Punya Kekayaan Alam Melimpah, tetapi Angka Kemiskinan di Lahat Nomor 2 di Sumsel, Nomor 1 Muratara

LAHAT -Banyak orang hebat lahir di Kabupaten Lahat, Kabupaten ini juga memiliki banyak kekayaan alam mulai dari pertambangan sampai perkebunan. Lahat merupakan kabupaten tertua di Sumsel, diberi julukan Bumi Seganti Setungguan.

Selain kaya alamnya, Lahat juga menjadi pusat peradaban masa lampau yang dibuktikan banyak temuan megalit. Tetapi semua itu tersebut belum berimbas pada kesejahteraan masyarakatnya. Masih banyak sekali warga di Lahat ‘dibelunggu’ kemiskinan, bahkan mirisnya, Lahat merupakan Kabupaten termiskin kedua di Sumsel. Hal ini seperti terdata di Badan Pusat Statistik (BPS) Lahat.

Menurut Kepala BPS Lahat, Ir Hj Chairanita Kurniarita MSi, kendati terjadi penurunan persentase ditahun 2017, persentase kemiskinan di Lahat masih relatif tinggi berada diurutan kedua setelah Musirawas Utara.

Berada dipersentase 16.81 persen, dengan jumlah 67.330 jiwa penduduk miskin. “Angka kemiskinan di Lahat, relatif besar. Lahat sudah ramai diperbincangkan, ujar Chairanita, dalam agenda focus group discusskon lahat dalam angka 2018, di Grand Zury Hotel, Rabu (7/11/2018).

Melihat perkembangannya, tahun 2011 angka kemiskinan berada di 17.92 persen atau 67.700 jiwa penduduk miskin.

Tahun 2012 menurun menjadi 17.46 persen, 66.600 jiwa. Kenaikan mulai terjadi di tahun 2013 mencapai 18.61 persen, atau 71.800 jiwa.

Tahun 2014-2015 sedikit menurun jadi 18.02 persen, 7071 jiwa, dan 70.670 jiwa. Sedangkan ditahun 2016 menjadi 17.11 persen, atau 67.800 jiwa,

Hingga ditahun 2017 menjadi 16.81 persen, sebanyak 67.330 jiwa. Dengan jumlah penduduk pria 204. 875 jiwa, perempuan 196.619 jiwa.

“BPS sudah berupaya menyajikan data yang akurat, tepat waktu, murah, akuntabel, relevan atau bisa dibandingkan dengan sebelumnya,” terangnya.

Ditanya faktor penyebabnya, Chairanita menuturkan adanya ketimpangan kehidupan cukup jauh, antara masyarakat menengah, keatas, dan ke bawah.

Sehingga membuat tingkat pengeluaran masyarakat menengah ke bawah, ikut relatif tinggi.

“Data ini kita peroleh melalui survei tingkat pengeluaran makanan masyarakat. Banyak faktor penyebabnya, seperti faktor kenaikan harga, jumlah pendapatan tetap, ditambah minimnya bantuan sosial dari pemerintah,” tuturnya. (SP/ Ehdi Amin)

Sumber: Tribunsumsel.com

 

 

Soal Angkutan Batubara, Gubernur Herman Deru Tawarkan Win Win Solution

PALEMBANG – Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru menerima Asosiasi Pertambangan Batubara Sumatera Selatan (APBS), dalam rangka silaturahmi dan memperkenalkan pengurus APBS di Ruang Tamu Gubernur Sumsel Rabu (07/11).

Adapun rombongan APBS antara lain Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Sumsel Andi Asmara, Anggota Dewan Pembina Asosiasi Pertambangan Batubara Sumsel Benny, Ketua Bidang Umum dan Organisasi APBS Mirson Farizal, Wakil Bendahara APBS Agustinus Thamrin.

Gubernur Sumsel Herman Deru menyambut baik kehadiran APBS. Saat ini diakui HD batubara tengah menjadi buah bibir bagi masyarakat.

Dimana Terhitung mulai 8 November 2018 jalan umum di Sumsel dipastikan steril dari angkutan truk batubara.

Melalui kebijakan yang telah diputuskan tersebut, ia berharap aktivitas masyarakat di sepanjang jalan umum yang kerap dilintasi truk batubara bisa lebih nyaman.

“Saya yakin sama persepsinya apa yang Saya sampaikan ini, tidak ada satu titik pun pemikiran Saya bertindak sebelah pihak, bahkan jauh juga dari pemikiran material. Saya sebagai Pemimpin di daerah ini membuka diri untuk dengan dijalankannya Peraturan Gubernur, sambil mencarikan bukan sekedar solusi tapi terobosan win – win,” ungkapnya.

Menurutnya, kebijakan tersebut sudah melalui pemikiran yang matang. Dimana pemerintah daerah akan mencarikan jalan keluar terbaik untuk jangka panjang.

“Mencari jalan terbaik bukan berarti menghindari aturan ini. Ketika ini besok kita laksanakan kita harus selalu berpikir positif bahwa apapun terdampak, kita bersatu mencarikan jalan keluar baik untuk semua jangka panjang, tidak ada acting dan sandiwara disini,” katanya

Sementara itu terkait Pencabutan Pergub Sumsel No.23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara mulai 8 November 2018, sejumlah tokoh di Sumsel angkat bicara di antaranya Sigit Muhaimin (Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan/Kabid PTKP/HMI Cabang Palembang).

Kemudian Drs. H Umar Said (Tokoh Agama/Ketua Forum Umat Islam/FUI Sumsel) dan juga dari kalangan mahasiswa Joko Susanto (Mahasiswa UIN RF Palembang).

Ketua Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan/Kabid PTKP/HMI Cabang Palembang) Sigit Muhaimin, misalnya mengatakan, secara umum mendukung kebijakan pencabutan Pergub tersebut oleh Gubernur Sumsel yang baru H. Herman Deru dan merubahnya dengan transportasi angkutan batubara hanya dengan jalur kereta api dan jalur jalan khusus batubara dalam melintas.

Dia Berharap, dengan tidak diperbolehkannya lagi mobil truk angkutan batubara melintas di jalan raya atau jalan umum, peristiwa kemacetan dan kecelakaan tabrakan terhadap masyarakat dapat diminimalisir atau bahkan tidak ada lagi di Sumsel.

Demikian halnya Drs. H Umar Said Tokoh Agama/Ketua Forum Umat Islam/FUI Sumsel mengaku sangat mendukung kebijakan Pergub Sumsel yang baru tersebut.

Menurutnya transportasi khusus angkutan batubara di Sumsel sudah dibuat atau sudah ada yakni jalan servo. Pembisnis angkutan batubara kendaraannya seharusnya melintas di jalan tersebut.

Jika tetap melintas di jalan umum kata Drs H Umar Said infrastruktur jalan umum akan cepat rusak berlobang dan lebih parahnya lagi sopir mobil truk sering ugal-ugalan sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban jiwa.

Untuk itu dia meminta dalam pelaksanaanya, perlunya pengawasan yang intensif oleh pihak yang terkait dari aparat keamanan, Bupati atau Walikota bahkan tingkat kecamatan. Sehingga pembisnis batubara mentaati benar aturan yang baru tersebut.

Sementara itu salah seorang Mahasiswa UIN Raden Fatah, Joko Susanto juga mengutarakan hal yang sama.

Dirinya menyambut baik dan mendukung kebijakan sistem transportasi angkutan batubara tersebut. Diapun berharap pebisnis angkutan batubara harus mentaati aturan yang baru tersebut jika tidak ingin ribuan kendaraanya tidak beroperasi lagi.

Masyarakat menurutnya sudah capek bahkan geram melihat perilaku pengemudi truk angkutan batubara yang sering ugal-ugalan, merusak jalan umum.

Karena yang untung pebisnis transportasi batubara, sementara masyarakat rugi jalan umum rusak, bahkan nyawa warga rawan melayang.

 

Sumber: Sripoku.com

Angkutan Truk Batubara Dilarang Lewat Jalan Umum di Sumsel Mulai 8 November 2018

Palembang, Sekda Provinsi Sumsel, Nasrun Umar di Ruang Rapat Bina Praja, mengatakan, Pergub nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batubara Melalui Jalan Umum dicabut.

Keputusan itu diambil untuk menindaklanjuti banyaknya keluhan masyarakat atas penggunaan jalan umum oleh angkutan batubara.

Sekda Provinsi Sumsel, Nasrun Umar di Ruang Rapat Bina Praja, mengatakan, Pergub nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batubara Melalui Jalan Umum dicabut.

Dengan demikian aturan dikembalikan dengan Perda nomor 5 tahun 2011.

“Dengan pencabutan Pergub tersebut maka angkutan batubara dilarang melintas di jalan umum mulai 8 November 2018 pukul 00.00,” ujarnya, Selasa (6/11/2018)

Maka dari itu seluruh angkutan batubara di Wilayah Kabupaten Lahat dan Muara Enim supaya mengalihkan semua angkutan batubara yang menggunakan jalan umum ke angkutan kereta api dan jalan khusus.

Menurutnya, dengan penutupan jalan umum untuk angkutan batubara sesuai instruksi Gubernur Sumsel, maka Dinas Perhubungan Provinsi Sumsel bersama instansi terkait lainnya diminta untuk melakukan pengawasan angkutan batubara di jalan raya.

“Saya minta Dishub Sumsel dapat melakukan pengawasan angkutan batubara di jalan raya. Dan ingat, mulai nanti tidak ada lagi angkutan batubara yang melintasi di jalan umum,” tegasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Sumsel, Nelson Firdaus menambahkan, dengan dicabutnya Pergub tersebut, maka pihaknya bersama Tim Terpadu akan melakukan pengawasan dan penertiban angkutan batubara di jalan raya.

“Mulai 8 November kita akan lakukan pengawasan dan penertiban. Kalau nanti masih ada yang kedapatan melintas di jalan raya, maka akan kita beri sanksi berupa tilang,” jelasnya.

Setelah Pergub ini dicabut, angkutan batubara harus melewati jalur alternatif dan tidak menggunakan jalan umum, khususnya jalan lintas Kabupaten Muara Enim sampai dengan Kota Prabumulih.

“Untuk itu, angkutan batubara mulai 8 November harus menggunakan jalan khusus angkutan batubara yang dikelola oleh PT Titan Infra Energy melalui PT Servo Lintas Raya,” katanya.

Sementara itu, Kepala ESDM Provinsi Sumsel Robert Heri menjelaskan, selama ini angkutan yang membawa batubara dan melintasi jalan umum mencapai 5 juta ton.

“Kita sudah melakukan rapat dan PT Titan Infra Energy melalui PT Servo Lintas Raya melalui jalur khusus angkutan batubara itu siap menampung 5 juta ton tersebut.”

“Bahkan, kondisi jalan, dermaga, timbangan semua sudah lengkap dan siap,” jelasnya. (TS/Linda)

Sumber: Tribunsumsel.com

Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018. Aturan ini diharapkan jadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia.

Sebagai instrumen legal, Perpres Reforma Agraria memuat norma untuk menata ulang struktur agraria yang memastikan petani penggarap, nelayan, dan kelompok masyarakat pra-sejahtera dapat mengakses tanah negara, perlindungan terhadap hak tanah, dan menerima manfaat penyelesaian konflik agraria.

Dengan landasan itu, perpres ini menggunakan tiga strategi dalam pelaksanaan reforma agraria, yaitu, sertifikasi hak milik, redistribusi tanah negara dan mekanisme penyelesaian konflik agraria.

Satu hal perlu jadi perhatian, Perpres Reforma Agraria belum tegas menempatkan posisi masyarakat adat beserta hak-haknya dalam kerangka reforma agraria, terlihat dari taka da penyebutan masyarakat adat sebagai salah satu subyek reforma agraria.

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Posisi masyarakat adat

Perpres Reforma Agraria menyebutkan, subyek reforma agraria terdiri dari tiga kategori, yaitu perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum.

Subyek perorangan berupa petani penggarap, nelayan dan kelompok pekerja formal/informal. Sedangkan kelompok masyarakat, adalah kelompok dengan hak kepemilikan bersama atas tanah. Terakhir, badan hukum adalah koperasi dan badan usaha milik desa.

Masyarakat adat tak tercantum sebagai subyek reforma agraria. Walaupun terdapat kategori kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, namun kategori masyarakat itu tak merujuk pada masyarakat adat, karena definisi kelompok yang dimaksud bersifat artifisial (dibentuk atas kepentingan bersama), alih-alih sebagai kesatuan sosial organik masyarakat adat.

Ketidakjelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria berimplikasi serius terhadap persoalan-persoalan agraria terkait masyarakat adat. Setidaknya terdapat dua persoalan, yaitu, pertama, secara paradigmatik, perpres ini mengabaikan ada persoalan agraria terkait masyarakat adat dari kerangka kebijakan reforma agraria.

Kedua, pada tingkat operasional, perpres ini mengeluarkan persoalan agraria terkait masyarakat adat dari skema perlindungan hak tanah dan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang disasar dari kerangka kebijakan reforma

 

Selain itu, perpres reforma agraria inkonsisten dengan rujukan hukum, yaitu Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Secara gamblang, TAP MPR IX/2001 menjelaskan, reforma agraria sebagai usaha menata ulang struktur agraria yang berkeadilan dengan memastikan hak masyarakat adat. Artinya, persoalan ketidakadilan dan ketidakpastian hak masyarakat adat masuk dalam ruang lingkup reforma agraria.

Selanjutnya, Perpres Reforma Agraria menutup mata atas kenyataan konflik-konflik agraria masyarakat adat terkait penentuan obyek reforma agraria. Perpres ini menyebutkan, obyek atau tanah reforma agraria (tora) antara lain, tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah dari pelepasan kawasan hutan, dan tanah bekas hak erfpacht (hak barat).

Bila ditelaah lebih dalam, kita bisa melihat banyak konflik hak masyarakat adat berada pada kriteria tora itu, misal, konflik-konflik perkebunan sawit di Sumatera Barat sejak pemberian hak erpacht. Dalam beberapa kasus berlanjut dalam bentuk baru jadi HGU. Konflik itu muncul karena abai pengakuan legal hak ulayat saat konsolidasi (konversi) jadi tanah negara—saat proses pemberian hak erfpacht maupun HGU.

Begitu juga dengan konflik masyarakat adat di kawasan hutan. Pada kasus terakhir, 9,3 juta hektar wilayah adat diklaim berada di kawasan hutan (BRWA, 2018). Ketiadaan pengakuan legal hak ulayat dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh negara jadi penyebab konflik agraria masyarakat adat di kawasan hutan ini.

Dari konflik-konflik agraria itu setidaknya menunjukkan dua hal penting. Pertama, konflik agraria masyarakat adat bersifat historis, yaitu konflik berlaku pada rentang waktu lama karena minim perlindungan hak, baik sejak masa kolonial sampai sekarang. Kedua, konflik-konflik agraria masyarakat adat menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dalam menata ulang struktur agraria (sumber daya alam).

Dengan kata lain, persoalan agraria masyarakat adat adalah masalah struktural dengan menyertakan perangkat hukum beserta struktur yang mengabaikan hak.

Perpres Reforma Agraria, belum begitu tajam melihat kenyataan konflik agraria terkait hak masyarakat adat pada tora. Dalam perpres ini memang menyebutkan, hak ulayat bukan bagian dari obyek reforma agraria, namun memasukkan tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawasan hutan sebagai obyek reforma agraria yang notabene potensial tumpang tindih dengan hak ulayat atau dalam kondisi berkonflik.

Artinya, penentuan kriteria tora belum sepenuhnya jelas (clean and clear) dan bisa mempersulit implementasi reforma agraria itu sendiri serta berpotensi melahirkan konflik baru.

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Perbaikan substansi

Perpres Reforma Agraria, merupakan terobosan kebijakan dalam menjawab persoalan struktural agraria, namun aturan ini memerlukan perbaikan terkait kejelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria. Alasan- alasan pokok pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria adalah, pertama, mempertegas kembali masyarakat adat sebagai korban ketidakadilan agraria dan mengakui kenyataan bahwa konflik agraria masyarakat adat lahir karena ketidakadilan agraria.

Dalam konteks ini, upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan melingkupi penyelesaian konflik masyarakat adat.

Kedua, penegasan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria diharapkan mampu menyentuh penyebab utama persoalan agraria masyarakat adat, yaitu soal perlindungan hak ulayat. Menempatkan kembali posisi masyarakat adat dalam kerangka reforma agraria sebenarnya mempertegas mandat TAP MPR No. IX/2001 sebagai dasar hukum perpres ini. Yaitu, perlindungan hak ulayat terintegrasi dengan penataan kembali struktur agraria. Dalam hal ini, skema legalisasi hak atas tanah sebagai pengejawantahan perlindungan hak dalam perpres ini semestinya melingkupi juga pengakuan hak ulayat.

 

Keterangan foto utama: Masyarakat adat penjaga hutan. Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena di hutan adat Marena yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

KLHK Menangi Gugatan Rp 17 Triliun, Baru Dieksekusi Rp 30 Miliar

Jakarta -Sejak menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mencatat sudah membawa 517 kasus pidana kejahatan lingkungan ke pengadilan. Ada juga 18 kasus gugatan perdata dan 503 sanksi administratif.

Awal bulan ini Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata terhadap tiga perusahaan besar yang terkait kebakaran hutan 2015. Mahkamah mewajibkan ketiganya, PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP), PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan PT Palmina Utama, membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan sebesar Rp 1,3 triliun.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi juga memenangkan KLHK atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014. Majelis hakim menghukum BMH membayar Rp 78,5 miliar dari gugatan Rp7,9 triliun.

Selain itu, KLHK juga menang gugatan atas PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Jika dihitung semua gugatan yang berhasil dimenangkan, KLHK tercatat lebih dari Rp 17 triliun.

“Jadi keseluruhan banyak juga Rp 17 triliunan, yang sudah (eksekusi) baru Rp 30-an miliar. Jadi memang kita sedang terus berusaha karena eksekusi itu kan kewenangannya di pengadilan,” kata Siti saat Blak blakan dengan detikcom yang tayang, Selasa (25/9/2018).

Pengadilan dimaksud antara lain Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami sudah menyurati mereka,” Siti menambahkan.

Menurut Siti, pihaknya mengajukan gugatan ke sejumlah perusahaan pelaku kebakaran hutan dan perusak lingkungan murni untuk penegakkan hukum. Dia mengklaim baru di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah penegakkan hukum itu sangat ditekankan.

“Saya membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LIngkungan Hidup dan Kehutanan. Hal terpenting bagi pemerintah adalah memberikan efek jera,” kata Siti.

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan