KLHK Didesak Hentikan Pertambangan Ilegal di Kawasan Hutan

Perwakilan masyarakat sipil yang terdiri perwakilan masyarakat Barito Timur dan Berau menuntut tindakan tegas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penegakan hukum pidana bagi perusahaan tambang yang melakukan usaha tambang di hutan secara ilegal.

Komitmen KLHK, institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan hutan dan lingkungan hidup di Indonesia, dalam menegakkan hukum patut dipertanyakan. Pasca koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang digalakkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih saja ditemukan perusahaan-perusahaan tambang yang membangkang pada aturan. Dua dari ribuan perusahaan yang membangkang tersebut adalah PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (PT BNJM) dan PT Kaltim Jaya Bara (PT KJB), masing-masing merupakan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

“KLHK harus segera merespon laporan masyarakat dan menindak tegas PT BNJM, karena sampai saat ini belum mengantongi IPPKH. Bukti-bukti yg dilampirkan juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP), beroperasi di kawasan hutan dan sampai saat ini, tidak pernah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH,” ujar Raynaldo Sembiring dari ICEL dalam keterangan resmi, Kamis (6/4/2017).

“Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan merupakan izin yang wajib dimiliki oleh siapapun yang akan menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, termasuk untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, maupun eksploitasi bahan tambang supaya kegiatan pertambangan terkontrol,” tambah Raynaldo.

Merah Johansyah dari JATAM menegaskan, “Selain menghancurkan kawasan hutan dan mengakibatkan kerugian negara karena diduga beroperasi tanpa IPPKH, penambangan ilegal di kawasan hutan jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang menargetkan akan mengurangi emisi GRK sampai 29 persen, salah satunya menjaga kawasan hutan dan lahan dengan pencegahan dan penegakan hukum, terutama di kawasan hutan bumi Borneo yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.”

Selain itu, Mardiana, perwakilan tokoh Perempuan Adat Dayak Maanyan, Kabupaten Barito Timur menyatakan, “Kegiatan tambang di hutan telah menghilangkan sumber kehidupan masyarakat dan memaksa masyarakat untuk membayar mahal terhadap kebutuhan sehari – harinya . Sebelumnya, masyarakat dapat menikmati madu, buah-buahan dan ikan-ikan dari hutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.”

Menambang tanpa IPPKH di kawasan hutan merupakan bentuk tindak pidana yang serius dan banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Maka dari itu, sekali lagi, masyarakat menuntut ketegasan dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang tidak taat pada aturan dan telah merusak kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem.

Sumber: Suara.com

 

Tuah Para Pendamping Perhutanan Sosial

Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Bisnis.com, JAKARTA–Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Wajar jika ada perasaan lega setelah legalitas untuk hutan yang selama ini menjadi tempat Boedi berkebun terbit, pasalnya petani yang tinggal di Desa Gunung Agung, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, itu pernah punya pengalaman buruk.

 

“Saya tidak bisa tenang karena selalu menggarap lahan di kawasan hutan lindung, bahkan pada 2000 saya pernah dikejar-kejar polisi kehutanan [polhut] karena kebun saya tidak berizin,” katanya saat sarasehan masyarakat perhutanan sosial di Palembang, awal pekan ini.

Boedi mengatakan dirinya Bersama 200 petani lainnya mulai menggarap kawasan hutan untuk bercocok tanam sejak 1999 atau pascakebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 1997 silam.

 

Ratusan petani itu mengelola areal seluas 440 hektare yang masuk dalam hutan lindung di Kaki Gunung Dempo. Mereka tak hanya menanam alpukat, melainkan hortikultura lainnya, yakni nangka, durian juga tanaman sayur, seperti tomat, kol dan cabai.

Pengakuan dari negara untuk pemanfaatan hutan lindung bagi masyarakat di kawasan itu sampai di telinga Boedi pada 2013 ketika pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendatangi para petani setempat.

 

Dia mengatakan setelah mengantongi izin perhutanan sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM), Boedi dan kawan-kawan telah menyusun program kerja ke depan untuk pemanfaatan kawasan tersebut.

Boedi mengemukakan pihaknya ingin membuat naungan hasil hutan bukan kayu di areal tersebut di mana selain ditanami pohon buah-buahan, petani juga menanam kopi di tanah yang terkenal subur itu.

Perasaan lega tak hanya menghinggapi Boedi dan petani di Dempo Utara, melainkan ratusan petani kopi di Desa Sinar Nabalan, Kecamatan Buai Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan.

Ali Aripin, Sekretaris Kelompok Tani Napalan Makmur, mengatakan bahwa sebelum mengantongi izin perhutanan sosial pihaknya seringkali terkena pungutan liar (pungli) oleh sejumlah oknum yang enggan dia sebutkan institusinya.

Dia mengatakan, kopi menjadi komoditas utama yang ditanamnya di kawasan hutan tersebut, selain tanaman lain, seperti jahe, jagung, hingga jengkol.

Selain itu, Ali ingin ada pendampingan bagi petani kopi di tempatnya sehingga bisa meningkatkan produksi serta kualitas kopi yang berujung pada perbaikan harga komoditas itu di tingkat petani.

“Selama ini ya kami petik asalan. Selama ini tidak ada yang ngajarin petik biji kopi yang benar itu bagaimana, tetapi setelah ada perhutanan sosial ini program pendampingan mulai masuk ke desa kami,” katanya.

Pendampingan

Program perhutanan sosial untuk masyarakat memang membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah hingga lembaga sosial masyarakat (LSM), sehingga program yang mengusung misi untuk mengatasi konflik kehutanan hingga peningkatan kesejahteraan warga sekitar itu bisa optimal.

Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Rudjito Agus Suwignyo mengatakan Sumsel membutuhkan 400 tenaga pendamping, sedangkan jumlah tenaga yang tercatat saat ini baru 40 pendamping.

Ratusan pendamping itu diperlukan untuk disebar di 98.947 hektare kawasan perhutanan sosial yang telah diberi pemerintah untuk masyarakat, ditambah 40.000 ha lagi kawasan yang akan dilepaskan tahun ini.

Dia menilai skema perhutanan sosial perlu diperkuat karena sejauh ini masih belum optimal dalam pendampingan terhadap kelompok masyarakat dan perencanaan penyusunan Rancangan Kerja Usaha (RKU).

“Padahal, RKU itu menjadi dasar untuk memberikan akses permodalan dari bantuan hibah, CSR maupun dana pinjaman KUR dari perbankan atau dari BLU (Badan Layanan Umum),” katanya.

Secara nasional, hingga 2018, realisasi perhutanan sosial baru seluas 2,51 juta hektare. Capaian tersebut terlihat masih jauh dibandingkan dengan target kawasan hutan untuk program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang awalnya dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk selesai pada 2019.

KLHK pun memperkirakan realisasi hingga akhir tahun ini hanya mencapai 4,38 juta hektare. Maka dari itu, strategi menjemput bola mulai dijalankan termasuk dengan mendorong jumlah pendamping.

Saat ini, baru ada sekitar 3.600 pendamping petani penggarap lahan. Setidaknya masih diperlukan 1.400 pendamping di seluruh Indonesia.

KLHK mengaku telah menyampaikan secara terbuka kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, dan masyarakat luas untuk bergabung menjadi pendamping.

Sejumlah lembaga yang memberikan pendampingan untuk masyarakat yang mendapat izin perhutanan sosial di Sumsel adalah Zoological Society London (ZSL) Indonesia, Hutan Kita Institut (Haki) dan WRI Indonesia.

Sementara itu, Aidil Fikri, Fasilitator Haki, mengatakan pihaknya telah melakukan pendampingan bagi petani kopi di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim. “Kami sudah mendampingi petani kopi di sana selama dua tahun terakhir secara intens, tidak hanya di bidang hulu bahkan kami damping untuk hilir dari kopi yang mereka produksi,” katanya.

Salah satunya, Haki membantu pemasaran kopi jenis Semendo dengan brand Cahaya Alam yang dikemas menarik untuk dipasarkan secara ritel. Dalam kemasan tersebut juga diberi keterangan bahwa kopi robusta dan arabika itu merupakan produk perhutanan sosial.

“Kami sudah pasarkan ke beberapa kota di Indonesia, bahkan kami sudah mengenalkan kopi Cahaya Alam ini ke Amerika, Jepang dan Eropa,”ujarnya.

Pemprov Sumatra Selatan mencatat kawasan hutan yang telah diberikan ke masyarakat menjadi perhutanan sosial 98.947 hektare pada tahun ini.

Plt Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Thajanto mengatakan lahan perhutanan sosial di daerah itu ditujukan untuk 14.511 kepala keluarga (KK). Pandji memaparkan potensi kawasan perhutanan sosial yang tersebar di Sumsel mencapai hingga 300.000 ha yang bisa menjadi peningkatan akses ekonomi masyarakat sekitar.

Sumber: Bisnis.com

BPN Sebut KLHK Harus Dipisahkan Agar Tak Konflik Kepentingan

Jakarta, CNN Indonesia — Direktur Materi dan Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Sudirman Said menyebut pemisahan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan perlu dilakukan agar tak terjadi konflik kepentingan.

Wacana pemisahan itu dicetuskan Prabowo dalam debat capres kedua Pilpres 2019 dua malam lalu. Sementara di era Presiden Joko Widodo, kedua sektor itu disatukan dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Kehutanan kan mengelola hutan, pasti ada urusan yang mengganggu lingkungan. Sementara lingkungan tugasnya untuk awasi dan menindak. Kalau digabung dalam satu tempat itu dikhawatirkan ada konflik kepentingan,” kata Sudirman melalui pesan singkat, Selasa (19/2).

Oleh karena itu, kata dia, antara yang mengelola dan mengawasi atau memberi penindakan haruslah dipisah, tidak bisa disatukan dalam satu kelembagaan.

“Harus dipisah, tidak bisa disatukan,” katanya.

 

Sementara Pemerhati sekaligus Dekan Fakultas Hukum dari Universitas Nasional, Ismail Rumadan juga menyebut gagasan pemisahan kembali dua kementerian yang sebelumnya disatukan Jokowi itu sangat tepat.

Gagasan tersebut dinilai memiliki argumentasi kuat, apalagi sejak disatukan banyak permasalahan lingkungan hidup yang tidak tuntas.

Sebut saja dalam kasus kerusakan lingkungan hidup akibat penambangan PT Freeport Indonesia. Hasil audit BPK yang dipublikasi pada Maret 2018 menunjukkan adanya kerusakan ekosistem akibat limbah PT Freeport Indonesia senilai Rp185 triliun.

“Penyelesaian kasus ini sampai sekarang tidak transparan dan terkesan ditutup-tutupi,” kata Ismail.

Tak hanya itu, banyak juga kasus kebakaran hutan yang tak ada sanksi tegas bagi para pelakunya. Jika pun sudah sampai di meja hijau dan pelaku dinyatakan bersalah hingga harus membayar denda, denda tersebut hingga kini belum dibayar.

“Selama penggabungan kedua kementerian tersebut, penyelesaian atas masalah kerusakan lingkungan terkesan tertutup,” katanya.

 

Seperti diketahui, Prabowo akan memisahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bila kelak terpilih memimpin Indonesia periode 2019-2024. Menurutnya, langkah pemisahan ini penting agar pengawasan pada sektor kehutanan dan lingkungan hidup dapat difokuskan.

Prabowo mengaku heran mengapa masalah kehutanan dan lingkungan hidup hanya diurus oleh satu kementerian. Menurutnya, masalah kehutanan dan lingkungan hidup harus diurus oleh kementerian yang berbeda.

“Saya akan tegakkan pemerintahan yang bersih yang tak akan kongkalikong cemari lingkungan. Kita akan pisahkan, menteri kehutanan kok jadi satu dengan lingkungan hidup”, kata Prabowo dalam debat capres kedua, Minggu (17/2). (tst/osc)

sumber:cnn.indonesia

Ketika Presiden Minta Selesaikan Masalah Lahan Rakyat di Kawasan Hutan dan HGU

  • Presiden meminta pendataan dan penataan tanah-tanah di kawasan hutan, harus dipercepat agar masyarakat maupun masyarakat adat dapat menerima manfaat. Sederhanakan proses, jangan berbelit-belit.
  • Caranya? Ada yang mengusulkan bikin perppu, ada yang mengusulkan segera bentuk tim kerja.
  • AMAN menyatakan, peta wilayah adat yang sudah diserahkan kepada pemerintah seluas 9,8 juta hektar, bisa jadi prioritas dalam percepatan ini
  • Walhi mengingatkan, soal peta desa atau tata batas desa banyak belum selesai, hingga penyelesaian masalah pemukiman di kawasan hutan jangan sampai memunculkan konflik baru.

Penghujung Februari lalu, dalam rapat terbatas, Presiden Joko Widodo, memerintahkan jajarannya menyelesaikan soal pemanfaatan tanah bagi masyarakat di dalam kawasan hutan, termasuk lahan pelepasan kawasan yang sudah jadi hak guna usaha, dalam waktu dua bulan.

“Perlu saya ingatkan, kebijakan pemanfaatan tanah di kawasan hutan sangat penting dalam memberikan perlindungan hukum terutama pada rakyat, yang memanfaatkan bidang tanah,” katanya, dalam ratas itu.

Dia cerita, kala bertemu warga di Bengkulu, yang mengeluhkan lahan bersengketa dengan penguasa konsesi. “Juga di Jawa, saya kira banyak sekali, terutama di dalam kawasan Perhutani, banyak kampung-kampung di kawasan Perhutani tidak bisa, misal, jalan tak bisa di aspal karena setiap mau mengaspal harus izin terlebih dahulu,” katanya.

Menurut dia, pendataan dan penataan tanah-tanah di kawasan hutan, harus dipercepat agar masyarakat maupun masyarakat adat dapat menerima manfaat.

“Kemudian inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Jangan sampai proses berbelit-belit, sederhanakan, dipercepat hingga keluhan-keluhan rakyat yang disampaikan ke kita itu bisa selesaikan cepat,” katanya.

Rapat terbatas ini dihadiri antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menko Polhukam Wiranto, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan, Mensesneg Pratikno. Lalu, Seskab Pramono Anung, Menkeu Sri Mulyani, Menkumham Yasonna H. Laoly, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Sosial Agus Gumiwang, dan Menteri BUMN Rini Soemarno.

Hadir pula, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia, Eko Putro Sandjojo, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jambi Fachrori Umar, dan Kepala BPKP, Ardan Adiperdana.

Presiden memberikan waktu dua bulan kepada pihak-pihak terkait menyelesaikan konflik pemukiman di kawasan hutan, termasuk di wilayah pelepasan kawasan hutan dan kini jadi hak guna usaha (HGU).

Mengutip laman Setkab.go.id, Siti Nurbaya membenarkan, banyak persoalan di dalam kawasan hutan. Masalah pemukiman dalam konsesi, baik itu hutan maupun HGU banyak terjadi.

Dia bilang, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83/2017, soal inventarisasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH), sudah jalan di 26 provinsi.

“Sudah 26 provinsi menerbitkan Surat Keputusan Pencadangan, sudah ada kawasan-kawasan yang dilepaskan dari hutan, sudah diverifikasi, misal, kalau dari kawasan hutan, yang pemukiman, rakyat ada di dalamnya,” katanya.

Dia mencontohkan, pemukiman transmigrasi dan lain-lain ada 264.000 hektar, pemukiman dalam hutan, ada pemukiman, ada fasilitas umum, ada fasilitas sosial 307.000 hektar. Kemudian lahan garapan, sawah dan lain-lain seluas 64.000 hektar dan lahan kering sekitar 183.000 hektar.

“Ïni sudah diinvetarisir, dibahas dengan kepala daerah. Hanya pemerintah daerah harus lebih aktif mendorong usulan-usulan masyarakat,” katanya.

Presiden, katanya, telah meminta Menko Perekonomian, mengundang para gubernur membahas maslaah ini agar bisa menyelesaikan ketidakpastian warga-warga yang tinggal di kawasan hutan.

“Tadi, perintah presiden utamakan kepentingan rakyat, tapi jangan lupa ada juga kepentingan lingkungan, ada kepentingan bisnis. Itu harus diimbangkan.”

 

Sejumlah petani yang tegabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Sahbandar, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, melakukan tanam kedelai di lahan Perum Perhutani, Blok Cibeda, Kamis(4/5/2017). Foto : Donny Iqbal

Saat ditemui Mongabay dalam acara raker teknis Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK di Jakarta, Siti mengatakan, pokok pembahasan dalam ratas itu mengenai inventarisasi masalah-masalah dalam kawasan hutan termasuk HGU (yang sudah lepas dari kawasan hutan).

“Jadi presiden meminta masalah-masalah seperti itu, yang jumlahnya sangat banyak di daerah, segera diselesaikan. Intinya, masalah pemukiman di kawasan hutan baik kawasan hutan, dan HGU-HGU yang sudah dilepaskan dari kawasan hutan.”

Dia bilang, presiden meminta KLHK berkoordinasi dengan Menko Perekonomian, dalam menyelesaikan masalah ini. Jadi, katanya, kalau ada pemukiman di kawasan hutan, bukan rakyat yang keluar tetapi kawasan hutan yang harus dilepaskan. Siti bilang, sudah ada ratusan ribu hektar siap keluar dari kawasan hutan.

Caranya?

Menanggapi ini, Peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) Yando Zakaria mengusulkan, presiden menerbitkan perppu untuk percepatan penetapan hutan atau tanah adat.

“Saya kira pendataan dan penataan tanah-tanah di kawasan hutan harus dipercepat agar rakyat dapat manfaat,” katanya.

Dia merujuk, Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) UUD 1945. Melalui perppu, dapat menyatakan, Pasal 67 UU Kehutanan, berikut segala peraturan turunan dicabut dan tak berlaku lagi.

“Lalu, memerintahkan kepada bupati dan atau walikota memberlakukan peraturan bupati dan atau peraturan walikota tentang susunan masyarakat adat yang menjadi subyek dan obyek pegakuan hak masyarakat adat khusus terkait sumberdaya alam, terutama tanah dan hutan, berikut tata cara pendaftaran hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan,” katanya.

Kemudian memerintahkan, kepada bupati dan walikota untuk membentuk panitia pendaftaranhak masyarakat adat atas tanah dan hutan dengan ketua dan keanggotaan sesuai kebutuhan verifikasi lapangan, berikut pengadaan anggaran untuk melaksanakan tugas-tugas itu.

“Memerintahkan para menteri terkait, khusus Kementerian ATR dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk proses pengadministrasian lebih lanjut ke dalam sistem pengelolaan hak atas tanah dan pengelolaan pemanfaatan hutan sesuai dengan fungsi-fungsi kawasan yang telah ditetapkan dalam sistem tata ruang.”

Warga Komunitas Napu, pasang plang setelah putusan MK bahwa hutan adat bukan hutan negara. Foto: AMAN Tanah Bumbu

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, juga harus mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan yang dianggap perlu dalam memperlancar proses pencapaian tujuan sesuai perppu ini.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, perintah presiden memang harus dilakukan. Dalam kenyataan, banyak desa berada dalam kawasan hutan, bahkan ada yang sudah tak lagi berhutan.

Walaupun begitu, dia tak yakin dua bulan ini bisa selesai terlebih ada peta wilayah administratif desa belum usai. Namun, setidaknya, dari perkiraan umum sudah tahu titik-titik desa di dalam kawasan hutan hingga bisa segera proses konsolidasi.

Yaya, sapaan akrabnya, mengatakan, desa-desa dalam kawasan hutan merupakan masalah lama. Persoalan bertambah kala pemetaan wilayah desa belum selesai, begitu juga penetapan kawasan hutan.

“Malah, kadang-kadang ada antar desa terjadi konflik tata batas. Kalau dua bulan itu agaknya gak realistis. Yang harus dilakukan banyak hal. Kalau terburu-buru takutnya malah makin memperbesar konflik,” katanya, seraya bilang penyelesaian masalah ini bukan hanya tanggungjawab KLHK juga Kementerian Dalam Negeri terutama melihat peta-peta tata batas desa itu.

Dia tak sepakat usulan menerbitkan perppu karena proses akan lama. Perppu, katanya, memerlukan persetujuan DPR. Dia mengusulkan, presiden membentuk tim kerja percepatan identifikasi wilayah desa meliputi beberapa kementerian, misal, Kemendagri, KLHK, ATR/BPN, dan Kementerian Desa.

Tugas mereka, katanya, harus menyelesaikan peta tata batas wilayah desa di seluruh Indonesia. Dia berharap, pemerintah tak grasak-grusuk menyelesaikan persoalan ini karena menyelesaikan konflik di lapangan tak mudah. Menurut dia, hal semacam itu harus ada dalam proses kebijakan satu peta.

Yaya bilang, kalau pemukiman di kawasan hutan memang mesti dikeluarkan. Kalau tidak, akan ada problem, misal, dana pembangunan desa tak boleh masuk kawasan hutan. “Gak bisa diserahkan di desa-desa yang status masih berada dalam kawasan hutan. Itu problem memang kompleks banget,” katanya.

Rukka Sambolinggi, Sekjen AMAN mengatakan, yang disampaikan Presiden Jokowi merupakan kabar menggembirakan. Dia mengusulkan, peta wilayah adat yang sudah diserahkan AMAN kepada pemerintah seluas 9,8 juta hektar jadi prioritas.

“Kalau dari AMAN, kami justru menyambut ini dengan baik dan berharap peta wilayah adat yang sudah diserahkan AMAN kepada pemerintah jadi acuan. Presiden Jokowi kan berbicara soal masyarakat adat juga,” kata Rukka.

“Jadi tak perlu diperpanjang lagi. Selama ini, proses dibuat berbelit-belit. Untuk hutan adat saja harus ada perda, dan verifikasi satu per satu padahal jelas-jelas itu wilayah adat.”

Dia juga meminta, presiden bisa memastikan menteri-menteri segera mempercepat proses pengesahan Undang-undang masyarakat adat. Berbagai permasalahan muncul, katanya, karena ketiadaan regulasi yang mengatur. Hingga kini, daftar inventarisasi masalah (DIM) belum ada.

 

Keterangan foto utama: Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Kinipan, perlu pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

Sumber: Mongabay.co.id

 

Lima Tahun Pasca Tragedi Penertiban Tambang Emas Limun (Bagian 1)

  • Kecamatan Limun, Kabupaten Sorolangun, Jambi, di sungai maupun darat jadi sasaran tambang emas. Lubang-lubang galian di mana-mana. Dulu, tambang emas di sungai, dengan cara tradisional. Kini, sudah pakai alat berat
  • Aparat pun beberapa kali lakukan operasi penertiban, antara lain, pada 1 Oktober 2013, berujung cerita berdarah. Tragedi bentrok warga dan aparat yang patroli tambang emas ilegal di Limun, menyebabkan, tiga orang tewas,–dua warga dan satu aparat polisi—masih menyisakan tanya walau sudah lima tahun lalu
  • Amir, yang dituduh menganiaya polisi—saat operasi tambang ilegal—sudah selesai menjalani hukuman. Sedang, Asep, pemuda yang tewas terkena tembakan tak ada proses hukum kepada pelaku
  • Usai kejadian, pejabat berdatangan ke rumah Sapni, kuli tambang yang tewas saat ada operasi. Salah satu, Wakil Gubernur Jambi, janji beri istri Sapni, Helmalia, kerja dan anak disekolahkan. Hingga kini, janji tinggal janji…

 

 

 

Siang itu, 1 Oktober 2013. Di ujung Dusun Mengkadai, Sapni, kehausan. Mengendarai motor buntut dia bergegas pulang ke rumah mertuanya di Dusun Mengkadai, dekat lapangan Desa Temenggung dengan membawa jerigen kosong. Turun dari motor, lelaki 31 tahun itu jalan terkimbang-kimbang hingga menabrak Helmalia, istrinya.

Apo bang?” tanya Hel, heran.

“Ayo dek, abang nak cepat,” katanya, sembari menyodorkan jerigen. Istrinya melangkah ke dapur mengisi jerigen kosong dengan air rebusan.

Sapni menunggu di samping pintu. Di tempatnya berdiri, dia melihat anak perempuannya baru 14 hari tertidur pulas di ruang tengah. Dia hanya diam, seakan takut suaranya akan membangunkan tidur si bayi. Setelah dapat air, Sapni bergegas pergi dan lenyap dari pandangan Helmalia.

Seperti umumnya di Limun, Sapni dan Helmalia, punya niat buat acara syukuran anak baru lahir, sekaligus memberi nama. Siang itu, Sapni harus bekerja agar dapat uang untuk modal syukuran. Saban hari Sapni bekerja sebagai kuli dompeng—sebutan umum bagi penambang emas dengan mesin diesel. Nama dompeng merujuk pada dongfeng, merek mesin diesel buatan Tiongkok.

Penambangan emas di Kecamatan Limun, sejatinya ilegal, kendati demikian pekerjaan ini begitu umum dan jadi pekerjaan pokok warga untuk menopang hidup.

Kecamatan Limun, Kabupaten Sorolangun, Jambi, di sungai dan darat jadi sasaran tambang emas. Sungai Limun, sampai 1990, masih jernih. Setelah ada tambang emas, hingga kini, air sungai berwarna cokelat gelap mirip kopi susu.

Sungai Limun, adalah anugerah bagi warga desa-desa yang tinggal di sekitar. Sumber air, sekaligus sumber emas. Sungai ini punya kesamaan dengan apa yang ditemukan William Marsden, di Sumatera pada 1771. Dalam buku History of Sumatra, Marsden menemukan aliran sungai bernama Sungai Limun yang mengandung banyak emas.

Bukti yang dikatakan Marsden, barangkali adalah yang ditemukan pendahulu Bustami. Sebuah penambangan kuno di Sungai Batang Rebah, Limun. “Sungai Batang Rebah, itu pernah di-dam. Itu sampai ke hulu Batang Asai, itu dulu ketemu bekas galian tambang, zaman neneksayo,” kata Bustami, Ketua Lembaga Adat Limun.

Bukan hanya sungai, daratan Limun, juga mengandung banyak emas. Saturi, warga Pulau Pandan, mengatakan, sekitar 1980-an, melihat aliran Sungai Limun, masih jernih, orang-orang di Limun, menambang hanya menggunakan dulang.

“Zaman dulu, cari emas itu sampingan.Balekmeladang, dari kebun baru cari emas.”

Zaman mulai berkembang, era 1990-an warga di Limun, mulai membuat galian-galian tambang mirip sumur. “Kalau di sini dulu paling cuma enam meter, beda dengan Merangin,bisopuluhan meter.”

Seiring waktu, model penambangan emas juga berubah. Sekitar 2000, warga di Limun, mulai mengenal mesin diesel dongfeng atau yang dikenal dompeng. Penambangan emas mulai populer, sejalan waktu jumlah berubah berkali-kali lipat. Tak ada lagi cara-cara tradisional.

Kerusakan tampak nyata, kolam kolam kecil bermunculan, berakumulasi dalam waktu, dan menciptakan kubangan luar biasa luas. Struktur tanah hancur. Sawah, kebun, berubah daratan batu putih yang gersang. Kawasan sungai yang punya kandungan emas lebih baik ikut porak-poranda.

Di hari sama, 1 Oktober itu, sekitar 300 aparat gabungan, satu kompi Brimob Detasemen B Pamenang Polda Jambi, satu pleton anggota TNI, satu pleton Satpol PP, satu pleton Sabhara Polda Jambi ditambah 100 anggota Polres Sarolangun, sedang merazia tambang emas ilegal di Kecamatan Cermin Nan Gedang, sekitar 10 kilometer sebelah utara Limun. Enam hari sebelumnya, ratusan aparat itu baru menyisir tambang ilegal di Mengkadai.

Selasa, awal Oktober itu, hari ke-9 dari 20 hari operasi pertambangan ilegal Siginjai 2013. Aparat gabungan kembali ke Polsek Limun, Pulau Pandan, menunggu kedatangan Kapolres Sarolangun, AKBP Satria Adhy Permana. Beberapa anggota polisi sibuk mengambil langkah sesuai bidangnya. Di tengah kesibukan ratusan personel, Wakapolres, Kompol Nurbani, bersama tiga anggota polisi pergi menuju Mengkadai, enam kilometer dari Pulau Pandan.

Sekitar 200 meter di belakang rumah Sukar, di Mengkadai, suara lima mesin dompeng keong empat seperti beradu keras, terdengar riuh di antara semak-semak di lahan tidur. Puluhan penambang emas berada dalam lubang besar sibuk membuang batu-batu sekepalan tangan, yang lain meruntuhkan tebing dengan menyemprotkan air yang keluar dari ujung selang berukuran satu setengah inch.

Sukar mengingat-ingat, waktu itu sekitar pukul 01.00 siang, empat polisi datang ke Mengkadai. Sukar mengenali salah satunya bernama, Wahyudi, biasa orang memanggil, Yudi, orang Pulau Pandan.

Dompeng-dompeng itu baru sehari bekerja, setelah aparat gabungan pindah ke Kecamatan Batang Asai. Kata Sukar, satu dari lima dompeng yang beroperasi di ujung Dusun Mengkadai itu milik Hidup-kini almarhum. Hidup merasa aman lantaran dibekingi oknum tentara.

Rombongan Sapni, berada paling dekat jalan, sekitar 250 meter dari tepi jalan Desa Temenggung. Hidup punya pekerja delapan orang, salah satu, Sapni, lainnya orang perantauan dari Pati, Jawa Tengah.

Apa yang terjadi siang itu di luar hari biasa. Sukar mendengar jelas suara tembakan berkali-kali, tetapi tak ingin mendekat. “Dor, dor, dor,tigokali, terus orang itu meraung-raung minta tolong, ada yang terkapar,” kata Sukar.

Selang beberapa lama, dia mendengar suara ribut lewat samping rumahnya. Seorang pekerja dompeng dibopong beberapa orang diangkat ke atas mobil polisi. Dua penambang ikut diangkut.

“Waktu lagingurusyangkenotembak itu,duo orang (pekerja dompeng) ini terjun dari mobil terus lari, dikejar Yudi sampai ke belakangsano,” kata Sukar, menunjuk belakang rumah warga di depannya. Sukar melihat, wajah dua pekerja Hidup itu bukan warga Mengkadai, perantau dari Jawa.

“Habis itu mobil laju ke Pulau Pandan.”

Pertambangan emas ilegal di Kecamatan Limun, Sorolangun, Jambi. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

Kabar penangkapan kuli dompeng itu langsung menyebar ke penduduk kampung. Warga yang penasaran mulai berdatangan dan berkumpul di ujung dusun. Di pinggir jalan depan rumah Sukar, sekelompok orang mulai kasak-kusuk. Kronologi penangkapan mulai dirangkai dari mulut ke mulut. Siapa orang yang dibopong masih misteri.

Aswat, warga dusun, ikut datang ke lokasi, dia melihat Nurbani, yang dikenalnya di rumah Hamid, Kades Tumenggung, waktu operasi tambang ilegal seminggu lalu. Makin sore, kerumunan warga bertambah banyak, jumlah puluhan.

Tak lama, mobil truk, bus, mobil patroli sabhara muncul dari arah Pulau Pandan. Ratusan pasukan turun tak jauh dari kerumuman warga. Kabag Ops. Ricky Hariyanto, yang baru empat hari dinas di Sarolangun, ikut bersama rombongan. Tak ada tanda-tanda perlawanan, warga masih sibuk mengumpulkan cerita penangkapan.

Seorang bocah SD mengendarai sepeda motor melintasi jalan Dusun Mengakadai. Dia memacu motor melewati kerumunan warga, ketakutan melihat banyak polisi. Namanya, Sugeng.

Di tempat berbeda, Helmalia yang sedang merawat banyi dapat kabar buruk, suaminya ditangkap polisi. Perasaan dia penuh kekhawatiran. Dia yang dalam masa pemulihan usai melahirkan, tak bisa berbuat banyak. Hel diminta tetap tinggal di rumah. Sebagian keluarga Helmalia pergi menelusuri kabar penangkapan Sapni.

Sapni, tak tertolong. Kabar kematian Sapni, lebih dulu sampai ke telinga polisi. Ricky kemudian memerintahkan satu pleton pasukan menuju RSUDProf Dr HMChatib Quzwain, Sarolangun, untuk mengamankan situasi di rumah sakit yang mulai bergejolak. Kabar yang dia terima, keluarga Sapni histeris dan mulai emosi.

Situasi di Mengkadai yang tenang itu seketika gaduh, setalah ada warga yang teriak. “Ya Allah oi mati, mati!”

Kabar Sapni, meninggal ditembak, menyebar secapat kilat ke kuping kerumunan orang yang sebelumnya sibuk menjalin cerita penangkapan. Kabar kematian memecah misteri siapa kuli dompeng di Mengkadai itu.

Kontan warga ngamuk dan menyerang aparat dengan batu. Mereka lempar apa saja yang bisa mereka lempar. Ricky memerintahkan anggotanya yang hendak ke rumah sakit merapatkan barisan, bertahan menghalau serangan warga, menunggu 100-an anggota lain yang masih terjebak di lokasi tambang. Ricky berada di barisan depan, di jalan setapak menuju lokasi dompeng. Kepala bocor kena lemparan batu.

Aparat melawan. Suara tembakan terdengar bersahutan di tengah terikan warga. Proyektil keluar dari moncong bedil menyasar tak terkendali, melawan lemparan batu yang datang seperti hujan.

“Waktu itu perang, bener-bener perang!” kata Aswat. Matanya menerawang ke langit Mengkadai yang telah gelap.

Beduk ditabuh di mesjid dan mushola kampung tanpa henti. Pertanda situasi desa dalam bahaya. “Perang” di ujung Dusun Mengkadai, terus berkecamuk.

Suara beduk seperti perintah adat, tanpa diundang warga berdatangan ke Dusun Mengkadai, jumlah ratusan.

Seiring “perang” di Mengkadai, kabar kematian Sapni, terus menyebar sampai wilayah Tanjung Raden, Muara Mensao, Ranggo, Demang hingga daerah Limun, paling ujung.

Aswat menyambar stang motor, bergegas menuju rumah sakit memastikan kematian Sapni, sepupunya. Dia menerabas rombongan aparat yang menembaki warga, tak ada peduli dan rasa takut peluru akan menembus tubuhnya.

Di tengah kekacauan di ujung dusun, Haidir, yang lagi istirahat kaget dapat kabar dari anaknya yang pulangnebeng—numpang cari emas di lokasi dompeng.

“Pakmotornyoditahan polisi!” kata anaknya.

Haidir yang terkejut, kontan tanya “Ngapo ditahan?”

Pria 50 tahun itu bingung, anaknya tak bisa beri penjelasan. Dia bergegas menuju ujung Dusun Mengkadai, tempat anaknyanebeng. Lebih 30-an orang dekat jembatan Inum sedang melempari polisi dengan batu. Suara tembakan terdengar jelas di kupingnya.

“Sampai sano, dor, dor, dor, suara tembakan, lah macam orang perang.”

Dalam kemelut, Sukar kebingungan mencari anaknya yang hilang entah ke mana. Hamid bersama David, Kapolsek Limun, minta diselamatkan.

Beberapa warga yang berkumpul di jalan, melihat David, langsung mendatangi rumah Sukar. Warga marah, curiga sopir travel itu sengaja menyembuyikan polisi. Mereka mendesak untuk masuk rumah namun dilarang isti Sukar. Warga mengancam akan membakar.

Yo, kita tidak mungkin nak nolak, walau bagaimanapun namonyo manusio jugo. Binatang pun datang minta aman, wajib kita amankan, apalagimanusio.Tidak peduli polisi apo idak,” kata Sukar, pada saya.

Jembatan Inum, saksi bisu tragedi di Mengkadai, yang menewaskan Asep dan Briptu Marto. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar tiga kilometer dari rumah Sukar, Ida sedang menutup kiosnya. Sepriyadi (Asep) adik bungsunya yang baru pulang potong rambut bilang, ingin melihat “perang” di ujung dusun.

Dak usah ke sano,dak dengar tu orang tembak-tembakan.”

Ai nak nengok,” jawab Asep membantah.

Omongan Ida tak digubris. Remaja 16 tahun itu tetap pergi.

Di depan pintu toko, Ida melihat beberapa warga yang melintas kena luka tembak. Pikirannya mulai kacau teringat Alex, bapaknya yang tengah di lokasi keributan.

Pas aku nak nutuptoko, oranglah bawa mayat adek aku,” katanya.

Asep duduk diapit dua orang mengendarai motor, kaki menggelantung terseret ke jalan, kuku-kuku kakinya habis beradu dengan batu koral jalan. Seperti tak percaya, jika lelaki muda dengan muka bersimbah darah itu adalah adiknya, yang baru beberapa menit pergi.

Di tengah deru tembakan, Asep, jatuh terkapar dengan luka lubang di hidung tembus belakang kepala. Kematian Asep, membuat warga makin beringas. Mereka seperti tak takut mati. Warga terus menyerang, memukul mundur aparat. Ratusan polisi lari kalang kabut menyelamatkan diri, mereka berlarian menaiki truk, bus, mobil patroli kembali ke Polsek Pulau Pandan.

Di seberang jembatan Inum, sebuah mobil pikap terlihat kepayahan. Di tengah kejaran warga, sang sopir panik memutar kemudi agar mobil mengarah ke Pulau Pandan. Mobil patroli milik sabara itu justru tersenggol bus dan terperosok ke parit. Sang sopir lompat keluar, berlari mengejar bus, menyelamatkan diri.

Briptu Marto Fernandus Hutalagalung, yang tertinggal ditangkap warga. Dia dipukul, ditendang puluhan orang silih berganti. Wajahnya berlumuran darah berkali-kali dihantam batu. Anggota Brimob Datasemen B Polda Jambi, Pamenang itu tergeletak di lorong semak-semak, sekitar 30 meter dari jembatan Inum.

Nga, mati budak tu!” dari kejauhan sesorang teriak memberitahu Haidir, Brimob itu mati.

Haidir kemudian berlari mendekati Briptu Marto, yang sekarat, berusaha mengahalau warga agar tak lagi memukulnya. “Saya tendang ada yang jatuh ke parit, bangun lagi, saya gini kan—dorong—melanting.”

Puluhan orang terus mendesak ingin memukul, Haidir mulai kerepotan. “Saya cegah di sini (kiri), yang di sini (kanan) masuk,lamo-lamo dak telap(sanggup) jugo napas ini. Tapi sayo tetap, orang ini jangan dibunuh. Walaupun perang nyawo, tapi jangan membunuh!”

Amir berusaha memukul Marto, marah-marah karena dihalang-halangi Haidir. “Sayo jolak, Amir itu jatuh,dio marah.”

Haidir akhirnya menyerah, dia tak sanggup menahan rasa sakit jempol kakinya pecah kena lemparan batu. Dia lihat Briptu Marto, sempat berlari menyelamatkan diri, tetapi warga yang kalap itu kembali mendapatkannya.

Sayo dak sanggup lagi, jadi orang tu lari ngejar.Dak tahu lagi siapo yang mukuli polisi itu,” kata Haidir.

Briptu Marto dipukuli warga hingga tewas. Warga emosi lantaran dua orang Mengkadai, mati ditembak. Mobil polisi yang ditinggal lari dirusak dan dibakar.

Di tengah “perang” yang terjadi, Hamid, Kepala Desa Temenggung, waktu itu, memilih tetap di dalam rumah Sukar bersama David. “Kito nak ngamankanratusan orang itu tak kuat kito. Oranglah hilang pikiran semuo. Kalau waktu kejadian itu dio(David) keluar,dio dulu yang jadi bulan-bulanan,” kata Hamid, saat saya temui di rumahnya pertengahan Januari, lalu.

Lebih 30-an orang terluka karena “perang” di Mengkadai, 13 warga luka tembak. “Yang sini (betis) tembus, yang sini, yang sini,” kata Aswat menunjuk pelipis, tangan, macam-macam, menunjukkan luka 13 warga yang kena tembakan aparat. “Tapi ada yang kena peluru karet, ada yang kena peluru tajam.”

“Si Asep itu mati ditembak sini (batang hidung) tembus sini (kepala belakang).”

Asep sempat dilarikan ke Puskesmas Singkut, lewat Dam Kutur. Keluarganya berharap nyawa remaja 16 tahun itu masih bisa diselamatkan, namun dia banyak kehilangan darah.

Sekitar pukul 08,00 malam, situasi mereda. David keluar dari rumah Sukar, dibawa Rozi dan Bakok, mengendarai sepeda motor menuju Pulau Pandan. Dua penambang yang sebelumnya ditangkap Yudi, akhirnya dilepaskan setelah Magrib. Sejak itu, keduanya tak pernah terlihat lagi di Limun.

 

 

Keributan di Mengkadai, menyulut kegaduhan di Kota Jambi. Rumah Dinas Kapolda Jambi dan Rumah Dinas Gubernur Jambi, didatangi seratusan mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Limun (Himali), Himpunan Mahasiswa Sarolangun (Himasar) yang marah warga Limun jadi korban. Anggota Perkumpulan Hijau (organisasi lingkungan) dan Aliansi Gerakan Reforma Agrasia (AGRA)—organisasi masyarakat, ikut dalam barisan mahasiswa. Mereka menuntut aparat gabungan di Limun, secepatnya ditarik mundur, dan menghukum anggota yang menembak warga. Massa juga minta Kapolda Jambi, Brigjen Pol. Satriya Hari Prasetya, diganti.

Keesokan hari, aksi serupa kembali diterjadi di Simpang Bank Indonesia, Telanaipura, Kota Jambi.

Dalam sebuah rekaman video yang sebelumnya muncul di media, saat konferensi pers, Kapolda Jambi, Brigjen Pol. Satriya, dengan lugas mengatakan, kedatangan anggotanya ke Mengkadai untuk penegakan hukum. Dia juga bilang, kalau warga (Sapni) yang meninggal itu karena jatuh ke lubang tambang, ketakutan melihat polisi. Kata-kata Satriya menegaskan, Sapni bukan mati ditembak.

Duapuluh satu hari setelah kejadian Mengkadai, Kapolres Sarolangun diganti. AKBP Rido Hartawan, resmi dilantik menjadi Kapolres Sarolangun menggantikan AKBP Satria Adhi Permana. Di media Kapolda Brigjen Pol. Satriya berjanji, menangkap para pelaku tambang ilegal beserta bekingnya.

Bekas tambang dompeng di Limun, Sorolangun, Jambi. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

***

Bustami, Wakil Lembaga Adat Kecamatan Limun, dapat undangan rapat di Kecamatan, Kamis,(3/10/13). Agendanya, penyelesaian kasus penembakan Sapni dan Sepriyadi. Wakil Bupati Sarolangun, Fahrul Rozi, Kapolres Sarolangun, AKBP Satria Adhi Permana, Dandim Sarko, B Panjaitan, dan tokoh masyarakat Limun datang dalam pertemuan itu. Para petinggi Sarolangun itu sepakat, masalah antara aparat polisi dengan warga Mengkadai selesai secara hukum adat. Pemkab Sarolangun, bersedia membayar denda adat: dua kerbau dan beras 200 kilogram, untuk makan bersama.

“Bahasa adatnyo itu, setinggi pinggang telago darah, tambunan bangkai,surutnyo baik.Artinyo, selesai itu baik, kalau bekeras terus kan tak baik,” kata Bustami. Kini, dia ketua lembaga adat di Limun.

Acara makan bersama di lapangan Desa Temenggung. Fahrul Rozi, AKBP Satriya Adhi Pernama, Susi Ketua DPRD Sarolangun, semua kades ikut dalam rangkaian hukum adat. Banyak warga mengira setelah proses adat, masalah bentrokan di Mengkadai, selesai. Mereka keliru. Beberapa hari setelah acara adat, warga mulai ditangkapi.

Siang itu, Sukar, baru saja mengantar penumpang ke Asrama Haji, berniat menuju loket travel di daerah Transito, Kota Jambi. Di depan Mal Jamtos, mobil Sukar, dihadang. Beberapa orang lalu merangsek masuk ke mobil dan mengambil posisi setir. Sukar dipindahkan ke bangku tengah diapit dua orang. Mobil melaju ke Thehok dan berhenti di Mapolda Jambi. Sukar, baru sadar yang membawanya adalah polisi.

Dia ditahan dua hari dua malam. Sukar diintrograsi banyak petugas. Mereka tanya siapa orang yang membunuh Briptu Marto. Sukar selalu jawab, “tidak tahu.”

Sekitar pukul 01,00 malam, 18 hari setelah kejadian di Mengkadai, rumah Haidir dikepung 17 anggota polisi. Pria 54 tahun itu ditangkap saat keluar dari pintu dapur.

Haidir digelandang masuk mobil, hanya mengenakan celana pendek, bertelanjang dada, tanpa alas kaki. Haidir, dibawa ke Polres Sarolangun, tak lama kemudian dibawa ke Polda Jambi.

Kepala Dusun Mengkadai itu ditangkap berdasarkan rekaman video kejadian yang tersebar media sosial. Dalam video, Haidir, tampak jelas terlihat berdiri dekat Briptu Marto, yang tergeletak di semak-semak.

“Dalam video itu kan sayo gini, gini.” Haidir memperagakan gerakannya saat mengahalau warga. Haidir dianggap tahu siapa saja orang di video yang ingin memukul Marto, waktu itu.

“Orang tu banyak,dak tahu lagi siapo-siapo,” katanya. Namun, dia ingat pernah mendorong Amir, hingga jatuh terjungkal karena ingin memukul Marto.

Amir adalah paman Sepriyadi, yang tewas ditembak saat bentrokan di Mengkadai. Haidir mengaku, tidak tahu kesaksian siapa yang membuat Amir jadi tersangka.

Unyil yang ditengarai mendanai makan dan minum warga saat bentrokan terjadi, juga ditangkap. Akhirnya bebas. Sejak itu, Dusun Mengkadai, sepi, banyak warga ketakutan akan ditangkap polisi.

 

***

Minggu, sekitar pukul 2.30 subuh, dua mobil lewat depan rumah Amir. Istrinya yang terbangun lalu menyibak tirai dan melihat ke jendela. Dia mengira hari telah pagi, karena mobil pedagang pasar Minggu, telah lewat. Istri Amir mematikan lampu depan dan tidur kembali. Ada yang ganjil. Dia mendengar suara mobil itu pelan berjalan mundur ke belakang dan berhenti persis di depan rumahnya. Tirai jendela ditutup rapat-rapat, perasaan mulai tak karuan. Ada orang datang. Suara derap sepatu terdengar samar-samar. Langkah orang-orang itu cepat mengelilingi rumah.

Sayo nengok lagi ke jendela, polisi!” kata istri Amir.

Pintu belakang didobrak, beberapa orang masuk rumah menyergap Amir, yang masih tertidur. Anak perempuannya yang masih kelas empat SD itu melihat jelas bagaimana bapaknya ditelikung, digelandang ke mobil. Sejak itu, anak Amir, tak lagi berani masuk kamar.

Sepanjang perjalanan menuju Polres Sarolangun Amir, terus dipukuli. “Tibo di sel Polres, lebih orang 40 ngeroyok kami,” kata Amir.

Mukonyo dak ado lagi (babak-belur), dipukuli polisi,” kata perempuan tua, yang duduk di samping Amir, menyela. Dia mengaku masih kerabat.

Tiga hari Amir, dipukuli, disuruh mengaku kalau dia yang menganiaya Briptu Marto, hingga tewas. Amir berpikir, waktu itu harus ada tumbal. Jika tidak, Polres Sarolangun, akan diserang Polda, diserang Brimob.

Di Pengadilan Sarolangun, Amir dinyatakan bersalah dan menyebabkan Briptu Marto Fernandus Hutagalung, tewas. Amir dihukum lima tahun penjara.

Para buruh tambang emas pakai dompeng. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

***

Saya melacak nama-nama yang disebut dalam laporan media waktu kejadian Mengkadai. Beberapa media menulis nama keliru, bahkan ada nama Pria Budi—Kapolres Pare Pare—yang sama sekali tak terkait, juga disebut ikut dalam bentrokan di Mengkadai.

Dari Pria Budi, saya tahu jika yang jadi Wakapolres Sarolangun saat itu,Kompol Nurbani. Kini, dia tugas di Ditlantas Polda Jambi, pangkat AKBP.

Jumat siang, minggu kedua Fabruari lalu, saya ketemu Nurbani, setelah dua kali bolak-balik ke Ditlantas tak ketemu, dapat kabar Nurbani, sakit. Seorang polisi berpangkat Bripka mengingatkan saya, agar kejadian di Mengkadai tak diungkit-ungkit lagi.

Nurbani terkesan tertutup ditanya soal perannya waktu penggerebekan tambang ilegal di Mengkadai. Dia jawab semua data kegiatan operasi di Mengkadai, ada di Polres Sarolangun. Nurbani menyarankan, saya menemui Kapolres Sarolangun, dan anggota bintara yang masih tugas di Polres.

“Kalau saya ada yang ingat ada yang lupa,” katanya.

Apa yang masih diingat?

“Kalau yang ingat, saya sudah lupa. Saya tidak mau ingat-ingat lagi!”

Saya kembali tanya, bagaimana kejadian di Mengkadai, itu bisa terjadi?.

“Ya, kitagaktahu ceritanya seperti apa,kokbisa kejadian itu saya juga tidak tahu.Kanskenario siapa yang buat, saya juga tidak tahu. Tahu-tahu kejadian seperti itu.” Nurbani duduk bersandar, sambil tangan maingamedi ponsel.

Dia bilang, semua anggota Polres Sarolangun, waktu itu terlibat langsung dalam kejadian di Mengkadai, mulai dari Kapolres, anggota bintara sampai TNI ikut dalam operasi gabungan.

“Bukan saya sendiri,” kata Nurbani, terdengar mulai kesal.

Wongmati, mati jatuh sendirikokpolisi yang jadi korban.”

Nurbani, besikukuh jika dia tahu kronologi kematian Sapni. “Akugaktahu,wongtahu-tahu ada orang di bawah, jatuhnya seperti apa, juga saya tidak tahu. Tahu-tahu kami disuruhnolongorang yang ada di dalam situ, sudah!”

Yang suruh untuk menolong siapa?

“Yang suruhnolong, siapa?” suara Nurbani mulai mengeras.

“Sekarang logikanya kamu jatuh dari situ, kami datang ke situ, kira-kira sayabiarin?Apo saya tidak tolong, logikanya? Ya, pasti kami disuruh nolong kan, siapa yang nyuruh nolong, kemanusiaan kamilah,” katanya.

Waktu itu, para penambang keluar dari lubang tambang seperti semut. Ada yang jatuh ke lubang lalu ditinggal. Nurbani tak mau melanjutkan cerita. Pria asal Jawa Timur itu menyarankan saya mencari anak buah Hidup.

Selama wawancara, saya menangkap ada rasa kecewa dari Nurbani jika mengingat kejadian di Mengkadai. Dia bilang, pelajaran dari Mengkadai, adalah, “jangan percaya orang!” Dia tak menjelaskan lebih lanjut soal ini.

Pekan ketiga Februari, saya datang ke Polres Sarolangun, menemui Yudi, diaanggota Banit Paminal Propam, berpangkat Bripka. Dia mengakui, jika ada empat orang termasuk dirinya dan Wakapolres Nurbani, datang ke Mengkadai, sebelum bentrokan terjadi.

“Saya waktu itu cuma sopir,gak tahu ceritanya,” katanya. Dia enggan diwawancarai, dan menyarankan saya ketemu Kapolres.

Saya kemudian, izin untuk ketemu Kapolres Sarolangun, AKBP Dadan Wira Laksana, saya sampaikan asal dan tujuan saya untuk wawancara. Kapolres tak mau menemui. Lewat stafnya saya diarahkan ketemu Kabag Ops. Kompol Nazaruddin. Nazaruddin menyarankan, saya ke Polda Jambi. “Masalah itu ditangani Polda langsung, datanya di sana,” katanya.

Esoknya, saya kembali ketemu Nazaruddin, saya minta izin untuk wawancara Yudi. Yudi yang saya temui, menolak wawancara dengan alasan, “Saya mewakili institusi Polri, jadi harus lewat atasan tidak bisa langsung sama kita.”

Katanya, masalah Mengkadai, ditangani Polda Jambi, dan beberapa anggota Polres Sarolangun, disidang. “Pak Nurbani, disidang, saya saksi. Tapi pasal yang diterapkan saya tidak tahu.”

Dia menyarankan, saya ketemu bagian humas. Iptu Ardiansyah, Kasubag Humas Polresta, bilang sama sekali tak tahu soal kejadian di Mengkadai. Dia mengarahkan saya ketemu Aiptu Agung Pramuji, Kaur Mintu Polres Sarolangun. Dari Agung saya diminta ketemu Kasat Reskrim, Iptu Bagus dan mengajukan surat permohonan data ke Polres Sarolangun. Agus tak yakin, data lima tahun lewat itu masih ada.

“Kalau suratnya disetujui pak kasat, nanti Pak Kasat akan menghadap Pak Kapolres, nanti akan saya cari datanya,nggak tahu apa masih ada, karena sudah lama.”

Penambang emas tukang nebeng. Mereka hanya ikut-ikutan nambang bersama pekerja lain. Foto: Teguh Suprayitno/ Mongabay Indonesia

***

Keluarga Samsidar, orangtua Asep, tak terima Amir, ditangkap polisi. Ida, anak Samsidar, menganggap masalah di Mengkadai itu semestinya selesai karena hukum adat sudah jalan. Ida akhirnya datang ke Polres Sarolangun, membuat laporan, minta kasus penembakan Asep, diusut hingga tuntas. Laporan ini sebagai respon penangkapan pamannya.

Ida mengaku sudah bolak-balik ke Polres bawa saksi yang tahu bagaimana adiknya itu mati. “Aku sudah beberapa kali ngadu, aku bawa saksi tapi dak diproses. Yang menyebabkan brimob meninggal diproses habis,” katanya, tak terima.

Dari penuturan Ida, hasil visum rumah sakit menyebut Asep meninggal karena jatuh. Alasan ini kemudian menjadi dasar polisi untuk tidak melanjutkan kasus kematiannya. Ida yakin jika adiknya mati ditembak.

“Mas, kami ini orang awam yo. Namanya orang awam lawan dengan orang polri, dak biso, mas,dak biso,mas, sudah kemano-mano, dak biso, mas,” kata Ida, matanya mulai berkaca-kaca.

“Jadi kito balikkan ke Tuhan, Tuhan Maha Tahu, kek itu bae. Semoga adek aku senang di alam sano, kalau dio tidak senang, pasti arwah adek aku ngejar dio(penembak),itu bae.” Suara Ida, terdengar pelan, air mata perlahan mengalir. Pipinya basah.

“Sudah puas, aku bawa saksi, sudah puas ke polres, tapi hasilnya nol.” Ida menarik nafas panjang, berusaha menguatkan diri.

“Aku kalau ingat itu, sakit mas, sakittt nian.”

Ida menunjukkan foto dari ponselnya, sosok pemuda dengan kulit sawo matang, penuh senyum duduk santai. Ialah Asep. Foto itu jadi kenangan dan akan selalu disimpannya.

“Inilah yang aku lihat, jika aku rindu.” Ida berurai air mata.

***

Pertengahan Januari 2019, saya datang ke rumah Amirudin, atau Wak Amir. Dia sudah bebas. Lelaki 40-an tahun itu sedang duduk di teras dengan beberapa perempuan, istrinya, Samiar, dan perempuan kerabat.

Amir, masih emosi jika ingat kejadian Minggu, lima tahun lalu, saat dia digelandang polisi lalu dipukuli, dipaksa mengaku sebagai orang yang bertanggung jawab atas kematian Briptu Marto. Meskipun begitu, Amir menganggap, masalah sudah selesai. “Masalah kamidak adolagi, yang sudah, sudahlah.”

Kaloanak kami (Asep) nih kan mungkinlah ajalnyo, kalo orang janji nyap(diam)bae yo,sudahlah,” kata Samsidar, menyela.

Peta sebaran tambang emas ilegal di Jambi

Tagih janji Pemerintah Jambi

Amir berpesan pada saya, jika masalah di Mengkadai, mau dibuka lagi, dia ingin agar janji Fachrori Umar, Wakil Gubernur Jambi–saat itu 2 Oktober 2013–, kala datang ke rumah Samsidar, bisa dipenuhi. Waktu itu, Fachrori bilang, jika keluarga yang jadi korban akan dibantu.

Janjinya, istri Sapni—saat ini sudah delapan tahun jadi tenaga kerja sukarela sebagai guru SD–akan diangkat jadi PNS dan anaknya akan disekolahkan sampai tamat kuliah. Abang Asep, waktu itu masih kuliah, juga akan dianggat jadi PNS.

Amir kasian dengan Helmalia, keponakannya. Sapni dan Asep, masih saudara. Samsidar adalah saudara tua dari orangtua Helmalia. Delapan tahun jadi tenaga kerja sukarela, Hel hanya dapat bayararan Rp700.000 tiap tiga bulan.

“Kami bukan minta, janji itu kami tagih.Dak usahlahanaknyadisekolahin, angkat bini Sapnibaejadi pegawai negeri, hiduplah anaknyatuh,” kata Amir.

Jelang pemilihan legislatif 2019, Amir, beberapa kali diajak Samsidar, ketemu Fahrul Rozi, yang datang ke rumahnya minta dukungan. Amir menolak. Kejadian di Mengkadai, membuat Amir kecewa denga Fahrul, bahkan benci.

Meski keduanya adalah saudara jauh. Di lain waktu Hasan Basri Agus, juga pernah datang dengan maksud sama. Keduanya jadi caleg Partai Golkar. Bedanya Hasan caleg DPR RI, Fahrul berebut kursi di DPRD Sarolangun. Waktu kejadian di Mengkadai, keduanya punya posisi penting di pemerintahan, Fahrul sebagai Wakil Bupati Sarolangun dan Hasan adalah Gubernur Jambi.

Amir kecewa karena janji pemerintah lima tahun lalu hingga kini tak pernah ada. Fahrul yang saya hubungi lewat telepon mengaku tak pernah janji apapun. Dia bilang, semua masalah telah selesai dengan hukum adat. Proses hukum terus berlanjut. “Kanorang sudah ditangkap semua, masalahnya sudah selesai,” kata Fahrul.

Saya tanya apakah pemerintah menjanjikan pekerjaan untuk keluarga korban di Mengkadai?

“Kalau saya tidak ada janji, tapigaktahu kalau Pak Fahrori.”

Ida, juga maju jadi Caleg DPRD Sarolangun, dari partai berlambang Beringin. Kesamaan partai inilah yang mungkin membuat Fahrul dan Hasan, datang ke rumah Samsidar.

***

Rabu siang itu, Fachrori Umar, dikerubuti wartawan. Beberapa wartawan menanyakan harapannya pada Kepala Dinas Koperasi dan UMKM yang baru dia lantik. Sebagian lagi menanyakan kepastian kabar dia akan dilantik jadi Gubernur Jambi—waktu saya temui Fahrori masih pelaksana tugas. Dia dilantik jadi gubernur devinitif 13 Februari lalu.

Saya tanya, apa benar pemerintah berjanji mengangkat dua orang keluarga korban Mengkadai jadi PNS?

Fachrori, tampak bingung. “Mengkadai, itu dimanasih?” JohansyahKaro Humas,kemudian berbisik,“Sarolangun.”

Fachrori, yang masih tampak bingung, lalu bercerita dua anak sekolah umur 17 tahun tenggelam di sungai diRantau Panjang, Merangin. Keduanya tenggelam karena tak bisa berenang. Dia ingin anak-anak diajarkan berenang. Makin lama jawaban Fachrori kedengaran ngelantur.

Apa yang di Sarolangun itu benar? tanya saya.

“Nanti-nanti saya belum ini, ini. Iya nanti.” Johansyah, kembali membisikkan kejadian di Mengkadai itu zaman Gubernur Zumi Zola—Johansyah, keliru, yang benar zaman Gubernur Hasan Basri Agus, dan Fachrori, jadi wakil gubernur.

“Kalau besebut gubernur waktu itu saya wagub, kadang-kadang tak sampai berita itu pada saya.”

“Bukankah bapak yang datang sendiri ke Mengkadai? tanya saya, mendesak. Fachrori, tampak kaget. Ekspersinya kebingungan.

“Nanti kita pelajari, saya ada tamu sebentar.” Fachrori berlalu pergi sembari tersenyum meninggalkan kerumunan wartawan.

Saya kembali ke Mengkadai, di jalan saya ketemu Aswat, yang pulang dari kebun. Saya tanya di mana rumah Helmalia, dia menunjukkan rumah batu di sebelah kanan, persis di hadapan saya.

Di depannya, saya lihat enam anak-anak sedang bermain. “Itu anak Hel,” katanya, sambil menunjuk ke bocah perempuan berkaos hijau, rambutnya sebahu, mengenakan celana cingkrang, tanpa alas kaki.

Seketika pikiran saya, dialah bayi 14 hari itu. Kini usianya sudah lima tahun.

Saya menemui Helmalia, dia sedang hamil dua bulan. Agustus 2018, Helmalia menikah lagi, suaminya sekarang juga kuli dompeng. Bocah itu ikut menghampiri ibunya lalu bergelayut di lengan Hel.

Pandangannya selalu ke bawah. Dari Helmalia, saya tahu bocah lima tahun itu bernama Siti Khodijah, nama yang diberikan Fachrori, waktu datang ke Mengkadai.

Dijah, tak tahu bagaimana wujud asli bapaknya. Dia hanya tahu wajah bapaknya dari foto pernikahan yang kini masih disimpan Helmalia.

“Kalau dulu, umur dua tahun sering manggil, bapak, bapak, bapak.”

Kata Hel, anaknya bermimpi ketemu bapaknya. “Saya sering bilang, ‘nak, bapak sudah meninggal.’”

Saya tanya pada Helmalia, apakah masih ada yang diharapkan dari pemerintah? Di bilang, sampai sekarang masih berharap janji pemerintah lima tahun lalu membantunya mendapatkan pekerjaan, bisa terwujud.

Bagaimana jika yang dibilang Fachrori, itu hanya janji saja? tanya saya.

Kalo cuman janji-janji bae yo sudahlah,” katanya pasrah.

Sekitar 15 menit kami bicara, tak banyak yang diceritakan Helmalia. Dia menjawab pertanyaan saya sekenanya. Raut wajahnya menampakkan kesedian, barangkali karena saya mengungkit masa lalu yang pahit.

Sebelum pamit, saya kembali bertanya pada Helmalia, apakah dia masih dendam dengan kejadian lima tahun silam, yang merenggut nyawa suaminya.

Helmalia, hanya diam, terlihat seperti berat untuk bicara. Dia menatap anaknya yang masih bergelayutan di lengannya.

“Yang sudah ya sudahlah, sudah ikhlas.Kalodulu punya keinginan hukuman setimpal, nyawa harus dibayar nyawa.”

“Dulu, katanya mau dikasih kerja tapingakada, jadinya kami kecewa. Sudahlah, biarlah orang berbuatkayak gitudengan kami,” katanya.

Hel, kemudian merangkul Dijah, dan memeluk erat-erat.

“Tuhan tuh dak tidur ada do’a anak yatim.”

Hel dan keluarga menanti realisasi janji. Di Limun, bagaimana kondisi sekarang, bebaskah dari pertambangan emas setelah kejadian kelam lima tahun lalu? Ataukah malah lebih buruk, tambang makin menggila dan lingkungan makin rusak? (Bersambung)

Sumber: Mongabay.co.id

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan