Perhutanan Sosial merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Sehingga Perhutanan sosial menjadi salah satu pendekatan penting dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang perhutanan sosial, dijelaskan bahwa target dalam sistem pengelolaan hutan di Perhutanan Sosial adalah partisipasi masyarakat sekitar hutan dan masyarakat adat. Tidak hanya itu, dalam program Perhutanan Sosial tersebut juga mengedepankan aspek kesetaraan gender. Akan tetapi, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan dalam pelibatan masyarakat, khususnya perempuan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan hutan. Disamping itu, persoalan yang sering terjadi adalah terkait tradisi, pola pikir dan kebijakan yang kurang responsif gender (Ekowati & Syamsudin, 2022).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) pada tahun 2013 menunjukkan partisipasi perempuan dalam berbagai kegiatan kehutanan, terutama di kehutanan skala besar, masih sangat minim. Penelitian yang dilakukan oleh (Lispiani et al., 2022) menyatakan kurangnya keterlibatan perempuan dalam pengelolaan Perhutanan Sosial baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pengelolaan hutan, padahal jika dilihat dari potensi, maka perempuan dan laki-laki mempunyai kapasitas yang sepadan untuk mewujudkan hutan berkelanjutan. Serta dari penelitian (Desmiwati, 2016) menunjukkan walaupun sudah terdapat regulasi dari pemerintah serta terdapat panduan untuk merumuskan evaluasi program responsif gender, data terpilah, struktur kelompok kerja, dan pelatihan namun belum terwujudnya pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial.
Pengarusutamaan gender dalam Perhutanan Sosial sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial pasal 107, yang menekankan perlunya memperhatikan aspek pengarusutamaan gender (PUG) dalam perencanaan Perhutanan Sosial. PUG merupakan strategi pembangunan yang bertujuan untuk mengikis kesenjangan antara perempuan dan laki-laki baik itu dari segi akses, partisipasi, kontrol serta manfaat pembangunan (Muchtar et al., 2023). Sebagai respons terhadap kondisi tersebut, PINUS Indonesia, kantor perwakilan Sumatera Selatan, menginisiasi Women Forest Defender Program. Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pengelolaan hutan sosial di Semende melalui berbagai pendekatan, seperti pemberdayaan ekonomi, advokasi kebijakan, dan peningkatan kapasitas perempuan dalam usaha Perhutanan Sosial. Dengan adanya program ini, diharapkan dapat meningkatkan akses perempuan terhadap lahan melalui Perhutanan Sosial serta mendukung kewirausahaan sosial berbasis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).Program ini mendapat dukungan dari The Asia Foundation melalui program SETAPAK 4, yang berfokus pada tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan serta inklusif. Dukungan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat kapasitas perempuan sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Sebagai langkah konkret, pada tanggal 26 Februari 2025, PINUS Sumatera Selatan secara resmi menandatangani Letter of Grant dengan The Asia Foundation. Penandatanganan MoU ini menandai komitmen bersama dalam mendukung peningkatan peran perempuan dalam pengelolaan hutan sosial melalui pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan adanya kerja sama ini, diharapkan terjadi peningkatan kesadaran serta partisipasi perempuan dalam mengelola dan menjaga hutan secara lebih efektif.