
PINUS Indonesia bersama Kementerian Dalam Negeri dan Ford Foundation menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi dan Koordinasi Petunjuk Teknis (Juknis) Tata Cara Penerapan Insentif Kinerja Ekologis (IKE) di Daerah pada 19 Desember 2025 di Jakarta. Kegiatan ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, serta Kementerian Koordinator Bidang Pangan, dan mengusung tema “Pemerintah Berdaya, Lingkungan Terjaga”. Forum ini menjadi ruang konsolidasi penting untuk menyamakan pemahaman lintas pemangku kepentingan mengenai arah dan strategi penguatan kebijakan fiskal berbasis ekologi di Indonesia.
Menurut perhitungan Indonesia Development Insight, Indonesia sebenarnya memiliki potensi pendanaan ekologis melalui skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) atau IKE sebesar Rp 10,2 triliun per tahun, yang bersumber dari alokasi 0,25 persen total belanja pemerintah pusat dan daerah. Namun, hingga awal Desember 2025, penerapan IKE masih belum optimal. Baru terdapat 50 pemerintah daerah yang mengadopsi IKE, atau sekitar 9 persen dari total daerah di Indonesia, dengan total dana yang berhasil dihimpun sebesar Rp 529 miliar. Apabila IKE ditetapkan sebagai kebijakan mandatory, potensi dana yang dapat dialokasikan mencapai Rp 10,2 triliun per tahun baik di tingkat pusat maupun daerah. Nilai ini setara dengan sekitar 1,3 persen dari total kebutuhan pendanaan penurunan emisi pada 2030 yang diperkirakan mencapai Rp 4.000 triliun, sehingga kebijakan EFT mandatory berpotensi menjadi bagian penting dari strategi pemenuhan pendanaan Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Dalam sambutannya, Direktur PINUS Indonesia Rabin Ibnu Zainal menyoroti tantangan utama sosialisasi dan implementasi IKE pada tahun 2026, khususnya terkait kondisi fiskal daerah. Ia menegaskan bahwa penurunan Transfer Keuangan Daerah (TKD) berpotensi mempersempit ruang fiskal pemerintah daerah dalam menjalankan kebijakan berbasis lingkungan. Namun demikian, pengalaman sejumlah daerah menunjukkan bahwa keterbatasan fiskal tidak selalu menjadi penghambat. “Tantangan utama sosialisasi IKE pada 2026 adalah penurunan TKD yang mempersempit ruang fiskal pemerintah daerah. Namun, sejumlah daerah seperti Kabupaten Bulungan dan Kota Dumai justru tetap mempertahankan bahkan meningkatkan anggaran IKE karena dampak positifnya jauh melampaui anggaran yang dikeluarkan,” ujar Rabin. Praktik ini menunjukkan bahwa IKE dapat menjadi instrumen kebijakan strategis dengan dampak yang besar bagi daerah.
Dari sisi regulasi nasional, Kementerian Dalam Negeri menegaskan komitmennya dalam mendukung penerapan EFT/IKE di daerah. Kepala Subdirektorat Lingkungan Hidup Kemendagri, Kunto Bimaji, menjelaskan bahwa Juknis IKE merupakan hasil kolaborasi antara Kemendagri, PINUS, dan Ford Foundation. Dukungan tersebut diperkuat melalui regulasi penganggaran daerah. “Juknis IKE adalah hasil kerja sama Kemendagri dengan PINUS dan Ford Foundation. Upaya kami salah satunya melalui Permendagri Nomor 14 Tahun 2025 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2026. Melalui regulasi ini, kami mendorong pemerintah daerah yang belum menerapkan IKE untuk mulai mengadopsinya dengan mencontoh daerah lain dan menyesuaikan indikator dengan kebutuhan masing-masing daerah,” jelas Kunto. Menurutnya, fleksibilitas indikator menjadi kunci karena karakteristik ekologis dan tantangan pembangunan setiap daerah sangat beragam.
Pengalaman Kota Dumai menjadi salah satu contoh konkret implementasi IKE di tingkat daerah. Perwakilan Bappeda Kota Dumai, Insani, menyampaikan bahwa kebijakan ALAKE tidak lahir secara instan, melainkan melalui proses pendampingan dan penguatan kapasitas aparatur. “Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada PINUS dan FITRA Riau yang telah membimbing kami melakukan edukasi dan sosialisasi, termasuk kepada aparatur di tingkat kelurahan. Hasilnya, pada tahun 2023 kami menetapkan Peraturan Wali Kota Nomor 89 Tahun 2023, di mana dana kelurahan sudah dialokasikan berdasarkan skema ALAKE,” ungkapnya.
Dari sisi konseptual, Tim Penyusun Juknis IKE menegaskan bahwa kebijakan ini tidak dimaksudkan untuk menambah beban anggaran daerah. Roy Salam menjelaskan bahwa IKE justru sejalan dengan prinsip penganggaran berbasis kinerja. “IKE adalah kebijakan yang sejalan dengan penyerapan anggaran berbasis kinerja. Kebijakan ini tidak menambah alokasi baru, tetapi mereformulasi alokasi yang sudah ada untuk memperkuat kinerja daerah dalam pembangunan lingkungan. Harapannya, IKE dapat memperkaya inovasi daerah dalam membangun instrumen fiskal yang lebih baik,” jelas Roy. Pendekatan ini menjadikan IKE relevan bagi daerah dengan berbagai macam kapasitas fiskal.
Untuk memperluas akses pengetahuan dan pembelajaran, PINUS bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis juga menghadirkan platform digital sebagai sarana berbagi praktik baik. Program Manager PINUS Indonesia, Oke Trianto, menyampaikan bahwa “platform digital eftindonesia.org merupakan hasil kolaborasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis untuk membagikan informasi, pengetahuan, dan pembelajaran mengenai EFT/IKE serta pelaksanaannya di berbagai daerah.” Kehadiran platform ini diharapkan dapat mempercepat replikasi praktik baik dan memperkuat jejaring pembelajaran antar daerah.
Dari perspektif kebijakan lintas sektor, penguatan praktik IKE juga memerlukan dukungan kerangka regulasi yang lebih kuat di tingkat nasional. Herdian, Analis Kebijakan Ahli Muda Urusan Lingkungan Hidup Kemendagri, menekankan pentingnya pengarusutamaan indikator lingkungan hidup. “Penguatan praktik kinerja ekologis harus dilakukan melalui indikator lingkungan hidup dan diperkuat oleh rancangan Peraturan Presiden beserta pedoman Juknis yang telah tersedia,” ujarnya. Hal ini menjadi prasyarat agar IKE tidak berjalan parsial, tetapi terintegrasi dalam kebijakan pembangunan nasional.
Isu pengelolaan sampah menjadi salah satu sektor strategis yang dinilai sangat relevan dengan skema IKE. Didin, Asisten Deputi Ekonomi Sirkular dan Dampak Lingkungan, menilai bahwa IKE membuka peluang baru bagi daerah di tengah keterbatasan sumber daya. “Skema IKE merupakan kabar baik bagi pemerintah daerah karena membuka peluang insentif untuk meningkatkan kinerja, khususnya dalam pengelolaan sampah dan dukungan terhadap PSEL, di tengah keterbatasan anggaran dan sumber daya,” jelasnya. Dengan demikian, IKE dapat berfungsi sebagai instrumen pelengkap kebijakan pengelolaan sampah nasional.
Pandangan senada disampaikan oleh Aisyah dari Kementerian Lingkungan Hidup yang menekankan aspek teknis implementasi. Menurutnya, “IKE membuka peluang peningkatan kinerja pengelolaan sampah daerah, asalkan didukung oleh juknis yang jelas dan spesifik.” Penegasan ini menunjukkan bahwa keberhasilan IKE tidak hanya ditentukan oleh komitmen anggaran, tetapi juga oleh kejelasan indikator dan mekanisme teknis di tingkat pelaksana.
Melalui forum sosialisasi juknis IKE, PINUS dan para mitra menegaskan kembali bahwa Insentif Kinerja Ekologis bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan strategi kebijakan untuk mendorong perubahan perilaku pemerintah daerah, memperkuat tata kelola lingkungan, dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Sosialisasi dan koordinasi lintas sektor menjadi langkah awal penting menuju pengarusutamaan IKE sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional dan daerah.
