Asuransi Hijau: Solusi Ekonomi Berkelanjutan untuk Petani dan Masyarakat Hutan

Narasumber: Such Ferdian Prabowo (Konsultan), Cipto Hartono (Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/AAUI), Dr.rer.pol. Deniey Adi Purwanto, S.E., M.S.E. (Akademisi), dan Teddy H. Tambu (Ketua Yayasan Agri Sustineri Indonesia/YASI). Diskusi dipandu oleh Fitria, Direktur PATTIRO.

Jakarta, 6 Agustus 2025 – Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI menghadirkan Diskusi Tematik 1 dengan topik “Pengembangan Climate/Green Insurance di Indonesia”. Diskusi ini menegaskan pentingnya asuransi hijau sebagai instrumen perlindungan bagi petani, nelayan, dan masyarakat pengelola hutan yang rentan terhadap risiko perubahan iklim.

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini yaitu Such Ferdian Prabowo (Konsultan), Cipto Hartono (Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/AAUI), Dr.rer.pol. Deniey Adi Purwanto, S.E., M.S.E. (Akademisi), dan Teddy H. Tambu (Ketua Yayasan Agri Sustineri Indonesia/YASI). Diskusi dipandu oleh Fitria, Direktur PATTIRO.

Asuransi Hijau, Dari Pertanian ke Perhutanan Sosial

Ferdian menyoroti kebutuhan penerapan asuransi hijau di Indonesia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan aktivitas berbasis lahan. Dengan 1,4 juta penerima manfaat perhutanan sosial di lahan seluas 8,3 juta hektar dan lebih dari 11 ribu Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), potensi perlindungan ekonomi melalui asuransi sangat besar.

Ia mencontohkan program pemerintah berupa Asuransi Usaha Tani Padi yang membiayai 80% premi melalui subsidi pemerintah. Selain itu, sektor swasta seperti AXA Climate juga mulai mengembangkan asuransi parametrik berbasis cuaca ekstrem untuk komoditas padi dan jagung. “Ke depan, asuransi perlu menyasar petani perhutanan sosial, kelompok usaha, masyarakat adat, hingga generasi muda desa,” ujarnya.

Kebutuhan Dana dan Tantangan Regulasi

Direktur Eksekutif AAUI, Cipto Hartono, menegaskan bahwa kebutuhan dana darurat di Indonesia bisa mencapai Rp1 triliun, sementara tingkat penetrasi asuransi masih rendah, hanya 0,53%. Produk asuransi yang sudah berjalan antara lain asuransi pertanian padi, asuransi ternak sapi, dan asuransi nelayan. Namun, tantangan utama terletak pada keterbatasan subsidi, literasi rendah, fragmentasi data, dan minimnya reasuransi domestik.

“Selain perlindungan iklim, inovasi produk seperti Energy Savings Insurance (ESI) dan Carbon Credit Insurance (CCI) sudah mulai dikembangkan di dunia. Indonesia perlu mengambil langkah serupa,” jelasnya.

Momentum Green Recovery dan Kebutuhan Regulasi Spesifik

Akademisi IPB, Dr. Deniey Adi Purwanto, menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi momentum percepatan green recovery dan penguatan ekonomi hijau. Ia menegaskan bahwa sektor keuangan, termasuk asuransi, adalah motor penggerak utama ekonomi.

“Asuransi hijau bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak melihat dampak nyata perubahan iklim. Namun, regulasi khusus asuransi hijau masih belum ada. Padahal, kerangka hukum asuransi sudah lengkap dengan UU 40/2024 dan POJK tentang keuangan berkelanjutan,” ungkapnya.

Praktik di Lapangan: YASI dan Petani

Ketua YASI, Teddy H. Tambu, membagikan pengalaman lembaganya yang telah memasarkan asuransi parametrik untuk petani di lima wilayah. Dari 30 ribu petani yang disosialisasi, sekitar 5 ribu telah membeli polis asuransi. “Faktor iklim menjadi pertimbangan utama petani untuk ikut asuransi. Tantangannya adalah menjangkau lebih banyak petani dan menyiapkan pendanaan awal yang besar,” jelasnya.

Kolaborasi Multi Stakeholder Jadi Kunci

Diskusi menegaskan bahwa kolaborasi lintas pihak antara OJK, CSO, donor, perusahaan asuransi, dan pemerintah daerah menjadi syarat mutlak agar green insurance dapat berjalan. Ke depan, pilot project di tingkat daerah dinilai penting sebagai benchmark keberhasilan.

Green Leadership Forum Dorong Perluasan Skema Pendanaan Ekologis

Jakarta, 5 Agustus 2025 – Forum kepemimpinan hijau atau Green Leadership Forum (GLF) kembali menegaskan pentingnya memperkuat skema pendanaan ekologis di Indonesia. Para pemangku kepentingan yang hadir sepakat bahwa krisis iklim semakin nyata dan membutuhkan langkah konkret melalui pembiayaan inovatif serta kebijakan yang berpihak pada lingkungan.

Saat membuka diskusi, para pemantik menegaskan, “Bumi sedang tidak baik-baik saja. Krisis iklim nyata adanya, dan salah satu upaya untuk memitigasi dampaknya adalah mendorong Ecological Fiscal Transfer (EFT).”

Hingga kini, sebanyak 48 daerah telah mengadopsi EFT dengan total dana mencapai Rp525,69 miliar. Namun, jumlah ini dinilai masih sangat terbatas sehingga perlu ada perluasan skema pendanaan ke berbagai daerah lain.

Pendanaan Ekologis Masih Minim

Ramlan, salah satu pemantik diskusi, menyoroti ketidakselarasan antara kebijakan ekologi global dan lokal dengan kepentingan politik nasional. Menurutnya, inisiatif ekologis seringkali terhambat oleh minimnya dukungan pendanaan.

“Target pengurangan emisi sudah ada dalam dokumen kebijakan pusat dan daerah. Namun kapasitas SDM, keterbatasan anggaran, serta gap antara kebutuhan Nationally Determined Contribution (NDC) dengan alokasi APBN/APBD masih menjadi tantangan besar,” ungkapnya.

Sumber pendanaan iklim selama 2015–2021 tercatat hampir seimbang: publik sebesar USD 21 miliar (Rp335 triliun/50,3%), dan swasta USD 20,7 miliar (Rp331 triliun). Namun, jumlah tersebut belum cukup untuk menopang agenda iklim Indonesia.

Suara dari Komunitas

Forum ini juga menghadirkan kisah inspiratif dari komunitas di berbagai daerah:

  • Maros, Sulsel – Ona dari KBA Desa Tukamassea mendorong kelompok perempuan ikut serta dalam musrenbang desa untuk mengusulkan akses jalan, jembatan, serta pengembangan ekowisata Dolly.
  • Siak, Riau – Penghulu Desa Dayun mengembangkan ekowisata di Danau Rawa Gambut sekaligus melahirkan produk unggulan desa berupa olahan makanan dan batik lokal motif semangka.
  • KUBE Kita Merong, Kaltim – Mardiatin menyebut insentif TAKE dimanfaatkan untuk pengembangan kakao melalui pelatihan produk bernama Kayan Koa.
  • Seram Bagian Timur, Maluku – Komunitas menegaskan potensi sagu sebagai pangan ramah lingkungan yang sejalan dengan isu ekologis.
  • Raja Ampat, Papua Barat Daya – Pemerintah daerah menyatakan siap mengadopsi pendanaan ekologis, meski harus menghadapi dilema antara konservasi (90% wilayah dilindungi) dan tekanan pertambangan.
  • Aceh Selatan – Daerah dengan 73% kawasan hutan ini mengaku terkendala alokasi anggaran terbatas untuk konservasi.
  • Donggala, Sulawesi Tengah – Komunitas konservasi penyu berharap skema EFT bisa menyentuh ekosistem pesisir dan mangrove, bukan hanya kawasan hutan.

Forum ini menegaskan bahwa pendanaan ekologis tidak bisa hanya bergantung pada APBN atau APBD. Alternatif skema seperti carbon trading, blue bond, trust fund, hingga hilirisasi komoditas ramah lingkungan harus terus dikembangkan.

Penulis: Sinta Meilia

Tujuh Daerah Raih EFT Award 2025, KMS-PE Apresiasi Inovasi dan Komitmen Kepala Daerah

Direktur Pilar Nusantara (PINUS) Rabin Ibnu Zainal bersama dengan Wamen Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono, Wamen Dalam Negeri Bima Arya dan Kepala Daerah penerima EFT Award 2025.

Jakarta, 5 Agustus 2025 – Inovasi dan komitmen kepala daerah dalam memperkuat pendanaan lingkungan hidup melalui skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) mendapatkan apresiasi dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) melalui EFT Award 2025. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk pengakuan terhadap kinerja ekologis pemerintah daerah, sekaligus mendorong pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan rendah karbon.

Penyerahan EFT Award 2025 dipandu oleh Rabin Ibnu Zainal dari Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS), yang juga menjabat sebagai Koordinator Tim Penilai EFT Award. Menurut Rabin, penilaian dilakukan berdasarkan sejumlah indikator, termasuk regulasi daerah, alokasi anggaran, capaian program, dan partisipasi masyarakat. “Pengukuran kinerja ini bertujuan menilai seberapa efektif pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan dan pembangunan rendah karbon,” ujarnya.

KMS-PE sebagai penyelenggara menegaskan bahwa EFT Award tidak hanya menjadi bentuk apresiasi, tetapi juga memotivasi pemerintah daerah untuk memperkuat tata kelola fiskal yang berpihak pada kelestarian lingkungan. Kebijakan ini mendorong mekanisme insentif berbasis performa ekologis sekaligus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam pembangunan daerah.

Kategori Inovasi Utama diberikan kepada:

  • Kabupaten Bulungan (Kalimantan Utara)
  • Kabupaten Siak (Riau)
  • Kota Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam)

Sementara itu, Penghargaan Khusus diberikan kepada empat pemerintah daerah:

  • Provinsi Kalimantan Utara – atas komitmen tinggi dalam integrasi EFT
  • Kabupaten Jayapura – sebagai pelopor kebijakan EFT di Indonesia
  • Kabupaten Bengkalis – sebagai daerah dengan alokasi EFT terbesar
  • Kabupaten Maros – karena berhasil mengintegrasikan aspek Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) dalam skema EFT

Selain tujuh penerima penghargaan, panitia juga mengundang daerah-daerah yang telah menerapkan EFT maupun yang tengah mempersiapkan adopsinya. Daerah-daerah tersebut meliputi:

  • Region Sumatera: Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat, Kota Dumai, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Merangin
  • Region Kalimantan: Kabupaten Nunukan, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak
  • Pulau Jawa: Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pulang Pisau

Kegiatan ini sekaligus menjadi forum pertukaran pengalaman dan pembelajaran antar-daerah dalam menerapkan kebijakan pendanaan ekologis berbasis performa, guna memperkuat tata kelola fiskal yang berkelanjutan.

Penulis: Sinta Meilia

Deklarasi Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD) Dorong Keadilan Ekologis di Seluruh Indonesia

Anggota Dewan Perwakilan Daerah se-Indonesia yang tergabung dalam Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD).

Jakarta, 5 Agustus 2025 — Sebagai bagian dari Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI 2025 yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) dengan dukungan The Asia Foundation, Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS), dan PATTIRO, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari berbagai provinsi, kabupaten, dan kota resmi mendeklarasikan Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD). Deklarasi ini menandai komitmen kolektif legislator daerah untuk memperkuat perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan di seluruh Indonesia.

Dalam acara ini, 25 anggota DPRD dari provinsi, kabupaten, dan kota secara simbolis diminta untuk maju ke depan sebagai bagian dari momen deklarasi. Prosesi deklarasi dipimpin oleh Ibu Mutmainah Korona, S.E. perwakilan dari DPRD Kota Palu dan Bapak Aminudin Aziz perwakilan dari DPRD Kota Pekalongan, menegaskan semangat kepemimpinan kolektif lintas daerah dan lintas fraksi dalam membangun Kaukus ini.

KPHD lahir sebagai respon terhadap krisis ekologis yang semakin nyata, termasuk deforestasi, degradasi gambut dan pesisir, pencemaran, konflik lahan, dan bencana ekologis yang berdampak luas. Legislator daerah menegaskan bahwa dampak krisis lingkungan paling berat dirasakan oleh kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, nelayan, dan kelompok miskin di daerah penyangga ekologis. Oleh karena itu, prinsip keadilan sosial dan kesetaraan gender dijadikan fondasi utama setiap kebijakan publik yang diusung KPHD.

Dengan semangat lintas fraksi, lintas wilayah, dan lintas isu, KPHD berfungsi sebagai wadah kolaboratif untuk:

  1. Mengawal kebijakan daerah agar responsif terhadap krisis iklim, degradasi ekosistem, dan ketimpangan sosial secara terintegrasi.
  2. Memastikan kebijakan pendanaan ekologis di daerah, termasuk skema Transfer Fiskal Ekologis (EFT) yang adil dan terintegrasi dalam sistem perencanaan serta penganggaran daerah.
  3. Menyuarakan hak-hak rakyat terkait izin lingkungan, perlindungan kawasan pesisir, hutan, dan lahan gambut.
  4. Menolak segala bentuk eksploitasi lingkungan yang mengabaikan hak rakyat serta mendesak penegakan hukum terhadap pelanggaran ekologis.

Deklarasi ini juga menjadi bagian dari upaya nasional memperluas skema pendanaan ekologis dan meningkatkan kapasitas legislator dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Dengan KPHD, DPRD diharapkan mampu menjadi suara kolektif daerah dalam agenda lingkungan nasional, memperkuat tata kelola fiskal ekologis, dan menghadirkan pembangunan yang inklusif bagi seluruh masyarakat.

KPHD hadir sebagai simbol kolaborasi multipihak antara legislator, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil. Inisiatif ini diharapkan membuka ruang politik yang lebih sistematis bagi DPRD untuk menyuarakan kepentingan ekologis lokal, sekaligus menjadi pendorong bagi inovasi kebijakan hijau di tingkat daerah maupun nasional.

Penulis: Sinta Meilia

Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI: Mendorong “EFT and Beyond” untuk Keadilan Ekologis

Jakarta, 5 Agustus 2025 — Di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE), dengan dukungan The Asia Foundation, Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS) dan PATTIRO akan menyelenggarakan Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI – 2025 dengan mengusung semangat “EFT and Beyond”. Forum ini menjadi momentum strategis untuk memperkuat skema pendanaan ekologis yang inovatif, adil, dan berkelanjutan melalui kolaborasi multipihak. Keberhasilan EFT ini menjadi landasan penting, namun dinamika krisis iklim menuntut pendekatan yang lebih luas dan transformatif. 

Dalam forum tersebut, KMS-PE menyoroti keberhasilan implementasi Ecological Fiscal Transfer (EFT) yang sejak 2017 telah diterapkan di 46 pemerintah daerah melalui berbagai skema, termasuk TAPE, TAKE, dan ALAKE. Data menunjukkan bahwa EFT efektif dalam mengintegrasikan indikator lingkungan ke dalam perencanaan dan penganggaran daerah serta memperkuat perlindungan lingkungan. Meski demikian, tekanan akibat krisis iklim menuntut pendekatan yang lebih luas dan transformatif, dengan memperluas EFT ke instrumen tambahan seperti Dana Abadi Daerah (DAD), Dana Alokasi Khusus Lingkungan, perdagangan karbon, CSR hijau, filantropi lingkungan, serta mekanisme blended finance. Kebutuhan untuk memperluas skema EFT menjadi semakin mendesak mengingat kondisi Indonesia yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. 

Indonesia, sebagai negara kepulauan, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir, abrasi pantai, dan kekeringan, yang berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional. Berdasarkan Laporan Climate Central (2021), sekitar 42 juta penduduk tinggal di wilayah yang berada kurang dari 10 meter di atas permukaan laut, sehingga penguatan kebijakan dan pendanaan berbasis lingkungan menjadi sangat krusial. Pemerintah telah berkomitmen mengurangi emisi sebesar 31% secara mandiri dan 43% dengan dukungan internasional melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), yang diperkuat oleh regulasi seperti Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon serta pengembangan instrumen pendanaan hijau, termasuk green sukuk dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Meski demikian, kebutuhan pendanaan iklim diperkirakan mencapai lebih dari Rp 343 triliun per tahun, jauh melampaui kapasitas APBN, sehingga diperlukan terobosan inovatif di tingkat pusat maupun daerah untuk menjamin ketersediaan dana yang cukup.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono, menekankan pentingnya skema insentif seperti Ecological Fiscal Transfer (EFT) untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi nasional. Menurutnya, skema ini dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pendanaan dan ketersediaan dana bagi program lingkungan hidup dan perlindungan ekosistem. Dengan memberikan insentif fiskal kepada pemerintah daerah yang menunjukkan kinerja baik dalam pelestarian lingkungan, EFT menjadi salah satu strategi kunci dalam mencapai target pengurangan emisi tersebut.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono memberi keynote speech dalam rangkaian acara Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis 2025.

Di sisi lain, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mendorong pemerintah daerah agar lebih berkomitmen dalam menangani urusan lingkungan hidup, khususnya terkait penyediaan pendanaan. Ia menekankan bahwa data dan fakta perubahan iklim seharusnya menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk bertindak lebih proaktif dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan.

Sejalan dengan dorongan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, agar pemerintah daerah lebih proaktif dalam pengelolaan dan pendanaan lingkungan, Direktur PINUS, Rabin Ibnu Zainal, SE, MSc, PhD, menekankan bahwa pendanaan ekologis bukan sekadar soal aliran dana, tetapi memastikan setiap rupiah memberikan dampak nyata bagi perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.”

Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya memberi paparan materi dalam rangkaian acara Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis 2025.

Konferensi ini juga menjadi panggung peluncuran platform EFTIndonesia.org sebagai knowledge hub nasional, deklarasi Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD), penyusunan Roadmap Advokasi KMS-PE, serta pemberian EFT Award 2025 bagi daerah yang berinovasi dalam tata kelola fiskal lingkungan. 

Penulis: Sinta Meilia

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan