Nyawa manusia hilang di ‘danau’ tambang batubara terus bertambah, sampai awal November 2018 sudah 32 korban. Kondisi tambah parah kala aktivis lingkungan yang konsern menyuarakan kritisi terhadap permasalahan batubara ini mendapat teror dan penyerangan. Sekretariat Jatam dirusak orang-orang tak dikenal. Jatam melaporkan kasus penyerangan ke Polres Samarinda.
Awal November 2018, Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, beberapa kali mendapat tteror orang tak dikenal. Berbagai ancaman dia terima kala tuntutan penuntasan kematian anak di lubang tambang viral di berbagai media lokal dan nasional.
Aksi damai Jatam, jaringan masyarakat sipil dan mahasiswa dibalas ancaman, penyerangan serta pengerusakan sekretariat Jatam 5 November lalu.
Rupang mengatakan, penyerangan ini tak bisa terpisahkan dari eskalasi dukungan publik agar pemerintah dan aparat penegak hukun menuntaskan 32 kasus anak tewas di lubang bekas tambang batubara.
Kronologisnya, kata Rupang, 4 November 2018, sekitar pukul 17.30 waktu setempat Jatam Kaltim mendapatkan kabar duka lewat sosial media kalau ada seorang amak Tenggarong Seberang, Ari Wahyu Utomo (13) meninggal dunia di lubang bekas tambang. Lokasi kejadian di konsesi PT Bukit Baiduri Energi (BBE).
Tim Jatam Kaltim segera turun menuju rumah duka, selain melayat juga menggali informasi. Setelah mengikuti proses pengajian dan berbincang-bincang dengan pihak keluarga, tim Jatam Kaltim kembali ke Samarinda membuat rilis kasus.
Pada 5 November 2018, sekitar pukul 20.00, Sekretariat Jatam Kaltim di Jalan KH Wahid Hasyim II, Perum Kayu Manis Blok C No.06, Kel. Sempaja, didatangi sekelompok massa sekitar 30 orang. Jatam mendapat informasi dari tetangga.
Saat itu, sekretariat kosong karena sudah lewat jam kerja. Kelompok orang itu menggeledah kantor Jatam dan mendobrak pintu belakang. Jendela kamar gedung belakang kantor rusak. Tidak menemukan satupun aktivis Jatam, pencarian mereka lanjut dengan menggeledah rumah tetangga.
Tak puas sampai di situ, puluhan orang tak dikenal ini mengempesi ban motor milik salah staf Jatam Kaltim.
“Informasi yang kami terima, pasca penyerangan dan perusakan, kami kerap kali diawasi dan diintai orang-orang tak dikenal baik siang dan malam,” katanya.
Dia bilang, intimidasi dan teror berulang ini menandakan ada pihak-pihak yang tak suka alias terganggu dengan kampanye dan advokasi Jatam Kaltim cs selama ini.
Hingga kini, dia belum mengetahui motif jelas di balik penyerangan dan penrusakan ini. Namun, Rupang meyakini, terkait sejumlah laporan dan advokasi mereka atas kasus korban ke-32 di lubang tambang, operasi tambang Ilegal, pencemaran lingkungan, perampasan lahan dan lain-lain.
Atas penyerangan itu, jatam Kaltim Senin, (26/11/18), melapor resmi kasus teror dan perusakan ke Polres Samarinda. Mereka menyertakan sejumlah bukti berkaitan dengan peristiwa ini.
“Tadinya kami berpikir situasi dan ancaman akan berakhir, ternyata tak, masih terus berlanjut sampai sekarang. Itulah sebabnya kami melaporkan kepada pihak berwajib,” kata Rupang.
Bagi Jatam Kaltim, penyerangan dan perusakan ini ancaman gerakan pro-lingkungan dan pro-demokrasi yang lantang menyuarakan keselamatan masyarakat. Jatam mencatat, sepanjang 2011-2018, lebih dari 20 kasus intimidasi dan teror, baik kriminalisasi maupun penyerangan fisik, kepada warga penolak tambang.
Rupang menuntut, kepolisian Samarinda mengusut kasus ini dan memproses hukum perusakan sekretariat Jatam Kaltim. Negara, katanya, juga harus memberikan perlindungan bagi pejuang lingkungan dari ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.
“Harus ada jaminan keselamatan bagi rakyat yang memperjuangkan lingkungan dari acaman manapun.”
Dia juga mengajak rakyat bersama-sama mengusir dan melawan pihak-pihak yang merusak lingkungan dan mengancam nyawa anak-anak. “Rakyat tak akan pernah aman dan sejahtera jika kejahatan tambang masih terus merajalela.”
Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam Nasional mengatakan, kriminalisasi dan serangan kepada perjuang lingkungan hidup dan anti tambang meningkat dan meluas. Situasi ini, katanya, seiring situasi di Asia.
“Jokowi harus turun tangan menjamin perlindungan negara kepada pejuang lingkungan hidup. Juga menuntaskan kasus anak tewas di lubang tambang dan perusakan lingkungan di Indonesia,” kata Melky.
Dalam laporan Global Witness berjudul Defender of the Earth; Global Klillings on Land and Environtmental Defenders,” menyatakan, serangan maksimum berupa pembunuhan meluas pada 24 negara pada 2016, setelah 2015 terjadi di 16 negara. Ada 60% pembunuhan di Amerika Latin utama terjadi di Brazil.
Data Jatam Nasional, ada 18 kasus kriminalisasi dan serangan maksimum berupa penembakan dan pembunuhan menyasar 81 penolak tambang di Indonesia sepanjang 2011-2018.
Pembunuhan pejuang anti tambang salah satu yang menghebohkan, Salim Kancil, warga di Lumajang, Jawa Timur, penolak tambang pasir besi.
Pola baru kini, kriminalisasi terhadap ahli lingkungan seperti Basuki Wasis dan Bambang Hero, yang membantu mendorong gugatan kerugian negara karena kerusakan lingkungan.
Pola lain, kriminalisasi dengan pasal tuduhan komunisme pada kasus Budi Pego, menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Juga tuduhan mengada-ngada pasang bendera terbalik oleh warga penolak pembangkit listrik batubara di Indramayu.
Ada juga serangan langsung ke kantor organisasi seperti di Jatam Kaltim pada 26 Januari 2016 dan 5 November 2018 di Samarinda.
“Kami menilai presiden dan Menteri Lingkungan Hidup serta aparat penegak hukum gagal menjalankan mandat dan fungsinya,” katanya, seraya bilang, UUD 1945 menyatakan setiap orang berhap atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Pemerintah dan aparat, katanya, tak menjalankan tugas melindungi warga dalam menjalankan hak asasi itu sesuai Deklarasi Universal PBB tentang hak asasi manusia bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, sebenarnya menjamin setiap individu maupun kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan tak bisa digugat perdata dan pidana.
Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, dalam kasus serangan Kantor Jatam Kaltim, kepolisian belum membuka surat perkembangan hasil penyelidikan perkara (SP2HP) kepada pelapor maupun korban lubang tambang batubara.
“Ada kekuatan oligarki besar yang dilindungi untuk terus merusak lingkungan. Negara ini berpihak pada warga dan pelestarian lingkungan hidup atau pemodal?”
Jatam mendesak Komnas HAM mengambil peran lebih jauh mengawal dan mengkoordinasikan segala upaya memperkecil kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang lingkungan. “Kini teror para pejuangan lingkungan dan anti tambang makin membesar.”
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Vendra Riviyanto tak mendapat balasan. Dikutip dari detik.com, Vendra mengaku belum menerima laporan dari Jatam Kaltim terkait intimidasi dan perusakan kantor mereka.
Presiden harus turun tangan
Pada 21 Oktober 2018, Jatam Kaltim mendapat kabar korban tewas lubang bekas tambang ke-30, Alif Alforaci. Dia jatuh di Kecamatan Tenggarong, Desa Rapak Lambur dalam Konsesi PT Patriot Trias Sejahtera (TPS).
Pada 25 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo kunjungan ke Kaltim. Terjadi aksi di sejumlah titik di Samarinda. Tidak hanya Jatam Kaltim, gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa turun ke jalan mendesak presiden turut menyelesaikan dan bertindak atas jumlah korban anak-anak tewas terus bertambang di lubang bekas tambang.
Gubernur Kaltim Isran Noor kala ditanya wartawan, menyatakan, kematian anak di lubang bekas tambang batubara, sudah nasib. Isran hanya prihatin.
“Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin,” katanya.
Ketika ditanya soal upaya gubernur menuntaskan kasus itu agar peristiwa tak terulang, Isran mengatakan, korban jiwa itu di mana-mana terjadi.
“Ya, namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang. Ya, pasti upaya. Itu kan pertanggungjawaban dunia akhirat,” kata Isran.
Setelah itu, korban terus bertambah. Data Jatam, korban sudah 32 orang, atau ke-11 di Kabupaten Kutai Kartanegara terhitung sejak 2011-2018.
Rupang mengatakan, pemerintah seakan tak pernah belajar dan menganggap penting persoalan ini. Padahal, kejadian serupa belum lama berselang. Korban ke-30, Alif pada 21 Oktober 2018, seminggu setelah itu, Ari Wahyu dan awal November 2018 seorang anak lagi mati di lubang tambang batubara.
“Sudah 32 nyawa melayang di lubang tambang batubara. presiden harus berrtindak,” kata Rupang.
Dia bilang, kehadiran presiden beberapa hari setelah anak meninggal di lubang tambang, beberapa hari kemudian kejadian serupa terjadi.
Jatam, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan, tak cukup mengasistensi pemerintah daerah. “Gubernur, bupati dan walikota di Kaltim belum menganggap kasus anak tewas di lubang tambang sebagai persoalan penting. Upaya pencegahan agar tak terulang lagi selayaknya dilakukan presiden.”
Jatam, katanya, juga mendesak Gubernur Kaltim bertindak keras kepada pebisnis tambang yang membiarkan lubang-lubang tambang batubara mereka menganga. Seharusnya, kata Rupang, izin BBE dicabut, karena lakukan pembiaran dan tak mau membenahi sistem keamanan dan keselamatan sesuai mandat UU Mineral dan Batubara dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Faktanya, tak ada pencabutan, padahal kejadian berulang dan perusahaan tak juga diproses hukum.”
Secara terpisah Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, sejumlah perusahaan tambang batubara di Kaltim harus mempertanggungjawabkan kematian anak di lubang tambang, dan persoalan reklamasi.
Walhi dan Jatam mempertanyakan sikap Kapolda Kaltim, kapan kasus-kasus ini diproses hukum hingga ke pengadilan. Publik katanya, menunggu upaya serius kepolisian Kaltim untuk memastikan penegakan hukum kasus ini.
“Kita duga kuat ada pihak-pihak tertentu yang ingin kasus ini dipetieskan dan tak berlanjut ke pengadilan. Kami mempertanyakan profesionalisme kepolisian Kaltim memastikan penegakan hukum 32 orang tewas di lubang tambang batubara.”
Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum Universitas Mulawarman kepada Mongabay menagih aksi konkrit. Selama ini, presiden yang hanya melempar upaya penyelesaian kasus-kasus hilangnya nyawa manusia di bekas galian lubang tambang kepada gubernur, nampak seperti ingin cuci tangan.
Padahal, katanya, presiden punya kekuasaan untuk ambil alih kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan kontroversial, serta gagal diselesaikan pemerintah daerah.
Menurut Herdiansyah, dalam negara kesatuan, kendali utama di tangan pemerintah pusat, walau kewenangan dibagi ke pemerintah daerah. “Ketika kewenangan itu gagal dijalankan baik, pemerintah pusat dapat memgambil tindakan atas nama kepentingan warga negara.”
“Jadi salah besar jika pilihan presiden tidak mencampuri urusan ini, dengan menyerahkan kembali kepada pemerintah daerah yang notabene salama ini gagal.”
Pernyataan gubernur yang mengunci kasus korban lubang tambang sebatas sebagai takdir semata, sangat menyedihkan.
Pernyataan ini, katanya, bermakna dua hal, pertama, menunjukkan kedangkalan pemahaman gubernur terhadap kasus korban lubang tambang dan dampak lingkungan industri ekstraktif lain. Kedua, menunjukkan, kalau gubernur tidak punya empati kepada para korban. Sesungguhnya, dia punya kewenangan mendorong penyelesaian kasus ini.
Secara administratif, katanya, gubernur punya kuasa menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan dengan wilayah konsesi memakan korban.
“Pada aspek pidana, gubernur bisa mendorong penyelesaian kasus ini dengan berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Jika sanksi tak pernah dijatuhkan, baik administratif maupun pidana, tak akan ada efek jera. Kejadian akan terus berulang,” kata Castro, sapaan akrabnya.
Haris Retno, pengajar Universitas Mulawarman kepada Mongabay mengatakan, korban yang terus berjatuhan menunjukkan ada kegagalan dalam pengelolaan pertambangan di Kaltim. Gubernur baru Kaltim, katanya, harus mengambil momentum ini untuk bertindak cepat agar korban tak bertambah.
Di Kaltim terdapat 1.200-an izin tambang, jika satu izin meninggalkan dua lubang, akan ada 2.400 lubang bekas tambang. “Pemerintah harus bertanggung jawab karena izin diberikan pemerintah. Tambang bukan datang diam-diam tapi dengan izin negara.”
Wahyu Nugroho, dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta mengatakan, harus ada proses hukum pidana kepada perusahaaan atas tewasnya orang di lubang bekas tambang. Dia bilang, sudah kewajiban perusahaan mereklamasi lubang tambang.
Dalam kasus di Kaltim, tak lagi pembekuan, seharusnya sudah pencabutan izin. Menurut dia, kejadian itu sudah melanggar ketentuan hukum administrasi dan hukum pidana bidang pertambangan berdasarkan UU Minerba dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sumber: Mongabay.co.id