Nyawa Hilang di Lubang Batubara Bertambah, Aktivis Lingkungan Dapat Teror dan Serangan

Nyawa manusia hilang di ‘danau’ tambang batubara terus bertambah, sampai awal November 2018 sudah 32 korban. Kondisi tambah parah kala aktivis lingkungan yang konsern menyuarakan kritisi terhadap permasalahan batubara ini mendapat teror dan penyerangan. Sekretariat Jatam dirusak orang-orang tak dikenal. Jatam melaporkan kasus penyerangan ke Polres Samarinda.

 

Awal November 2018, Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, beberapa kali mendapat tteror orang tak dikenal. Berbagai ancaman dia terima kala tuntutan penuntasan kematian anak di lubang tambang viral di berbagai media lokal dan nasional.

Aksi damai Jatam, jaringan masyarakat sipil dan mahasiswa dibalas ancaman, penyerangan serta pengerusakan sekretariat Jatam 5 November lalu.

Rupang mengatakan, penyerangan ini tak bisa terpisahkan dari eskalasi dukungan publik agar pemerintah dan aparat penegak hukun menuntaskan 32 kasus anak tewas di lubang bekas tambang batubara.

Kronologisnya, kata Rupang, 4 November 2018, sekitar pukul 17.30 waktu setempat Jatam Kaltim mendapatkan kabar duka lewat sosial media kalau ada seorang amak Tenggarong Seberang, Ari Wahyu Utomo (13) meninggal dunia di lubang bekas tambang. Lokasi kejadian di konsesi PT Bukit Baiduri Energi (BBE).

Tim Jatam Kaltim segera turun menuju rumah duka, selain melayat juga menggali informasi. Setelah mengikuti proses pengajian dan berbincang-bincang dengan pihak keluarga, tim Jatam Kaltim kembali ke Samarinda membuat rilis kasus.

Pada 5 November 2018, sekitar pukul 20.00, Sekretariat Jatam Kaltim di Jalan KH Wahid Hasyim II, Perum Kayu Manis Blok C No.06, Kel. Sempaja, didatangi sekelompok massa sekitar 30 orang. Jatam mendapat informasi dari tetangga.

Saat itu, sekretariat kosong karena sudah lewat jam kerja. Kelompok orang itu menggeledah kantor Jatam dan mendobrak pintu belakang. Jendela kamar gedung belakang kantor rusak. Tidak menemukan satupun aktivis Jatam, pencarian mereka lanjut dengan menggeledah rumah tetangga.

Tak puas sampai di situ, puluhan orang tak dikenal ini mengempesi ban motor milik salah staf Jatam Kaltim.

“Informasi yang kami terima, pasca penyerangan dan perusakan, kami kerap kali diawasi dan diintai orang-orang tak dikenal baik siang dan malam,” katanya.

Dia bilang, intimidasi dan teror berulang ini menandakan ada pihak-pihak yang tak suka alias terganggu dengan kampanye dan advokasi Jatam Kaltim cs selama ini.

Kondisi lubang bekas tambang batubara PT TPS di Kukar. Dari citra setelit. Foto dok Jatam Kaltim

Hingga kini, dia belum mengetahui motif jelas di balik penyerangan dan penrusakan ini. Namun, Rupang meyakini, terkait sejumlah laporan dan advokasi mereka atas kasus korban ke-32 di lubang tambang, operasi tambang Ilegal, pencemaran lingkungan, perampasan lahan dan lain-lain.

Atas penyerangan itu, jatam Kaltim Senin, (26/11/18), melapor resmi kasus teror dan perusakan ke Polres Samarinda. Mereka menyertakan sejumlah bukti berkaitan dengan peristiwa ini.

“Tadinya kami berpikir situasi dan ancaman akan berakhir, ternyata tak, masih terus berlanjut sampai sekarang. Itulah sebabnya kami melaporkan kepada pihak berwajib,” kata Rupang.

Bagi Jatam Kaltim, penyerangan dan perusakan ini ancaman gerakan pro-lingkungan dan pro-demokrasi yang lantang menyuarakan keselamatan masyarakat. Jatam mencatat, sepanjang 2011-2018, lebih dari 20 kasus intimidasi dan teror, baik kriminalisasi maupun penyerangan fisik, kepada warga penolak tambang.

Rupang menuntut, kepolisian Samarinda mengusut kasus ini dan memproses hukum perusakan sekretariat Jatam Kaltim. Negara, katanya, juga harus memberikan perlindungan bagi pejuang lingkungan dari ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

“Harus ada jaminan keselamatan bagi rakyat yang memperjuangkan lingkungan dari acaman manapun.”

Dia juga mengajak rakyat bersama-sama mengusir dan melawan pihak-pihak yang merusak lingkungan dan mengancam nyawa anak-anak. “Rakyat tak akan pernah aman dan sejahtera jika kejahatan tambang masih terus merajalela.”

Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam Nasional mengatakan, kriminalisasi dan serangan kepada perjuang lingkungan hidup dan anti tambang meningkat dan meluas. Situasi ini, katanya, seiring situasi di Asia.

“Jokowi harus turun tangan menjamin perlindungan negara kepada pejuang lingkungan hidup. Juga menuntaskan kasus anak tewas di lubang tambang dan perusakan lingkungan di Indonesia,” kata Melky.

Dalam laporan Global Witness berjudul Defender of the Earth; Global Klillings on Land and Environtmental Defenders,” menyatakan, serangan maksimum berupa pembunuhan meluas pada 24 negara pada 2016, setelah 2015 terjadi di 16 negara. Ada 60% pembunuhan di Amerika Latin utama terjadi di Brazil.

Data Jatam Nasional, ada 18 kasus kriminalisasi dan serangan maksimum berupa penembakan dan pembunuhan menyasar 81 penolak tambang di Indonesia sepanjang 2011-2018.

Pembunuhan pejuang anti tambang salah satu yang menghebohkan, Salim Kancil, warga di Lumajang, Jawa Timur, penolak tambang pasir besi.

Pola baru kini, kriminalisasi terhadap ahli lingkungan seperti Basuki Wasis dan Bambang Hero, yang membantu mendorong gugatan kerugian negara karena kerusakan lingkungan.

Pola lain, kriminalisasi dengan pasal tuduhan komunisme pada kasus Budi Pego, menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Juga tuduhan mengada-ngada pasang bendera terbalik oleh warga penolak pembangkit listrik batubara di Indramayu.

Ada juga serangan langsung ke kantor organisasi seperti di Jatam Kaltim pada 26 Januari 2016 dan 5 November 2018 di Samarinda.

“Kami menilai presiden dan Menteri Lingkungan Hidup serta aparat penegak hukum gagal menjalankan mandat dan fungsinya,” katanya, seraya bilang, UUD 1945 menyatakan setiap orang berhap atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pemerintah dan aparat, katanya, tak menjalankan tugas melindungi warga dalam menjalankan hak asasi itu sesuai Deklarasi Universal PBB tentang hak asasi manusia bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, sebenarnya menjamin setiap individu maupun kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan tak bisa digugat perdata dan pidana.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, dalam kasus serangan Kantor Jatam Kaltim, kepolisian belum membuka surat perkembangan hasil penyelidikan perkara (SP2HP) kepada pelapor maupun korban lubang tambang batubara.

“Ada kekuatan oligarki besar yang dilindungi untuk terus merusak lingkungan. Negara ini berpihak pada warga dan pelestarian lingkungan hidup atau pemodal?”

Jatam mendesak Komnas HAM mengambil peran lebih jauh mengawal dan mengkoordinasikan segala upaya memperkecil kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang lingkungan. “Kini teror para pejuangan lingkungan dan anti tambang makin membesar.”

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Vendra Riviyanto tak mendapat balasan. Dikutip dari detik.com, Vendra mengaku belum menerima laporan dari Jatam Kaltim terkait intimidasi dan perusakan kantor mereka.

Beberapa barang bukti perusakan Sekretariat Jatam Kaltim. Foto:dokumen Jatam Kaltim

Presiden harus turun tangan

Pada 21 Oktober 2018, Jatam Kaltim mendapat kabar korban tewas lubang bekas tambang ke-30, Alif Alforaci. Dia jatuh di Kecamatan Tenggarong, Desa Rapak Lambur dalam Konsesi PT Patriot Trias Sejahtera (TPS).

Pada 25 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo kunjungan ke Kaltim. Terjadi aksi di sejumlah titik di Samarinda. Tidak hanya Jatam Kaltim, gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa turun ke jalan mendesak presiden turut menyelesaikan dan bertindak atas jumlah korban anak-anak tewas terus bertambang di lubang bekas tambang.

Gubernur Kaltim Isran Noor kala ditanya wartawan, menyatakan, kematian anak di lubang bekas tambang batubara, sudah nasib. Isran hanya prihatin.

Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin,” katanya.

Ketika ditanya soal upaya gubernur menuntaskan kasus itu agar peristiwa tak terulang, Isran mengatakan, korban jiwa itu di mana-mana terjadi.

“Ya, namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang. Ya, pasti upaya. Itu kan pertanggungjawaban dunia akhirat,” kata Isran.

Setelah itu, korban terus bertambah. Data Jatam, korban sudah 32 orang, atau ke-11 di Kabupaten Kutai Kartanegara terhitung sejak 2011-2018.

Rupang mengatakan, pemerintah seakan tak pernah belajar dan menganggap penting persoalan ini. Padahal, kejadian serupa belum lama berselang. Korban ke-30, Alif pada 21 Oktober 2018, seminggu setelah itu, Ari Wahyu dan awal November 2018 seorang anak lagi mati di lubang tambang batubara.

“Sudah 32 nyawa melayang di lubang tambang batubara. presiden harus berrtindak,” kata Rupang.

Dia bilang, kehadiran presiden beberapa hari setelah anak meninggal di lubang tambang, beberapa hari kemudian kejadian serupa terjadi.

Jatam, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan, tak cukup mengasistensi pemerintah daerah. “Gubernur, bupati dan walikota di Kaltim belum menganggap kasus anak tewas di lubang tambang sebagai persoalan penting. Upaya pencegahan agar tak terulang lagi selayaknya dilakukan presiden.”

Jatam, katanya, juga mendesak Gubernur Kaltim bertindak keras kepada pebisnis tambang yang membiarkan lubang-lubang tambang batubara mereka menganga. Seharusnya, kata Rupang, izin BBE dicabut, karena lakukan pembiaran dan tak mau membenahi sistem keamanan dan keselamatan sesuai mandat UU Mineral dan Batubara dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Faktanya, tak ada pencabutan, padahal kejadian berulang dan perusahaan tak juga diproses hukum.”

Secara terpisah Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, sejumlah perusahaan tambang batubara di Kaltim harus mempertanggungjawabkan kematian anak di lubang tambang, dan persoalan reklamasi.

Walhi dan Jatam mempertanyakan sikap Kapolda Kaltim, kapan kasus-kasus ini diproses hukum hingga ke pengadilan. Publik katanya, menunggu upaya serius kepolisian Kaltim untuk memastikan penegakan hukum kasus ini.

“Kita duga kuat ada pihak-pihak tertentu yang ingin kasus ini dipetieskan dan tak berlanjut ke pengadilan. Kami mempertanyakan profesionalisme kepolisian Kaltim memastikan penegakan hukum 32 orang tewas di lubang tambang batubara.”

Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum Universitas Mulawarman kepada Mongabay menagih aksi konkrit. Selama ini, presiden yang hanya melempar upaya penyelesaian kasus-kasus hilangnya nyawa manusia di bekas galian lubang tambang kepada gubernur, nampak seperti ingin cuci tangan.

Padahal, katanya, presiden punya kekuasaan untuk ambil alih kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan kontroversial, serta gagal diselesaikan pemerintah daerah.

Rahmawati memegang foto anaknya, M Raihan korban ke sembilan lubang tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Menurut Herdiansyah, dalam negara kesatuan, kendali utama di tangan pemerintah pusat, walau kewenangan dibagi ke pemerintah daerah. “Ketika kewenangan itu gagal dijalankan baik, pemerintah pusat dapat memgambil tindakan atas nama kepentingan warga negara.”

“Jadi salah besar jika pilihan presiden tidak mencampuri urusan ini, dengan menyerahkan kembali kepada pemerintah daerah yang notabene salama ini gagal.”

Pernyataan gubernur yang mengunci kasus korban lubang tambang sebatas sebagai takdir semata, sangat menyedihkan.

Pernyataan ini, katanya, bermakna dua hal, pertama, menunjukkan kedangkalan pemahaman gubernur terhadap kasus korban lubang tambang dan dampak lingkungan industri ekstraktif lain. Kedua, menunjukkan, kalau gubernur tidak punya empati kepada para korban. Sesungguhnya, dia punya kewenangan mendorong penyelesaian kasus ini.

Secara administratif, katanya, gubernur punya kuasa menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan dengan wilayah konsesi memakan korban.

“Pada aspek pidana, gubernur bisa mendorong penyelesaian kasus ini dengan berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Jika sanksi tak pernah dijatuhkan, baik administratif maupun pidana, tak akan ada efek jera. Kejadian akan terus berulang,” kata Castro, sapaan akrabnya.

Haris Retno, pengajar Universitas Mulawarman kepada Mongabay mengatakan, korban yang terus berjatuhan menunjukkan ada kegagalan dalam pengelolaan pertambangan di Kaltim. Gubernur baru Kaltim, katanya, harus mengambil momentum ini untuk bertindak cepat agar korban tak bertambah.

Di Kaltim terdapat 1.200-an izin tambang, jika satu izin meninggalkan dua lubang, akan ada 2.400 lubang bekas tambang. “Pemerintah harus bertanggung jawab karena izin diberikan pemerintah. Tambang bukan datang diam-diam tapi dengan izin negara.”

Wahyu Nugroho, dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta mengatakan, harus ada proses hukum pidana kepada perusahaaan atas tewasnya orang di lubang bekas tambang. Dia bilang, sudah kewajiban perusahaan mereklamasi lubang tambang.

Dalam kasus di Kaltim, tak lagi pembekuan, seharusnya sudah pencabutan izin. Menurut dia, kejadian itu sudah melanggar ketentuan hukum administrasi dan hukum pidana bidang pertambangan berdasarkan UU Minerba dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sumber: Mongabay.co.id

Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) paling mutakhir menyatakan kita hanya punya waktu 12 tahun bila ingin bisa menjaga kenaikan suhu pada maksimal 1,5 derajat Celsius di tahun 2100.Kalau di tahun 2030 kita tak bisa memotong emisi sebesar yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan itu, umat manusia bakal kesulitan untuk bisa membuat kondisi kehidupan yang baik.Pilihan yang tadinya dianggap cukup baik, yaitu kenaikan 2 derajat Celsius, kini diketahui lebih buruk daripada yang kita sangka sebelumnya.

Padahal, kita kini hidup dalam cara yang trajektorinya mengarah pada kenaikan 3,2 derajat Celsius—jauh sekali di atas pilihan terbaik.Kondisi ini menjanjikan katastropik bagi peradaban manusia.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita semua akan membuat perubahan sedrastis dan secepat yang dibutuhkan untuk bisa menghindari kondisi yang sangat buruk untuk anak-cucu kita?Ataukah, seperti yang ‘diramalkan’ oleh sastrawan besar Kurt Vonnegut, kita cuma bakal menulis di batu nisan Bumi yang mati :‘We could have saved the Earth, but we were too damned cheap.’

Tentu, kondisi sebaliknyalah yang mungkin terjadi.Bumi akan melihat umat manusia mengalami kesengsaraan luar biasa akibat perbuatannya sendiri.Kecuali, kalau kemudian umat manusia memang melakukan pertobatan yang dibutuhkan.Dan, untuk bisa melakukan pertobatan yang dibutuhkan itu, kita semua perlu mengecek apa saja dosa-dosa yang sudah kita buat, dan bagaimana dosa-dosa itu bisa ditebus.

 

LaporanBrown to Green 2018 dari Climate Transparencyyang diluncurkan pada tanggal 21 November 2018 di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, menyediakan alat pengecekan ‘dosa-dosa’ kolektif kita.Betapa tidak menyenangkan, bahkan menakutkan, membaca laporan tersebut.Tetapi, itu harus dilakukan, agar kita semua bisa melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan generasi sekarang, dan terutama generasi mendatang.

Kalau laporan IPCC menyatakan bahwa seluruh dunia perlu memotong sekitar 40% emisi di tahun 2030, penurunan yang disarankan oleh laporanBrown to Green 2018 lebih dalam lagi, yaitu 50%.Tentu, lantaran objek dan sasaran laporan ini adalah negara-negara G20 yang emisinya lebih besar, dan secara ekonomi lebih kaya, maka tuntutan tersebut sangat masuk akal.

Sayangnya, laporan itu menegaskan bahwa negara-negara G20 masih jauh dari sasaran tersebut.DokumenNationally Determined Contributions(NDCs) yang disetorkan negara-negara itu tidak menggambarkan kesadaran atas kontribusi yang adil ataufair share.Yang paling parah, kalau NDC seluruh negara itu mengikuti ‘komitmen’ Rusia, Saudi Arabia dan Turki, maka atmosfer Bumi akan memanas lebih dari 4 derajat Celsius.

 

Bagaimana dengan NDC Indonesia?Laporan itu menegaskan bahwa—bersama-sama dengan Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Rusia, dan Arab Saudi—kita akan bisa mencapai target NDC bila emisi dari pemanfaatan lahan dan hutan (LULUCF) tidak diperhitungkan.Mengapa?Karena kita mematok ambisi yang kelewat rendah.

Status NDC Indonesia sendiri menurut Climate Action Tracker memanghighly insufficientdi tahun 2018 ini, turun status satu tingkat dariinsufficientdi tahun 2017.Dengan status tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang turut berencana menaikkan suhu atmosfer lebih dari 3 derajat Celsius. Sebuah status yang memalukan.

Biang kerok dari kondisi emisi negara-negara G20 ini adalah pemanfaatan sumber-sumber energi fosil yang kelewat tinggi dan belum cukup diturunkan setelah peringatan soal ini datang bertahun-tahun lampau.Laporan ini menyatakan bahwa 82% kebutuhan energi G20 memang dipasok dari energi fosil.Pengukuran di tahun 2017 menunjukkan bahwa di 15 dari anggota G20, emisi dari energi meningkat lagi, setelah sebelumnya oleh berbagai laporan diperkirakan sudah memuncak.

Ternyata kita masih lapar dan haus energi fosil.Batubara terus kita ‘kunyah’, dan minyak terus kita ‘minum’ dalam proporsi yang semakin besar—kecuali di Inggris, Tiongkok, dan Prancis.

 

Apa sektor yang paling perlu diubah?Pembangkitan listrik dan transportasi.Demikian yang ditegaskan dalam laporan ini.Tetapi apa yang terjadi dengan kedua sektor?Saking kurangnya negara-negara G20 bertindak dalam urusan ini, status yang diberikan adalahlaggardalias tertinggal.

Afrika Selatan, Australia dan Indonesia adalah negara-negara paling payah dalam urusan emisi dari pembangkitan listrik, lantaran masih kelewat doyan batubara.Amerika Serikat, Kanada dan Australia adalah yang paling banyak membuang emisi dari transportasinya.

Kalau kemudian sektor-sektor lainnya dilihat, maka hasilnya juga tak menggembirakan.Dalam sektor industri, satu-satunya anggota G20 yang dipandang punya kebijakan memadai adalah Uni Eropa.Tiga yang paling ketinggalan adalah Afrika Selatan, Tiongkok dan Rusia.Mereka bertiga memiliki emisi dari sektor ini yang paling tinggi intensitasnya—sementara kebijakannya tampak tak berniat menurunkan intensitas itu.

Soal sektor bangunan juga cuma Uni Eropa yang kompatibel dengan tujuan 1,5 derajat Celsius.Kanada, Jerman, dan Amerika Serikat emisinya paling tinggi.Terakhir, dari sektor kehutanan, ‘juara’ dengan emisi tertinggi adalah Indonesia, Argentina, dan Brazil.Kebijakan dan tindakan dari ketiga negara tersebut dipandang memprihatinkan.

Katrok’-nya, sudah demikian buruk situasinya, negara-negara G20 masih saja memberi subsidi gila-gilaan untuk bahan bakar fosil yang dikonsumsi.Hitung-hitungan laporan ini mengungkapkan bahwa di tahun 2016, anggota G20 secara kolektif menuangkan USD147 miliar untuk subsidi batubara, minyak dan gas.Cuma Kanada dan Prancis yang menghasilkan pendapatan dari pajak karbon yang lebih besar daripada subsidi bahan bakar fosilnya.Yang paling banyak memberi subsidi? Arab Saudi, Italia, dan Australia.

 

Memang sudah ada beberapa negara yang kini mengembangkan kebijakan pengungkapan pembiayaan terkait dengan perubahan iklim, di mana subsidi atas bahan bakar fosil bisa menjadi lebih terkendali.Kebijakan yang paling maju misalnya ditunjukkan oleh Pranis, Uni Eropa dan Jepang.

Tetapi, sebagaimana yang beberapa waktu lalu diungkap oleh laporan dari Rainforest Action Network (RAN) dan Profundo, bank-bank dari Jepang tampak masih sangat getol membiayai pembangkit listrik tenaga batubara.Jadi, pengungkapan itu tidak menjamin bahwa kemudian tindakannya akan sesuai dengan tujuan kebijakan pengungkapan.Bank-bank dari Jepang tampakcueksaja, meneruskan pembiayaan terhadap projek-projek yang membahayakan Bumi.

Komitmen Indonesia

Walaupun begitu, laporan ini juga menunjukkan bahwa ada beberapa negara anggota G20 yang mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan terkait transisi yang adil dari energi fosil.Kanada, Tiongkok, Prancis dan Indonesia adalah di antara negara-negara yang disebut mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan yang demikian.Ketika negara yang disebut pertama itu sudah memiliki kebijakan dan anggaran yang secara khusus ditujukan untuk mendukung pekerja dan daerah yang terkena dampak dari transisi meninggalkan batubara.

Indonesia, kita tahu, punya sejumlah pemikiran awal soal pembiayaan ekonomi hijau secara menyeluruh, dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup, juga upaya ‘menghijaukan’ Rencana Pembangunan Jangka Manengah 2020-2024, selain membuat skenario pembangunan rendah karbon hingga tahun 2045.

 

Secara umum ruang perbaikan untuk Indonesia yang paling menonjol adalah pada sektor energi dan kehutanan.Intensitas emisi dari pembangkitan listrik kita adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara G20.Di sektor kehutanan, ketika banyak negara anggota G20 sudah menunjukkan peningkatan tutupan hutan dibandingkan kondisi tahun 1990, kita ternyata masih kehilangan 23%.Di sektor transportasi dan bangunan, walaupun emisi kita tergolong rendah, namun ada kecenderungan meningkat, sehingga perlu diwaspadai.

LaporanBrown to Green 2018,yang di Indonesia diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), ini adalahdashboardyang sangat penting bagi pembangunan Indonesia, di samping berbagai laporan lain yang diproduksi di dalam maupun luar negeri.Sebetulnya semua laporan memberi pesan yang konsisten, yaitu soal ruang perbaikan yang perlu kita isi demi masa depan yang lebih baik.Pesan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kita masih punya waktu untuk memilih menjadi lebih baik.Pembangunan berkelanjutan, dengan rendah karbon sebagai salah satu kunci pentingnya, adalah satu-satunya yang masuk akal bagi kita semua.

Kalau baru-baru ini Bappenas mengeluarkan laporan bahwa skenario pembangunan rendah karbon sesungguhnya membawa Indonesia kepada tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak perlu ada lagi keraguan untuk mengambil jalur hijau itu.Sebaliknya, semakin lama berada di jalur coklat yang selama ini kita tempuh, semakin membahayakan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi Indonesia.Jadi mengapa tidak mengambil jalur hijau secepat mungkin?

Pesan ini tampaknya sangat perlu dipahami oleh siapapun yang akan memimpin Indonesia di tahun 2019 nanti.Demikian pula, kita yang hendak memilih pemimpin Indonesia, hendaknya menimbang kapasitas dan rekam jejak kandidat dalam urusan ini.Siapa yang lebih kita percaya bisa membawa Indonesia ke jalur hijau itulah yang seharusnya kita pilih.

sumber: mongabay.co.id

Pertengahan November 2018, PNBP Minerba Capai Rp 41 Triliun

Purwokerto, TAMBANG – Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari subsektor mineral dan batubara (Minerba) hingga pertengahan November 2018 mencapai angka Rp41,02 triliun. Raihan ini melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar Rp32,1 triliun.

“Kira-kira sampai akhir tahun, dari minerba diproyeksikan PNBP kurang lebih sebesar Rp 43 triliun, dari target Rp 32,1 triliun. Kalau untuk tahun depan proyeksinya (masih) Rp 32,1 triliun, tapi nanti kita lihat perkembangannya,” papar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono saat menjadi Keynote Speaker pada acara ESDM Goes to Campus di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dalam keterangan resminya, Kamis (15/11).

Bambang menambahkan, komposisi penerimaan minerba 2018 berasal dari royalti, penjualan hasil tambang serta iuran tetap. Besarannya untuk royalti mencapai sekitar Rp24,5 triliun, penjualan hasil tambang sekitar Rp16 triliun serta iuran tetap sekitar Rp0,5 triliun.

“Intinya penerimaan negara pasti lebih baik. Pendapatan terbesar di minerba itu batubara. Batubara selain royalti ada pendapatan hasil tambang besarnya 13,5 persen dari komposisi penerimaan minerba,” lanjut Bambang.

Lebih lanjut Bambang menjelaskan, faktor-faktor yang dapat meningkatkan penerimaan negara tersebut diantaranya, harga komoditi yang fluktuatif, produksi minerba yang semakin bagus, juga peran aktif perusahaan-perusahaan dalam melakukan kegiatan yang semakin baik.

“Faktor pertama adalah harga komoditi fluktuatif dan kebetulan seasonnya bagus, kedua produksi batubara mineral juga makin bagus, artinya tercapai, ketiga perusahaan-perusahaan dalam melakukan kegiatan makin baik, dengan standar SOP akan lebih baik dan menghasilkan sesuatu yang positif, kegiatannya lancar berarti produksi tercapai, harga bagus berarti kan tinggal mengalikan saja kan proyeksinya bagaimana,” jelas Bambang.

Apabila ditelisik ke tahun-tahun sebelumnya, komposisi PNBP minerba dari tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan. Di akhir tahun 2017 berada pada angka Rp40,6 triliun, Sedangkan untuk tahun 2016 hanya mencapai Rp27,2 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp29,6 triliun.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM terus berusaha sekuat tenaga mengawal kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sehingga seluruh rakyat Indonesia mendapatkan energi berkeadilan,” tandas Bambang.

Sumber: Tambang.co.id

Koalisi Ungkap Kelemahan Sistem Informasi Hasil Hutan, Apa Kata Menteri Siti?

Jakarta – Koalisi Anti Mafia Hutan melakukan investigasi terhadap beberapa perusahaan kehutanan di Jambi dan Kalimantan Barat, guna melihat sejauh mana efektivitas pemberlakuan sistem Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH). Hasilnya, masih ditemukan beberapa kelemahan dalam implementasi sistem ini. Poin-poin penting fokus investigasi antara lain soal potensi kerugian negara dan deforestasi.

SIPUHH, merupakan serangkaian perangkat elektronik yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tujuannya, mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan informasi penatausahaan hasil hutan kayu. Ketentuan SIPUHH diatur melalui P.42 dan P.43 tahun 2015.

Dengan sistem ini, kegiatan pencatatan dan pelaporan perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran, pengujian, penandaan, pengangkutan, peredaran, serta pengolahan hasil hutan kayu dapat ditelusuri. Semula, sistem ini untuk memperkuat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

Temuan investigasi pada perusahaan-perusahaan di Jambi dan Kalbar itu, antara lain, perusahaan tak memiliki laporan hasil produksi (LHP) dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, tak ada laporan kewajiban pembayaran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di dalam website PNBP. Dengan begitu, ada indikasi perusahaan tak melakukan kegiatan selama tiga tahun terakhir.

“Temuan kami di lapangan menemukan tumpukan kayu bulat tanpa ID barcode di areal kerja perusahaan,” kata Rusdiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, akhir Oktober lalu dalam temu media di Jakarta.

Anton Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar memaparkan temuan dari kajian beberapa perusahaan di sana. Dari analisis tutupan lahan pada satu perusahaan dari 2015 sampai 2018 terjadi perubahan karena ada pemanenan kayu hutan tanaman dan pembukaan lahan.

Temuan lain soal perusahaan belum memiliki sertifikat legalitas kayu (VLK/PHPL) tetapi sudah beroperasi.

Iqbal Damanik, Peneliti Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, temuan-temuan lapangan mengkonfirmasi masih banyak kelemahan dalam implementasi SIPUHH.

“Sebenarnya, kita melihat SIPUHH sudah mulai advanced. SIPUHH memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Karena dulu ada beberapa proses mulai dari pembuatan laporan produksi, sampai ke SK usaha, pembayaran PNBP, itu jadi satu sistem yang baik. Awalnya kan sistem ini untuk memotong rantai birokrasi supaya gak ada korupsi. Tak ada demand dari birokrasi untuk tindak pidana korupsi,” katanya.

Sistem sudah dipermudah, dalam level tertentu, SIPUHH jadi persoalan ketika sistem informasi lebih baik tetapi pengawasan lemah. Sulit menguji ketaatan perusahaan di dalam SIPUHH.

“Siapa yang menguji ini? KLHK juga kesulitan. Apa kita bisa tahu ada mencuci kayu-kayu ilegal dalam SIPUHH. Persoalan PNBP itu sebenarnya tidak jadi soal bagi perusahaan, karena mereka mampu bayar. Apakah kayu yang ditebang itu legal atau tidak? Itu yang tidak bisa dibuktikkan.”

Persoalan lain, katanya, mengenai transparansi. SIPUHH, tak memberikan akses data kepada pemantau independen. Tak bisa lakukan lacak balak karena pemantau independen tak punya akun untuk mengecek dari mana saja kayu-kayu tebangan perusahaan.

“SIPUHH ini sistem informasi dan birokrasi sudah baik. Apakah transparan, akuntabel dan bisa diuji? Fakta-fakta temuan di Jambi dan Kalbar membuktikan. SIPUHH diharapkan mampu memberikan solusi meminimalisir praktik-praktik manipulatif.”

Untuk melakukan monitoring optimal, katanya, perlu transparansi agar data sajian dapat disandingkan dengan kondisi riil lapangan.

Menurut Iqbal, sistem validasi data dalam SIPUHH tak mampu memotret kondisi nyata tingkat tapak. Bukan tidak mungkin, katanya, kayu ilegal justru diselundupkan dan masuk bersama kayu legal.

“Manipulasi data masih mungkin terjadi karena self assessment oleh perusahaan. Verifikasi lapangan terbatas. Terutama pasca masuk ke industri.”

Dengan kondisi ini, katanya, penelusuran terbatas setelah kayu jatuh dan batang di tengah hutan hingga ke luar konsesi.

Kayu-kayu bulat hasil pembalakan liar yang diamankan petugas di Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

SIPUHH, katanya, tak mampu mendeteksi apabila pelaku usaha sama sekali tidak melaporkan aktivitas. Ia juga tak mempunyai mekanisme menghentikan peredaran kayu bila industri kayu disisipkan kayu ilegal.

Iqbal mendesak, transaparansi data maupun informasi ke publik dalam SIPUHH. Juga mendorong keterlibatan multi pihak dalam mengawasi tata kelola kehutanan guna menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan.

“Kita juga meminta untuk verifikasi lapangan terpadu dengan melibatkan multi pihak untuk menilai kesesuaian data dalam SIPUHH dengan kondisi lapangan. Ini meminimalisir penyimpangan dan pelanggaran serius,” katanya.

Selain itu, katanya, sistem basis data online peredaran kayu perlu terintegrasi dengan informasi lain yang mendukung verifikasi dan validasi informasi, misal, kondisi tutupan hutan tingkat tapak.

“Juga harus ditingkatkan kepatuhan dengan memperberat sanksi bagi korporasi yang melanggar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Terkait hasil kajian itu, Auriga telah menyampaikan kepada KPK. Dia berharap, KPK bisa menindaklanjuti temuan ini. “Ini ada potensi kerugian negara.”

Apa kata Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Siti menjawab soal temuan investigasi Auriga ini. Ada SIPUHH, katanya, justru membuat alur produksi kayu jadi lebih transparan. Alur produksi kayu mulai dari sumber sampai pembeli diikuti terus.

“Kalau di lapangan ada berbagai kesulitan, seperti teknis, listrik, jaringan internet itu soal lain,” katanya, seraya bilang KLHK terus berupaya memperbaiki sistem itu.

Dia tak setuju, kalau dikatakan SIPUHH tak transparan. Siti bilang, justru sistem ini didesain untuk agar transparan. “Tapi kalau ada kekurangan-kekurangan, mungkin saja bisa terjadi. Memang kita mendapatkan laporan ada beberapa tempat yang kesulitan. Kadang-kadang soal teknis, kalau dia dikaitkan dengan PNBP dan lain-lain, saya kira itu harus kita cek,” kata Siti.

Untuk memperkuat SIPUHH, katanya, KLHK sedang menyiapkan sistem informasi produksi hutan lestari secara keseluruhan. Sistem ini menggabungkan tata usaha kayu dengan perpajakan dan penegakan hukum.

“Jadi di kita sedang membangun dan memperbaiki terus sistemnya. Termasuk nanti sistem legalitas kayu. Jadi kalau sekarang kan masih ditemukan banyak kesulitan di lapangan. Sistem legalitas kayu sudah selesai, SIPUHH online sudah selesai.”

Dia menyadari, beberapa kelemahan di lapangan mungkin saja terjadi mengingat Indonesia sedemikian luas. “Spot-nya juga bisa dibayangkan mulai dari pohon, ditebang, sampai di tempat penampungan dan sebagainya. Yang jelas kita terus improve sistem ini.”

Sumber: Mongabay.co.id

 

 

Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018. Aturan ini diharapkan jadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia.

Sebagai instrumen legal, Perpres Reforma Agraria memuat norma untuk menata ulang struktur agraria yang memastikan petani penggarap, nelayan, dan kelompok masyarakat pra-sejahtera dapat mengakses tanah negara, perlindungan terhadap hak tanah, dan menerima manfaat penyelesaian konflik agraria.

Dengan landasan itu, perpres ini menggunakan tiga strategi dalam pelaksanaan reforma agraria, yaitu, sertifikasi hak milik, redistribusi tanah negara dan mekanisme penyelesaian konflik agraria.

Satu hal perlu jadi perhatian, Perpres Reforma Agraria belum tegas menempatkan posisi masyarakat adat beserta hak-haknya dalam kerangka reforma agraria, terlihat dari taka da penyebutan masyarakat adat sebagai salah satu subyek reforma agraria.

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Posisi masyarakat adat

Perpres Reforma Agraria menyebutkan, subyek reforma agraria terdiri dari tiga kategori, yaitu perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum.

Subyek perorangan berupa petani penggarap, nelayan dan kelompok pekerja formal/informal. Sedangkan kelompok masyarakat, adalah kelompok dengan hak kepemilikan bersama atas tanah. Terakhir, badan hukum adalah koperasi dan badan usaha milik desa.

Masyarakat adat tak tercantum sebagai subyek reforma agraria. Walaupun terdapat kategori kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, namun kategori masyarakat itu tak merujuk pada masyarakat adat, karena definisi kelompok yang dimaksud bersifat artifisial (dibentuk atas kepentingan bersama), alih-alih sebagai kesatuan sosial organik masyarakat adat.

Ketidakjelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria berimplikasi serius terhadap persoalan-persoalan agraria terkait masyarakat adat. Setidaknya terdapat dua persoalan, yaitu, pertama, secara paradigmatik, perpres ini mengabaikan ada persoalan agraria terkait masyarakat adat dari kerangka kebijakan reforma agraria.

Kedua, pada tingkat operasional, perpres ini mengeluarkan persoalan agraria terkait masyarakat adat dari skema perlindungan hak tanah dan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang disasar dari kerangka kebijakan reforma

 

Selain itu, perpres reforma agraria inkonsisten dengan rujukan hukum, yaitu Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Secara gamblang, TAP MPR IX/2001 menjelaskan, reforma agraria sebagai usaha menata ulang struktur agraria yang berkeadilan dengan memastikan hak masyarakat adat. Artinya, persoalan ketidakadilan dan ketidakpastian hak masyarakat adat masuk dalam ruang lingkup reforma agraria.

Selanjutnya, Perpres Reforma Agraria menutup mata atas kenyataan konflik-konflik agraria masyarakat adat terkait penentuan obyek reforma agraria. Perpres ini menyebutkan, obyek atau tanah reforma agraria (tora) antara lain, tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah dari pelepasan kawasan hutan, dan tanah bekas hak erfpacht (hak barat).

Bila ditelaah lebih dalam, kita bisa melihat banyak konflik hak masyarakat adat berada pada kriteria tora itu, misal, konflik-konflik perkebunan sawit di Sumatera Barat sejak pemberian hak erpacht. Dalam beberapa kasus berlanjut dalam bentuk baru jadi HGU. Konflik itu muncul karena abai pengakuan legal hak ulayat saat konsolidasi (konversi) jadi tanah negara—saat proses pemberian hak erfpacht maupun HGU.

Begitu juga dengan konflik masyarakat adat di kawasan hutan. Pada kasus terakhir, 9,3 juta hektar wilayah adat diklaim berada di kawasan hutan (BRWA, 2018). Ketiadaan pengakuan legal hak ulayat dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh negara jadi penyebab konflik agraria masyarakat adat di kawasan hutan ini.

Dari konflik-konflik agraria itu setidaknya menunjukkan dua hal penting. Pertama, konflik agraria masyarakat adat bersifat historis, yaitu konflik berlaku pada rentang waktu lama karena minim perlindungan hak, baik sejak masa kolonial sampai sekarang. Kedua, konflik-konflik agraria masyarakat adat menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dalam menata ulang struktur agraria (sumber daya alam).

Dengan kata lain, persoalan agraria masyarakat adat adalah masalah struktural dengan menyertakan perangkat hukum beserta struktur yang mengabaikan hak.

Perpres Reforma Agraria, belum begitu tajam melihat kenyataan konflik agraria terkait hak masyarakat adat pada tora. Dalam perpres ini memang menyebutkan, hak ulayat bukan bagian dari obyek reforma agraria, namun memasukkan tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawasan hutan sebagai obyek reforma agraria yang notabene potensial tumpang tindih dengan hak ulayat atau dalam kondisi berkonflik.

Artinya, penentuan kriteria tora belum sepenuhnya jelas (clean and clear) dan bisa mempersulit implementasi reforma agraria itu sendiri serta berpotensi melahirkan konflik baru.

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Perbaikan substansi

Perpres Reforma Agraria, merupakan terobosan kebijakan dalam menjawab persoalan struktural agraria, namun aturan ini memerlukan perbaikan terkait kejelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria. Alasan- alasan pokok pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria adalah, pertama, mempertegas kembali masyarakat adat sebagai korban ketidakadilan agraria dan mengakui kenyataan bahwa konflik agraria masyarakat adat lahir karena ketidakadilan agraria.

Dalam konteks ini, upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan melingkupi penyelesaian konflik masyarakat adat.

Kedua, penegasan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria diharapkan mampu menyentuh penyebab utama persoalan agraria masyarakat adat, yaitu soal perlindungan hak ulayat. Menempatkan kembali posisi masyarakat adat dalam kerangka reforma agraria sebenarnya mempertegas mandat TAP MPR No. IX/2001 sebagai dasar hukum perpres ini. Yaitu, perlindungan hak ulayat terintegrasi dengan penataan kembali struktur agraria. Dalam hal ini, skema legalisasi hak atas tanah sebagai pengejawantahan perlindungan hak dalam perpres ini semestinya melingkupi juga pengakuan hak ulayat.

 

Keterangan foto utama: Masyarakat adat penjaga hutan. Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena di hutan adat Marena yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan