Pilar Nusantara telah menyelesaikan policy brief berjudul “Mengembangkan Skema Alokasi Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi di Provinsi Jawa Barat.” Pilar Nusantara berharap bahwa policy brief ini dapat mendukung konsep penerapan skema TAPE di Provinsi Jawa Barat. Untuk melihat hasil lengkap dari policy brief ini, silakan akses tautan berikut ini: Mengembangkan Skema Alokasi Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi di Provinsi Jawa Barat.
Provinsi Jawa Barat Jawa Barat terletak di bagian barat Pulau Jawa, berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Tengah. Dengan luas wilayah sekitar 37.040 km², provinsi ini memiliki populasi sekitar 49,94 juta jiwa, dengan kepadatan sekitar 1.348 jiwa/km². Bentang alamnya terdiri dari dataran tinggi/pegunungan dan dataran rendah, serta mencakup sekitar 200 Daerah Aliran Sungai (DAS). Pesisir utara Jawa Barat berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan pesisir selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia. Rata-rata curah hujan mencapai 2.000 mm per tahun, bahkan hingga 5.000 mm di daerah pegunungan. Jawa Barat, yang terbagi secara administratif menjadi 27 kabupaten/kota, mengelola pembangunan dengan nilai APBD mencapai 40 triliun Rupiah.
Komitmen dan Pendanaan Lingkungan Hidup di Jawa Barat Komitmen Jawa Barat terhadap perlindungan lingkungan hidup masih terbatas jika dilihat dari realisasi dan alokasi anggaran fungsi lingkungan hidup (LH) tahun 2019-2023. Pada 2023, anggaran untuk fungsi lingkungan hidup dialokasikan sebesar Rp 353 miliar. Meskipun menjadi anggaran terbesar kedua setelah DKI Jakarta, rasionya terhadap total belanja daerah hanya sekitar 1,04%. Rata-rata realisasi anggaran untuk fungsi perlindungan lingkungan hidup selama periode ini hanya sekitar 0,74%.
Urgensi Kebijakan TAPE untuk Pembangunan Berkelanjutan di Jawa Barat Baik secara normatif-regulatif maupun faktual-operasional, dibutuhkan kerjasama kolaboratif antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menangani masalah lingkungan di Jawa Barat. Dengan adanya regulasi dan pendanaan yang mendukung, penting bagi Jawa Barat untuk mengadopsi kebijakan Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologi (TAPE). Urgensi kebijakan ini bertujuan untuk:
Menetapkan inisiatif kebijakan terkait transfer fiskal ekologi.
Memperkuat keterkaitan antara kebijakan pendanaan lingkungan dan upaya pemulihan lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Jawa Barat.
Pilar Nusantara telah menyelesaikan policy brief berjudul “Kebijakan Transfer Anggaran Berbasis Kinerja Ekologi (TAKE) di Kabupaten Banyuasin.” Pilar Nusantara berharap bahwa policy brief ini dapat mendukung konsep penerapan skema TAKE di Kabupaten Banyuasin. Untuk melihat hasil lengkap dari policy brief ini, silakan akses tautan berikut ini : Kebijakan Transfer Anggaran Berbasis Kinerja Ekologi (TAKE) di Kabupaten Banyuasin.
Kabupaten Banyuasin menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan lingkungan, antara lain dalam penanganan sampah, degradasi lahan gambut, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta upaya melindungi kawasan konservasi seperti Taman Nasional Berbak Sembilang (seluas 202 ribu ha), hutan mangrove (87 ribu ha), dan Hutan Rawa Air Tawar serta gambut (295,8 ribu ha), yang mencakup 13% dari total lahan gambut di Sumatera Selatan. Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya kebakaran lahan atau karhutla. Pada tahun 2023, tercatat 439,2 ha lahan gambut terbakar. Berdasarkan pantauan hotspot Satelit SSMFP, potensi kebakaran hutan dan lahan di Banyuasin tersebar di kecamatan Pulau Rimau, Banyuasin I, Muara Padang, Tungkal Ilir, dan Muara Sugihan, termasuk kawasan Taman Nasional Sembilang yang memiliki lapisan gambut cukup tebal.
Bentang alam Sendang (Sembilang-Dangku) yang meliputi Kabupaten Banyuasin dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, mencakup area seluas 1,6 juta ha. Wilayah ini melingkupi Taman Nasional Berbak Sembilang, Suaka Margasatwa Bentayan, Dangku, serta 21 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi. Pengetahuan dan kesadaran generasi muda di desa-desa tersebut tentang nilai-nilai ekologis masih terbatas, bahkan minim pemahaman mengenai keberadaan berbagai flora dan fauna di kawasan konservasi ini.
Kabupaten Banyuasin juga memiliki tantangan dari segi topografi, di mana 80% wilayahnya berupa dataran rendah basah dengan kemiringan 0-8%, membentang dari sepanjang aliran sungai hingga wilayah pesisir. Berdasarkan kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim Sumatera Selatan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Banyuasin, yang berbatasan dengan Pantai Timur Sumatera Selatan (Selat Bangka), memiliki risiko tinggi terhadap penggenangan pesisir. Hal ini disebabkan oleh kombinasi faktor seperti kenaikan permukaan laut, gelombang badai, dan fenomena La Niña, yang menyebabkan genangan tahunan mencapai sekitar 914.164,7 ha.
Sebaliknya, pada musim kemarau, menurut Indeks Risiko Bencana Kekeringan dari BNPB tahun 2022 dan kajian risiko kekurangan air dari Kementerian Lingkungan Hidup, Kabupaten Banyuasin juga menghadapi risiko tinggi kekeringan. Pada periode ini, banyak sumur dan sungai kecil kering, menyebabkan kekurangan air bersih di hampir setiap kecamatan, baik untuk air minum, memasak, mandi, mencuci, maupun irigasi. Berdasarkan kajian, risiko kekurangan air di Banyuasin tersebar di dua dari empat zona utama, yaitu DAS Musi dan DAS Banyuasin, dengan tingkat risiko menengah hingga sangat tinggi.
Peluang Implementasi EFT dalam Alokasi Dana Desa (ADD)
Di Kabupaten Banyuasin, Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE) dapat diterapkan sebagai insentif fiskal dari pemerintah kabupaten untuk desa yang berkomitmen pada pembangunan lingkungan dan kehutanan. Kebijakan TAKE, yang diatur melalui Peraturan Bupati, bertujuan mendorong pemerintah desa berkolaborasi dalam mempercepat perbaikan sektor lingkungan. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), serta Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan OPD lainnya, dengan Bappeda sebagai leading sector, mengelola implementasi kebijakan ini.
Implementasi TAKE dilakukan melalui skema ADD, di mana pagu ADD ditentukan berdasarkan proporsionalitas dan kinerja pembangunan berkelanjutan desa. Kebijakan ini diterapkan melalui reformulasi distribusi ADD yang diatur dalam dua bentuk Perbup: (1) Perbup Pedoman ADD yang berlaku multi-tahun, dan (2) Perbup Pengalokasian ADD yang berlaku satu tahun anggaran. Kebijakan ini mencakup tujuan, mekanisme alokasi, penggunaan, pelaksanaan dan penatausahaan, serta monitoring dan evaluasi.
Tujuan TAKE dalam Skema ADD:
Meningkatkan kolaborasi dalam perlindungan lingkungan antara Pemerintah Kabupaten Banyuasin dan pemerintah desa.
Mendorong peningkatan kinerja desa dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, sejalan dengan tujuan pembangunan desa dan kawasan perdesaan.
Mengintegrasikan isu ekologi dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan desa yang sejalan dengan tujuan pembangunan daerah Kabupaten Banyuasin.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah daerah kabupaten/kota wajib mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk pembangunan sarana dan prasarana lokal desa serta pemberdayaan masyarakat desa, dengan minimal alokasi ADD 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) ditambah Dana Bagi Hasil (DBH).
Rekomendasi Implementasi TAKE melalui Reformulasi ADD:
Menyepakati dan menyempurnakan kebijakan TAKE ADD sebagai diskursus kebijakan di tingkat pemerintah daerah dengan melibatkan pemangku kepentingan lintas OPD.
Bappeda Banyuasin menjadi leading sector dalam menyelaraskan kinerja desa sesuai prioritas pembangunan daerah, bekerja sama dengan DPMD, BPKAD, DLH, dan OPD terkait.
Menyusun regulasi yang mereformulasi kebijakan dalam regulasi sesuai kewenangan daerah.
Mensosialisasikan kebijakan TAKE ADD Kinerja dalam ADD, termasuk penilaian kinerja dan reformulasi baru kebijakan ADD, kepada pemangku kepentingan desa.
Menghimpun data sebagai dasar perhitungan pagu ADD (alokasi formula dan kinerja).
Menyepakati pagu anggaran dan perhitungan ADD tahun anggaran 2025.
Kabupaten Empat Lawang yang terletak diujung Provinsi Sumatera Selatan, merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari kabupaten Lahat dan saat ini membutuhkan inovasi-inovasi agar tata kelola pemerintahannya lebih baik dalam melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik.
Untuk itulah, PINUS Sumsel menggagas workshop Transfer Anggaran berbasis ekologis di Kabupaten Empat Lawang sebagai salah satu inovasi yang mungkin dapat diterapkan oleh Pemerintah Kabupaten Empat Lawang.
Workshop sendiri dihadiri oleh narasumber bapak Ahmad Taufik, serta pejabat-pejabat terkait seperti kepala sekaligus staff khusus Bupati bidang Pemberdayaan dan Pembangunan, Staff khusus Bupati bidang Ekonomi dan Keuangan, Kepala Bappeda, Kepala Bagian Hukum, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, KPH dan Koordinator tim penyuluh Desa. Selain itu, dari unsur LSM dihadiri oleh HaKi dan tokoh pemuda di Empat Lawang.
Workshop diawali dengan gagasan TAKE untuk empat Lawang yang disimulasikan oleh bapak Ahmad Taufik. Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap ADD kabupaten Empat Lawang, ADD akan meningkat dari Rp 62,1 Miliar di tahun 2019, menjadi Rp 63,5 Miliar di 2020. Namun, berdasarkan simulasi mengikuti Perbup ADD tahun 2019, akan terdapat ketidak adilan bagi desa-desa yang berkinerja baik. Dengan pembagian berdasarkan ADD merata sebesar 60% dan ADD proporsional sebesar 40%, maka ada desa-desa yang secara kinerja capaian Indeks Desa Membangunnya turun, justru mendapat dana ADD besar.
Untuk itu, PINUS mengemukakan gagasan untuk memasukkan ADD Kinerja sebesar 2,5% atau sebesar Rp 1,5 Miliar, yang didistribusikan berdasarkan capaian desa mencapai IDM dan indikator tambahan lainnya sesuai visi dan misi bupati.
Selain itu, workshop juga mendiskusikan peluang untuk pengusulan wilayah Perhutanan Sosial. Hingga 2020, kabupaten empat lawang belum memiliki wilayah PS, padahal memiliki potensi sebesar 3.279,96 Ha berdasarkan PIAPS. Bahkan analisis HaKi, terdapat potensi sebesar 48.415,84 Ha yang dapat diusulkan untuk merevisi PIAPS. Kendala belum adanya usulan karena kurangnya sosialisasi, dan alokasi anggaran untuk pengusulan di PS. Sehingga ADD yang ada disarankan untuk dialokasikan juga untuk pengusulan PS, terutama bagi desa-desa yang terletak di Kawasan hutan.
Berdasarkan paparan tersebut, kepala Bappeda menanggapi bahwa memang saat ini efektivitas penyaluran ADD belum nampak. Skema TAKE dan penggunaan ADD untuk PS dapat diusulkan dalam perbup ditahun 2020. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dilain pihak juga melihat minimnya partisipasi desa untuk menjaga lingkungan. Sebagai contoh, banyaknya sampah dipedesaan bukti bahwa desa tidak perduli dengan isu lingkungan. Skema ini dapat menjawab hal tersebut. Staf khusus bidang ekonomi dan pembangunan juga menambahkan, bahwa bapak Bupati membutuhkan terobosan-terobosan seperti ini, agar visi dan misi bupati dapat tercapai melalui desa.
Dilain pihak, kepala Dinas PMD menyebutkan bahwa pemberlakukan PP No 11 tahun 2019, membuat ADD terbebani. Memang jika hanya mengacu kepada kewajiban Siltap, ADD masih terdapat ruang untuk dimasukka ADD proporsional dan kinerja. Namun, bupati sejak 2019 mengeluarkan kebijakan pemberian tunjangan kepada aparatur desa, BPD hingga karang taruna. Jika ini dihapuskan, justru insentif yang diterima oleh aparatur desa semakin menurun.
Dari diskusi, didapat kesamaan pandangan bahwa insentif penting bagi desa. Salah satu peluang mungkin adalah mengatur tunjangan aparatur desa berbasiskan kinerja. Selain itu, bantuan keuangan untuk desa berprestasi juga dimungkinkan untuk dianggarkan diluar ADD, namun tentunya menyesuaikan kemampuan fiskal dari pemerintah kabupaten Empat Lawang.
Gerakan inisiatif Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis (TAKE) diperkenalkan kepada pemerintah Kabupaten Banyuasin melalui workshop yang diselenggarakan oleh Pilar Nusantara (PINUS) Sumsel di Hotel Wyndham Banyuasin pada tanggal 5 Desember 2019. Workshop dihadiri oleh pejabat terkait di Pemerintah Kabupaten Banyuasin, yakni Kepala Bappedalitbang, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa dan jajaran aparat Pemerintah Kabupaten Banyuasin.
PINUS mengundang pihak akademisi dari Fakultas Ekonomi Unsri dan Universitas Bina Darma, untuk sama-sama melakukan kajian terhadap inisiatif TAKE ini. Pertemuan juga dihadiri oleh aktivis CSO di Sumsel, yakni Walhi, HaKi, Fitra, LBH Palembang dan Solidaritas Perempuan.
Berdasarkan simulasi perhitungan yang dilakukan oleh tim PINUS dengan dibantu oleh narasumber bapak Ahmad Taufik, mencatat bahwa pada 2019, total ADD yang dialokasikan sebesar Rp 95,8 Miliar dibagi berdasarkan alokasi dasar merata (85%) dan alokasi proporsional (15%). Disamping juga pemkab Banyuasin mengalokasikan Rp 500 Juta untuk satu desa yang dipilih tanpa kriteria yang jelas.
Ini membuat ADD tidak adil dalam distribusinya, karena tidak mengacu kepada capaian kinerja yang dihasilkan oleh desa-desa tersebut. Sehingga gagasan untuk memasukkan indikator kinerja dianggap urgen.
Untuk itu, terhadap ADD 2020 sejumlah Rp 117,9 MIliar, PINUS menawarkan konsep raport desa dengan berbasiskan kepada data capaian Indeks Desa Membangun dan dapat ditambah dengan indikator visi misi bupati lainnya. Ada dua skema yang ditawarkan oleh PINUS, yakni mengalokasikan indikator kinerja sebesar 3% atau Rp 944,2 Juta atau mengalokasikan bantuan keuangan khusus kinerja Rp 500 Juta yang juga sudah ditetapkan sebelumnya.
Terhadap usulan ini, Kepala Bappedalitbang menyambut baik usulan ini untuk segera diimplementasikan bukan hanya dalam ADD, namun juga untuk penetapan pagu bagi Kecamatan dan UPTD, agar seluruh elemen pemerintah berpikir untuk menghasilkan kinerja. Selain itu, kepala Dinas Lingkungan hidup menyarankan agar dalam penetapan indikator kinerja, juga memasukkan Karhutlah, Sanitasi dan Pengelolaan Sampah. Karena ini 3 isu penting terkait lingkungan hidup di Banyuasin.
Kepala DPMD menjelaskan bahwa gagasan ini baik, namun perlu juga dipertimbangkan pemberlakukan PP No. 11/2019 terkait dengan kenaikan penghasilan tetap dari aparatur Desa. Ini membuat ADD habis hanya untuk Siltap. Namun ide untuk membuat raport desa sangat baik sekali untuk mengukur kinerja desa.
Radarlampung.co.id – Pemprov Sumatera Selatan (Sumsel) melalui Gubernurnya mengeluarkan surat penanggulangan permasalahan Penambangan Tanpa Izin (PETI) dan pengawasan atas kebocoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) disektor Batubara. Ini terkait mulusnya Batubara ilegal yang diangkut menggunakan kendaraan truk melintasi jalan Lampung.
Kepala Satgas III Unit Koordinasi dan Supervisi dan Pencegahan (Korsupgah) KPK Dian Patria mengatakan, surat tersebut datang bersamaan dengan Koordinasi Supervisi dan Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) Tahun 2019 di Lampung.
Surat ini bernomor 540/1890/DESDM/IV-2/2019 untuk kepala Kantor Ke Syahbandaran dan otoritas pelabuhan kelas I Panjang, dan Kepala ASDP Fery Bakauheni pada 7 Agustus dengan perihal pemberantasan PETI dan kebocoran PNBP Batubara.
Berdasarkan hal ini, Pemprov Sumseltelah merekomendasikan tempat penjualan Batubara di Provinsi Lampung yang diangkut dengan Kereta Api, sehingga apabila Batubara yang keluar dari wilayah Provinsi Lampung bukan berasal dari tempat penjualan yang telah ditentukan maka Batubara tersebut berasal dari PETI atau dari tambang-tambang yang tidak membayar PNBP.
Berkenaan dengan hal ini juga disampaikan pertama untuk Mohon Kepala KSOP Kelas 1 Bandarlampung untuk tidak memberikan in berlayar kepada Kapal Tongkang pengangkut Batubara di luar lokasi Pelabuhan yang asal Batubaranya tidak diangkut dengan menggunakan Kereta Api. Kedua, pihaknya memohon Kepala ASDP Indonesia Ferry Bakauheni agar tidak mengangkut Truk angkutan Batubara menuju Pelabuhan Merak yang tidak memiliki dokumen penjualan dari Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.
Hal ini terbilang menjadi kabar baik, sebab Lampung menjadi akses pengangkutan batu bara yang kendaraan pengangkutnya menggunakan truk Bertonase besar.
Menanggapi hal ini, Dian Patria mengaku telah mendapatkan informasi. Dalam supervisinya, Dian mengatakan hal ini juga masuk dalam supervisinya untuk mencegah kebocoran pendapatan asli daerah (PAD) Pemprov Sumatera Selatan.
Apalagi, polemik truk batubara bertonase besar yang melintas di Provinsi Lampung menggunakan lajur umum memang hal yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Akibatnya merusak jalan.
”Iya kami juga baru dapat informasi soal pengangkutan batubara ini. Jadi kan memang kalau yang pake truk, itu bisa saja perseorangan dan ilegal (tambang batubara). MAka kami sudah berkoordinasi dengan KSOP, unttuk jangan kasih lewat kalau nggak ada dokumen lengkap. Semua yang distribusian batubara harus lewat jalur kereta,” beber Dian.
Atas hal ini juga, Dian mengaku akan segera berkoordinasi dengan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi. Apalagi saat ini sedang digodok aturan terkait batasan tonase kendaraan pengangkut, dan jalur untuk angkut batubara
”Yak an sedang di bahas Pergubnya, saya kemarin sudah Koordinasi dengan Gubernur lampung. Karena kalau di Palembang, Sumsel sudah jelas batubara harus lewat jalur khusus,” tandasnya. (rma/kyd).