Tambang Ilegal Sumsel Rugikan Negara Ratusan Miliar per Tahun

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan telah menutup 8 tambang batubara ilegal pada tahun 2019. Tambang ilegal tersebut ditaksir menyebabkan kerugian negara sebesar ratusan miliar rupiah per tahunnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatra Selatan, Robert Heri berujar, dari 8 tambang ilegal yang berhasil ditutup, total negara menderita kerugian Rp432 miliar per tahun. Setiap satu tambang batu bara ilegal merugikan negara Rp54 miliar per tahun. Kerugian tersebut baru dihitung dari sisi royalti yang seharusnya diterima negara, belum termasuk kerugian lingkungan karena lubang bekas tambang tidak direklamasi.

“Tapi permasalahannya, menutup tambang ilegal hari ini, besok sudah ada yang baru lagi. Lusa tutup lagi, besoknya ada lagi,” ujar Robert di sela Pembinaan Kegiatan Pertambangan kepada Pemerintah Daerah dan Izin Usaha Pertambangan Sumsel, Jumat (30/

Atas dasar itu, pihaknya pun memulai investigasi untuk mencari para penadah atau penyuplai batu bara ilegal tersebut. Hasilnya, 12 penadah batubara ilegal sudah ditertibkan. Banyak di antaranya beroperasi di Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin. Diketahui, para penadah tersebut membeli batubara hasil penambangan ilegal di kawasan Tanjung Enim dan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim.

Namun, upaya tersebut dinilai kurang cukup. Pasalnya, para penambang batubara ilegal ternyata mencari penadah lain yang beroperasi di luar Sumatera Selatan. Sebagian beralih ke penadah yang beroperasi di Pelabuhan Panjang, Lampung, sebagian lainnya dialihkan ke Pulau Jawa. Diketahui, ada 5 tempat penadah batubara ilegal yang beroperasi di wilayah Lampung. Selain dijual ke penadah, berdasarkan investigasi pihaknya, ada beberapa industri yang menampung hasil tambang batubara ilegal tersebut.

Akhirnya pihaknya pun bekerja sama dengan Pemprov Lampung, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Pelabuhan Panjang, Pelindo II Pelabuhan Bakauheni, dan Merak untuk tidak mengizinkan angkutan truk batubara yang tidak dilengkapi dokumen resmi. Dokumen yang dikatakan Robert, yakni Surat Rekomendasi Pengangkutan dan Penjualan (SRPP). Kerja sama tersebut pun difasilitasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasi kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

“Kalau tidak ada dokumen SRPP itu berarti ilegal, begitu saja. Jadi jangan dibiarkan naik kapal yang tidak ada dokumen seperti itu,” ujar dia.

Disamping itu, berdasarkan riset, Robert mengklaim bahwa cadangan batu bara yang berada di wilayah Sumsel jumlahnya mencapai 22,24 miliar ton atau 47 persen dari jumlah cadangan nasional. Dari jumlah tersebut, rata-rata jumlah produksi sebanyak 46-48 juta ton per tahun.

Sebelumnya, terdapat 362 perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang beroperasi di Sumsel. Namun, setelah koordinasi dan supervisi mineral dan batu bara dari KPK pada 2009, 222 diantaranya dicabut. Dari 140 pemegang IUP di Sumsel tersebut, 56 perusahaan bersih dan 84 diantaranya bermasalah terkait jaminan reklamasi.

Sebanyak 68 pemegang IUP yang bermasalah reklamasi tersebut dibekukan karena tidak melakukan jaminan reklamasi sesuai pasal 96 UU Nomor 4 Tahun 2009 dan pasal 2 ayat 1 Perpu Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi Pascatambang.

“16 diantaranya masih diberi tenggat waktu melaksanakan reklamasi sampai Oktober nanti. Jika tidak menempatkan jaminan reklamasi, IUP-nya bakal dicabut,” kata dia.

Sementara itu, Gubernur Sumsel Herman Deru berujar, kerja sama dengan KSOP dan Pelindo II di Lampung berdasarkan hasil permintaan pihaknya kepada KPK untuk difasilitasi. Dengan kerja sama seluruh pihak, aksi penambangan batubara ilegal bisa diatasi.

“Selain merugikan negara, tambang ilegal ini pun berbahaya bagi para pekerjanya karena pasti tidak ada standar keamanan saat proses penambangan. Saya harap juga ada tindak lanjut dari penegak hukum untuk pelaku tambang ilegal ini,” ujar dia.

 

Sumber: Cnn.indonesia

KPK Dorong Pemprov dan Pemkab Lamsel Inventarisasi Tambang Batubara

BANDAR LAMPUNG (Lampost.co) — KPK RI Terus mendorong pencegahan pengangkutan batubara ilegal, yang diangkut dengan kendaraan tonase besar dari Provinsi Sumatera Selatan melewati Lampung hingga menuju Pulau Jawa.

Salah satu rencana jangka menengah dan panjang yakni meminta Terminal Khusus (Tersus) dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) Batubara di Wilayah Lampung, dan Pemprov Lampung harus memiliki peraturan terkait jalur khusus pengangkatan batubara.

Dari hasil pendataan KPK ternyata sekitar 70% batubara yang diangkut dari provinsi tetangga diseberangkan ke Pulau Jawa, sisanya masuk ke provinsi Lampung yakni 30%. Terdata beberapa perusahaan yang membutuhkan batubara, ada di Lampung Selatan, Bandar Lampung, Lampung Utara.

“Ya kami bagaimana kami fungsi pencegahan Trigger mengkoordinasikan para pihak memperbaiki tata kelola ini artinya negara nggak kelihatan nggak ada kerugian negara, royalti nggak hilang di tambang batubara ilegal ya Lampung juga jalan nggak rusak jembatan rusak,” ujar Kasatgas Koordinasi Supervisi Pencegahan Korwil III KPK Dian Patria, Jumat, 30 Agustus 2019.

Pihaknya meramu formula agar pendistribusian batubara bisa terpantau dan tidak menggunakan jalur Ilegal dengan truk tonase besar, ataupun legal yang diharuskan melalui jalur kereta. Usulan KPK bersama dengan Dinas ESDM Provinsi Lampung dan Pemprov Sumsel, yakni melakukan pendataan berapa pabrik di Lampung yang menggunakan batubara dan kebutuhan mereka, sehingga berapa kebutuhan batubara di Lampung bisa termonitor dan dikoordinasikan dengan perusahaan batubara di Sumatera Selatan.

Kemudian KSOP Panjang dan ASDP Bakauheni telah dibe surat edaran agar menahan atau tidak mengeluarkan surat izin berlayar, batubara yang tidak melalui jalur kereta atau ilegal. Namun, KSOP dan ASDP belum tentu mengetahui secara langsung apakah batubara tersebut ilegal.

Pola komunikasi yang dilakukan yakni, Pihak KSOP dan ASDP bisa berkoordinasi dengan Pemprov Lampung, dari mana asal tambang tersebut, ilegal atau tidak, kemudian Pemprov Lampung juga dibangun komunikasi dengan Pemprov Sumatera Selatan soal, perusahaan legal, jumlahnya, asal dan kapasitas atau kuota batubara dari Sumatera Selatan ke Lampung.

“Hanya KSOP juga nggak bisa semena-mena juga kan kalau tidak ada informasi yang informasi resmi, hanya kalau ke sumsel kan kejauhan maka perlu dari Lampung. ketiga penegakan hukum, pengawasan Jalan Raya tuh, tonase harus ditegakan,” katanya.

Sementara Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi mengatakan terkait batu bara pihaknya akan buat peraturan gubernur atau lebih dari peraturan gubernur. Ia mengatakan aturannya harus dilaksanakan sesuai arahan KPK dan solusinya juga harus diberikan sehingga bisnisnya tetap berjalan. Kemudian di Provinsi Lampung juga tidak mengalami kerugian, kemudian dishub juga diminta untuk melakukan pemantauan agar jangan ada lagi truk tonase besar yang melewati jalan umum.

“Peraturan gubernur kita keluarkan supaya tidak dilanggar aturannya,” katanya.

sumber: lampungpost.co

ESDM: 3000 Perusahaan Belum Kasih Jaminan Pasca-Tambang

Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada 3.121 perusahaan tambang yang belum menempatkan jaminan pasca tambang, dari total 4.524 perusahaan.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot menyebutkan, banyaknya perusahaan yang belum menempatkan terutama berasal dari perusahaan izin usaha pertambangan, penanaman modal dalam negeri (IUP PMDN).

Lebih lanjut, Bambang menyebutkan, dari 4.524 perusahaan, sebanyak 4.403 merupakan IUP PMDN, yang mana sebanyak 1.283 perusahaan sudah dan sisanya 3.120 belum menempatkan jaminan pasca tambang.

“IUP PMDN yang diterbitkan dari jumlah 4.043 baru 1.283 yang menempatkan,” kata Bambang di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Kamis (11/7/2019).

Bambang pun menjelaskan, kegiatan pasca tambang dilakukan setelah berakhir sebagian atau seluruhnya. Pengajuan rencana pasca tambang berdasarkan kesepakatan pemangku kepentingan yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, KL, dan dinas terkait. Begitu juga dengan penetapan jaminan pasca tambangnya.

Untuk perhitungan meliputi biaya langsung seperti pembongkaran, reklamasi, remediasi, dan pemantauan. Kemudian, biaya tidak langsungnya meliputi perencanaan dan demobilisasi.

Penempatan jaminan secara bertahap dan dua tahun sebelum umur tambang berakhir harus 100%. Pelaksanaan dan pencairan jaminan pasca tambang ialah dilaksanakan pada saat umur tambang berakhir dan pencairannya.
dilakukan tiap triwulan sesuai dengan kemajuan pelaksanaan.

Sementara itu, untuk kegiatan reklamasi, dalam paparannya, Bambang menyebut, dari total 4.867 perusahaan, yang telah menempatkan jaminan reklamasi baru 2.966 perusahaan. Sisanya, sebanyak 1.901 belum menempatkan jaminan.

Dari total 4.867 perusahaan, sebanyak 4.655 merupakan perusahaan IUP PMDN yang mana sebanyak 2.760 sudah menempatkan jaminan reklamasi dan sisanya 1.895 belum.

“IUP PMDN yang diterbitkan Pemprov masih banyak yang belum masih 59%,” tambahnya.

Kegiatan reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, memperbaiki kualitas lingkungan, dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

“Kegiatan reklamasi sambil kegiatan operasi pertambangan dilakukan, untuk menata, memulihkan kualitas lingkungan dan ekosistem dan sesuai kembali sesuai peruntukannya,” jelas Bambang.

Dia menjabarkan, pengajuan rencana reklamasi dan penetapan serta penempatan jaminan reklamasi ditetapkan berdasarkan kesepakatan pemangku kepentingan yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian lembaga (K/L), dan dinas terkait.

Adapun perhitungannya yakni, biaya langsung berupa penataan lahan, revegetasi, air asam tambang, perawatan. Ada juga biaya tidak langsung seperti perencanaan.

“Di pelaksanaan reklamasi mereka harus melakukan penataan lahan, revegetasi penataan lahan,” pungkasnya. (gus/gus)

 

Sumber: CNN Indonesia

Dilarang Jalan Darat, Sungai Musi Terancam Angkutan Batubara?

  • Sejak 8 November 2018, Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel], Herman Deru, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Semua angkutan batubara yang melalui jalan umum di darat dilarang.
  • Kebijakan ini mendapat dukungan pemerintah maupun masyarakat di Kabupaten Muara Enim dan Lahat yang selama ini terganggu dengan angkutan batubara di darat melalui jalan umum.
  • Namun, tidak semua perusahaan batubara menggunakan jalan khusus atau kereta api. Ada yang menggunakan jalur air yakni melalui Sungai Musi.
  • Dikhawatirkan, angkutan batubara di Sungai Musi yang meningkat, memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem perairannya.

 

Sejak akhir 2018, Pemerintah Sumatera Selatan [Sumsel] melarang angkutan batubara menggunakan jalan umum. Larangan itu seharusnya mendorong perusahaan batubara mengakutnya melalui jalan khusus, atau kereta api. Ternyata, sebagian menggunakan jalur air atau sungai. Terancamkah Sungai Musi?

“Tambah coklat saja airnya, sejak banyak kapal tongkangnya. Kami kian sulit mendapatkan ikan. Tepian sungai juga erosi. Mungkin karena gelombang tongkang ukuran besar itu melintas. Tapi entahlah, kami orang kecil, tidak bisa apa-apa. Menerima saja,” kata nelayan yang dipanggil Mang Sin, saat mencari ikan di kawasan Pulokerto, Gandus, Palembang, Kamis [04/7/2019] lalu.

“Tidak tahu juga, yang jelas sejak tongkang batubara melintasi Sungai Musi, ikan kian sedikit. Kami juga takut agak ke tengah sungai, takut jaring atau perahu tertabrak tongkang. Semoga, ikan tetap banyak,” ujar nelayan dari Desa Arisanmusi, Kabupaten Muara Enim, yang tidak mau menyebutkan namanya. Desa Arisanmusi berada di tepian Sungai Musi.

Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, terhitung 8 November 2018, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Keputusan ini membuat pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lahat dan Muara Enim menjadi nyaman menggunakan jalan umum yang selama ini dipenuhi truk-truk yang mengangkut batubara.

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jalur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Namun, Sungai Musi juga digunakan sebagai jalur angkutan batubara dengan kapal tongkang besar. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

Terkait kebijakan tersebut, dikutip dari Korankito.com, Jonidi, yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim, mengimbau angkutan batubara di Lahat dan Muara Enim menggunakan kereta api atau jalan khusus.

Kebijakan itu akhirnya membuat perusahaan batubara mengalihkan angkutan ke sungai. Dikutip dari Palpos.id, pada 11 April 2019, Herman Deru menghadiri soft launching Transportasi Sungai dan Peresmian Terminal Batubara Muara Lawai, di Desa Muara Lawai Kabupaten Lahat, yang dibangun dan dikelola PT. Batubara Mandiri [BM], masuk Bima Citra Group.

“Ini adalah inovasi transportasi luar biasa, memindahkan trafik di darat ke air yang akan mengurangi lalu lintas harian di jalan raya. Kita sudah mengalami kepadatan jumlah kendaraan,” ungkapnya.

 

 

Tagboat yang setiap hari menarik tongkang yang mengangkut batubara di Sungai Musi. Foto: Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

Hentikan batubara

“Batubara itu energi kotor. Kotor dari hulu ke hilir. Dari menggali, mengangkut, hingga menghasilkan listrik. Mau di darat maupun di air, pasti memberikan dampak negatif pada lingkungan. Tumpahannya di sungai sangat jelas, mencemari ekosistem. Jadi wajar, jika banyak nelayan mengeluh populasi ikan terus berkurang,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, Jumat [05/7/2019].

“Menurut kami, sudah saatnya pemerintah beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan. Tinggalkan batubara,” ujarnya.

Selain berdampak pada lingkungan, tingginya aktivitas angkutan batubara di Sungai Musi, memungkinkan juga meningkatnya peristiwa tongkang batubara menabrak tiang jembatan.

“Jangan sampai tragedi tongkang batubara menabrak Jembatan Ampera terjadi terus. Ampera itu aset vital kita. Memang sekarang kebijakannya batas angkutan sungai hanya sampai sore, untuk menghindari tabrakan. Tapi frekuensinya tambah tinggi,” kata Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus [Pilar Nusantara], lembaga non-pemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel, Jumat [05/7/2019]. “Belum lagi tumpahannya ke Sungai Musi yang pasti berdampak pada biota air,” lanjutnya.

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, kapal tongkang batubara menabrak tiang Jembatan Ampera kali pertama 11 April 2005. Tongkang yang menabrak itu berbendera Singapura, bernama Topniche 7 Singapura. Meskipun tidak menyebabkan korban, namun menyebabkan kekacauan lalu lintas di Sungai Musi. Kejadian yang sama berulang hampir setiap tahun, baik terpantau media massa maupun tidak.

Bahkan, tiang pancang Jembatan Musi IV yang tengah dikerjakan juga menjadi sasaran ditabrak tongkang bermuatan batubara, sehingga pembangunannya sempat tertunda beberapa bulan. Peristiwa pertama pada 23 November 2016. Sebuah tongkang bermuatan 8 ribu ton batubara yang ditarik tagboat Surya Wira, menurut saksi mata, menghantam tiang-tiang penyangga proyek jembatan tersebut.

Nelayan yang semakin sulit mendapatkan ikan di Sungai Musi. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Pada 31 Maret 2017, peristiwa itu terulang. Sebuah tongkang bermuatan batubara menghantam 12 tiang pancang jembatan. Kali ini dampak terhadap jembatan yang direncanakan panjangnya 1.225 meter cukup parah. Satu tiang pancang tenggelam, enam tiang miring, tiga tiang goyang, dan dua tiang yang masih tegak. Peristiwa itu diduga karena tali pengikat tongkang dengan tagboat Tanjung Buyut putus, sehingga tongkang tidak terkendali.

“Terkait ancaman ini, tampaknya perlu regulasi tegas membatasi jumlah tongkang yang melalui bawah jembatan di Sungai Musi. Juga, tata cara pengangkutannya,” papar Rabin.

 

Sumber: Mongabay.co.id

 

Renggut Nyawa Lagi, Sudah 35 Korban di Lubang Tambang Batubara

  • Ahmad Setiawan [10 tahun], merupakan korban ke-35 di lubang maut tambang batubara di Kalimantan Timur dalam delapan tahun terakhir
  • Korban tenggelam di lubang bekas tambang di Jalan Suryanata, Gang Saka, RT 16, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Sabtu [22/6/2019]
  • Jarak permukiman terdekat dengn lubang tambang milik PT. Insani Bara Perkasa, tempat Ahmad tenggelam, sekitar 500 meter
  • Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan selama lubang tambang masih ada, sepanjang itu pula memakan korban jiwa

 

Kasus kematian anak di lubang tambang batubara Kalimantan Timur terus menggema. Setelah kematian Nadia [12] pada 29 Mei 2019, tragedi yang sama berlanjut. Lubang bekas tambang di Jalan Suryanata, Gang Saka, RT 16, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, merenggut nyawa Ahmad Setiawan, Sabtu [22/6/2019].

Bocah 10 tahun itu, berenang pukul 14.00 Wita, di kolam konsesi PT. Insani Bara Perkasa [IBP]. Namun, baru diketahui tenggelam pada 17.45. Jasadnya sekitar 18.52 Wita. Ahmad tercatat sebagai korban ke-35 di lubang tambang maut di Kalimantan Timur, delapan tahun terakhir.

Lubang bekas tambang batubara yang tidak direklamasi di Kalimantan Timur masih bertebaran. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Kalimantan Timur [Kaltim] Wahyu Widhi Heranata, Senin [24/6/2019], menyatakan, kematian Ahmad Setiawan di kolam bekas tambang disebabkan murni kesalahan orangtua.

Orangtua korban lalai menjalankan tugasnya sebagai pelindung anak. Hal ini sangat fatal, apalagi PT. IBP sudah menutup area tersebut. Namun, dibuka kembali oleh warga sekitar.

“Kalau ditanya, siapa yang salah dan siapa yang benar, ya maaf orangtuanya yang salah. Ini anak di bawah umur, kecuali dewasa. Saya punya dua anak, kewajiban saya mengawasi. Mohon kepada masyarakat yang punya anak, tolong diawasi buah hatinya, karena ini pertanggungjawaban pada Tuhan,” sebut lelaki yang biasa disapa Didit.

Setelah pengawasan orangtua, lanjut dia, baru melihat kondisi lubang tambang tersebut, titik lokasinya dan lingkungan sekitar. Apakah dekat sekolah atau permukiman.

Tambang batubara yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Dijelaskan Didit, pihaknya mengundang Jatam Kaltim dan awak media untuk melihat lokasi. Kondisi lubang sekitar 500 meter dari permukiman. Terkait pengawasan, Didit mengutip pernyataan koordinator inspektor tambang Kaltim, lubang tersebut sudah ditutup perusahaan.

“Yang jelas, saya langsung lapor ke Gubernur, meninjau lokasi. Saya juga sudah koordinasi dengan Jatam, kita tidak usah saling menyalahkan, sebaiknya harus kita tangani bersama. Saya selaku pemerintah sadar, tidak bisa melakukan sendiri,” katanya.

 

Untuk penyelesaiaan masalah kematian Ahmad, pihaknya akan terus melakukan investigasi dan melaporkan pada Kementerian ESDM. “Saya sebagai Kepala Dinas ESDM wajib melaporkan hasilnya. Harapannya, kementerian akan segera melanjutkan, apabila mereka menurunkan tim, hasilnya akan kami sampaikan transparan. Tidak ada yang disembunyikan.”

Selain itu, perusahaan harus bertangung jawab dalam peristiwa meninggalnya anak di lubang tambang. PT. Insani Bara Perkasa [IBP] merupakan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara [PKP2B]. Pengurusannya di bawah kendali Kementerian ESDM.

“Saya hanya di ranah kebijakan, secara teknis ada tim sendiri yang menjelaskan. Informasi terkait PT. IBP yang sudah menutup lubang tambang di Gang Saka, akan diperiksa kembali. Polisi sudah datang,” ujarnya.

Didit berharap, antara Pemerintah, Jatam, dan rekan media bersama menuntaskan masalah tersebut. “Saya kenal rekan Jatam bukan satu atau dua tahun dan Wartawan Peduli Bencana [Wapena] harus dihidupkan lagi. Kita tuntaskan masalah ini bersama,” jelasnya.

Lubang tambang yang begitu dekat permukiman warga merupakan ancaman nyawa anak-anak. Foto: Jatam Kaltim

Korban berjatuhan

Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan korban-korban tambang terus berjatuhan. Selama lubang masih ada, selama itu pula memakan korban jiwa. Menurut Jatam, manusia memang tidak bisa melawan takdir, tapi sejatinya, kasus kematian bisa dicegah.

“Jika pemerintah tegas, kematian anak di lubang tambang bisa diantisipasi. Selama ini, jawaban Gubernur Kaltim Isran Noor hanya menyalahkan hantu dan takdir, padahal itu bisa dicegah,” paparnya.

Rupang tidak sepakat bila kematian anak di lubang tambang akibat kesalahan orangtua. Menurut dia, pemimpin sudah seharusnya melindungi masyarakat. “Pemimpin itu wajib menjaga warga. Apa tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah selain menyalahkan keluarga korban,” ujarnya.

Selama ini, Jatam melihat, pemerintah tidak pernah serius menangani kematian puluhan anak di lubang tambang. Padahal, masih banyak lubang menganga. Parahnya, kematian-kematian itu bukan dianggap sebagai peristiwa besar.

“Hilangnya nyawa manusia, adalah bukti kegagalan Pemerintah Kalimantan Timur mengurus wilayahnya. Ketegasan hukum dan kepedulian pada masyarakat tidak terlihat,” sebu Rupang.

Hingga berita ini diturunkan, orangtua korban tidak memberikan pernyataan, karena masih berduka.

 

Sumber: mongabay.co.id

 

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan