
Jakarta, 5 Agustus 2025 – Forum kepemimpinan hijau atau Green Leadership Forum (GLF) kembali menegaskan pentingnya memperkuat skema pendanaan ekologis di Indonesia. Para pemangku kepentingan yang hadir sepakat bahwa krisis iklim semakin nyata dan membutuhkan langkah konkret melalui pembiayaan inovatif serta kebijakan yang berpihak pada lingkungan.
Saat membuka diskusi, para pemantik menegaskan, “Bumi sedang tidak baik-baik saja. Krisis iklim nyata adanya, dan salah satu upaya untuk memitigasi dampaknya adalah mendorong Ecological Fiscal Transfer (EFT).”
Hingga kini, sebanyak 48 daerah telah mengadopsi EFT dengan total dana mencapai Rp525,69 miliar. Namun, jumlah ini dinilai masih sangat terbatas sehingga perlu ada perluasan skema pendanaan ke berbagai daerah lain.
Pendanaan Ekologis Masih Minim
Ramlan, salah satu pemantik diskusi, menyoroti ketidakselarasan antara kebijakan ekologi global dan lokal dengan kepentingan politik nasional. Menurutnya, inisiatif ekologis seringkali terhambat oleh minimnya dukungan pendanaan.
“Target pengurangan emisi sudah ada dalam dokumen kebijakan pusat dan daerah. Namun kapasitas SDM, keterbatasan anggaran, serta gap antara kebutuhan Nationally Determined Contribution (NDC) dengan alokasi APBN/APBD masih menjadi tantangan besar,” ungkapnya.
Sumber pendanaan iklim selama 2015–2021 tercatat hampir seimbang: publik sebesar USD 21 miliar (Rp335 triliun/50,3%), dan swasta USD 20,7 miliar (Rp331 triliun). Namun, jumlah tersebut belum cukup untuk menopang agenda iklim Indonesia.
Suara dari Komunitas
Forum ini juga menghadirkan kisah inspiratif dari komunitas di berbagai daerah:
- Maros, Sulsel – Ona dari KBA Desa Tukamassea mendorong kelompok perempuan ikut serta dalam musrenbang desa untuk mengusulkan akses jalan, jembatan, serta pengembangan ekowisata Dolly.
- Siak, Riau – Penghulu Desa Dayun mengembangkan ekowisata di Danau Rawa Gambut sekaligus melahirkan produk unggulan desa berupa olahan makanan dan batik lokal motif semangka.
- KUBE Kita Merong, Kaltim – Mardiatin menyebut insentif TAKE dimanfaatkan untuk pengembangan kakao melalui pelatihan produk bernama Kayan Koa.
- Seram Bagian Timur, Maluku – Komunitas menegaskan potensi sagu sebagai pangan ramah lingkungan yang sejalan dengan isu ekologis.
- Raja Ampat, Papua Barat Daya – Pemerintah daerah menyatakan siap mengadopsi pendanaan ekologis, meski harus menghadapi dilema antara konservasi (90% wilayah dilindungi) dan tekanan pertambangan.
- Aceh Selatan – Daerah dengan 73% kawasan hutan ini mengaku terkendala alokasi anggaran terbatas untuk konservasi.
- Donggala, Sulawesi Tengah – Komunitas konservasi penyu berharap skema EFT bisa menyentuh ekosistem pesisir dan mangrove, bukan hanya kawasan hutan.
Forum ini menegaskan bahwa pendanaan ekologis tidak bisa hanya bergantung pada APBN atau APBD. Alternatif skema seperti carbon trading, blue bond, trust fund, hingga hilirisasi komoditas ramah lingkungan harus terus dikembangkan.
Penulis: Sinta Meilia
