Memperkuat Skema Ekonomi Karbon: Dari Riau hingga Jambi, Masyarakat Lokal Jadi Penopang Utama

Jakarta, 6 Agustus 2025 – Diskusi tematik ke-2 dalam Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI mengangkat tema “Memperkuat Skema Ekonomi Karbon”. Sejumlah pemangku kepentingan dari pemerintah daerah, BUMD, komunitas lokal, hingga akademisi menegaskan bahwa perdagangan karbon bukan hanya peluang ekonomi baru, tetapi juga instrumen penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Riau: Potensi Besar, Ancaman Karhutla

Gubernur Riau, Abdul Wahid, menekankan bahwa provinsinya memiliki peran strategis dalam peta karbon nasional. Dengan 4,9 juta hektar lahan gambut—terluas di Indonesia—dan hutan mangrove seluas 231 ribu hektar, Riau menjadi daerah kunci dalam mitigasi perubahan iklim.

Namun, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok. Pemerintah Riau menetapkan status siaga api setiap 1 April dan membentuk tim Manggala Agni bersama kementerian terkait. “Alih fungsi lahan, termasuk maraknya perkebunan sawit ilegal, telah menjadi tantangan besar. Karena itu, regulasi daerah seperti Pergub Riau Hijau, SRAP REDD+ 2022–2051, RPPEG, dan Renja FoLU disiapkan untuk mengintegrasikan ekonomi karbon dalam strategi pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.

Aceh: BUMD Jadi Motor Pengelolaan Aset Karbon

Dari Aceh, Faisal selaku Direktur Komersil PT PEMA Perseroda, mengungkapkan tiga proyek strategis yang tengah difokuskan: perdagangan karbon, pengembangan Carbon Capture Utility Storage (CCUS), dan pemanfaatan energi panas bumi bersama Pertamina Geothermal Energy (PGE).

“Asset seluas 2,2 juta hektare berada dalam kewenangan Pemerintah Aceh. Tantangan kami adalah bagaimana mendigitalkan aset tersebut menggunakan teknologi geospasial agar bisa menjadi data real-time yang bernilai dalam skema perdagangan karbon,” ujar Faisal.

Saat ini terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang tersebar di Indonesia, termasuk di Riau melalui kerja sama Pertamina dan Mitsui yang ditargetkan beroperasi pada 2028.

Jambi: Dana Karbon untuk Desa

Dari Jambi, Al-Jufri mewakili Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) menceritakan pengalaman sejak 2008 ketika lima desa mengusulkan Hutan Desa dengan luas 7.400 hektar. Melalui pendampingan KKI Warsi, komunitas kemudian mulai menerima dana karbon. Pada 2022, lima desa menerima Rp1 miliar yang digunakan untuk beasiswa, santunan anak yatim, dan pembangunan desa.

“Meski masyarakat belum sepenuhnya paham dana karbon, manfaat nyata sudah dirasakan. Namun, sejak 2023 pendanaan terhambat karena adanya mekanisme lembaga satu pintu. Kami kini berupaya masuk ke mekanisme perdagangan karbon agar insentif bagi masyarakat tetap berkelanjutan,” jelasnya.

Donggala: Dari Konservasi Penyu ke Mangrove dan Terumbu Karang

Saiful Bahri dari LPHD Desa Mapane Tambu, Donggala, berbagi praktik konservasi berbasis komunitas. Sejak 2017, mereka memulai dengan konservasi penyu menggunakan dana desa. Pada 2024, desa ini meraih insentif Transfer Anggaran Berbasis Ekologi (TAKE) dan menjadi lima terbaik nasional. “Kini kami mengembangkan konservasi mangrove dan transplantasi terumbu karang, bahkan sudah mulai dilirik oleh kementerian,” katanya.

Peran CSO dan Mekanisme Pasar Karbon

Ade Chandra dari KKI Warsi menegaskan bahwa hutan sosial membutuhkan pendampingan intensif agar benar-benar bermanfaat. Salah satu contoh sukses adalah Bujang Raba, Jambi, yang telah memperoleh standar internasional Plan Vivo. “Pertanyaannya adalah bagaimana memastikan insentif tetap mengalir kepada masyarakat agar pengelolaan hutan berkelanjutan bisa terjamin,” ujarnya.

Sementara itu, Dicky Edwin Hindarto, praktisi pembiayaan karbon, menjelaskan bahwa pasar karbon terbagi atas mekanisme pasar (carbon market) dan non-pasar (result-based payment dan pajak karbon). “Mayoritas proyek karbon di Indonesia masih berasal dari sektor energi, bukan kehutanan. Jangan hanya mengandalkan investor karbon, kita perlu menghimpun sumber pendanaan lain termasuk blue carbon dari mangrove,” jelasnya.

Pemerintah Pusat: Target NDC dan Regulasi Perdagangan Karbon

Dari sisi kebijakan nasional, Ary Sudijanto dari KLHK menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi 31,89% dengan upaya sendiri, dan hingga 43,20% dengan bantuan internasional sesuai Paris Agreement.

“Dua sektor penyumbang emisi terbesar adalah energi dan kehutanan (FoLU) dengan kontribusi lebih dari 98%. Karena itu, perdagangan karbon menjadi instrumen penting, baik melalui perdagangan emisi (pembangkit) maupun offset. Namun, perlu dipahami bahwa harga karbon tidak untuk keuntungan besar, melainkan sebagai penopang proyek lingkungan yang kurang profit,” tegasnya.

Kesimpulan: Karbon Sebagai Instrumen, Bukan Tujuan

Diskusi ini menyimpulkan bahwa perdagangan karbon membuka peluang pendanaan lingkungan yang signifikan, tetapi bukan tujuan akhir. Manfaat nyata justru terlihat dari bagaimana pendanaan karbon mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memperkuat kelembagaan lokal, dan mendorong kolaborasi multistakeholder.

Penulis: Sinta Meilia

Asuransi Hijau: Solusi Ekonomi Berkelanjutan untuk Petani dan Masyarakat Hutan

Narasumber: Such Ferdian Prabowo (Konsultan), Cipto Hartono (Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/AAUI), Dr.rer.pol. Deniey Adi Purwanto, S.E., M.S.E. (Akademisi), dan Teddy H. Tambu (Ketua Yayasan Agri Sustineri Indonesia/YASI). Diskusi dipandu oleh Fitria, Direktur PATTIRO.

Jakarta, 6 Agustus 2025 – Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI menghadirkan Diskusi Tematik 1 dengan topik “Pengembangan Climate/Green Insurance di Indonesia”. Diskusi ini menegaskan pentingnya asuransi hijau sebagai instrumen perlindungan bagi petani, nelayan, dan masyarakat pengelola hutan yang rentan terhadap risiko perubahan iklim.

Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini yaitu Such Ferdian Prabowo (Konsultan), Cipto Hartono (Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia/AAUI), Dr.rer.pol. Deniey Adi Purwanto, S.E., M.S.E. (Akademisi), dan Teddy H. Tambu (Ketua Yayasan Agri Sustineri Indonesia/YASI). Diskusi dipandu oleh Fitria, Direktur PATTIRO.

Asuransi Hijau, Dari Pertanian ke Perhutanan Sosial

Ferdian menyoroti kebutuhan penerapan asuransi hijau di Indonesia, terutama bagi masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dan aktivitas berbasis lahan. Dengan 1,4 juta penerima manfaat perhutanan sosial di lahan seluas 8,3 juta hektar dan lebih dari 11 ribu Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), potensi perlindungan ekonomi melalui asuransi sangat besar.

Ia mencontohkan program pemerintah berupa Asuransi Usaha Tani Padi yang membiayai 80% premi melalui subsidi pemerintah. Selain itu, sektor swasta seperti AXA Climate juga mulai mengembangkan asuransi parametrik berbasis cuaca ekstrem untuk komoditas padi dan jagung. “Ke depan, asuransi perlu menyasar petani perhutanan sosial, kelompok usaha, masyarakat adat, hingga generasi muda desa,” ujarnya.

Kebutuhan Dana dan Tantangan Regulasi

Direktur Eksekutif AAUI, Cipto Hartono, menegaskan bahwa kebutuhan dana darurat di Indonesia bisa mencapai Rp1 triliun, sementara tingkat penetrasi asuransi masih rendah, hanya 0,53%. Produk asuransi yang sudah berjalan antara lain asuransi pertanian padi, asuransi ternak sapi, dan asuransi nelayan. Namun, tantangan utama terletak pada keterbatasan subsidi, literasi rendah, fragmentasi data, dan minimnya reasuransi domestik.

“Selain perlindungan iklim, inovasi produk seperti Energy Savings Insurance (ESI) dan Carbon Credit Insurance (CCI) sudah mulai dikembangkan di dunia. Indonesia perlu mengambil langkah serupa,” jelasnya.

Momentum Green Recovery dan Kebutuhan Regulasi Spesifik

Akademisi IPB, Dr. Deniey Adi Purwanto, menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 telah menjadi momentum percepatan green recovery dan penguatan ekonomi hijau. Ia menegaskan bahwa sektor keuangan, termasuk asuransi, adalah motor penggerak utama ekonomi.

“Asuransi hijau bukan pilihan, melainkan kebutuhan mendesak melihat dampak nyata perubahan iklim. Namun, regulasi khusus asuransi hijau masih belum ada. Padahal, kerangka hukum asuransi sudah lengkap dengan UU 40/2024 dan POJK tentang keuangan berkelanjutan,” ungkapnya.

Praktik di Lapangan: YASI dan Petani

Ketua YASI, Teddy H. Tambu, membagikan pengalaman lembaganya yang telah memasarkan asuransi parametrik untuk petani di lima wilayah. Dari 30 ribu petani yang disosialisasi, sekitar 5 ribu telah membeli polis asuransi. “Faktor iklim menjadi pertimbangan utama petani untuk ikut asuransi. Tantangannya adalah menjangkau lebih banyak petani dan menyiapkan pendanaan awal yang besar,” jelasnya.

Kolaborasi Multi Stakeholder Jadi Kunci

Diskusi menegaskan bahwa kolaborasi lintas pihak antara OJK, CSO, donor, perusahaan asuransi, dan pemerintah daerah menjadi syarat mutlak agar green insurance dapat berjalan. Ke depan, pilot project di tingkat daerah dinilai penting sebagai benchmark keberhasilan.

Green Leadership Forum Dorong Perluasan Skema Pendanaan Ekologis

Jakarta, 5 Agustus 2025 – Forum kepemimpinan hijau atau Green Leadership Forum (GLF) kembali menegaskan pentingnya memperkuat skema pendanaan ekologis di Indonesia. Para pemangku kepentingan yang hadir sepakat bahwa krisis iklim semakin nyata dan membutuhkan langkah konkret melalui pembiayaan inovatif serta kebijakan yang berpihak pada lingkungan.

Saat membuka diskusi, para pemantik menegaskan, “Bumi sedang tidak baik-baik saja. Krisis iklim nyata adanya, dan salah satu upaya untuk memitigasi dampaknya adalah mendorong Ecological Fiscal Transfer (EFT).”

Hingga kini, sebanyak 48 daerah telah mengadopsi EFT dengan total dana mencapai Rp525,69 miliar. Namun, jumlah ini dinilai masih sangat terbatas sehingga perlu ada perluasan skema pendanaan ke berbagai daerah lain.

Pendanaan Ekologis Masih Minim

Ramlan, salah satu pemantik diskusi, menyoroti ketidakselarasan antara kebijakan ekologi global dan lokal dengan kepentingan politik nasional. Menurutnya, inisiatif ekologis seringkali terhambat oleh minimnya dukungan pendanaan.

“Target pengurangan emisi sudah ada dalam dokumen kebijakan pusat dan daerah. Namun kapasitas SDM, keterbatasan anggaran, serta gap antara kebutuhan Nationally Determined Contribution (NDC) dengan alokasi APBN/APBD masih menjadi tantangan besar,” ungkapnya.

Sumber pendanaan iklim selama 2015–2021 tercatat hampir seimbang: publik sebesar USD 21 miliar (Rp335 triliun/50,3%), dan swasta USD 20,7 miliar (Rp331 triliun). Namun, jumlah tersebut belum cukup untuk menopang agenda iklim Indonesia.

Suara dari Komunitas

Forum ini juga menghadirkan kisah inspiratif dari komunitas di berbagai daerah:

  • Maros, Sulsel – Ona dari KBA Desa Tukamassea mendorong kelompok perempuan ikut serta dalam musrenbang desa untuk mengusulkan akses jalan, jembatan, serta pengembangan ekowisata Dolly.
  • Siak, Riau – Penghulu Desa Dayun mengembangkan ekowisata di Danau Rawa Gambut sekaligus melahirkan produk unggulan desa berupa olahan makanan dan batik lokal motif semangka.
  • KUBE Kita Merong, Kaltim – Mardiatin menyebut insentif TAKE dimanfaatkan untuk pengembangan kakao melalui pelatihan produk bernama Kayan Koa.
  • Seram Bagian Timur, Maluku – Komunitas menegaskan potensi sagu sebagai pangan ramah lingkungan yang sejalan dengan isu ekologis.
  • Raja Ampat, Papua Barat Daya – Pemerintah daerah menyatakan siap mengadopsi pendanaan ekologis, meski harus menghadapi dilema antara konservasi (90% wilayah dilindungi) dan tekanan pertambangan.
  • Aceh Selatan – Daerah dengan 73% kawasan hutan ini mengaku terkendala alokasi anggaran terbatas untuk konservasi.
  • Donggala, Sulawesi Tengah – Komunitas konservasi penyu berharap skema EFT bisa menyentuh ekosistem pesisir dan mangrove, bukan hanya kawasan hutan.

Forum ini menegaskan bahwa pendanaan ekologis tidak bisa hanya bergantung pada APBN atau APBD. Alternatif skema seperti carbon trading, blue bond, trust fund, hingga hilirisasi komoditas ramah lingkungan harus terus dikembangkan.

Penulis: Sinta Meilia

Tujuh Daerah Raih EFT Award 2025, KMS-PE Apresiasi Inovasi dan Komitmen Kepala Daerah

Direktur Pilar Nusantara (PINUS) Rabin Ibnu Zainal bersama dengan Wamen Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono, Wamen Dalam Negeri Bima Arya dan Kepala Daerah penerima EFT Award 2025.

Jakarta, 5 Agustus 2025 – Inovasi dan komitmen kepala daerah dalam memperkuat pendanaan lingkungan hidup melalui skema Ecological Fiscal Transfer (EFT) mendapatkan apresiasi dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) melalui EFT Award 2025. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk pengakuan terhadap kinerja ekologis pemerintah daerah, sekaligus mendorong pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan rendah karbon.

Penyerahan EFT Award 2025 dipandu oleh Rabin Ibnu Zainal dari Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS), yang juga menjabat sebagai Koordinator Tim Penilai EFT Award. Menurut Rabin, penilaian dilakukan berdasarkan sejumlah indikator, termasuk regulasi daerah, alokasi anggaran, capaian program, dan partisipasi masyarakat. “Pengukuran kinerja ini bertujuan menilai seberapa efektif pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan dan pembangunan rendah karbon,” ujarnya.

KMS-PE sebagai penyelenggara menegaskan bahwa EFT Award tidak hanya menjadi bentuk apresiasi, tetapi juga memotivasi pemerintah daerah untuk memperkuat tata kelola fiskal yang berpihak pada kelestarian lingkungan. Kebijakan ini mendorong mekanisme insentif berbasis performa ekologis sekaligus mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam pembangunan daerah.

Kategori Inovasi Utama diberikan kepada:

  • Kabupaten Bulungan (Kalimantan Utara)
  • Kabupaten Siak (Riau)
  • Kota Sabang (Nanggroe Aceh Darussalam)

Sementara itu, Penghargaan Khusus diberikan kepada empat pemerintah daerah:

  • Provinsi Kalimantan Utara – atas komitmen tinggi dalam integrasi EFT
  • Kabupaten Jayapura – sebagai pelopor kebijakan EFT di Indonesia
  • Kabupaten Bengkalis – sebagai daerah dengan alokasi EFT terbesar
  • Kabupaten Maros – karena berhasil mengintegrasikan aspek Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) dalam skema EFT

Selain tujuh penerima penghargaan, panitia juga mengundang daerah-daerah yang telah menerapkan EFT maupun yang tengah mempersiapkan adopsinya. Daerah-daerah tersebut meliputi:

  • Region Sumatera: Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat, Kota Dumai, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Merangin
  • Region Kalimantan: Kabupaten Nunukan, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak
  • Pulau Jawa: Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Pulang Pisau

Kegiatan ini sekaligus menjadi forum pertukaran pengalaman dan pembelajaran antar-daerah dalam menerapkan kebijakan pendanaan ekologis berbasis performa, guna memperkuat tata kelola fiskal yang berkelanjutan.

Penulis: Sinta Meilia

Deklarasi Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD) Dorong Keadilan Ekologis di Seluruh Indonesia

Anggota Dewan Perwakilan Daerah se-Indonesia yang tergabung dalam Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD).

Jakarta, 5 Agustus 2025 — Sebagai bagian dari Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI 2025 yang digelar oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendanaan Ekologis (KMS-PE) dengan dukungan The Asia Foundation, Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS), dan PATTIRO, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dari berbagai provinsi, kabupaten, dan kota resmi mendeklarasikan Kaukus Parlemen Hijau Daerah (KPHD). Deklarasi ini menandai komitmen kolektif legislator daerah untuk memperkuat perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan pembangunan berkelanjutan di seluruh Indonesia.

Dalam acara ini, 25 anggota DPRD dari provinsi, kabupaten, dan kota secara simbolis diminta untuk maju ke depan sebagai bagian dari momen deklarasi. Prosesi deklarasi dipimpin oleh Ibu Mutmainah Korona, S.E. perwakilan dari DPRD Kota Palu dan Bapak Aminudin Aziz perwakilan dari DPRD Kota Pekalongan, menegaskan semangat kepemimpinan kolektif lintas daerah dan lintas fraksi dalam membangun Kaukus ini.

KPHD lahir sebagai respon terhadap krisis ekologis yang semakin nyata, termasuk deforestasi, degradasi gambut dan pesisir, pencemaran, konflik lahan, dan bencana ekologis yang berdampak luas. Legislator daerah menegaskan bahwa dampak krisis lingkungan paling berat dirasakan oleh kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, nelayan, dan kelompok miskin di daerah penyangga ekologis. Oleh karena itu, prinsip keadilan sosial dan kesetaraan gender dijadikan fondasi utama setiap kebijakan publik yang diusung KPHD.

Dengan semangat lintas fraksi, lintas wilayah, dan lintas isu, KPHD berfungsi sebagai wadah kolaboratif untuk:

  1. Mengawal kebijakan daerah agar responsif terhadap krisis iklim, degradasi ekosistem, dan ketimpangan sosial secara terintegrasi.
  2. Memastikan kebijakan pendanaan ekologis di daerah, termasuk skema Transfer Fiskal Ekologis (EFT) yang adil dan terintegrasi dalam sistem perencanaan serta penganggaran daerah.
  3. Menyuarakan hak-hak rakyat terkait izin lingkungan, perlindungan kawasan pesisir, hutan, dan lahan gambut.
  4. Menolak segala bentuk eksploitasi lingkungan yang mengabaikan hak rakyat serta mendesak penegakan hukum terhadap pelanggaran ekologis.

Deklarasi ini juga menjadi bagian dari upaya nasional memperluas skema pendanaan ekologis dan meningkatkan kapasitas legislator dalam pengelolaan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan. Dengan KPHD, DPRD diharapkan mampu menjadi suara kolektif daerah dalam agenda lingkungan nasional, memperkuat tata kelola fiskal ekologis, dan menghadirkan pembangunan yang inklusif bagi seluruh masyarakat.

KPHD hadir sebagai simbol kolaborasi multipihak antara legislator, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil. Inisiatif ini diharapkan membuka ruang politik yang lebih sistematis bagi DPRD untuk menyuarakan kepentingan ekologis lokal, sekaligus menjadi pendorong bagi inovasi kebijakan hijau di tingkat daerah maupun nasional.

Penulis: Sinta Meilia

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan