
Perubahan iklim tidak lagi menjadi ancaman abstrak bagi masyarakat perhutanan sosial. Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) andalan seperti kopi dan kakao kini terdampak secara nyata, ditandai dengan rontoknya bunga sebelum berbuah, meningkatnya serangan penyakit tanaman, serta penurunan hasil produksi yang signifikan. Dampak ini juga dirasakan oleh petani perempuan, termasuk perempuan kepala keluarga, yang menggantungkan penghidupan rumah tangga pada hasil hutan. Kondisi tersebut secara langsung mengancam mata pencaharian petani, ketahanan ekonomi keluarga, sekaligus keberlanjutan fungsi hutan yang mereka kelola.
Merespons tekanan krisis iklim yang semakin kuat, PINUS Indonesia mendorong pengembangan skema perlindungan risiko iklim sebagai bagian dari strategi penguatan Perhutanan Sosial. Upaya ini diposisikan sebagai proses jangka panjang yang terintegrasi dengan berbagai instrumen perlindungan dan pengelolaan hutan lainnya. Deputi Direktur PINUS, Hari Kusdaryanto, menegaskan bahwa inisiatif ini berangkat dari kondisi nyata yang dihadapi masyarakat di lapangan. “Berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan, PINUS mengambil peran awal untuk mendorong lahirnya skema green insurance bagi Perhutanan Sosial sebagai upaya melindungi para penjaga hutan dari risiko iklim dan ketidakpastian usaha. Hal tak kalah penting lainnya upaya ini juga dimaksudkan untuk terus menjaga ekosistem dan kelestarian hutan.” ujarnya.

Dalam kerangka pengembangan tersebut, PINUS memulai rangkaian proses dengan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Asuransi Perhutanan Sosial sebagai tahapan awal untuk merumuskan arah, pendekatan, dan prasyarat pengembangan skema perlindungan yang kontekstual serta selaras dengan kebijakan nasional.
Perlindungan Risiko Iklim: Kebutuhan Mendesak Petani Hutan
FGD ini berangkat dari persoalan konkret yang dihadapi petani perhutanan sosial di berbagai wilayah. Di Semende, Sumatera Selatan, misalnya, petani kopi mengalami penurunan hasil panen akibat cuaca yang semakin tidak menentu. Kondisi ini berdampak besar karena pengelolaan hutan di wilayah tersebut banyak dilakukan oleh perempuan. Direktur PINUS Sumatera Selatan, Yunita, menjelaskan bahwa risiko iklim memiliki dampak berlapis bagi kelompok rentan. “Resiko iklim tidak bisa dikendalikan, baik pada komoditas atau ekologi. Di Semende yang mengelola hutan adalah perempuan sehingga mereka paling terdampak,” katanya.

Situasi serupa juga terjadi di Maros, Sulawesi Selatan, di mana petani aren menghadapi gagal produksi nira akibat perubahan pola hujan dan meningkatnya serangan penyakit tanaman. Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa krisis iklim bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga persoalan ekonomi dan keadilan sosial. Tanpa mekanisme perlindungan yang memadai, risiko gagal panen dapat memutus keberlanjutan usaha petani dan mendorong tekanan baru terhadap hutan.
Diskusi Multipihak untuk Skema Asuransi yang Realistis
FGD Asuransi Perhutanan Sosial melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari perwakilan industri asuransi, akademisi, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), hingga mitra dan praktisi perhutanan sosial. Diskusi difokuskan pada bagaimana merancang skema asuransi yang dapat bekerja secara nyata di tengah keterbatasan data, daya beli petani, serta kerangka regulasi yang ada.
Perwakilan Zurich Syariah, Yudho, menekankan bahwa desain asuransi tidak dapat disamaratakan antar komoditas. “Parametric insurance tidak bisa digeneralisasi. Kita harus menentukan komoditas secara spesifik karena setiap tanaman memiliki fase tumbuh dan sensitivitas iklim yang berbeda,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan PT Tugu Pratama Indonesia, Yudhi, menempatkan diskusi ini dalam konteks krisis global yang lebih luas. “Dunia saat ini menghadapi tiga krisis sekaligus: krisis iklim, krisis alam, dan krisis polusi. Asuransi menjadi salah satu instrumen untuk mengelola risiko dari krisis tersebut,” katanya.
Peserta diskusi juga membahas berbagai opsi skema asuransi, mulai dari model parametrik, indemnity, hingga pendekatan hybrid. Akademisi sekaligus perwakilan AAUI, Dr. Diwe, menilai pendekatan hybrid dapat menjadi solusi antara kecepatan dan ketepatan perlindungan. “Hybrid bisa jadi jalan tengah, parametric untuk kecepatan, indemnity untuk menutup risiko yang tidak tertangkap parametric,” jelasnya.
Pendekatan Berbasis Kelompok dan Keberlanjutan Hutan
Salah satu benang merah dari diskusi ini adalah pentingnya pendekatan berbasis kelompok dalam pengembangan Asuransi Perhutanan Sosial. Skema asuransi tidak cukup diposisikan sebagai produk individu, melainkan sebagai instrumen perlindungan kolektif yang terintegrasi dengan kelembagaan perhutanan sosial. Pendekatan ini dinilai lebih relevan dengan kondisi lapangan sekaligus membuka ruang dukungan dari pemerintah dan pihak non-pemerintah.
Lebih jauh, desain APS juga diarahkan untuk memastikan bahwa perlindungan ekonomi masyarakat berjalan seiring dengan penjagaan fungsi ekologis hutan. Dengan demikian, asuransi tidak hanya berperan sebagai jaring pengaman usaha, tetapi juga sebagai bagian dari strategi adaptasi perubahan iklim dan penguatan pengelolaan hutan berkelanjutan.
Langkah Awal Menuju Skema Perlindungan Petani Hutan
Rangkaian diskusi ini menandai langkah awal PINUS Indonesia dalam mendorong hadirnya mekanisme perlindungan risiko iklim yang lebih adil dan kontekstual bagi petani perhutanan sosial. Ke depan, hasil diskusi akan menjadi dasar bagi pengembangan model Asuransi Perhutanan Sosial yang dapat diuji coba, disempurnakan, dan direplikasi di berbagai lanskap perhutanan sosial di Indonesia.
Di tengah krisis iklim yang semakin nyata, perlindungan bagi petani perhutanan sosial bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menjaga keberlanjutan penghidupan masyarakat sekaligus memastikan hutan Indonesia tetap lestari.
