- Sejak 8 November 2018, Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel], Herman Deru, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Semua angkutan batubara yang melalui jalan umum di darat dilarang.
- Kebijakan ini mendapat dukungan pemerintah maupun masyarakat di Kabupaten Muara Enim dan Lahat yang selama ini terganggu dengan angkutan batubara di darat melalui jalan umum.
- Namun, tidak semua perusahaan batubara menggunakan jalan khusus atau kereta api. Ada yang menggunakan jalur air yakni melalui Sungai Musi.
- Dikhawatirkan, angkutan batubara di Sungai Musi yang meningkat, memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem perairannya.
Sejak akhir 2018, Pemerintah Sumatera Selatan [Sumsel] melarang angkutan batubara menggunakan jalan umum. Larangan itu seharusnya mendorong perusahaan batubara mengakutnya melalui jalan khusus, atau kereta api. Ternyata, sebagian menggunakan jalur air atau sungai. Terancamkah Sungai Musi?
“Tambah coklat saja airnya, sejak banyak kapal tongkangnya. Kami kian sulit mendapatkan ikan. Tepian sungai juga erosi. Mungkin karena gelombang tongkang ukuran besar itu melintas. Tapi entahlah, kami orang kecil, tidak bisa apa-apa. Menerima saja,” kata nelayan yang dipanggil Mang Sin, saat mencari ikan di kawasan Pulokerto, Gandus, Palembang, Kamis [04/7/2019] lalu.
“Tidak tahu juga, yang jelas sejak tongkang batubara melintasi Sungai Musi, ikan kian sedikit. Kami juga takut agak ke tengah sungai, takut jaring atau perahu tertabrak tongkang. Semoga, ikan tetap banyak,” ujar nelayan dari Desa Arisanmusi, Kabupaten Muara Enim, yang tidak mau menyebutkan namanya. Desa Arisanmusi berada di tepian Sungai Musi.
Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, terhitung 8 November 2018, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Keputusan ini membuat pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lahat dan Muara Enim menjadi nyaman menggunakan jalan umum yang selama ini dipenuhi truk-truk yang mengangkut batubara.
Terkait kebijakan tersebut, dikutip dari Korankito.com, Jonidi, yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim, mengimbau angkutan batubara di Lahat dan Muara Enim menggunakan kereta api atau jalan khusus.
Kebijakan itu akhirnya membuat perusahaan batubara mengalihkan angkutan ke sungai. Dikutip dari Palpos.id, pada 11 April 2019, Herman Deru menghadiri soft launching Transportasi Sungai dan Peresmian Terminal Batubara Muara Lawai, di Desa Muara Lawai Kabupaten Lahat, yang dibangun dan dikelola PT. Batubara Mandiri [BM], masuk Bima Citra Group.
“Ini adalah inovasi transportasi luar biasa, memindahkan trafik di darat ke air yang akan mengurangi lalu lintas harian di jalan raya. Kita sudah mengalami kepadatan jumlah kendaraan,” ungkapnya.
Hentikan batubara
“Batubara itu energi kotor. Kotor dari hulu ke hilir. Dari menggali, mengangkut, hingga menghasilkan listrik. Mau di darat maupun di air, pasti memberikan dampak negatif pada lingkungan. Tumpahannya di sungai sangat jelas, mencemari ekosistem. Jadi wajar, jika banyak nelayan mengeluh populasi ikan terus berkurang,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, Jumat [05/7/2019].
“Menurut kami, sudah saatnya pemerintah beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan. Tinggalkan batubara,” ujarnya.
Selain berdampak pada lingkungan, tingginya aktivitas angkutan batubara di Sungai Musi, memungkinkan juga meningkatnya peristiwa tongkang batubara menabrak tiang jembatan.
“Jangan sampai tragedi tongkang batubara menabrak Jembatan Ampera terjadi terus. Ampera itu aset vital kita. Memang sekarang kebijakannya batas angkutan sungai hanya sampai sore, untuk menghindari tabrakan. Tapi frekuensinya tambah tinggi,” kata Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus [Pilar Nusantara], lembaga non-pemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel, Jumat [05/7/2019]. “Belum lagi tumpahannya ke Sungai Musi yang pasti berdampak pada biota air,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, kapal tongkang batubara menabrak tiang Jembatan Ampera kali pertama 11 April 2005. Tongkang yang menabrak itu berbendera Singapura, bernama Topniche 7 Singapura. Meskipun tidak menyebabkan korban, namun menyebabkan kekacauan lalu lintas di Sungai Musi. Kejadian yang sama berulang hampir setiap tahun, baik terpantau media massa maupun tidak.
Bahkan, tiang pancang Jembatan Musi IV yang tengah dikerjakan juga menjadi sasaran ditabrak tongkang bermuatan batubara, sehingga pembangunannya sempat tertunda beberapa bulan. Peristiwa pertama pada 23 November 2016. Sebuah tongkang bermuatan 8 ribu ton batubara yang ditarik tagboat Surya Wira, menurut saksi mata, menghantam tiang-tiang penyangga proyek jembatan tersebut.
Pada 31 Maret 2017, peristiwa itu terulang. Sebuah tongkang bermuatan batubara menghantam 12 tiang pancang jembatan. Kali ini dampak terhadap jembatan yang direncanakan panjangnya 1.225 meter cukup parah. Satu tiang pancang tenggelam, enam tiang miring, tiga tiang goyang, dan dua tiang yang masih tegak. Peristiwa itu diduga karena tali pengikat tongkang dengan tagboat Tanjung Buyut putus, sehingga tongkang tidak terkendali.
“Terkait ancaman ini, tampaknya perlu regulasi tegas membatasi jumlah tongkang yang melalui bawah jembatan di Sungai Musi. Juga, tata cara pengangkutannya,” papar Rabin.
Sumber: Mongabay.co.id