Indonesia Harus Belajar Riset untuk Adaptasi Perubahan Iklim

  • Perubahan iklim menjadi isu yang semakin hangat dibicarakan antar negara di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara pulau dan kepulauan, berkepentingan untuk bisa melaksanakan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim
  • Indonesia mengajukan diri sebagai negara tetap Dewan Arktik, agar berkesempatan ikut melakukan  riset dampak perubahan iklim secara lebih baik dan cepat mendapatkan datanya
  • Peran riset juga akan bermanfaat untuk melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim, terutama bagi masyarakat umum yang tidak semuanya memiliki kemampuan intelegensia yang baik. Selain itu, yang paling besar, riset bersama juga akan menyelamatkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah terdampak perubahan iklim
  • BAPPENAS memprediksi, dampak perubahan iklim akan terasa kuat di kawasan timur Indonesia dengan dampak seperti kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang. Khusus di pulau Lombok, NTB, dan kawasan Selatan Maluku, gelombang air laut diprediksi akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter

 

Indonesia menjadi negara pulau dan kepulauan yang terdampak langsung perubahan iklim. Fenomena alam yang sulit dihindari itu, dampaknya sudah muncul di berbagai pulau yang ada di Nusantara. Salah satunya, ada di pulau Jawa, pulau besar yang padat dengan penduduk.

Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Odo Manuhutu mengatakan, diantara dampak yang sudah terasa adalah naiknya permukaan air laut dan di saat yang sama justru terjadi penurunan muka tanah. Fenomena seperti itu, tidak hanya terjadi di satu tempat saja, tapi juga di banyak tempat.

“Garis pantai di wilayah perbatasan Semarang-Demak di Jawa Tengah saja, sudah mundur ke arah daratan sepanjang 2,6 kilometer dan itu sudah berlangsung sejak 1991 lalu,” ujarnya di Jakarta, dua pekan lalu.

Odo memaparkan, dari data yang dirilis Pusat Kajian Rehabilitasi Pesisir dan Mitigasi Bencana Universitas Diponegoro, Semarang pada 2014, didapat fakta bahwa seluas 2.075,65 hektare wilayah pesisir di Kecamatan Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kondisinya sudah terendam air laut. Padahal, sebelumnya kawasan tersebut dalah wilayah pesisir yang berada di bibir pantai.

Dampak banjir rob di Desa-Timbul-Seloko, Demak, Jateng karena kerusakan pesisir pantai utara Jawa. Foto : Wetlands International/Nanang Sujana

Menurut Odo, munculnya sejumlah bencana yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim, memberi alasan kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk melibatkan Indonesia lebih jauh pada Dewan Arktik, yaitu organisasi tinggi antar pemerintah yang mempromosikan kerja sama, koordinasi, dan interaksi antar negara Arktik.

“Kita tengah menginisiasi usulan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pengamat tetap dalam Dewan Arktik. Upaya ini sudah dimulai sejak 2017 lalu,” ungkapnya.

Agar inisiasi bisa berhasil, Odo menyebut kalau Pemerintah Indonesia kemudian membuat naskah urgensi sebagai syarat pengajuan menjadi pengamat tetap Dewan Arktik. Naskah tersebut melibatkan banyak elemen terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Kelautan dan Perikanan, akademisi dari bidang hukum, kelautan, dan politik, serta organisasi non Peemrintah bidang kemaritiman.

 

Negara Riset

Menurut Odo, salah satu kegiatan Dewan Arktik yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, adalah melaksanakan riset bersama tentang perubahan iklim dan dampaknya. Kegiatan tersebut, dinilai akan bisa memberi keuntungan bagi Indonesia, negara pulau dan kepulauan yang sudah merasakan dampak perubahan iklim.

“Dengan menjadi permanent observer, kita bisa belajar tentang mitigasi perubahan dan mendapatkan data dari tangan pertama,” tuturnya.

Odo menambahkan, jika Indonesia bisa diterima menjadi negara tetap Dewan Arktik, maka itu artinya Indonesia akan bergabung dengan negara lain yang sudah menjadi Dewan Arktik sejak 2013. Mereka adalah Jepang, Tiongkok, India, Singapura, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut, mengikuti jejak delapan negara penggagas Dewan Arktik mengikti Deklarasi Ottawa 1996.

“Kedelapan negara yang menjadi penggagas itu, adalah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia,” jelasnya.

Pesisir pantai, semakin rentan akibat aktivitas manusia, dan perubahan iklim. Foto: Raymond Jakub/The Nature Conservancy

Sebagai negara yang memiliki kepentingan kuat pada isu perubahan iklim, Odo mengatakan kalau pihaknya sudah merumuskan beberapa isu utama yang menjadi kepentingan Indonesia di Arktik. Isu-isu itu, mencakup akses pengetahuan dan riset, isu perubahan iklim, isu keamanan energi, dan isu jalur pelayaran di masa depan.

“Menimbang potensi keuntungan yang dapat diperoleh dari status pengamat DA dalam isu-isu tersebut, telah disepakati bahwa pengajuan Indonesia menjadi negara pengamat DA akan diteruskan,” tambahnya.

Odo kemudian menjelaskan bahwa keinginan Indonesia untuk menjadi negara tetap Dewan Arktik sudah mendapat dukungan dari Sekretariat Dewan Arktik dan Islandia, salah satu negara anggota. Dukungan dari Islandia, menjadi faktor penting kesepakatan, karena negara tersebut akan memimpin Dewan Arktik untuk masa kepemimpinan 2019-2021.

Di mata Odo, inisiasi yang dilakukan Indonesia akan menjadi langkah penting untuk pelaksanaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di Indonesia. Oleh itu, keberhasilan menjadi negara tetap Dewan Arktik akan menjadi capaian penting dan bersejarah bagi Indonesia.

Peneliti Arktik dari CERAC Rizki Kaharuddin menyatakan, Indonesia memang memiliki kepentingan besar untuk bisa bergabung menjadi negara tetap Dewan Arktik. Pertimbangan tersebut didasarkan pada fakta bahwa ada manfaat yang didapat dari keanggotaan tersebut untuk melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim di masyarakat.

“Ada kemampuan penduduk asli untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dapat kita pelajari bila kita punya akses riset,” tuturnya.

April 2016 merupakan bulan terpanas sepanjang sejarah manusia, dan berdampak pada meningkatnya suhu perairan. Ini menyebabkan kematian ikan nila dan lele dalam budidaya ikan keramba di pesisir Makassar, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Peran Masyarakat

Sementara, Peneliti dari Center for Coastal Rehabilitation and Mitigation Studies (CoFEM) Universitas Diponegoro Semarang, Muhammad Helmi, mengungkapkan bahwa penanggulangan dampak perubahan iklim harus dilakukan secara bersama dengan membuat beragam program dan melibatkan masyarakat secara langsung.

Helmi menuturkan, di Semarang, sejak 1991 hingga 2010 terjadi abrasi wilayah pesisir hingga sejauh 1,7 km dengan luas area terendam air laut mencapai 1.211,2 ha. Fakta tersebut, tak bisa diabaikan begitu saja oleh semua pihak, terutama masyarakat dan pemegang kebijakan yang ada di Semarang dan Jawa Tengah.

Sebelumnya, di awal 2019 lalu, Kepala Sub Direktorat Perubahan Iklim Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) Sudhiani Pratiwi mengatakan, Indonesia akan menjadi satu dari banyak negara pulau dan kepulauan di dunia yang merasakan dampak dari perubahan iklim di kawasan pesisir. Dalam hitungan 15 tahun ke depan, dampak tersebut akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang.

“Pada kurun waktu tersebut, Indonesia Timur diprediksi akan menjadi wilayah terparah yang terkena dampak,” ungkap dia.

Menurut Sudhiani, perubahan iklim tak hanya berdampak pada kehidupan biota laut beserta perairannya saja, namun juga berdampak pada sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan pesisir. Jika tidak dilakukan antisipasi dari sekarang, maka akan muncul banyak masalah di kawasan pesisir dan itu tak hanya beruurusan teknis saja, namun juga non teknis.

Sudhiani menjelaskan, kawasan terparah yang terdampak perubahan iklim diprediksi terjadi di sekitar pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kawasan Selatan Maluku. Di kedua kawasan tersebut, gelombang air laut akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter. Kondisi itu, dipastikan akan menyulitkan para nelayan yang harus mencari ikan menggunakan perahu tradisional.

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Satu-satunya cara agar dampak dari perubahan iklim itu bisa diatasi, kata Sudhiani, adalah dengan menyiapkan langkah antisipasi dari sekarang. Walaupun masih jauh, tetapi kesiapan menghadapi situasi akan menjadi solusi paling bagus untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Terlebih, kawasan pesisir adalah kawasan paling rentan terkena dampak tersebut.

“Pemetaan masalah sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, persoalan pesisir itu ada kaitan erat dengan sosial ekonominya. Itu berarti, masyarakat di sekitar harus dilibatkan, karena memang merekalah yang akan terdampak secara langsung,” ungkapnya.

Tentang kenaikan gelombang air laut, menurut Sudhiani itu harus dicarikan solusi dari sekarang, salah satunya dengan mengganti perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan lokal. Perahu yang akan digunakan berikutnya, minimal harus berukuran 10 gros ton (GT) dan terbuat dari material yang kuat dari serangan korosi air laut.

Untuk bisa melaksanakan program penggantian kapal, Sudhiani menyebutkan, perlu ada koordinasi yang baik untuk melaksanakan pembagian tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Karenanya, walaupun KKP sudah melaksanakan pembagian kapal kepada nelayan dalam beberapa tahun terakhir, namun dia berpendapat untuk program penggantian kapal bagi nelayan yang terdampak perubahan iklim, harus melibatkan banyak kementerian dan instansi.

“Perlu ada diversifikasi profesi yang ditawarkan kepada nelayan. Jika memang sudah tidak mungkin lagi menjadi nelayan, apa yang harus dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup. Begitu juga, jika tetap menjadi nelayan, harus bagaimana agar bisa tetap bertahan,” jelasnya.

Sumber: Mongabay.co.id

Hari Bumi Sedunia, Warganet Saling Ingatkan untuk Peduli Lingkungan

Jakarta – Bumi hijau, udara dan air bersih menjadi cita-cita bersama. Karena itu, untuk mempercepat transisi ke dunia yang lebih bersih, kita perlu mengubah pola tata cara hidup kita menjadi perilaku yang ramah lingkungan.

Tepat hari ini, Senin (22/4/2019), penghuni planet ini mempringati Hari Bumi sedunia setiap 22 April tiap tahunnya. Banyak masyarkat di berbagai negara membuat aksi peduli lingkungan ini, di antaranya dengan menanam pohon, menghemat pemakaian air bersih, mengirit energi listrik dan lainnya.

Namun, tak hanya dengan melakukan aksi. Pantauan tim PINUS, publik, khususnya para pengguna jejaring sosial memperingatinya dengan cara mereka sendiri. Namun, banyak pula yang membuat beragam twit atas kepedulian mereka terhadap lingkungan dan bumi.

Hari Bumi diselenggarakan pertama kalinya lebih dari 43 tahun lalu pada 22 April 1970, di Amerika Serikat. Penggagas Earth Day adalah Gaylord Nelson, senator Amerika Serikat dari negara bagian Wisconsin yang juga seorang pengajar tentang lingkungan hidup.

Jutaan orang turun ke jalan, berdemonstrasi dan memadati Fifth Avenue di New York ketika itu untuk mengecam para perusak bumi. Momen tersebut kemudian menjadi tonggak sejarah diperingatinya sebagai Hari Bumi.

Yuk, sama-sama jaga Bumi kita dengan hal-hal kecil yang ada di sekitar.

Efek Nobar Sexy Killer, Ternyata Ada 4 Perusahaan Batubara Terbesar di Indonesia

AKURAT.CO, Sobat Milenial belum lama ini ramai perbincangan soal film Sexy Killers dimana film ini tergolong sensitif karena bertepatan dengan pesta demokrasi. Sementara film tersebut mengupas tuntas perusahaan tambang batubara yang memiliki keterkaitan dengan penguasa dan jaringannya.

Dalam film tersebut juga terkuak sejumlah data dari masing-masing kubu yang ikut konstestasi dalam bursa pilpres. Dimana beberapa konstestan dan jaringan kelompoknya memiliki investasi cukup besar disektor pertambangan batubara.

Hal ini tentu saja membuka mata kita bahwa penguasa juga bisa memiliki bisnis pertambangan batubara. Boleh jadi aksesnya lebih mudah dan bisnisnya lebih terjamin karena ada embel-embel pemerintah? Entahlah kita tidak perlu berspekulasi.

 

Batu bara memang sangat menjanjikan, sebab sedang menjadi primadona dibidang energi. Pasalnya batu bara dianggap lebih murah dibading menggunakan energi alternatif lainnya. Al hasil batubara begitu diburu oleh perusahaan energi.

Nah sobat milenial, berikut data 4 perusahahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia.

1. Kaltim Prima Coal (KPC)

KPC bergerak dibidang pertambangan dan pemasaran batu bara. Kebanyakan batu bara hasil produksi KPC di pasok untuk industri baik di dalam maupun di luar negeri. Perusahaan ini berlokasi di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim.

KPC mengelola konsesi area pertambangan mencapai 90.938 hektar di Sanggatta. Saham KPC dikuasai PT Bumi Resourches Tbk. Adapun hasil produksinya lumanyan menjanjikan yakni mencapai 57,6 juta ton dan laba mencapai Rp3,79 triliun pada akhir tahun 2017 silam.

2. Adaro Indonesia

Berdiri sejak tahun 1966 perusahaan ini memegang konsesi di wilayah Kalimantan Selatan dengan mengelola 3 pertambangan sekaligus yaitu di daerah Tutupan, Paringin dan Wara. Adaro Indonesia mampu menghasilkan produksi mencapai 54 juta ton pada 2018 silam.

Adaro juga mencatatkan pendapatan mencapai angka fantastis yakni sekitar Rp 37 triliun. 43 Persen Saham Adaro Indonesia dikuasai PT Adaro Strategic Investmen dan sebagian sahamnya dimiliki Gabribaldi dan Erik Tohir dan share publik.

3. Berau Coal 

Satu lagi perusahaan Batubara dari Kalimantan Timur, yang berpusat di Berau. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan perdagangan batu bara ini memperoleh konsesi lahan seluas 118.400 hektar di Berau Samarinda.

Sementara untuk kepemilikan saham dikuasai Vallar Investment UK Limited dan Sinarmas Group. Adapun total produksi berdasarkan data tahun 2016 mencapai 26 juta metrix ton.

4. Kideco Jaya Agung

Masih dari Kalimantan Timur Kideco Jaya Agung sudah mulai operasionalnya sejak tahun 1982 terletak di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

Saham perusahaan batu bara Kideco Jaya Agung ini dikuasai PT Indika Energi sebanyak 91 Persen. Sisanya dimiliki Samtan co.,Ltd. Dengan total produksi per akhir tahun 2018 mencapai 26,1 juta metrik ton.[]

 

sumber: Akurat.co

KLHK Didesak Hentikan Pertambangan Ilegal di Kawasan Hutan

Perwakilan masyarakat sipil yang terdiri perwakilan masyarakat Barito Timur dan Berau menuntut tindakan tegas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penegakan hukum pidana bagi perusahaan tambang yang melakukan usaha tambang di hutan secara ilegal.

Komitmen KLHK, institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan hutan dan lingkungan hidup di Indonesia, dalam menegakkan hukum patut dipertanyakan. Pasca koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang digalakkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih saja ditemukan perusahaan-perusahaan tambang yang membangkang pada aturan. Dua dari ribuan perusahaan yang membangkang tersebut adalah PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (PT BNJM) dan PT Kaltim Jaya Bara (PT KJB), masing-masing merupakan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

“KLHK harus segera merespon laporan masyarakat dan menindak tegas PT BNJM, karena sampai saat ini belum mengantongi IPPKH. Bukti-bukti yg dilampirkan juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP), beroperasi di kawasan hutan dan sampai saat ini, tidak pernah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH,” ujar Raynaldo Sembiring dari ICEL dalam keterangan resmi, Kamis (6/4/2017).

“Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan merupakan izin yang wajib dimiliki oleh siapapun yang akan menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, termasuk untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, maupun eksploitasi bahan tambang supaya kegiatan pertambangan terkontrol,” tambah Raynaldo.

Merah Johansyah dari JATAM menegaskan, “Selain menghancurkan kawasan hutan dan mengakibatkan kerugian negara karena diduga beroperasi tanpa IPPKH, penambangan ilegal di kawasan hutan jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang menargetkan akan mengurangi emisi GRK sampai 29 persen, salah satunya menjaga kawasan hutan dan lahan dengan pencegahan dan penegakan hukum, terutama di kawasan hutan bumi Borneo yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.”

Selain itu, Mardiana, perwakilan tokoh Perempuan Adat Dayak Maanyan, Kabupaten Barito Timur menyatakan, “Kegiatan tambang di hutan telah menghilangkan sumber kehidupan masyarakat dan memaksa masyarakat untuk membayar mahal terhadap kebutuhan sehari – harinya . Sebelumnya, masyarakat dapat menikmati madu, buah-buahan dan ikan-ikan dari hutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.”

Menambang tanpa IPPKH di kawasan hutan merupakan bentuk tindak pidana yang serius dan banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Maka dari itu, sekali lagi, masyarakat menuntut ketegasan dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang tidak taat pada aturan dan telah merusak kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem.

Sumber: Suara.com

 

Tuah Para Pendamping Perhutanan Sosial

Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Bisnis.com, JAKARTA–Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Wajar jika ada perasaan lega setelah legalitas untuk hutan yang selama ini menjadi tempat Boedi berkebun terbit, pasalnya petani yang tinggal di Desa Gunung Agung, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, itu pernah punya pengalaman buruk.

 

“Saya tidak bisa tenang karena selalu menggarap lahan di kawasan hutan lindung, bahkan pada 2000 saya pernah dikejar-kejar polisi kehutanan [polhut] karena kebun saya tidak berizin,” katanya saat sarasehan masyarakat perhutanan sosial di Palembang, awal pekan ini.

Boedi mengatakan dirinya Bersama 200 petani lainnya mulai menggarap kawasan hutan untuk bercocok tanam sejak 1999 atau pascakebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 1997 silam.

 

Ratusan petani itu mengelola areal seluas 440 hektare yang masuk dalam hutan lindung di Kaki Gunung Dempo. Mereka tak hanya menanam alpukat, melainkan hortikultura lainnya, yakni nangka, durian juga tanaman sayur, seperti tomat, kol dan cabai.

Pengakuan dari negara untuk pemanfaatan hutan lindung bagi masyarakat di kawasan itu sampai di telinga Boedi pada 2013 ketika pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendatangi para petani setempat.

 

Dia mengatakan setelah mengantongi izin perhutanan sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM), Boedi dan kawan-kawan telah menyusun program kerja ke depan untuk pemanfaatan kawasan tersebut.

Boedi mengemukakan pihaknya ingin membuat naungan hasil hutan bukan kayu di areal tersebut di mana selain ditanami pohon buah-buahan, petani juga menanam kopi di tanah yang terkenal subur itu.

Perasaan lega tak hanya menghinggapi Boedi dan petani di Dempo Utara, melainkan ratusan petani kopi di Desa Sinar Nabalan, Kecamatan Buai Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan.

Ali Aripin, Sekretaris Kelompok Tani Napalan Makmur, mengatakan bahwa sebelum mengantongi izin perhutanan sosial pihaknya seringkali terkena pungutan liar (pungli) oleh sejumlah oknum yang enggan dia sebutkan institusinya.

Dia mengatakan, kopi menjadi komoditas utama yang ditanamnya di kawasan hutan tersebut, selain tanaman lain, seperti jahe, jagung, hingga jengkol.

Selain itu, Ali ingin ada pendampingan bagi petani kopi di tempatnya sehingga bisa meningkatkan produksi serta kualitas kopi yang berujung pada perbaikan harga komoditas itu di tingkat petani.

“Selama ini ya kami petik asalan. Selama ini tidak ada yang ngajarin petik biji kopi yang benar itu bagaimana, tetapi setelah ada perhutanan sosial ini program pendampingan mulai masuk ke desa kami,” katanya.

Pendampingan

Program perhutanan sosial untuk masyarakat memang membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah hingga lembaga sosial masyarakat (LSM), sehingga program yang mengusung misi untuk mengatasi konflik kehutanan hingga peningkatan kesejahteraan warga sekitar itu bisa optimal.

Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Rudjito Agus Suwignyo mengatakan Sumsel membutuhkan 400 tenaga pendamping, sedangkan jumlah tenaga yang tercatat saat ini baru 40 pendamping.

Ratusan pendamping itu diperlukan untuk disebar di 98.947 hektare kawasan perhutanan sosial yang telah diberi pemerintah untuk masyarakat, ditambah 40.000 ha lagi kawasan yang akan dilepaskan tahun ini.

Dia menilai skema perhutanan sosial perlu diperkuat karena sejauh ini masih belum optimal dalam pendampingan terhadap kelompok masyarakat dan perencanaan penyusunan Rancangan Kerja Usaha (RKU).

“Padahal, RKU itu menjadi dasar untuk memberikan akses permodalan dari bantuan hibah, CSR maupun dana pinjaman KUR dari perbankan atau dari BLU (Badan Layanan Umum),” katanya.

Secara nasional, hingga 2018, realisasi perhutanan sosial baru seluas 2,51 juta hektare. Capaian tersebut terlihat masih jauh dibandingkan dengan target kawasan hutan untuk program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang awalnya dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk selesai pada 2019.

KLHK pun memperkirakan realisasi hingga akhir tahun ini hanya mencapai 4,38 juta hektare. Maka dari itu, strategi menjemput bola mulai dijalankan termasuk dengan mendorong jumlah pendamping.

Saat ini, baru ada sekitar 3.600 pendamping petani penggarap lahan. Setidaknya masih diperlukan 1.400 pendamping di seluruh Indonesia.

KLHK mengaku telah menyampaikan secara terbuka kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, dan masyarakat luas untuk bergabung menjadi pendamping.

Sejumlah lembaga yang memberikan pendampingan untuk masyarakat yang mendapat izin perhutanan sosial di Sumsel adalah Zoological Society London (ZSL) Indonesia, Hutan Kita Institut (Haki) dan WRI Indonesia.

Sementara itu, Aidil Fikri, Fasilitator Haki, mengatakan pihaknya telah melakukan pendampingan bagi petani kopi di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim. “Kami sudah mendampingi petani kopi di sana selama dua tahun terakhir secara intens, tidak hanya di bidang hulu bahkan kami damping untuk hilir dari kopi yang mereka produksi,” katanya.

Salah satunya, Haki membantu pemasaran kopi jenis Semendo dengan brand Cahaya Alam yang dikemas menarik untuk dipasarkan secara ritel. Dalam kemasan tersebut juga diberi keterangan bahwa kopi robusta dan arabika itu merupakan produk perhutanan sosial.

“Kami sudah pasarkan ke beberapa kota di Indonesia, bahkan kami sudah mengenalkan kopi Cahaya Alam ini ke Amerika, Jepang dan Eropa,”ujarnya.

Pemprov Sumatra Selatan mencatat kawasan hutan yang telah diberikan ke masyarakat menjadi perhutanan sosial 98.947 hektare pada tahun ini.

Plt Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Thajanto mengatakan lahan perhutanan sosial di daerah itu ditujukan untuk 14.511 kepala keluarga (KK). Pandji memaparkan potensi kawasan perhutanan sosial yang tersebar di Sumsel mencapai hingga 300.000 ha yang bisa menjadi peningkatan akses ekonomi masyarakat sekitar.

Sumber: Bisnis.com

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan