- Perubahan iklim menjadi isu yang semakin hangat dibicarakan antar negara di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara pulau dan kepulauan, berkepentingan untuk bisa melaksanakan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim
- Indonesia mengajukan diri sebagai negara tetap Dewan Arktik, agar berkesempatan ikut melakukan riset dampak perubahan iklim secara lebih baik dan cepat mendapatkan datanya
- Peran riset juga akan bermanfaat untuk melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim, terutama bagi masyarakat umum yang tidak semuanya memiliki kemampuan intelegensia yang baik. Selain itu, yang paling besar, riset bersama juga akan menyelamatkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah terdampak perubahan iklim
- BAPPENAS memprediksi, dampak perubahan iklim akan terasa kuat di kawasan timur Indonesia dengan dampak seperti kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang. Khusus di pulau Lombok, NTB, dan kawasan Selatan Maluku, gelombang air laut diprediksi akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter
Indonesia menjadi negara pulau dan kepulauan yang terdampak langsung perubahan iklim. Fenomena alam yang sulit dihindari itu, dampaknya sudah muncul di berbagai pulau yang ada di Nusantara. Salah satunya, ada di pulau Jawa, pulau besar yang padat dengan penduduk.
Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Odo Manuhutu mengatakan, diantara dampak yang sudah terasa adalah naiknya permukaan air laut dan di saat yang sama justru terjadi penurunan muka tanah. Fenomena seperti itu, tidak hanya terjadi di satu tempat saja, tapi juga di banyak tempat.
“Garis pantai di wilayah perbatasan Semarang-Demak di Jawa Tengah saja, sudah mundur ke arah daratan sepanjang 2,6 kilometer dan itu sudah berlangsung sejak 1991 lalu,” ujarnya di Jakarta, dua pekan lalu.
Odo memaparkan, dari data yang dirilis Pusat Kajian Rehabilitasi Pesisir dan Mitigasi Bencana Universitas Diponegoro, Semarang pada 2014, didapat fakta bahwa seluas 2.075,65 hektare wilayah pesisir di Kecamatan Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kondisinya sudah terendam air laut. Padahal, sebelumnya kawasan tersebut dalah wilayah pesisir yang berada di bibir pantai.
Menurut Odo, munculnya sejumlah bencana yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim, memberi alasan kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk melibatkan Indonesia lebih jauh pada Dewan Arktik, yaitu organisasi tinggi antar pemerintah yang mempromosikan kerja sama, koordinasi, dan interaksi antar negara Arktik.
“Kita tengah menginisiasi usulan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pengamat tetap dalam Dewan Arktik. Upaya ini sudah dimulai sejak 2017 lalu,” ungkapnya.
Agar inisiasi bisa berhasil, Odo menyebut kalau Pemerintah Indonesia kemudian membuat naskah urgensi sebagai syarat pengajuan menjadi pengamat tetap Dewan Arktik. Naskah tersebut melibatkan banyak elemen terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Kelautan dan Perikanan, akademisi dari bidang hukum, kelautan, dan politik, serta organisasi non Peemrintah bidang kemaritiman.
Negara Riset
Menurut Odo, salah satu kegiatan Dewan Arktik yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, adalah melaksanakan riset bersama tentang perubahan iklim dan dampaknya. Kegiatan tersebut, dinilai akan bisa memberi keuntungan bagi Indonesia, negara pulau dan kepulauan yang sudah merasakan dampak perubahan iklim.
“Dengan menjadi permanent observer, kita bisa belajar tentang mitigasi perubahan dan mendapatkan data dari tangan pertama,” tuturnya.
Odo menambahkan, jika Indonesia bisa diterima menjadi negara tetap Dewan Arktik, maka itu artinya Indonesia akan bergabung dengan negara lain yang sudah menjadi Dewan Arktik sejak 2013. Mereka adalah Jepang, Tiongkok, India, Singapura, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut, mengikuti jejak delapan negara penggagas Dewan Arktik mengikti Deklarasi Ottawa 1996.
“Kedelapan negara yang menjadi penggagas itu, adalah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia,” jelasnya.
Sebagai negara yang memiliki kepentingan kuat pada isu perubahan iklim, Odo mengatakan kalau pihaknya sudah merumuskan beberapa isu utama yang menjadi kepentingan Indonesia di Arktik. Isu-isu itu, mencakup akses pengetahuan dan riset, isu perubahan iklim, isu keamanan energi, dan isu jalur pelayaran di masa depan.
“Menimbang potensi keuntungan yang dapat diperoleh dari status pengamat DA dalam isu-isu tersebut, telah disepakati bahwa pengajuan Indonesia menjadi negara pengamat DA akan diteruskan,” tambahnya.
Odo kemudian menjelaskan bahwa keinginan Indonesia untuk menjadi negara tetap Dewan Arktik sudah mendapat dukungan dari Sekretariat Dewan Arktik dan Islandia, salah satu negara anggota. Dukungan dari Islandia, menjadi faktor penting kesepakatan, karena negara tersebut akan memimpin Dewan Arktik untuk masa kepemimpinan 2019-2021.
Di mata Odo, inisiasi yang dilakukan Indonesia akan menjadi langkah penting untuk pelaksanaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di Indonesia. Oleh itu, keberhasilan menjadi negara tetap Dewan Arktik akan menjadi capaian penting dan bersejarah bagi Indonesia.
Peneliti Arktik dari CERAC Rizki Kaharuddin menyatakan, Indonesia memang memiliki kepentingan besar untuk bisa bergabung menjadi negara tetap Dewan Arktik. Pertimbangan tersebut didasarkan pada fakta bahwa ada manfaat yang didapat dari keanggotaan tersebut untuk melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim di masyarakat.
“Ada kemampuan penduduk asli untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dapat kita pelajari bila kita punya akses riset,” tuturnya.
Peran Masyarakat
Sementara, Peneliti dari Center for Coastal Rehabilitation and Mitigation Studies (CoFEM) Universitas Diponegoro Semarang, Muhammad Helmi, mengungkapkan bahwa penanggulangan dampak perubahan iklim harus dilakukan secara bersama dengan membuat beragam program dan melibatkan masyarakat secara langsung.
Helmi menuturkan, di Semarang, sejak 1991 hingga 2010 terjadi abrasi wilayah pesisir hingga sejauh 1,7 km dengan luas area terendam air laut mencapai 1.211,2 ha. Fakta tersebut, tak bisa diabaikan begitu saja oleh semua pihak, terutama masyarakat dan pemegang kebijakan yang ada di Semarang dan Jawa Tengah.
Sebelumnya, di awal 2019 lalu, Kepala Sub Direktorat Perubahan Iklim Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) Sudhiani Pratiwi mengatakan, Indonesia akan menjadi satu dari banyak negara pulau dan kepulauan di dunia yang merasakan dampak dari perubahan iklim di kawasan pesisir. Dalam hitungan 15 tahun ke depan, dampak tersebut akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang.
“Pada kurun waktu tersebut, Indonesia Timur diprediksi akan menjadi wilayah terparah yang terkena dampak,” ungkap dia.
Menurut Sudhiani, perubahan iklim tak hanya berdampak pada kehidupan biota laut beserta perairannya saja, namun juga berdampak pada sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan pesisir. Jika tidak dilakukan antisipasi dari sekarang, maka akan muncul banyak masalah di kawasan pesisir dan itu tak hanya beruurusan teknis saja, namun juga non teknis.
Sudhiani menjelaskan, kawasan terparah yang terdampak perubahan iklim diprediksi terjadi di sekitar pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kawasan Selatan Maluku. Di kedua kawasan tersebut, gelombang air laut akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter. Kondisi itu, dipastikan akan menyulitkan para nelayan yang harus mencari ikan menggunakan perahu tradisional.
Satu-satunya cara agar dampak dari perubahan iklim itu bisa diatasi, kata Sudhiani, adalah dengan menyiapkan langkah antisipasi dari sekarang. Walaupun masih jauh, tetapi kesiapan menghadapi situasi akan menjadi solusi paling bagus untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Terlebih, kawasan pesisir adalah kawasan paling rentan terkena dampak tersebut.
“Pemetaan masalah sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, persoalan pesisir itu ada kaitan erat dengan sosial ekonominya. Itu berarti, masyarakat di sekitar harus dilibatkan, karena memang merekalah yang akan terdampak secara langsung,” ungkapnya.
Tentang kenaikan gelombang air laut, menurut Sudhiani itu harus dicarikan solusi dari sekarang, salah satunya dengan mengganti perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan lokal. Perahu yang akan digunakan berikutnya, minimal harus berukuran 10 gros ton (GT) dan terbuat dari material yang kuat dari serangan korosi air laut.
Untuk bisa melaksanakan program penggantian kapal, Sudhiani menyebutkan, perlu ada koordinasi yang baik untuk melaksanakan pembagian tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Karenanya, walaupun KKP sudah melaksanakan pembagian kapal kepada nelayan dalam beberapa tahun terakhir, namun dia berpendapat untuk program penggantian kapal bagi nelayan yang terdampak perubahan iklim, harus melibatkan banyak kementerian dan instansi.
“Perlu ada diversifikasi profesi yang ditawarkan kepada nelayan. Jika memang sudah tidak mungkin lagi menjadi nelayan, apa yang harus dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup. Begitu juga, jika tetap menjadi nelayan, harus bagaimana agar bisa tetap bertahan,” jelasnya.
Sumber: Mongabay.co.id