Cukong Kaya Raya Pekerja Bertaruh Nyawa, Investigasi Tambang Batubara Rakyat

Sumatera Selatan, Anak-anak pasutri Hermi-Yanti mendadak yatim piatu. Pasangan itu tewas terkubur hidup-hidup saat tengah mencangkuli batubara di mulut tambang ilegal lima bulan lalu.

Para pekerja tambang seperti pasangan itu bertaruh nyawa mengais “emas hitam” itu dalam terowongan gelap hanya dengan cangkul dan blencong.

Investigasi Tambang Batubara Ilegal

Sementara perputaran uang dari bisnis tambang ilegal ini mencapai miliaran rupiah tiap harinya. Untung emas hitam ilegal dinikmati cukong-cukong besar dan pemilik tanah.

Tambang batubara illegal yang dikelola scara tradisonal menyebar di Kabupaten Muaraenim Sumatera Selatan. Untuk melihat dari dekat perkara ini, Tribun Sumsel berkolaborasi dengan Hutan Kita Institut, Pinus Sumsel dan Kanopi Bengkulu membentuk tim investigasi.

Tampak terowongan yang dibuat pekerja tambang di dasar mulut tambang untuk mengambil batubara. Pekerja bekerja seharian dengan upah maksimal hanya Rp 125 ribu sehari.

Melihat dari dekat aktifitas illegal tambang-tambang rakyat yang sangat tertutup ini.

Hamparan karung berisi batubara berjejer bertumpuk di sepanjang sisi jalan Dusun Karso Desa Darmo, Kabupaten Muaraenim di pos-pos cukong pengepul. Sore pekan lalu, tim investigassi bergerak menuju mulut tambang ilegal di Desa Darmo. Tim terpaksa menyamar untuk menembus lokasi mulut tambang mengingat rawannya daerah itu. Bahkan pada sumber yang menjadi penghubung.

Mulut tambang rakyat ilegal yang menjadi sasaran investigasi di Dusun Karso hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor. Ada empat mulut tambang rakyat di dusun itu.

Tak ada alat berat di mulut tambang itu. Semua dilakukan tradisional dengan cangkul, sekop dan blencong.

 

Mulut tambang menganga paling tidak selebar kurang lebih 20 meter. Dari dasar mulut tambang tampak belasan terowongan tambang. Kabarnya terowongan ini bahkan begitu jauh dan dalam sampai ke bawah rumah-rumah penduduk dan jalan raya.

Deru mesin pompa air langsung terdengar keras saat mendekati bibir lubang. Puluhan pekerja pria dan wanita tengah sibuk menambang batubara.

Tak ada tali atau kelengkapan apapun, bahkan sebagian dari mereka bertelanjang dada saat bekerja mengikis dinding lubang itu. Pecahan batubara pun berjatuhan di dasar lubang, bahkan diantaranya hingga menggunung tinggi.

” Hari ini, kami tak bisa menambang di terowongan, karena dipenuhi air hujan semalam, sehingga harus disedot terbih dahulu,” kata seorang pekerja.

 

Terowongan yang menyerupai goa berukuran dua kali dua meter sebenarnya merupakan lokasi penambangan. Para pekerja seharusnya bekerja di dalam terowongan itu jika tidak ada air yang menggenangi.

Di dalam terowongan itu pekerja menggunakan penerangan senter. Panjang terowongan dapat mencapai ratusan meter, tergantung kemampuan para pekerja.

“Ukurannya semampunya. Sampai lelah dan tak mampu lagi menggali, diantara terowongan itu ada yang sampai 100 meter” katanya.

Terowongan itu mengarah tidak hanya satu titik saja namun bercabang-cabang ke kanan dan kiri, semuanya ditentukan pekerja. Biasanya pekerja menduga potensi batubara besar sehingga memutuskan membuat lorong tambahan di dalam. “Semua pekerjaan pasti ada bahayanya. Yang penting dapat uang,” katanya.

Di terowongan mereka dibantu oleh para tukang ojek yang membawa karung-karung batubara keluar dari dalam lorong. Aktivitas penambangan dapat dilakukan sepanjang waktu ditentukan fisik masing masing pekerja.

“Cabang cabang terowongan biasanya berukuran lebih kecil, mungkin hanya muat untuk lalu lintas sepeda motor pembawa karung batubara,” katanya

Ia menyebut para pekerja mendapatkan upah kisaran Rp. 2500 untuk satu karung. Sementara ojek batubara mendapatkan upah Rp. 3000-4000 perkarung tergantung dengan jarak.

Para pekerja pada umumnya merupakan warga yang berasal dari daerah lain, mulai dari Banten, Lampung, Lahat. Mereka membangun hunian sementara di dekat lokasi tambang yang mereka kerjakan.

“Kalau satu orang bisa dapat 50 karung saja, dan disini ada 20 pekerja maka dalam sehari mereka mampu menaikan 40 ton batubara ke permukaan,” sebutnya

Cahaya matahari tak lagi dapat masuk kedalam hanya berjarak sekitar tujuh meter dari mulut terowongan. Sejumlah lorong di dalam terowongan cukup sempit hanya berukuran lebar 1 meter dan tinggi 1,5 meter.

 

Interaksi dengan pekerja tak berlanjut, pekerja itu kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali. Menyusuri terowongan tak mudah, selain tinggi terowongan yang tak sama juga dasar terowongan cukup berlumpur.

Sejak harga karet anjlok penambangan ilegal ini makin massif. Penduduk setempat yang semula menyadap karet lalu turun jadi petambang. Sebelumnya pekerja tambang rakyat ini hanya berasa dari luar daerah seperti Lampung dan Jawa.

Pundi Cukong

– Satu Mulut Tambang Butuh Modal awal Rp 50 Juta
– Sewa tanah Rp 15 juta sebagai uang pangkal.
– Produksi 40 Ton/hari
– Harga: Rp 11500 per karung atau Rp 287,5/kg
– Omset: Rp 11,5 Juta/hari
– Untung bersih setelah di potong upah, jasa angkut sewa sewa: Rp 5,5 juta/hari

Pundi Agen

– Harga beli Rp 2,87 juta satu truk (10 ton)
– Harga Jual Rp 8 juta satu truk
– Untung bersih setelah dikurang biaya angkut Rp 2,5 Juta/truk

Pundi Pemilik Tanah

– Pemilik Tanah Rp 15 juta perbulan atau Rp. 1000 perkarung

Sumber: Tribunsumsel.com

 

Pemerintah Benahi Tata Kelola 20 Juta Hektar Kebun Sawit

Pemerintah menyatakan, izin-izin perkebunan sawit di seluruh Indonesia, sudah mencapai 20 jutaan hektar. Luasan sebesar itulah yang akan dibenahi tata kelolanya melalui kebijakan Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang moratorium izin sawit.

”Izin lokasi terekam sudah sekitar 20 juta hektar,” kata Bambang, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian usai menghadiri rembug nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, akhir November lalu.

Meskipun begitu, soal data kebun sawit, hingga kini masih simpang siur. Angka 20 jutaan hektar itu dari data Kementerian Pertanian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dan Badan Pusat Statistik.

Dari angka itu, 16,38 juta hektar sudah ditanami sawit. Data Direktorat Jenderal Perkebunan, berbeda, luasan tanam 14,31 hektar. Ada selisih 2,77 juta hektar.

Selisih luasan itu, katanya, bisa karena ada tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan, lahan belum legal atau belum terdaftar dalam surat tanda daftar usaha budidaya (STDB) sawit.

Berdasarkan data Kementan, ada 5,81 juta hektar merupakan perkebunan sawit rakyat, 7,79 juta hektar perusahaan besar swasta dan 713.120 hektar perkebunan negara.

”Kami punya motivasi kuat menyempurnakan pendataan ini. Perbedaan data ini kita maklumi karena sedang menertibkan itu,” katanya.

Melalui inpres itu, akan ada penyelesaian masalah pendataan perkebunan sawit, antara lain mengidentifikasi perkebunan yang masuk kawasan hutan. Juga soal ganti rugi masyarakat, dari proses izin lokasi yang ada berapa luasan layak terbit hak guna usaha (HGU).

Dengan begitu, katanya, bukan mustahil kalau nanti ada penambahan luasan setelah hasil verifikasi data izin Kementan, seluas 14,03 juta hektar itu. ”Itu berarti bukan tanam baru, tapi baru ketahuan.”

Kolaborasi pemerintah pusat, kabupaten dan provinsi, katanya, jadi kunci pembenahan tata kelola sawit ini.

Pendataan akurat dan kredibel, jadi acuan budidaya sawit berkelanjutan, pemilihan bibit, budidaya lahan gambut, tata kelola dan lain-lain. Dengan begitu, katanya, produktivitas perkebunan bisa terjamin, begitu juga legalitas lahan.

Dalam tiga tahun moratorium izin sawit ini, pemerintah akan mengevaluasi peningkatan kinerja petani swadaya, terutama produktivitas tiga ton per hektar jadi 6-9 ton per hektar.

Pada masa itu, kata Bambang, pemerintah bisa menyudahi pembukaan lahan baru karena produktivitas jadi tujuan utama.

“Pada tahun keempat, setelah kami rapikan semua, kami setop dulu tak memberikan izin sampai terlihat perubahan peningkatan produktivitas ini.”

Sawit disebut-sebut sebagai produk andalan devisa negara. Untuk memproduksi bulir-bulir buah ini menciptakan begitu banyak masalah, dari perizinan tak sesuai prosedur, menciptakan deforestasi, bencana sampai pelanggaran HAM. Indonesia perlu pembenahan kebun sawit serius, hingga tak perlu lagi ekspansi, cukup membenahi tata kelola dan produktivitas dari kebun-kebun yang sudah ada. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Langkah intensifikasi, mennekankan produktivitas ini juga melalui kemitraan antara pengusaha dan petani serta mendorong peremajaan perkebunan sawit.

Sedangkan kampanye-kampanye yang menyatakan sawit menimbulkan banyak masalah, harap Bambang, bisa terjawab dengan legalitas lahan dan standar sawit berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).

”Jika telah ISPO, baik masyarakat atau perusahaan berarti suda selenggarakan perkebunan taat asas ketentuan berlaku,” katanya.

Mansuetus Darto, Ketua Umum SPKS mengatakan, kebijakan moratorium izin sawit ini memberikan nafas baru bagi petani swadaya dan mandiri.

Kebijakan ini, katanya, memberikan peluang kepada petani swadaya mandiri untuk memperoleh pemberdayaan, legalitas dan peningkatan produktivitas.

SPKS meminta, pemerintah memutuskan pabrik-pabrik sawit berskala besar agar bermitra dengan petani kecil (rakyat) yang tak memiliki kebun. Melalui kemitraan ini, katanya, diharapkan nasib petani swadaya bisa lebih baik.

Selain itu, katanya, pendataan petani baik dalam kawasan hutan maupun non kawasan penting dalam menyelesaikan tata kelola perkebunan sawit.

Senada dikatakan Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia. Dia mengatakan, moratorium izin sawit berdampak positif bagi produk sawit Indonesia, agar tak terus menerus mengeksploitasi hutan, mengabaikan aspek sosial dan lingkungan.

Yanuar Nugroho, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan mengatakan, perkebunan sawit Indonesia terluas di dunia.

”Signifikan [dilakukan] jadikan perkebunan sawit Indonesia paling produktif, mensejahterakan petani dan bebas konflik,” katanya.

Menurut dia, penyelesaian tata kelola sawit tak bisa melalui bisnis biasa (business as usual), juga perlu terobosan dan fokus produktivitas dan industri hilir.

ISPO dan peremajaan sawit

Menurut Bambang, dari areal perkebunan sawit 14,3 juta hektar, baru 20,48% atau 2.350.318 hektar lahan sudah memiliki sertifikasi ISPO dengan produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) mencapai 10,204 juta ton (26,99%).

Data simpang siur, katanya, karena ada masalah tumpang tindih lahan dan legalitas lahan. Upaya penguatan dan percepatan itu, ISPO ini pun sejalan dengan upaya kebijakan moratorium sawit. ”Nanti akan data total perkebunan sawit pada provinsi prioritas, yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah dan Papua Barat.”

Pada tiga tahun ke depan, dia optimis tak ada perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Lima tahun ke depan, katanya, semua perkebunan akan memiliki sertifikasi ISPO, baik swasta nasional maupun milik masyarakat. Pemerintah pun, katanya, sedang revisi permentan untuk menyesuaikan target dan wajib ISPO, lima tahun mendatang sudah 100%.

Seiring dengan itu, Kementan pun penguatan ISPO bekerjasama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN). Tujuannya, sertifikasi ini bisa lebih cepat dengan keberterimaan tinggi hingga skala internasional.

Soal ISPO, muatan tertinggi dari penguatan dengan menambah kriteria. Ada dua prinsip baru hendak ditambahkan dalam aturan. Pertama, traceability (keterlacakan). Kedua, hak asasi manusia.

Traceability, kita akan menuju ke sana, bukan menolak itu tetapi kemampuan mewujudkan untuk produk sawit belum bisa sekarang, kasihan petani sawit kita,” katanya.

Dia sebutkan, dari 5,6 juta petani rakyat, ada 1,7 juta disinyalir berada di kawasan hutan. Fakta lapangan, banyak perkebunan sawit masyarakat di belakang rumah mereka sendiri dan di tengah pemukiman.

”Kalau kita terima traceability itu, artinya hanya tandan buah segar rakyat hanya bisa dipasarkan untuk biodiesel, tak bisa digunakan makanan. Industri ketakutan menerima sawit petani yang belum ISPO.”

Dia berharap, melalui inpres ini dapat mempercepat penyelesaian masalah sawit rakyat dalam kawasan dan memiliki sertifikasi ISPO.

Mengenai HAM katanya, tersurat sudah masuk.”Sudah masuk sebetulnya dalam kriteria ISPO, penyelamatan tenaga kerja dan hak-hak tenaga kerja.”

Dia beralasan, kalau HAM masuk tegas, bisa jadi kala terjadi perkelahian di perkebunan bisa menyebabkan sawit ditolak.

Untuk perkembangan peremajaan sawit, Kementan mengakui optimis menerbitkan 42.950 rekomendasi teknis guna merealisasikan program peremajaan kebun sawit seluas 185.000 hektar.

Selain itu, ada beberapa tantangan, kata Bambang, harus dihadapi dalam menarik minat masyarakat berkomitmen pada peremajaan kebun. Antara lain, pembayaran untuk rekomendasi teknis tahun lalu masih banyak petani rakyat ragu. Juga petani masih belum tertarik dengan bantuan dana peremajaan Rp25 juta per hektar karena dianggap terlalu kecil untuk menggarap lahan sekaligus memenuhi kebutuhan selama periode tak produksi.

“Mereka masih bersikukuh tetap percaya pada pohon dari benih asalan meski cuma menghasilkan satu sampai dua tandan buah segar. Kami perlu penyuluhan untuk seperti ini,” katanya.

Dari total perkebunan sawit rakyat, 5,6 juta hektar, seluas 2,4 juta hektar harus diremajakan dengan berbagai pertimbangan seperti usia pohon tak lagi produktif, penggunaan benih asalan hingga produktivitas rendah dan budidaya tak mendukung.

Menurut Bambang, realisasi peremajaan atas rekomendasi teknis yang sudah dijalankan kemungkinan baru bisa terlaksana tahun depan. Dia bilang, perlu ada beberapa persiapan untuk merealisasikan peremajaan seperti penguatan kelembagaan, pengembangan sumber daya manusia dan penyiapan sarana dan prasarana.

 

Sumber: www.mongabay.co.id

 

Menuntut Langkah Konkret dari Konferensi Iklim COP24 di Katowice

KTT Perubahan Iklim ke 24 (COP24) dimulai di Katowice, Polandia. Terutama negara-negara yang sangat terancam perubahan iklim menuntut langkah konkret dari negara-negara industri.

Di Konferensi Iklim Internasional COP24 yang berlangsung di Katowice, para pemimpin negara-negara berisiko terhadap pemanasan global seperti Fiji, Nigeria dan Nepal akan menuntut pemenuhan janji-janji yang sudah disepakati dalam kesepakatan iklim Paris tahun 2015. dari Indonesia haris Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta delegasi.

Kesepakatan Paris setuju untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celsius dan, jika memungkinkan, di bawah 1,5 derajat Celcius. Salah satu topik yang paling sengit diperdebatkan adalah, siapa yang akan membiayai langkah-langkah pencegahan perubahan iklim yang lebih parah?

Di Katowice, salah satu pusat penambangan batubara di Polandia, delegasi dari hampir 200 negara selama dua minggu akan melakukan negosiasi untuk menyusun langkah-langkah konkret tentang cara mencapai target itu. terutama metode verifikasinya.

Delegasi dari hampir 200 negara hadir di COP24 Katowice, Polandia, untuk merundingkan langkah-langkah konkret Kesepakatan Iklim Paris

Sengketa utama soal pendanaan

Dalam Kesepakatan Paris, negara-negara industri kaya – yang secara statistik paling bertanggung jawab atas sebagian besar emisi gas rumah kaca – diharapkan menyumbangkan dana ke dalam kas bersama yang bisa diakses oleh negara-negara berkembang untuk menjadikan ekonomi mereka “lebih hijau”.

Bank Dunia hari Senin (3/12) mengumumkan telah menganggarkan dana senilai 200 miliar dolar AS untuk investasi dalam aksi-aksi iklim untuk periode 2021-25. Langkah ini diharapkan bisa mendukung inisiatif hijau yang dilakukan negara-negara.

Namun KTT Iklim di Katowice dibayangai oleh keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mundur dari kesepakatan Paris. Selain itu, kondisi Bumi yang akhir-akhir ini dilanda berbagai bencana seperti kebakaran hutan, kegagalan panen dan amukan badai hebat.

“Kegagalan untuk bertindak sekarang ini berisiko mendorong kita melewati sebuah point of no return, dengan konsekuensi bencana bagi kehidupan sebagaimana kita alami akhir-akhir ini,” kata Amjad Abdulla, kepala negosiator di COP24 untuk Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil.

Sekjen PBB Antonio Guterres pada pembukaan Konferensi Iklim COP24 di Katowice, Polandia, 3 Desember 201

Peringatan keras

Panel ahli iklim PBB sendiri bulan Oktober lalu mengeluarkan peringatan paling keras mengenai bahaya perubahan iklim. Untuk untuk mencapai target 1.5 derajat Celcius sampaiakhir abad ini, emisi dari penggunaan bahan bakar fosil harus ditekan sampai setengahnya pada tahun 2030, kata para ahli.

Tuan rumah Polandia adalah salah satu dari banyak negara yang masih sangat bergantung pada batu bara, dan ingin agar peran batubara dan bahan bakar fosil bagi perekonomian tetap dibahas.

Polandia ingin agar deklarasi akhir sedikitnya memuat seruan kepada negara-negara untuk “mengenali tantangan yang dihadapi oleh wilayah, kota dan daerah dalam transisi dari bahan bakar fosil … dan pentingnya untuk memastikan masa depan yang layak bagi para pekerja yang terkena dampak transisi.”

Ketua Majelis Umum PBB Maria Espinosa mengatakan, pilihan antara iklim atau pekerjaan itu salah.

“Masyarakat perlu beradaptasi, mereka perlu memahami, jika tidak kita akan berada dalam masalah besar, sebab yang dipertaruhkan saat ini adalah kelangsungan hidup manusia dan planet ini,” katanya kepada kantor berita AFP.

Perlu upaya serius, bukan trik-trik politik

Tapi bagi beberapa negara, waktu untuk beradaptasi dengan efek perubahan iklim sudah tidak ada lagi, karena mereka sudah langsung berhadapan dengan dampaknya.

Perdana Menteri Fiji Frank Bainimarama, Ketua penyelenggara Konferensi Iklim COP23 tahun lalu di Bonn mengatakan, COP24 di Katowice sekarang harus menghasilkan “transisi yang adil untuk semua orang, terutama yang paling rentan terhadap perubahan iklim.”

Patti Lynn, direktur eksekutif kelompok kampanye Corporate Accountability menegaskan, negara-negara sekarang harus menyetujui penurunan emisi gas rumah kaca yang sudah disepakati di Paris.

“Kami membutuhkan solusi serius dari para pemimpin, bukan skema-skema berbahaya dan trik-trik politik yang bertujuan untuk membiarkan para pencemar besar tetap mencemari (udara),” tandasnya.

Sumber: D.W.com

 

Nyawa Hilang di Lubang Batubara Bertambah, Aktivis Lingkungan Dapat Teror dan Serangan

Nyawa manusia hilang di ‘danau’ tambang batubara terus bertambah, sampai awal November 2018 sudah 32 korban. Kondisi tambah parah kala aktivis lingkungan yang konsern menyuarakan kritisi terhadap permasalahan batubara ini mendapat teror dan penyerangan. Sekretariat Jatam dirusak orang-orang tak dikenal. Jatam melaporkan kasus penyerangan ke Polres Samarinda.

 

Awal November 2018, Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, beberapa kali mendapat tteror orang tak dikenal. Berbagai ancaman dia terima kala tuntutan penuntasan kematian anak di lubang tambang viral di berbagai media lokal dan nasional.

Aksi damai Jatam, jaringan masyarakat sipil dan mahasiswa dibalas ancaman, penyerangan serta pengerusakan sekretariat Jatam 5 November lalu.

Rupang mengatakan, penyerangan ini tak bisa terpisahkan dari eskalasi dukungan publik agar pemerintah dan aparat penegak hukun menuntaskan 32 kasus anak tewas di lubang bekas tambang batubara.

Kronologisnya, kata Rupang, 4 November 2018, sekitar pukul 17.30 waktu setempat Jatam Kaltim mendapatkan kabar duka lewat sosial media kalau ada seorang amak Tenggarong Seberang, Ari Wahyu Utomo (13) meninggal dunia di lubang bekas tambang. Lokasi kejadian di konsesi PT Bukit Baiduri Energi (BBE).

Tim Jatam Kaltim segera turun menuju rumah duka, selain melayat juga menggali informasi. Setelah mengikuti proses pengajian dan berbincang-bincang dengan pihak keluarga, tim Jatam Kaltim kembali ke Samarinda membuat rilis kasus.

Pada 5 November 2018, sekitar pukul 20.00, Sekretariat Jatam Kaltim di Jalan KH Wahid Hasyim II, Perum Kayu Manis Blok C No.06, Kel. Sempaja, didatangi sekelompok massa sekitar 30 orang. Jatam mendapat informasi dari tetangga.

Saat itu, sekretariat kosong karena sudah lewat jam kerja. Kelompok orang itu menggeledah kantor Jatam dan mendobrak pintu belakang. Jendela kamar gedung belakang kantor rusak. Tidak menemukan satupun aktivis Jatam, pencarian mereka lanjut dengan menggeledah rumah tetangga.

Tak puas sampai di situ, puluhan orang tak dikenal ini mengempesi ban motor milik salah staf Jatam Kaltim.

“Informasi yang kami terima, pasca penyerangan dan perusakan, kami kerap kali diawasi dan diintai orang-orang tak dikenal baik siang dan malam,” katanya.

Dia bilang, intimidasi dan teror berulang ini menandakan ada pihak-pihak yang tak suka alias terganggu dengan kampanye dan advokasi Jatam Kaltim cs selama ini.

Kondisi lubang bekas tambang batubara PT TPS di Kukar. Dari citra setelit. Foto dok Jatam Kaltim

Hingga kini, dia belum mengetahui motif jelas di balik penyerangan dan penrusakan ini. Namun, Rupang meyakini, terkait sejumlah laporan dan advokasi mereka atas kasus korban ke-32 di lubang tambang, operasi tambang Ilegal, pencemaran lingkungan, perampasan lahan dan lain-lain.

Atas penyerangan itu, jatam Kaltim Senin, (26/11/18), melapor resmi kasus teror dan perusakan ke Polres Samarinda. Mereka menyertakan sejumlah bukti berkaitan dengan peristiwa ini.

“Tadinya kami berpikir situasi dan ancaman akan berakhir, ternyata tak, masih terus berlanjut sampai sekarang. Itulah sebabnya kami melaporkan kepada pihak berwajib,” kata Rupang.

Bagi Jatam Kaltim, penyerangan dan perusakan ini ancaman gerakan pro-lingkungan dan pro-demokrasi yang lantang menyuarakan keselamatan masyarakat. Jatam mencatat, sepanjang 2011-2018, lebih dari 20 kasus intimidasi dan teror, baik kriminalisasi maupun penyerangan fisik, kepada warga penolak tambang.

Rupang menuntut, kepolisian Samarinda mengusut kasus ini dan memproses hukum perusakan sekretariat Jatam Kaltim. Negara, katanya, juga harus memberikan perlindungan bagi pejuang lingkungan dari ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

“Harus ada jaminan keselamatan bagi rakyat yang memperjuangkan lingkungan dari acaman manapun.”

Dia juga mengajak rakyat bersama-sama mengusir dan melawan pihak-pihak yang merusak lingkungan dan mengancam nyawa anak-anak. “Rakyat tak akan pernah aman dan sejahtera jika kejahatan tambang masih terus merajalela.”

Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam Nasional mengatakan, kriminalisasi dan serangan kepada perjuang lingkungan hidup dan anti tambang meningkat dan meluas. Situasi ini, katanya, seiring situasi di Asia.

“Jokowi harus turun tangan menjamin perlindungan negara kepada pejuang lingkungan hidup. Juga menuntaskan kasus anak tewas di lubang tambang dan perusakan lingkungan di Indonesia,” kata Melky.

Dalam laporan Global Witness berjudul Defender of the Earth; Global Klillings on Land and Environtmental Defenders,” menyatakan, serangan maksimum berupa pembunuhan meluas pada 24 negara pada 2016, setelah 2015 terjadi di 16 negara. Ada 60% pembunuhan di Amerika Latin utama terjadi di Brazil.

Data Jatam Nasional, ada 18 kasus kriminalisasi dan serangan maksimum berupa penembakan dan pembunuhan menyasar 81 penolak tambang di Indonesia sepanjang 2011-2018.

Pembunuhan pejuang anti tambang salah satu yang menghebohkan, Salim Kancil, warga di Lumajang, Jawa Timur, penolak tambang pasir besi.

Pola baru kini, kriminalisasi terhadap ahli lingkungan seperti Basuki Wasis dan Bambang Hero, yang membantu mendorong gugatan kerugian negara karena kerusakan lingkungan.

Pola lain, kriminalisasi dengan pasal tuduhan komunisme pada kasus Budi Pego, menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Juga tuduhan mengada-ngada pasang bendera terbalik oleh warga penolak pembangkit listrik batubara di Indramayu.

Ada juga serangan langsung ke kantor organisasi seperti di Jatam Kaltim pada 26 Januari 2016 dan 5 November 2018 di Samarinda.

“Kami menilai presiden dan Menteri Lingkungan Hidup serta aparat penegak hukum gagal menjalankan mandat dan fungsinya,” katanya, seraya bilang, UUD 1945 menyatakan setiap orang berhap atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pemerintah dan aparat, katanya, tak menjalankan tugas melindungi warga dalam menjalankan hak asasi itu sesuai Deklarasi Universal PBB tentang hak asasi manusia bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, sebenarnya menjamin setiap individu maupun kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan tak bisa digugat perdata dan pidana.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, dalam kasus serangan Kantor Jatam Kaltim, kepolisian belum membuka surat perkembangan hasil penyelidikan perkara (SP2HP) kepada pelapor maupun korban lubang tambang batubara.

“Ada kekuatan oligarki besar yang dilindungi untuk terus merusak lingkungan. Negara ini berpihak pada warga dan pelestarian lingkungan hidup atau pemodal?”

Jatam mendesak Komnas HAM mengambil peran lebih jauh mengawal dan mengkoordinasikan segala upaya memperkecil kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang lingkungan. “Kini teror para pejuangan lingkungan dan anti tambang makin membesar.”

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Vendra Riviyanto tak mendapat balasan. Dikutip dari detik.com, Vendra mengaku belum menerima laporan dari Jatam Kaltim terkait intimidasi dan perusakan kantor mereka.

Beberapa barang bukti perusakan Sekretariat Jatam Kaltim. Foto:dokumen Jatam Kaltim

Presiden harus turun tangan

Pada 21 Oktober 2018, Jatam Kaltim mendapat kabar korban tewas lubang bekas tambang ke-30, Alif Alforaci. Dia jatuh di Kecamatan Tenggarong, Desa Rapak Lambur dalam Konsesi PT Patriot Trias Sejahtera (TPS).

Pada 25 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo kunjungan ke Kaltim. Terjadi aksi di sejumlah titik di Samarinda. Tidak hanya Jatam Kaltim, gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa turun ke jalan mendesak presiden turut menyelesaikan dan bertindak atas jumlah korban anak-anak tewas terus bertambang di lubang bekas tambang.

Gubernur Kaltim Isran Noor kala ditanya wartawan, menyatakan, kematian anak di lubang bekas tambang batubara, sudah nasib. Isran hanya prihatin.

Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin,” katanya.

Ketika ditanya soal upaya gubernur menuntaskan kasus itu agar peristiwa tak terulang, Isran mengatakan, korban jiwa itu di mana-mana terjadi.

“Ya, namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang. Ya, pasti upaya. Itu kan pertanggungjawaban dunia akhirat,” kata Isran.

Setelah itu, korban terus bertambah. Data Jatam, korban sudah 32 orang, atau ke-11 di Kabupaten Kutai Kartanegara terhitung sejak 2011-2018.

Rupang mengatakan, pemerintah seakan tak pernah belajar dan menganggap penting persoalan ini. Padahal, kejadian serupa belum lama berselang. Korban ke-30, Alif pada 21 Oktober 2018, seminggu setelah itu, Ari Wahyu dan awal November 2018 seorang anak lagi mati di lubang tambang batubara.

“Sudah 32 nyawa melayang di lubang tambang batubara. presiden harus berrtindak,” kata Rupang.

Dia bilang, kehadiran presiden beberapa hari setelah anak meninggal di lubang tambang, beberapa hari kemudian kejadian serupa terjadi.

Jatam, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan, tak cukup mengasistensi pemerintah daerah. “Gubernur, bupati dan walikota di Kaltim belum menganggap kasus anak tewas di lubang tambang sebagai persoalan penting. Upaya pencegahan agar tak terulang lagi selayaknya dilakukan presiden.”

Jatam, katanya, juga mendesak Gubernur Kaltim bertindak keras kepada pebisnis tambang yang membiarkan lubang-lubang tambang batubara mereka menganga. Seharusnya, kata Rupang, izin BBE dicabut, karena lakukan pembiaran dan tak mau membenahi sistem keamanan dan keselamatan sesuai mandat UU Mineral dan Batubara dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Faktanya, tak ada pencabutan, padahal kejadian berulang dan perusahaan tak juga diproses hukum.”

Secara terpisah Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, sejumlah perusahaan tambang batubara di Kaltim harus mempertanggungjawabkan kematian anak di lubang tambang, dan persoalan reklamasi.

Walhi dan Jatam mempertanyakan sikap Kapolda Kaltim, kapan kasus-kasus ini diproses hukum hingga ke pengadilan. Publik katanya, menunggu upaya serius kepolisian Kaltim untuk memastikan penegakan hukum kasus ini.

“Kita duga kuat ada pihak-pihak tertentu yang ingin kasus ini dipetieskan dan tak berlanjut ke pengadilan. Kami mempertanyakan profesionalisme kepolisian Kaltim memastikan penegakan hukum 32 orang tewas di lubang tambang batubara.”

Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum Universitas Mulawarman kepada Mongabay menagih aksi konkrit. Selama ini, presiden yang hanya melempar upaya penyelesaian kasus-kasus hilangnya nyawa manusia di bekas galian lubang tambang kepada gubernur, nampak seperti ingin cuci tangan.

Padahal, katanya, presiden punya kekuasaan untuk ambil alih kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan kontroversial, serta gagal diselesaikan pemerintah daerah.

Rahmawati memegang foto anaknya, M Raihan korban ke sembilan lubang tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Menurut Herdiansyah, dalam negara kesatuan, kendali utama di tangan pemerintah pusat, walau kewenangan dibagi ke pemerintah daerah. “Ketika kewenangan itu gagal dijalankan baik, pemerintah pusat dapat memgambil tindakan atas nama kepentingan warga negara.”

“Jadi salah besar jika pilihan presiden tidak mencampuri urusan ini, dengan menyerahkan kembali kepada pemerintah daerah yang notabene salama ini gagal.”

Pernyataan gubernur yang mengunci kasus korban lubang tambang sebatas sebagai takdir semata, sangat menyedihkan.

Pernyataan ini, katanya, bermakna dua hal, pertama, menunjukkan kedangkalan pemahaman gubernur terhadap kasus korban lubang tambang dan dampak lingkungan industri ekstraktif lain. Kedua, menunjukkan, kalau gubernur tidak punya empati kepada para korban. Sesungguhnya, dia punya kewenangan mendorong penyelesaian kasus ini.

Secara administratif, katanya, gubernur punya kuasa menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan dengan wilayah konsesi memakan korban.

“Pada aspek pidana, gubernur bisa mendorong penyelesaian kasus ini dengan berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Jika sanksi tak pernah dijatuhkan, baik administratif maupun pidana, tak akan ada efek jera. Kejadian akan terus berulang,” kata Castro, sapaan akrabnya.

Haris Retno, pengajar Universitas Mulawarman kepada Mongabay mengatakan, korban yang terus berjatuhan menunjukkan ada kegagalan dalam pengelolaan pertambangan di Kaltim. Gubernur baru Kaltim, katanya, harus mengambil momentum ini untuk bertindak cepat agar korban tak bertambah.

Di Kaltim terdapat 1.200-an izin tambang, jika satu izin meninggalkan dua lubang, akan ada 2.400 lubang bekas tambang. “Pemerintah harus bertanggung jawab karena izin diberikan pemerintah. Tambang bukan datang diam-diam tapi dengan izin negara.”

Wahyu Nugroho, dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta mengatakan, harus ada proses hukum pidana kepada perusahaaan atas tewasnya orang di lubang bekas tambang. Dia bilang, sudah kewajiban perusahaan mereklamasi lubang tambang.

Dalam kasus di Kaltim, tak lagi pembekuan, seharusnya sudah pencabutan izin. Menurut dia, kejadian itu sudah melanggar ketentuan hukum administrasi dan hukum pidana bidang pertambangan berdasarkan UU Minerba dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sumber: Mongabay.co.id

Kebijakan dan Kelola Hutan yang Baik, Kunci Hindarkan Bencana Ekologis Perubahan Iklim

Emisi karbon pemicu perubahan suhu bumi yang memantik perubahan iklim sudah sejak lama di bahas para pihak. Dalam Kesepatan Paris yang dihasilkan pada COP21 tahun 2015, para pihak melakukan konsensus untuk menjaga ambang kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius, yang dapat ditekan menjadi 1,5 derajat Celcius.

Pertemuan terakhir Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bangkok bulan September lalu, -yang berupaya untuk mendetailkan Kesepakatan Paris, bahkan sampai memerlukan sesi tambahan waktu. Proses ini berlangsung alot dan butuh komitmen tegas dari semua negara untuk mengatasi masalah iklim yang kini mengancam kita semua.

Sementara para pihak masih bernegosiasi, ancaman perubahan lingkungan terus berjalan. Laporan panel terbaru IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menyebutkan kenaikan suhu bumi 1,5 derajat Celcius saja akan meningkatkan risiko bencana ekologis.

Jika tidak segera ditangani, maka dalam kurun waktu 12 tahun lagi, kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sudah pasti akan memporak-porandakan kehidupan manusia. Secara khusus, kelompok paling rentan, yaitu masyarakat miskin adalah yang paling terdampak.

Meski ancaman sudah mendekat, memanipulasi iklim bumi lewat pendekatan geo-engineering lebih mengemuka. Idenya, dengan teknik geologi tertentu, dapat menyedot jutaan giga ton karbon di atmosfer. Padahal, hingga sekarang belum diketahui efek samping manipulasi iklim tersebut terhadap kehidupan umat manusia dan ekosistem yang ada di bumi.

Demikian juga, -meski menunjukkan tren yang baik, pemanfaatan energi terbaru, pengurangan bahan bakar minyak dan pemanfaatan teknologi transportasi terbaru yang lebih efisien belum cukup untuk mencapai target penurunan emisi global.

Sebaliknya untuk mencapai tujuan menjaga ambang suhu bumi agar tidak terjadi perubahan iklim perlu dilakukan lewat upaya yang lebih sistematis. Pemulihan ekosistem, rehabilitasi lahan dan hutan, penyertaan masyarakat lewat dan pengakuan hak-hak lokal, adalah langkah yang penting untuk diadopsi agar dapat mencapai hasil penurunan emisi yang signifikan.

Di bawah ini, penulis akan menyajikan hal penting dilakukan untuk mencapai tujuan penurunan emisi yang signifikan.

 

1. Memperkuat Hak Tanah Masyarakat dan Masyarakat Adat

Telah terbukti bahwa masyarakat lokal memiliki pengetahuan yang sangat baik dalam memanfaatkan sumber daya mereka secara berkelanjutan. Sebanyak 40% hutan global berada di tangan masyarakat adat dan komunitas lokal. Bahkan, hampir dari separuh lahan dunia dikaitkan dengan klaim “wilayah adat’, namun hanya 10% dari klaim tersebut yang mendapatkan pengakuan hukum.

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat mampu mengamankan wilayah kelola mereka. Sebaliknya kapitalisasi sumberdaya hutan mendorong munculnya kekeliruan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih mengemukakan kepentingan ekonomi.

Dengan mengakui hak masyarakat lokal atas akses dan pengelolaan hutan merupakan solusi iklim yang paling efektif, efisien dan berkeadilan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mengurangi jejak karbon dan melindungi hutan dunia.

 

2. Memulihkan Hutan dan Ekosistem lainnya

Bagian yang tidak kalau pentingnya adalah melakukan restorasi hutan dan perbaikan ekosistem. Hal ini bisa ditempuh dengan pemulihan lahan dan hutan yang terdegradasi, menjadi vegetasi yang lengkap sehingga akan kaya terhadap ekosistem.

Melalui hutan yang dipulihkan potensi penyerapan karbon akan kembali ke status awalnya, hutan primer sekaligus membangun ketahanan ekosistem.

 

3. Mencegah Emisi Lebih Lanjut dari Perubahan Ekosistem

Hutan, secara khusus gambut yang utuh berkontribusi sebagai penyimpan karbon. Namun saat ini pembukaan dan pemanfaatan lahan gambut adalah cara melakukan pengeringan. Dibuatlah kanal-kanal untuk menurunkan muka air gambut yang pada akhirnya membawa petaka baru.

Penghilangan muka air gambut membuat gambut rentan terbakar, yang pada akhirnya gambut menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang sangat besar. Pemulihan fungsi gambut akan mencegah emisi sekitar 1,53 Gt CO2 per tahun, terutama di Eropa, Rusia dan Indonesia.

Selanjutnya, penelitian Griscom (2017) menyebut pemanfaatan lahan terlantar untuk tujuan pertanian akan mengurangi tekanan yang besar pada hutan. Pengelolaan lahan pertanian dengan memanfaatkan pupuk organik dan mengurangi pemakaian bahan kimia, juga akan membawa dampak baik untuk mencegah emisi. Pemanfaatan lahan ini bisa menurunkan 0,12 GtCO2 emisi per tahun.

 

4. Pengelolaan Hutan yang Bertanggung Jawab

Restorasi dan perluasan hutan sangat penting untuk peningkatan penyerapan karbon. Di Indonesia salah satu upaya yang dikembangkan adalah perhutanan sosial. Di Jambi, Komunitas Konservasi Indonesia WARSI terlibat aktif dalam mendorong percepatan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang kemudian diadaptasi pemerintah menjadi perhutanan sosial.

Dari pengalaman yang dilakukan, perhutanan sosial mampu mengatasi laju deforestasi. Di Jambi, salah satu kawasan yang dikelola masyarakat dengan skema perhutanan sosial berada di Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo. Sejak dikelola masyarakat dengan skema Hutan Desa, pada kawasan ini tidak terjadi lagi pengurangan tutupan hutan.

Perhutanan Sosial mndorong masyarakat yang memiliki hak kelola hutan turut bertanggung jawab untuk menjaga hutan mereka. Dengan mengelola hutan, kerusakan hutan dapat dihindari. Masyarakat dapat memanfaatkan kayu secara terbatas lewat aturan yang ketat, juga melakukan pemanfaatan produk non kayu dan jasa ekosistem.

Pelibatan masyarakat menjadi kunci untuk menjaga fungsi hutan dan memberikan manfaat yang luas untuk masyarakat sekitarnya. Upaya yang dilakukan masyarakat ini harusnya bisa menjadi bagian penting dalam penghitungan deforestasi, sehingga aksi masyarakat yang memelihara hutannya juga menjadi komponen dalam penurunan emisi.

Dengan memberi akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan, bencana ekologis pun dapat dihindari.

 

Sumber: Mongabay.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan