Women Forest Defender Program: Pemberdayaan Perempuan dalam Perlindungan Hutan Sosial – Perkumpulan Pilar Nusantara Di Sumatera Selatan

Tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon dan biasanya tidak dipelihara oleh manusia disebut hutan (Setiawan, 2024). Hutan merupakan aspek penting bagi kehidupan manusia, karena memberikan berbagai manfaat positif bagi manusia, lingkungan, dan makhluk hidup lainnya. Hutan berperan sebagai pemasok oksigen terbesar di permukaan bumi, yang sangat bermanfaat bagi manusia dan hewan untuk bernapas. Selain itu, hutan juga berfungsi dalam menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah, menyediakan habitat bagi berbagai makhluk hidup, menjadi sumber keanekaragaman hayati, serta membantu mencegah bencana alam (Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang, 2020). Meskipun memiliki banyak manfaat, pelestarian hutan masih kurang diperhatikan oleh manusia. Data dari tahun 1992 hingga 2021 menunjukkan bahwa luas hutan di dunia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2021, luas hutan dunia mencapai 40.449.474,7 km², mengalami penurunan sebesar 3,77% dibandingkan dengan tahun 1992 (Data, 2024). Indonesia sendiri memiliki luas hutan yang cukup besar, menempati peringkat kedelapan di dunia dengan luas hutan mencapai 915.276,6 km² pada tahun 2021. Namun, luas tersebut telah berkurang sebesar 22,79% sejak tahun 1990 (Data, 2024). Hutan Indonesia juga menyumbang sekitar 2,26% dari total luas hutan dunia. Untuk mengatasi penurunan luas hutan, pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai kebijakan guna mencegah laju deforestasi. 

Deforestasi merupakan alih fungsi hutan menjadi lahan lain, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun faktor alami (FAO, 2020). Deforestasi di Indonesia menjadi sorotan dunia, terutama karena pada tahun 2000 angka deforestasi pernah mencapai 3,5 juta hektar. Lima negara—Norwegia, Prancis, Inggris, Jerman, dan Belanda—bahkan datang ke Indonesia untuk mempertanyakan hal tersebut (Adib, 2018). Sorotan global ini berfokus pada peran Indonesia sebagai benteng hutan tropis dunia yang diharapkan dapat menjadi tumpuan dalam pengelolaan sumber daya hutan dan mitigasi perubahan iklim. Untuk mewujudkan harapan tersebut, Indonesia terus mencari strategi pelestarian lingkungan. Salah satu upaya yang diterapkan adalah program Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial merupakan model pelestarian hutan yang tidak hanya efektif dalam menjaga ekosistem, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Dengan adanya program ini, masyarakat diberikan akses kelola hutan secara legal dan setara. Selain itu, pemanfaatan hasil hutan yang dilakukan harus sesuai dengan prinsip berkelanjutan dan ramah lingkungan, sehingga konservasi hutan dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022). Manfaat lain dari Perhutanan Sosial adalah pelibatan masyarakat setempat sebagai pihak utama dalam menjaga kelestarian hutan. Dengan demikian, program ini tidak hanya menjadi solusi lingkungan, tetapi juga mendukung ekonomi masyarakat sekitar hutan. Program Perhutanan Sosial merupakan sebuah inisiatif pemerintah yang menjadi Program Prioritas Nasional, terus menjadi fokus utama dalam upaya pemanfaatan hutan lestari demi kesejahteraan rakyat, Perhutanan Sosial bukan hanya sekedar solusi untuk persoalan tenurial, tetapi juga diharapkan menjadi katalisator untuk pengembangan ekonomi masyarakat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023)

Program Perhutanan Sosial yang memberikan manfaat bagi lingkungan maupun masyarakat, menjadi salah satu fokus utama Lembaga Pilar Nusantara (PINUS) Indonesia. Sebagai organisasi yang memiliki visi dan misi berorientasi pada good governance dan good corporate governance, PINUS menaruh perhatian khusus pada isu Perhutanan Sosial sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. Melalui kantor perwakilan di Sumatera Selatan, PINUS secara aktif mengangkat isu Perhutanan Sosial dengan dukungan dari The Asia Foundation melalui program Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola (Setapak) 4. Dalam menjalankan program ini, PINUS juga menyoroti isu gender, khususnya pengarusutamaan gender (PUG), sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, khususnya Pasal 107, yang menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek gender dalam perencanaan Perhutanan Sosial. PUG merupakan strategi pembangunan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam hal akses, partisipasi, kontrol, serta manfaat pembangunan (Muchtar et al., 2023). Oleh karena itu, program yang didukung oleh The Asia Foundation melalui Setapak 4 ini mengusung tema Women Forest Defender Program, yang berfokus pada peran perempuan dalam menjaga kelestarian hutan.

Women Forest Defender Program akan berjalan selama dua tahun, dari Maret 2025 hingga Februari 2027. Program ini dilaksanakan di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, khususnya di empat desa yang telah memiliki Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Perempuan, yaitu KUPS Perempuan Muara Jaya di Desa Tanjung Agung (LPHD Tanjung Agung), KUPS Perempuan Beringin Jaya di Desa Tenam Bungkuk (LPHD Tenam Bungkuk), KUPS Perempuan Pandan Indah di Desa Kota Padang (LPHD Kota Padang), serta KUPS Perempuan Anak Belai di Desa Penyandingan (LPHA Ghimbe Peramunan).

Program Women Forest Defender berfokus pada peningkatan peran perempuan dalam pengelolaan hutan sosial di Semende melalui pemberdayaan ekonomi, advokasi kebijakan, dan peningkatan kapasitas perempuan dalam usaha perhutanan sosial. Tujuan utama program ini adalah meningkatkan akses perempuan terhadap lahan melalui skema Perhutanan Sosial serta mendukung kewirausahaan sosial berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). 

Program ini menerapkan pendekatan pemberdayaan berbasis komunitas, dengan tiga strategi utama, yaitu peningkatan kapasitas perempuan dalam pengelolaan hutan sosial, penguatan usaha perempuan dalam Perhutanan Sosial, serta advokasi kebijakan untuk meningkatkan dukungan pemerintah. Melalui program ini, diharapkan terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial, meningkatnya kesejahteraan perempuan melalui Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), serta bertambahnya dukungan pemerintah terhadap peran perempuan dalam pengelolaan hutan. Dampak yang ingin dicapai dari program ini adalah memperkuat kepemimpinan kelompok dan forum perempuan penjaga hutan dalam pengelolaan hutan yang adil, setara, dan berkelanjutan. Dengan demikian, tujuan akhir dari program ini adalah memastikan bahwa hutan dikelola secara adil, setara, dan berkelanjutan demi keberlangsungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Meningkatkan Peran Perempuan dalam Pengelolaan Hutan Sosial melalui Women Forest Defender Program

Perhutanan Sosial merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh masyarakat  dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Sehingga Perhutanan sosial menjadi salah satu pendekatan penting dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang perhutanan sosial, dijelaskan bahwa target dalam sistem pengelolaan hutan di Perhutanan Sosial adalah partisipasi masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat. Tidak hanya itu, dalam program Perhutanan Sosial tersebut juga mengedepankan aspek kesetaraan gender. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan dalam pelibatan masyarakat, khususnya perempuan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan hutan. Disamping itu, persoalan yang sering terjadi adalah terkait tradisi, pola pikir dan kebijakan yang kurang responsif gender (Ekowati & Syamsudin, 2022).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 2013 menunjukkan partisipasi perempuan dalam berbagai kegiatan kehutanan, terutama di kehutanan skala besar, masih sangat minim. Penelitian yang dilakukan oleh (Lispiani et al., 2022) menyatakan kurangnya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pengelolaan hutan, padahal jika dilihat dari potensi, maka perempuan dan laki-laki mempunyai kapasitas yang sepadan untuk mewujudkan hutan berkelanjutan. Serta dari penelitian (Desmiwati, 2016) menunjukkan walaupun sudah terdapat regulasi dari pemerintah serta terdapat panduan untuk merumuskan evaluasi program responsif gender, data terpilah, struktur kelompok kerja, dan pelatihan namun belum terwujudnya pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial. 

Pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial pasal 107, yang menekankan perlunya memperhatikan aspek pengarusutamaan gender (PUG) dalam perencanaan Perhutanan Sosial. PUG merupakan strategi pembangunan yang bertujuan untuk mengikis kesenjangan antara perempuan dan laki-laki baik itu dari segi akses, partisipasi, kontrol serta manfaat pembangunan (Muchtar et al., 2023). Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, PINUS Indonesia, kantor perwakilan Sumatera Selatan, menginisiasi Women Forest Defender Program. Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pengelolaan hutan sosial di Semende melalui berbagai pendekatan, seperti pemberdayaan ekonomi, advokasi kebijakan, dan peningkatan kapasitas perempuan dalam usaha Perhutanan Sosial. Dengan adanya program ini, diharapkan dapat meningkatkan akses perempuan terhadap lahan melalui Perhutanan Sosial serta mendukung kewirausahaan sosial berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).Program ini mendapat dukungan dari The Asia Foundation melalui program SETAPAK 4, yang berfokus pada tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan serta inklusif. Dukungan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat kapasitas perempuan sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sebagai langkah konkret, pada tanggal 26 Februari 2025, PINUS Sumatera Selatan secara resmi menandatangani Letter of Grant   dengan The Asia Foundation. Penandatanganan MoU ini menandai komitmen bersama dalam mendukung peningkatan peran perempuan dalam pengelolaan hutan sosial melalui pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan adanya kerja sama ini, diharapkan terjadi peningkatan kesadaran serta partisipasi perempuan dalam mengelola dan menjaga hutan secara lebih efektif.

PINUS SULSEL GELAR PROGRAM PEMULIHAN ASET BERBASIS ALAM DI PERHUTANAN SOSIAL

Sektor kehutanan memiliki peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, pengelolaan hutan harus dilakukan secara holistik, tidak hanya berfokus pada nilai ekonomi kayu, tetapi juga mempertimbangkan kelestarian ekosistem hutan dan fungsinya. Pengelolaan hutan yang efektif bertujuan untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, berdasarkan data KLHK per Januari 2024 angka deforestasi neto Indonesia tahun 2021-2022 tercatat mencapai 104 ribu hektar. Walaupun angka tersebut mengalami penurunan jika dibandingkan periode 2020-2021 yang mencapai 113,5 ribu hektar, akan tetapi pemerintah perlu menempuh langkah korektif untuk menekan laju deforestasi. 

Menurut (Biro Penjamin Mutu Dan Informasi Digital), Deforestasi adalah proses penghilangan atau pengurangan luas hutan yang berlangsung secara cepat dan besar-besaran, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun bencana alam seperti kebakaran hutan. Deforestasi dapat terjadi karena penebangan liar, konversi hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan, serta pembangunan infrastruktur dan pemukiman. Selaras dengan itu, PINUS Indonesia kantor perwakilan Sulawesi Selatan mempunyai program Pemulihan Aset Berbasis Alam yang menjadi instrumen dalam penyelamatan isu deforestasi di wilayah Sulawesi Selatan, program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Perhutanan Sosial melalui rehabilitasi lahan kritis dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Disisi lain, Pinus Sulsel juga mendorong pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), seperti produksi dan pengolahan gula aren. Pendekatan ini diharapkan menciptakan sumber pendapatan berkelanjutan sekaligus menjaga kelestarian hutan sebagai aset jangka panjang. Urgensi program ini terletak pada upaya mengatasi deforestasi dan degradasi hutan yang semakin mengancam ekosistem serta banyaknya pohon yang sudah tidak produktif lagi. Seperti case yang terjadi di Desa Bonto Manurung, di mana salah satu potensi utamanya ialah produksi gula aren, namun pohon aren di wilayah tersebut telah mengalami penurunan produktivitas.Oleh karena itu, diperlukan upaya rehabilitasi kembali untuk memastikan keberlanjutan sekaligus mendukung kesejahteraan masyarakat setempat. 

PINUS SulSel memiliki target untuk rehabilitasi hutan seluas 20 – 50 hektar dalam periode 1 tahun, dengan fokus rehabilitasi di 3 lokasi Perhutanan Sosial (PS) yang ada di Desa Bonto Manurung, yaitu 10 hektar di Hutan Kemasyarakatan (HKM) Ujung Bulu, 10 hektar di HKM Karya Baru, dan 30 hektar di HKM Tanete Bulu. Kegiatan rehabilitasi ini didukung oleh The Asia Foundation melalui dukungan program   melalui Program SETAPAK 4, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 500 juta, yang akan digunakan untuk penanaman berbagai jenis bibit, seperti aren, alpukat, mahoni, dan damar. Penentuan lokasi tersebut diidentifikasi berdasarkan beberapa faktor, meliputi: aksesibilitas lokasi, vegetasi, penutupan lahan, kesesuaian potensi, dan jenis tanah. 

Dalam proses pelaksanaannya PINUS SulSel berkolaborasi dengan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) dan Fakultas Kehutanan Universitas Muslim Maros (UMMA). Pembagian sumberdaya dalam program ini dilakukan secara terstruktur sesuai dengan peran masing – masing pihak. PINUS Sulsel bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan program, termasuk penyediaan bibit serta pendampingan kelompok dalam setiap tahapannya. KPH, sebagai pemegang kewenangan atas wilayah hutan, berperan dalam memberikan penyuluhan serta pendampingan teknis guna memastikan keberhasilan rehabilitasi lahan. Sementara itu, UMMA berkontribusi dalam aspek penelitian dan pendidikan dengan memberikan analisis mendalam serta kajian akademik yang mendukung efektivitas program secara berkelanjutan.

Direktur PINUS SulSel, Syamsudin Awing, menegaskan komitmen para pihak dalam memastikan keberhasilan program rehabilitasi hutan. “Kami menargetkan persentase keberhasilan tumbuh pohon mencapai 90%. Monitoring akan terus dilakukan untuk memastikan keberlanjutan program ini,” ujarnya. Selain upaya pemantauan rutin, akan dilakukan evaluasi kondisi tanaman serta pendampingan kepada masyarakat agar teknik penanaman dan perawatan dapat berjalan optimal. Harapannya, program ini tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi hutan, tetapi juga memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi petani Perhutanan Sosial (PS). 

Salah satu potensi yang didorong adalah Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), seperti produksi dan pengolahan gula aren. Dengan pendekatan ini, diharapkan masyarakat dapat memperoleh sumber pendapatan yang lebih berkelanjutan, sekaligus menjaga kelestarian hutan sebagai aset jangka panjang.

Kolaborasi untuk Perubahan: Pilar Nusantara dan Pj Bupati Jeneponto Bahas Perbup ADD Berkelanjutan

JENEPONTO – Dalam suasana penuh semangat dan harapan, Pj Bupati Jeneponto, Dr. Reza Faisal Saleh memimpin rapat koordinasi yang bertujuan mempercepat penanganan berbagai masalah sosial di Kabupaten Jeneponto.

Rapat yang diadakan untuk perhitungan Alokasi Dana Desa (ADD) tahun 2025 ini menjadi momentum penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kolaborasi yang lebih baik, Kamis (23/1/2024).

Dalam arahannya Pj Bupati menyoroti tantangan yang dihadapi daerah, seperti anak tidak sekolah, stunting, kemiskinan ekstrem, dan pengelolaan potensi desa yang belum optimal.

Ia mengajak semua pihak untuk berkomitmen dalam mempercepat penanganan masalah-masalah ini. “Kita harus memastikan bahwa alokasi dana desa dimaksimalkan untuk menyelesaikan isu-isu krusial ini, kolaborasi antar perangkat daerah sangat diperlukan untuk menciptakan program yang efektif dan berdampak nyata,” tegas Bupati.

Rapat ini dihadiri oleh Asisten I, Kadis Kominfo, Sekretaris dan Kabid PMD, serta perwakilan dari berbagai dinas, termasuk Dinas Lingkungan Hidup, Sekretaris PPKAD, Direktur Pilar Nusantara, TA P3MD, Konsultan TAF, dan tim Pattiro Jeka.

Kehadiran beragam pemangku kepentingan ini menciptakan suasana diskusi yang konstruktif, dengan banyak saran dan masukan terkait penggunaan anggaran desa.

Salah satu fokus utama dalam diskusi adalah pentingnya memaksimalkan penggunaan alokasi dana desa untuk mencapai kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan desa.

Para peserta sepakat bahwa pengelolaan anggaran yang baik tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi juga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan desa.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana desa, agar masyarakat dapat mengawasi dan berpartisipasi dalam setiap program yang dilaksanakan.

Hal ini sejalan dengan arahan Bupati untuk melakukan kontrol dan fokus dalam setiap langkah yang diambil.

Dengan semangat kolaborasi dan komitmen yang tinggi, rapat koordinasi ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju perubahan positif di Kabupaten Jeneponto. Bupati Reza menutup rapat dengan harapan bahwa kerjasama yang terjalin akan membawa solusi nyata bagi masyarakat dan menjadikan Jeneponto sebagai contoh keberhasilan dalam pengelolaan dana desa yang berbasis lingkungan berkelanjutan. (Oji Pajeka).

Sumber

TERBITNYA PERATURAN BUPATI ALOKASI DANA DESA (ADD) TRANSFER ANGGARAN KABUPATEN BERBASIS EKOLOGI (TAKE) KABUPATEN BULUKUMBA SULAWESI SELATAN

Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan baru saja menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 25 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pengalokasian, Pembagian, dan Penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD) Tahun Anggaran 2025. Melalui Perbup ADD TA 2025 ini, Pemkab Bulukumba mulai mengadopsi kebijakan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis (TAKE). Kebijakan TAKE sendiri sudah mulai banyak diadopsi daerah dan selaras dengan Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Dalam proses penyusunan kebijakan ini, Pemkab Bulukumba didampingi oleh Perkumpulan Pilar Nusantara Indonesia (PINUS) yang didukung oleh Ford Fondation.

Urgensi penerapan Transfer Anggaran Kabupaten Berbasis Ekologi (TAKE) dalam proses pengimplementasiannya adalah belum semua desa memasukkan isu lingkungan pada dokumen perencanaan dan penganggaran pembangunan di desa, meskipun terdapat regulasi baik di tingkat nasional dan daerah yang mengatur tentang pentingnya memprioritaskan pengelolaan lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain, pada tingkat kabupaten untuk menstimulus desa dalam melakukan inovasi program dan kegiatan pengelolaan lingkungan perlu adanya landasan kebijakan regulasi daerah sebagai payung hukum. Dasar pelaksanaan TAKE ditetapkan melalui Peraturan Bupati dengan melakukan reformulasi dalam pendistribusian Alokasi Dana Desa (ADD). Penerapan mekanisme skema TAKE melalui Alokasi Dana Desa (ADD) diharapkan mampu memberikan kontribusi positif dalam pengembangan praktik kebijakan anggaran di daerah yang berorientasi pada keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup serta desa didorong untuk berkompetisi dalam melakukan inovasi-inovasi terkait ekologis.

Pengadopsian kebijakan TAKE ini mengakomodir pengalokasian anggaran kinerja perlindungan lingkungan hidup sebesar 3% dari anggaran keseluruhan ADD setelah dikurangi alokasi dasar dan ditambahkan 0,5% yang diambil dari disinsentif desa, untuk itu keseluruhan alokasi kinerja mencapai 3,5% atau sebesar Rp 1.616.447.622 dari pagu ADD Kabupaten Bulukumba sebesar Rp 85.365.776.800. Alokasi Dana Desa Kinerja (ADDK) sebesar 3,5% tersebut dibagikan kepada 15 desa berdasarkan Indeks Kinerja Desa (IKD) tahun sebelumnya dari peringkat 1 sampai dengan peringkat 15, dalam hal terdapat desa yang memiliki peringkat yang sama, maka untuk menetapkan desa terpilih berdasarkan kinerja terbaik pada kriteria tata kelola keuangan desa. Indeks Kinerja Desa ini digunakan sebagai alat ukur untuk menilai serta memantau kinerja suatu desa dalam berbagai aspek, baik dari aspek ekonomi, sosial, dan infrastruktur.    

Penilaian kriteria kinerja desa tersebut berkaitan dengan tata kelola keuangan desa dan kategori kinerja pelestarian serta lingkungan hidup desa termasuk indikator kebijakan desa tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, proporsi anggaran desa untuk kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, capaian indeks kualitas lingkungan desa, dan bank sampah aktif.  Dalam pengimplementasian Perbup ADD Tahun Anggaran 2025, terdapat 15 desa yang mendapatkan alokasi kinerja, yaitu sebagai berikut:

NoKecamatanDesaBesaran Anggaran Alokasi Kinerja Yg Diperoleh TA 2025 (Rupiah)
1.KindangMattirowalie112.670.945
2.Ujung LoeSeppang111.426.149
3.Ujung LoeMannyampa111.426.149
4.KindangSipaenre110.145.895
5.Ujung LoeLonrong109.015.709
6.GantarangBontonyeleng108.783.490
7.Bonto TiroBatang107.807.669
8.KindangSomba Palioli107.277.977
9.Bonto TiroTamalanre107.005.109
10.GantarangPadang106.694.254
11.KajangMalleleng106.662.152
12.Ujung LoePaccarammengang106.518.201
13.GantarangTaccorong106.438.926
14.GantarangBarombong105.877.556
15.KindangKahayya104.773.788

Dengan terbitnya Perbup ADD 2025 yang di dalamnya mengatur tentang kebijakan TAKE ini memasukkan Kabupaten Bulukumba menjadi kabupaten/kota ke-4 yang mengadopsi Ecological Fiscal Transfer (EFT) di Provinsi Sulawesi Selatan setelah Kota Parepare, Kabupaten Maros dan Kabupaten Sinjai. Perbup ini juga menjadi bukti tingginya komitmen Pemerintah Kabupaten Bulukumba terhadap perlindungan ekologis.

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan