Jadi Eksportir Terbesar, RI Sumbang 2% Cadangan Batu Bara Dunia

Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan cadangan batu bara yang ada di Indonesia hanya 2% dari total cadangan yang ada di dunia. Padahal komoditas tersebut dibutuhkan untuk bahan bakar proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW).

Dengan fakta tersebut, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan, Indonesia bukan negara yang kaya cadangan batu bara.

“Indonesia bukan negara dengan batu bara yang melimpah. Walaupun saat ini merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia, cadangan hanya 2% dari total cadangan di seluruh dunia,” kata dia dalam acara Mining & Engineering Indonesia 2018 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (12/9/2018).

 

Dia memastikan dengan kapasitas yang ada saat ini, cadangan batu bara dapat habis dalam waktu tak lama lagi. Oleh karenanya harus dilakukan konservasi energi.

Terlebih saat ini Indonesia masih butuh ketersediaan batu bara untuk proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Selanjutnya, untuk smelter juga masih membutuhkan batu bara sebagai energi.

“Konservasi harus jadi pokok utama dalam kebijakan pengelolaan batu bara di Indonesia, mengingat proyek listrik 3,5 gigawatt (GW) yang mayoritas gunakan batu bara, dan kebijakan pembangunan smelter di Indonesia yang butuh batu bara sebagai sumber energi pabrik pengolahan dan pemurnian mineral tersebut,” jelasnya.

Pada acara yang sama, Ketua Indonesian Mining Association (IMA) Ido Hutabarat menyampaikan, penggunaan batu bara di Indonesia bakal meningkat 2 kali lipat dalam 10 tahun ke depan.

“Saat ini kebutuhan 100 juta ton, akan meningkat 200-250 juta ton per tahun dalam 10 tahun ke depan,” tambahnya.

Copyright: Okezone.com

Pemerintah Curhat ke DPR Soal Makin Maraknya Tambang Ilegal

Jakarta, TAMBANG – Pemerintah punya catatan terkait sederet penyebaran Pertambangan Tanpa Izin (Peti). Penyebarannya hampir ada di seluruh provinsi di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua.

 

“Pertambangan tanpa izin ini ada yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok yang tidak memiliki izin. Bisa terjadi di wilayah yang sudah ada izinnya, atau yang tidak memiliki izin,” Kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono saat rapat dengan DPR RI, Senin (10/9).

 

Secara khusus, Bambang Gatot memberi perincian penyebaran penambangan tanpa izin  komoditas mineral, yang digolongkan jadi dua bagian. Pertama, Peti yang beroperasi di luar wilayah Kontrak Karya. Terdiri dari komoditas emas, yang tersebar di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Maluku Utara, Maluku, dan Papua.

 

Lalu Peti untuk komoditas timah terdapat di wilayah Bangka Belitung. Untuk komoditas batuan, ditemukan ada di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Banten, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Bangka Belitung, dan Ambon.

 

Kedua, Peti yang terdapat pada lahan Kontrak Karya. Penyebarannya berada di lokasi milik PT Agincourt Resources, PT J Resources Bolaang Mongondow, PT Ensbury Kalteng Mining, PT Pelsart Tambang Kencana, PT Indo Muro Kencana, PT Nusa Halmahera Mineral, PT Citra Palu Mineral, PT Gorontalo Sejahtera Mining, PT Timah, dan PT Antam.

 

Setelah dilakukan pendataan ini, Bambang Gatot ingin ada tindak lanjut. Ia meminta agar dilakukan upaya untuk menghentikan operasi Peti. Tapi apabila pelaku penambangan tanpa izin ini tetap ingin beroperasi, maka mereka harus taat hukum dengan mengurus perizinan.

 

“Kita berharap bisa menghentikan kegiatan Peti. Atau beralih ke izin yang baik dan benar,” pungkas Bambang.

copyright: tambang.co.id

Ada 8.638 Titik Tambang Diduga Tak Berizin

JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan terdapat sekitar 8.638 titik aktivitas pertambangan yang terindikasi tanpa izin. Tambang tak berizin itu tersebar di tanah seluas 500 ribu hektare (ha).

Hal tersebut diungkapkan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK Karliansyah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI. Dalam agenda rapat tersebut dibahas mengenai pertambangan tanpa izin bersama dengan Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) dan KLHK.

 

Karliansyah menyebutkan, dari 8.638 titik aktivitas pertambangan yang terindikasi tanpa izin tersebut telah dilakukan verivikasi pada 352 lokasi yang tersebar di Indonesia. Di mana 84% lokasi masih aktif atau dalam formalisasi/penertiban dan 16% lokasi tidak aktif atau dalam pemulihan.

“Dari hasil verifikasi terdapat PETI (Pertambangan Tanpa Izin) jenis pasir dan batu 37% dan emas 25%. Untuk emas, hampir di seluruh provinsi, kecuali DKI Jakarta,” katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Sementara sisanya terdiri dari tambang jenis kuarsa 8%, timah sebesar 8%, batu bara 5%, serta gamping 3%.

Menurutnya, dampak dari penambangan tak berizin tersebut menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hingga kecelakaan tambang. Berdasarkan perhitungan KLHK kerugian juga penerimaan negara berpotensi kehilangan sebesar Rp 315 miliar per tahun dan Rp38 triliun per tahun untuk emas.

Secara status lahan, lanjutnya, sebanyak 52% merupakan tanah milik warga. Kemudian tanah negara mencapai 31%, hutan konservasi 2%, hutan lindung 9%, serta hutan produksi 6%.

“Pemulihan kerusakan pada tanah milik membutuhkan kebijakan khusus terkait alokasi penggunaan anggaran negara maupun melalui CSR,” jelasnya.

copyright: Okezonefinance

Lokakarya Hutan Adat Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Sumatera Selatan

Pagaralam – Target di tahun 2018, Kelompok Kerja Program Percepatan Hutan Sosial Provinsi Sumsel Menggelar  kegiatan Coaching Clinic Verifikasi Teknis dan Fasilitasi Usulan Izin Perhutanan Sosial  dalam rangka Identifikasi Potensi Calon Lokasi Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan yang dilaksanakan pada tanggal 4-5 September  2018 di Gunung Gare Resort Villa & Hotel Pagaralam.

Acara yang diselenggarakan selama 2 (dua) hari ini dihadiri peserta dari Pokja PPS di Provinsi Sumatera Selatan; Tenaga Ahli Utama Kantor Staff Presiden, Direktur PKTHA KLHK, Kepala Balai PSKL Sumatera, Kepala UPT BP2K Palembang, IGIA Jambi. UPTD KLHK yang terkait; KPH di wilayah kerja Provinsi; dan penyuluh kehutanan, Dengan fasilitator dari Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS) yang berasal dari Pokja PPS Nasional, dibantu oleh personil Kepala Seksi/Staf BPSKL Wilayah Sumatera. Sementara dari Provinsi yaitu Kepala Dinas Kehutanan dan Kabupten Bupati Musi Rawas, Bupati Muara Enim, Walikota Pagaralam,dinas yang terkait serta unsur masyarakat adat bulian dan adat rimba.

Salah satu tujuan di selenggarakannya acara ini adalah untuk Identifikasi Potensi Lokasi Hutan Adat di Sumatera selatan, salah satu yang dijadikan rencana POKJA Sumatera selatan adalah Hutan Adat Tebat Benawa yang berlokasi di kabupaten Pagaralam seluas 366 ha adalah hutan yang dibuat dan dijaga oleh masyarakat adat desa Tebat Benawa secara turun temurun.  Status tanah berada di area penggunaan lain (APL), yang dapat saja ditimpa izin dan menggerus hak kelola masyarakat adat, Pengurus Pokja Percepatan Perhutanan Sosial (PPS) Sumsel, bergerak cepat untuk memastikan hak Masyarakat Adat Tempa Benawa terjamin. Pokja PPS Sumsel berkomitmen untuk segera melegalkan izin hutan Adat untuk masyarakat Tempa Benawa. Pinus sebagai bagian aktif Pokja PPS Sumsel akan membantu proses ini dan juga memastikan masyarakat hukum Adat lainnya Di sumsel, yang teridentifikasi saat  ini sejumlah 141 marga, juga memperoleh hak yang Sama.

untuk melihat Profilnya silahkan klik Format Pdf dibawah ini

 

Pinus Sulawesi Selatan Memfasilitasi Perhutanan Sosial Skema Hutan Kemasyarakatan di KTH Bara Desa Bonto Somba

Pinus Sulsel – 23 anggota  yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) Bara Dusun Bara Desa Bonto Somba Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros mengajukan permohonan izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan (HKM) seluas 190,52 Ha.

Menindaklanjuti usulan proposal untuk mengelola Hutan Kemasyarakatan, Kementerian Kehutanan bersama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan  dan Dinas Kehutanan Kabupaten Maros melaksanakan kegiatan di lapangan. Tim tersebut terdiri dari kerja sama Pinus dan KPH Bulusaraung sebagai salah satu bentuk komitmen dalam memastikan mencapai target program perhutanan sosial khususnya Provinsi Sulawesi Selatan. Kawasan yang diusulkan tersebut terdiri dari kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas dan berada dalam wilayah administrasi desa Bonto Somba Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros.

Dalam kegiatan di  lapangan ini tim melakukan dialog langsung dengan Pengelola  Kelompok Tani Hutan (KTH) Bara dan perangkat desa terkait, mengenai potensi konflik apa yang akan muncul, rencana pengusulan hutan kemasyaraatan ke depan dan lain-lain. Tim juga melakukan observasi lapangan dengan mengecek titik koordinat yang menjadi batas wilayah hutan tersebut. Hasil kunjungan lapangan akan dilaporkan kepada Kementerian Kehutanan sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan surat keputusan areal kerja hutan Dusun Bara Desa Bonto Somba Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros . Dalam berita acara tersebut Tim menyatakan bahwa kelengkapan administrasi sudah terpenuhi secara lengkap. Selain itu komitmen, fasilitas serta fakta-fakta di lapangan mendukung permohonan yang diajukan untuk mengelola hutan Kemasyarakatan.

 

Dengan pengusulan Program Perhutanan Sosial skema Hutan Kemasyarakatan akan membuka kesempatan bagi masyarakat di sekitar hutan untuk mengajukan hak pengelolaan area hutan kepada pemerintah. Setelah disetujui maka masyarakat dapat mengolah dan mengambil manfaat dari hutan dengan cara-cara yang ramah lingkungan.

Direktur Pinus Sulawesi Selatan Syamsudin Awing  menjelaskan bahwa “dengan berlangsungnya kegiatan ini, masyarakat akan mendapatkan berbagai insentif berupa dukungan teknis dari pemerintah dalam mengelola perkebunan tanaman dalam area yang mereka ajukan. Hasil panen dari perkebunan ini dapat kemudian dijual oleh masyarakat demi pemenuhan kebutuhan ekonominya sehari-hari” ujarnya.

Melalui Pengusulan Perhutanan Sosial dengan Skema Hutan Kemasyarakatan, masyarakat dapat memiliki akses kelola hutan dan lahan yang setara dan seluas-luasnya. Dan dengan bentuk pemanfaatan hasil hutan yang sesuai prinsip kelestarian yang ramah lingkungan maka tujuan konservasi lingungan dapatsejalan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tambahan manfaat lainnya adalah pelibatan masyarakt setempat sebagai pihak utama dan terdekat yang menjaga kelestarian hutan.

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan