KLHK Menangi Gugatan Rp 17 Triliun, Baru Dieksekusi Rp 30 Miliar

Jakarta -Sejak menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mencatat sudah membawa 517 kasus pidana kejahatan lingkungan ke pengadilan. Ada juga 18 kasus gugatan perdata dan 503 sanksi administratif.

Awal bulan ini Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata terhadap tiga perusahaan besar yang terkait kebakaran hutan 2015. Mahkamah mewajibkan ketiganya, PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP), PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan PT Palmina Utama, membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan sebesar Rp 1,3 triliun.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi juga memenangkan KLHK atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014. Majelis hakim menghukum BMH membayar Rp 78,5 miliar dari gugatan Rp7,9 triliun.

Selain itu, KLHK juga menang gugatan atas PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Jika dihitung semua gugatan yang berhasil dimenangkan, KLHK tercatat lebih dari Rp 17 triliun.

“Jadi keseluruhan banyak juga Rp 17 triliunan, yang sudah (eksekusi) baru Rp 30-an miliar. Jadi memang kita sedang terus berusaha karena eksekusi itu kan kewenangannya di pengadilan,” kata Siti saat Blak blakan dengan detikcom yang tayang, Selasa (25/9/2018).

Pengadilan dimaksud antara lain Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami sudah menyurati mereka,” Siti menambahkan.

Menurut Siti, pihaknya mengajukan gugatan ke sejumlah perusahaan pelaku kebakaran hutan dan perusak lingkungan murni untuk penegakkan hukum. Dia mengklaim baru di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah penegakkan hukum itu sangat ditekankan.

“Saya membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LIngkungan Hidup dan Kehutanan. Hal terpenting bagi pemerintah adalah memberikan efek jera,” kata Siti.

Program SETAPAK 2 Usung Tema : ”Transformasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia”

Banyaknya permasalahan kehutanan  dan pengelolaan hutan di Indonesia, seperti  deforestasi yang jumlahnya begitu  besar membuat banyak pihak prihatin dan memberikan banyak perhatian terhadap nasib hutan di Indonesia, tak terkecuali para penggiat kehutanan dari  pihak asing seperti yang digagas oleh The Asia Foudation ( TAF ).

Sejak digagas tahun 2011 dengan dukungan UK Climate Change Unit (UKCCU), program Selamatkan Hutan dan Lahan melalui Perbaikan Tata Kelola (SETAPAK) The Asia Foundation meyakini bahwa tata kelola hutan dan lahan yang baik adalah kunci bagi pembangunan sektor hutan yang berkelanjutan yang bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat desa sekitar hutan serta pelestarian lingkungan.

Atas dasar itulah The Asia Foundation ( TAF ) melalui  program SETAPAK   mengadakan temu mitra Program SETAPAK 2 (Forestival 4), yang setiap tahun diadakan.  Tema yang diusung dalam  acara Temu Mitra Program SETAPAK 2 (Forestival 4) kali ini adalah ”Transformasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia.”

Sebanyak 130 orang perwakilan dari 64 mitra Program SETAPAK 2  dari  14 provinsi tersebut berkumpul di Jakarta untuk menghadiri Forestival 4 dalam upaya mengevaluasi serta mensinergikan program kerja dan berbagai gerakan dan kebijakan yang mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan dengan mengedepankan asas kelestarian, keadilan, dan kesetaraan.

64 mitra yang merupakan organisasi masyarakat sipil dari 14 provinsi dan nasional tersebut berasal dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, Jakarta, dan Bogor.

Melalui program SETAPAK 2  mereka sepakat  semakin mengokohkan perannya untuk:

  1. Mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan sebagai upaya untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan,
  2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor hutan dan lahan,
  3. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman di sektor kehutanan dan penggunaan lahan melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil di daerah-daerah untuk memantau tindakan pemerintah dalam proses penerbitan izin dan perbaikan kebijakan,
  4. Membantu penyusunan strategi kampanye dan upaya advokasi untuk perlindungan sumber daya alam,
  5. Menganalisis data dan informasi untuk mengadvokasi isu penyalahgunaan anggaran, gender, dan keputusan pemerintah terkait kasus sumber daya alam.

“Program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif serta mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, “ ungkap  Sandra Hamid , Country Representative The Asia Foundation (TAF), dalam keterangannya di Jakarta Selasa ( 30/10/2018).

Sebagai hasil prgram tersebut, menurut Lili Hasanuddin selaku Direktur Program SETAPAK 2, mengatakan bahwa capaian dari program SETAPAK bersama para mitranya adalah sebagai berikut:

  • Menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait, anggaran, kebijakan mediasi konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan lain-lain untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan.
  • 16% izin usaha yang melanggar dicabut secara nasional melalui Korsup Minerba KPK.
  • Berkontribusi 13% terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Dimana 222,385 hektar telah diizinkan untuk dikelola warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.

“Dengan capaian tersebut Mitra SETAPAK telah berkontribusi dalam mendorong Transformasi  Sektor Tata Kelola Hutan dan Lahan di 14 Provinsi,” tegas Lili pada kesempatan yang sama

Program Setapak 2 tersebut lanjut Lili,  juga berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup. Langkah lainnya adalah dengan bekerjasama dengan pemerintah dan membuat program-program yang fokus terhadap perempuan.

Meski belum maksimal menurut Lili, capaian tersebut merupakan hasil kerja keras maksimal dari seluruh elemen yang mendukung program tersebut. Kedepan menurut Lili akan terus diupayakan capaian yang lebih optimal lagi.

Sementara itu Peter Rajadiston selaku Deputy Head of United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU), dalam sambutannya mengapresiasi kerja keras 64 mitra program SETAPAK 2 dalam mendorong Tata Kelola Hutan dan Lahan melalui keterbukaan informasi, penegakan hukum, keadilan gender, anggaran dan keuangan berkelanjutan, kebijakan, dan ruang kelola rakyat.

Untuk menjaring berbagai masukan dari para peserta Forestival 4 yang berlangsung di Jakarta, Selasa ( 30/10/2018 ) tersebut peserta diminta untuk menuliskan berbagai ide dan gagasan untuk Tata Kelola Hutan dan Lahan kedepan yang lebih baik lagi. Nantinya seluruh masukan tersebut akan dibahas lebih dalam dan menjadi masukan untuk program kedepannya menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan yang berkelanjutan.

Menurut Sulthon, Direktur Eksekutif  Forest Watch Indonesia ( FWI ), mengungkapkan bahwa Tata Kelola Hutan dan Lahan kedepan harus benar-benar sesuai dengan azas dan amanah yang diemban oleh UUD 45 pasal 33.

“ Pengelolaah hutan harus sepenuhnya diperuntukan bagi kepentingan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh negara, agar terjadi keadilan dan berkelanjutan,” ujar Sulthon di sela-sela acara Forestival 4 tersebut di Jakarta.

sumber: Eksekutif.id

Mendorong Keterlibatan Kelompok Perempuan untuk Pengelolaan SDA yang Adil dan Berkelanjutan

ALIH fungsi lahan yang ditandai maraknya izin-izin kebun sawit, hutan tanaman industri, dan tambang, berdampak besar kepada salah satu kelompok rentan di masyarakat yaitu, perempuan. Dari berbagai hasil kajian, kelompok perempuanlah yang menanggung dampak paling parah dari lemahnya TKHL (Tata Kelola Hutan dan Lahan) di tingkat lokal.

Hal ini akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya alam. Perubahan peran produktif ini mengakibatkan terampasnya wilayah kelol perempuan, hilangnya mata pencaharian, dan penghasilan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi perempuan di dalam rumah tangga.

Padahal, perspektif gender sangat penting dalam isu lingkugan, karena dengan adanya perspektif tersebut, posisi perempuan dan laki-laki berada dalam posisi yang setara, terutama dalam hal kesempatan dan partisipasi.

Perspektif ini juga digadang-gadang memperkaya upaya perbaikan TKHL dengan melibatkan perempuan dalam proses advokasi dan perumusan kebijakan TKHL.

Oleh karena itu, analisis gender dalam TKHL akan membantu mengidentifikasi kesenjagan berbasis gender untuk merancang program yang dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan dalam isu lingkungan.

Kendati demikian ada sejumlah tantangan yang harus dihadapai dalam upaya mengimplementasi Pendekatan Gender Responsif (GRA). Masih minimnya inisiatif sebuah institusi maupun mitra untuk melibatkan kelompok perempuan secara aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka terkait pengelolaab hutan dan lahan yabg adil dan berkelanjutan.

Selama ini, mitra menerjamahkan GRA sebagai women specific programme yang fokus kepada kegiatan ekonomi mikro, dan tidka mendorng perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kampung/desa, termasuk advokasi untuk perlindugan kepada sumber daya alam.

Melihat kesenjangan antara konsep dan implementasi GRA pada fase pertama program SETAPAK (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola), The Asia Foundation mendorong mitra untuk mengintegrasikan GRA ke dalam pelaksanaan program dan kelembagaan mitra, dengan terlebih dahulu melakukan penilaian. Penilaian inilah yang nantinya akan menggunakan metode Gender Analysis Pathway (GAP).

Metode ini berupaya menulusuri bagaimana mitra secara kelembagaan menerapkan GRA, mulai dari visi organisasi, komposisi gender staf, bagaimana mereka menyusun program, sampai mengkaji ulang logical framework.

“Bersama 64 mitra, program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Termasuk mewujudukan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” ujar Sandra Hamid selaku Country Representative The Asia Foundation, dalam acara Forestival 4, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2018).

Sejauh ini, program tersebut telah berkontribusi terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Di mana 222.385 hektar telah diizinkan untuk dikelola oleh warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.

Program ini juga dianggap berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup.

“Sejauh ini, kami telah menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait anggaran, mediasi, konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan masih banyak lagi. Tujuannya untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkalnjutan,” kata Lili Hasanuddi selaku Direktur Program SETAPAK 2.

Sumber: okezone.com

Kementerian ESDM setujui tambahan produksi batubara 21,9 juta ton

 

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tambahan kuota produksi batubara. Dari 100 juta ton kuota yang ditawarkan, hanya ada tambahan sebesar 21,9 juta ton yang disetujui.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyebutkan, ada 32 perusahaan yang telah mendapatkan izin penambahan produksi dari Menteri ESDM yang dinyatakan dalam persetujuan RKAB 2018 perusahaan. Sayang, Agung enggan membuka perusahaan mana saja yang telah diizinkan menambah produksi.

“Terdapat 32 perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi penanaman modal asing (PMA) yang telah mendapatkan izin penambahan produksi dari Menteri ESDM,” kata Agung saat dijumpai di kementerian ESDM, Rabu (26/9).

Melalui Direktorat Mineral dan Batubara, lanjut Agung, Kementerian ESDM telah menyelesaikan evaluasi atas seluruh permohonan peningkatan produksi yang diajukan oleh perusahaan pemegang PKP2B dan IUP operasi produksi PMA. “Sehingga tidak ada lagi permohonan yang sedang diproses” imbuhnya.

Agung juga mengungkapkan, sesuai dengan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1924 K/30/MEM/2018, tambahan produksi yang telah disetujui ini tidak dikenakan kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 25% dari total produksi. Artinya, lanjut Agung, perusahaan dapat menjual seluruh volume tambahan produksi untuk diekspor.

Untuk diketahui, sarat dari penambahan kuota produksi ini adalah kewajiban DMO yang harus terlebih dulu dipenuhi oleh perusahaan yang bersangkutan. Terkait hal ini, sebelumnya pada 20 Agustus 2018 lalu, Agung mengemukakan bahwa ada 40 perusahaan yang mengajukan tambahan.

Dari sejumlah perusahaan itu, 18 perusahaan telah memenuhi kewajiban DMO 25% dan 12 perusahaan telah memenuhi DMO pada kisaran 12,5%-25%. Sementara 10 perusahaan lainnya masih di bawah 12,5% sehingga otomatis tereliminasi. Untuk 32 perusahaan yang telah positif disetujui, Agung memastikan, semuanya telah memenuhi kewajiban DMO.

Dengan adanya tambahan kuota produksi ini, jumlah produksi batubara pada tahun 2018 mengalami perubahan. Dari yang tadinya dipatok sebesar 485 juta ton, kini menjadi 506,9 juta ton.

Sekadar mengingatkan, penambahan kuota yang dibuka hingga 100 juta ton ini berasal dari arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas pada 14 Agustus 2018 lalu. Tujuannya, ialah untuk menambah devisa.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menyebut bisa memakluminya. Langkah ini sekaligus membuktikan bahwa peran sektor batubara dalam menopang perekonomian masih dianggap penting oleh pemerintah.

Namun, Hendra tak menampik adanya kekhawatiran penambahan ini bisa mengakibatkan suplai berlebih, sehingga berpotensi menekan harga batubara. “Kami belum tahu persisnya. Tapi tentu tambahan suplai bisa berpotensi menekan harga yang mana indeks harga jual batubara kita menunjukkan penurunan” jelasnya.

Namun, Agung menekankan, tidak akan ada lagi penambahan produksi kuota batubara. Alasannya adalah pertimbangan rasional, yakni menyangkut dengan kesiapan perusahaan mulai dari kesiapan administrasi, modal, peralatan dan kesiapan teknis produksi lainnya, sehingga perusahaan lebih memilih untuk fous mencapai target RKAB.

“Apalagi mengingat sisa waktu yang ada saat ini, sekarang sudah di penghujung tahun” tandas Agung.

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana

Perhutanan Sosial dan TORA, Memastikan Hak Atas Tanah Bagi Rakyat

Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin, 24 September 2018. Konflik sosial seringkali mengusik kedamaian di berbagai negara di dunia. Meskipun hampir semua negara telah merdeka, namun persoalan perampasan tanah dan sumber daya alam, yang merupakan simbol dari kolonialisme dan kapitalisme, masih terjadi.
Situasi penanganan konflik sosial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perkembangan signifikan. Diantaranya dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah, serta adanya kemajuan politik pemerintah mendorong proses-proses pengakuan hak atas tanah melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik.
Sejak tahun 2014, Pemerintahan Jokowi-JK mempunyai komitmen politik untuk melakukan land reform melalui program Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 9 juta ha.
Berdasarkan data hingga September 2018, dikatakan Bambang Soepriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK pada acara Global Land Forum (GLF) di Bandung (24/09), bahwa telah diberikan akses Perhutanan Sosial seluas 1,917 juta Ha untuk kurang lebih 458.889 KK dengan jumlah Surat Keputusan (SK) sebanyak 4.786 unit SK Ijin/Hak.
“Untuk Hutan Adat, hingga September 2018 telah ditetapkan seluas 25.110,34 Ha dengan jumlah 33 unit SK, dimana sebelum tahun 2015 belum pernah ada” ucap Bambang di hadapan 800 peserta dari berbagai negara.
Sedangkan perkembangan Reforma Agraria menurut Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang, bahwa tahun ini telah diterbitkan 5,4 juta sertifikat dari target 7 juta, dan tahun 2019 ditargetkan 9 juta sertifikat untuk masyarakat. “Pada tahun 2025 diharapkan semua tanah di Indonesia sudah teregistrasi dan bersertifikat”, tegas Sofyan.
Program TORA lebih diperuntukkan bagi desa-desa di dalam kawasan untuk kehidupan masyarakat ada disana. Sedangkan Perhutanan Sosial, kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk mendapatkan hak akses kelola.
Secara garis besar, tanah di Indonesia mempunyai dua yurisdiksi. Untuk kawasan hutan seluas 120 juta (70% dari luas Indonesia) ha berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan 30% di luar kawasan hutan di bawah kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bahwa kedua program tersebut demi penyelesaian konflik agraria secara adil. Program reforma agraria bukan hanya memberikan hak atas lahan, tetapi juga memberi kemudahaan atas pasar dan keterampilan. Begitu juga dengan program perhutanan sosial, termasuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dimana pemerintah menyediakan bantuan permodalan dan pendampingan.
Berharap melalui spirit Bandung yang mewakili kebebasan, kesetaraan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti yang digemakan Konferensi Asia Afrika 1955 melalui Deklarasi Bandung, GLF tahun ini dapat melahirkan agenda kerja dengan semangat yang sama untuk memastikan pengelolaan tanah berbasis masyaakat, sebagai jawaban mengatasi ketimpangan penguasaan tanah, dan kelaparan yang tengah mengancam jutaan masyarakat di berbagai belahan dunia.
× Hubungi Kami Untuk Pemesanan