ALIH fungsi lahan yang ditandai maraknya izin-izin kebun sawit, hutan tanaman industri, dan tambang, berdampak besar kepada salah satu kelompok rentan di masyarakat yaitu, perempuan. Dari berbagai hasil kajian, kelompok perempuanlah yang menanggung dampak paling parah dari lemahnya TKHL (Tata Kelola Hutan dan Lahan) di tingkat lokal.
Hal ini akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya alam. Perubahan peran produktif ini mengakibatkan terampasnya wilayah kelol perempuan, hilangnya mata pencaharian, dan penghasilan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi perempuan di dalam rumah tangga.
Padahal, perspektif gender sangat penting dalam isu lingkugan, karena dengan adanya perspektif tersebut, posisi perempuan dan laki-laki berada dalam posisi yang setara, terutama dalam hal kesempatan dan partisipasi.
Perspektif ini juga digadang-gadang memperkaya upaya perbaikan TKHL dengan melibatkan perempuan dalam proses advokasi dan perumusan kebijakan TKHL.
Oleh karena itu, analisis gender dalam TKHL akan membantu mengidentifikasi kesenjagan berbasis gender untuk merancang program yang dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan dalam isu lingkungan.
Kendati demikian ada sejumlah tantangan yang harus dihadapai dalam upaya mengimplementasi Pendekatan Gender Responsif (GRA). Masih minimnya inisiatif sebuah institusi maupun mitra untuk melibatkan kelompok perempuan secara aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka terkait pengelolaab hutan dan lahan yabg adil dan berkelanjutan.
Selama ini, mitra menerjamahkan GRA sebagai women specific programme yang fokus kepada kegiatan ekonomi mikro, dan tidka mendorng perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kampung/desa, termasuk advokasi untuk perlindugan kepada sumber daya alam.
Melihat kesenjangan antara konsep dan implementasi GRA pada fase pertama program SETAPAK (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola), The Asia Foundation mendorong mitra untuk mengintegrasikan GRA ke dalam pelaksanaan program dan kelembagaan mitra, dengan terlebih dahulu melakukan penilaian. Penilaian inilah yang nantinya akan menggunakan metode Gender Analysis Pathway (GAP).
Metode ini berupaya menulusuri bagaimana mitra secara kelembagaan menerapkan GRA, mulai dari visi organisasi, komposisi gender staf, bagaimana mereka menyusun program, sampai mengkaji ulang logical framework.
“Bersama 64 mitra, program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Termasuk mewujudukan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” ujar Sandra Hamid selaku Country Representative The Asia Foundation, dalam acara Forestival 4, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2018).
Sejauh ini, program tersebut telah berkontribusi terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Di mana 222.385 hektar telah diizinkan untuk dikelola oleh warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.
Program ini juga dianggap berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup.
“Sejauh ini, kami telah menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait anggaran, mediasi, konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan masih banyak lagi. Tujuannya untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkalnjutan,” kata Lili Hasanuddi selaku Direktur Program SETAPAK 2.
Sumber: okezone.com