRA ke dalam pelaksanaan program dan kelembagaan mitra, dengan terlebih dahulu melakukan penilaian. Penilaian inilah yang nantinya akan menggunakan metode Gender Analysis Pathway (GAP).

Metode ini berupaya menulusuri bagaimana mitra secara kelembagaan menerapkan GRA, mulai dari visi organisasi, komposisi gender staf, bagaimana mereka menyusun program, sampai mengkaji ulang logical framework.

“Bersama 64 mitra, program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Termasuk mewujudukan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” ujar Sandra Hamid selaku Country Representative The Asia Foundation, dalam acara Forestival 4, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2018).

Sejauh ini, program tersebut telah berkontribusi terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Di mana 222.385 hektar telah diizinkan untuk dikelola oleh warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.

Program ini juga dianggap berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup.

“Sejauh ini, kami telah menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait anggaran, mediasi, konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan masih banyak lagi. Tujuannya untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkalnjutan,” kata Lili Hasanuddi selaku Direktur Program SETAPAK 2.

Sumber: okezone.com

Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria Harus Jelas Pelaksanaannya

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menetapkan reforma agraria sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Juga, memperluas wilayah kelola masyarakat melalui perhutanan sosial.

Abetnego Tarigan, tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menyatakan, pemerintahan Jokowi menyiapkan 9 juta hektar lahan untuk reforma agraria. Juga, 12,7 juta hektar lahan dalam bentuk perhutanan sosial yang secara realistis dipenuhi seluas 4,38 juta hektar.

Menurut dia, pencanangan tersebut sangat singkat karena hingga 2019. Sementara tantangannya, struktural maupun dari luar, sangat berat. Belum lagi, ditambah praktik korupsi di lapangan yang kemungkinan bisa terjadi. Sehingga, KSP selalu berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan KLHK untuk menjalankan reforma agraria dan perhutanan sosial.

“Harapannya, setiap masalah ada penyelesaiannya. Saudara kita di pulau kecil saat ini banyak berkonflik dengan perusahaan,” jelasnya.

Lantas, untuk wilayah Sumatera, bagaimana pelaksanaan program tersebut?

Bresman Marpaung, Kepala Seksi Tenur dan Hutan Adat Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera, kepada Mongabay belum lama ini di Medan mengatakan, ada 200 ribuan hektar yang sudah diserahkan SK perlindungan hak tanah dari Presiden Jokowi. “Untuk nasional, sudah mendekati target 2 juta hektar yang saat ini 1,9 juta hektar. Itu merupakan perhutanan sosial,” jelasnya.

Terkait hutan adat, dari 16 SK pengakuan sebanyak 10 di antaranya berada di di wilayah BPSKL Wilayah Sumatera. Sumatera Utara, sampai saat ini belum ada. “Tobasa, Tapanuli Utara, Samosir dan Simalungun merupakan wilayah masyarakat adat di Sumatera Utara yang sudah mengklaim hutan adatnya. Ini masih dilakukan verifikasi, dibantu tenman-teman AMAN Tano Batak, ” jelasnya.

Bresman menjelaskan, selain memberikan akses kelola, pemerintah juga berniat menyelesaikan berbagai konflik sosial terkait penguasaan lahan yang tidak seimbang, antara pemegang izin skala besar dengan masyarakat. Ini dilakukan secara damai dan mengedepankan dialog.

Melaui perbaikan kebijakan mengurangi ketimpangan lahan, Presiden pada 4 Januari 2017 dalam sidang kabinet paripurna di Bogor, menetapkan program pemerataan ekonomi. “Di bidang lahan, melalui reforma agraria yaitu tanah objek reforma agraria (TORA) sekitar 9 juta hektar, dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar yang telah direvisi menjadi 4,38 juta hektar sampai tahun 2019,” jelasnya.

Pengakuan

Manambus Pasaribu, Direktur BAKUMSU mengatakan, isu konflik pertanahan selama ini sudah akut. Pemerintah harus dengan baik menyelesaikannya, secara cermat. Lakukan dari bawah, ketika ada kebijakan bicarakan dengan masyarakat sebagai landasan kebijakan.

“Di 2018, keluar satu perda perlindungan masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta, kemudian di Toba Samosir tentang perda wilayah adat. Di wilayah yang masih kuat sejarah dan kepemimpinan adat, pemerintah harus membuat perda masyarakat adat agar hak kelolanya lebih kuat dan pengakuannya semakin tinggi,” jelas Manambus.

Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam Kongres AMAN di Deli Serdang, Sumatera Utara mengatakan, saat ini ada kebijakan pengakuan adat dan wilayah adat. Ada perhutanan sosial dan juga reforma agrarian. Tetapi, di sisi lain sama-sama diketahui kriminalisasi terhadap masyrakarat adat, represi, dan intimidasi masih terjadi.

Standar ganda ini harus dihentikan. Bila ingin menjalankan reforma agraria, pengakuan masyarakat dan wilayah adat harus selaras dengan pemulihan hak korban. “Bukan malah mengintimidasi atau melakukan kriminalisasi sebagaimana banyak kasus sengketa tanah di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Dewi, kriminalisasi sebagaimana terjadi di Seko, Kendeng, juga di Luwu. Satu pihak, janji reforma agraria akan pengakuan wilayah adat dijanjikan, tetapi di sisi lain polisi dan TNI tetap masuk di wilayah-wilayah konflik tersebut.

“Harus ada keputusan politik dari KSP yang dapat memberikan informasi ke Presiden guna menjalankan reforma agraria yang konkret. Kebijakan nasional ini harus bisa dirasakan di tingkat masyarakat paling bawah,” jelasnya.

Copyright: Mongabay.co.id

Menteri Lingkungan Bakal Evaluasi 2,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, akan mengevaluasi sekitar 2,3 juta hektar perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.

“Kalau dari sisi land cover, luas perkebunan sawit seluruhnya hampir 15 juta hektar. Ini data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebun di dalam hutan baik itu karet, sawit dan lain-lain ada 11 juta hektar. Seluruh land cover, artinya tutupan lahan dalam bentuk kebun maupun karet. Khusus sawit luas dalam kawasan hutan sekitar 2,3 juta hektar,” katanya usai rapat koordinasi bersama Menko Perekonomian di Jakarta, Jumat (19/10/18).

Dia bilang, angka itu masih perkiraan dan terus evaluasi. KLHK, katanya, akan mendetailkan angka luasan perkebunan sawit dalam kawasan hutan bersama para pihak lain.

Evaluasi perizinan perkebunan sawit ini, katanya, sejalan dengan tiga regulasi Presiden Joko Widodo, yakni, Perpres Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan hutan, Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit, dan Inpres Reforma Agraria.

“Tiga-tiganya sama untuk menata perizinan. Juga memastikan keberpihakan kepada perizinan bagi masyarakat dan penyelesaian masalah tanah di kawasan hutan seperti tumpang tindih,” katanya.

Ketiga regulasi itu, katanya, harus jelas. Pemerintah juga menyiapkan langkah teknis dalam menjalankan regulasi ini.

“Bagian saya di kehutanan dalam hal Inpres Moratorium Sawit.”

Tugas KLHK, kata Siti, tak boleh ada izin baru, sampai evaluasi izin yang ada permohonan tetapi tak keluar. “Karena ada permohonan enam atau delapan tahun lalu. Itu dilihat persyaratan seperti apa kebun sawit saat izin diterbitkan oleh bupati, sudah sesuai apa tidak? Itu bagian saya juga,” katanya.

Masuk juga dalam evaluasi, katanya, kala perizinan sudah keluar tetapi di lapangan belum ada kegiatan. “Ada dalam proses, ada izin sudah keluar, di lapangan sudah buka atau belum? Kalau ada izin belum buka, ini evaluasi juga. Apakah ada di hutan lebat, atau hutan primer? Kalau lebat bagaimana? Harus seperti apa? Ini yang saya laporkan.”

Kebun sawit di lahan gambut. Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Selain itu, kata Siti, untuk menjalankan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit, KLHK segera menerbitkan aturan turunan.

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, soal hak guna usaha, baru bisa keluar kalau perizinan dari KLHK sudah beres. Dia juga mendata HGU perkebunan sawit yang ada.

“HGU merupakan bagian paling akhir. Perizinan berada di KLHK. Dari kita HGU akan keluar jika perizinan sudah beres,” katanya.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebut, Inpres Moratorium Sawit merupakan solusi berbagai persoalan tata kelola. Ia juga sejalan dua aturan lain, yakni Inpres Percepatan Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan dan Inpres Reforma Agraria.

“Inpres Moratorium Sawit jangan diartikan kita akan berhenti menambah produksi minyak sawit. Kita memberikan waktu tiga tahun membereskan semua persoalan di perkebunan sawit. Termasuk di dalam kawasan hutan,” katanya.

Tak hanya perkebunan sawit besar, katanya, juga menjawab persoalan perkebunan perusahaan menengah dan swadaya masyarakat yang selama ini belum banyak terdaftar.

Berbagai masalah tata kelola, katanya, akan diselesaikan selama tiga tahun.

“Kita akan tata semua hingga mereka terdaftar dan perizinan beres. Tentu nanti akan ada persoalan yang selama ini tak terdata, melanggar kemudian sanksi apa. Itu semua ada sanksi. Jadi, berbagai regulasi itu untuk membenahi perkebunan kita supaya memenuhi standar sustainable (berkelanjutan-red) dan jelas.”

Darmin bilang, pembenahan ini sangat penting guna menunjukkan kepada semua pihak bahwa Indonesia serius memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Kalau tidak, kita akan terus menjadi bulan-bulanan. Ada anggapan tak jelas bahwa Indonesia malah menebang hutan untuk menanam sawit. Jangan sampai moratorium ini dianggap hanya untuk menindak orang. Ini untuk menyelesaikan persoalan.”

Copyright : Mongabay.co.id

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan