Pemerintah Kaji Pungutan Ekspor Batu Bara

TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengemukakan pemerintah tengah mengkaji alternatif menjaga keuangan PT PLN (Persero) sebagai pengganti jika penetapan harga khusus batu bara domestik dicabut. Salah satunya adalah pemberlakuan pungutan ekspor batubara. Nantinya, penambang yang menjual batubaranya ke luar negeri wajib menyetor sejumlah uang jika harga batubara melewati batas yang ditentukan pemerintah.

“Besaran pungutannya tergantung. Sekarang harga di Newcastle (Coal Price Index) US$ 125 per ton. Nanti ada kalorinya berapa, kami hitung,” ungkap Luhut di kantornya, Senin 30 Juli 2018.

Luhut irit berbicara soal detil opsi ini. Soalnya, kata dia, rencana tersebut masih dalam pembahasan bersama Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta PLN. Dia optimistis kebijakan nantinya akan menguntungkan semua pihak.

Dia pun tak bisa memastikan apakah pencabutan harga khusus batubara berlaku dalam waktu dekat. “Kami belum lihat tahun ini. Tapi bisa saja nanti kalau perhitungan tuntas kami bisa pertimbangkan,” tutur dia.

Luhut mengemukakan pencabutan harga khusus bertujuan untuk menambah pendapatan negara. Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, regulasi harga batubara domestik membuat negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 6 triliun tahun ini. Sementara, pemerintah tengah mencari segala cara untuk menekan defisit neraca perdagangan.

Pengusaha batubara menyambut positif perubahan skema ini. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia Hendra Sinadia, pungutan ekspor adalah solusi yang menguntungkan bagi semua pihak. Sebab, PLN tetap mendapatkan dana untuk menekan biaya produksi setrum. Sedangkan pengusaha tetap bisa beroperasi dengan jaminan harga batubara yang ditentukan pasar.

Hendra mengemukakan pembatasan harga terbukti sulit dilaksanakan. Banyak penambang belum bisa memasok batubara karena tak cocok dengan standar milik PT PLN (Persero) sebagai pembeli. Pembangkit batubara PLN hanya mampu menerima batubara dengan Spesifikasi 4.000-5.000 kalori per gram. Padahal, penjual harus memenuhi kuota DMO sesuai dengan kewajiban pemerintah. Jika tak mencapai kuota, pemerintah bakal memangkas batas produksi batubara penambang di tahun berikutnya.

Kementerian Energi sebenarnya membolehkan penambang melakukan transfer kuota. Artinya, penambang yang tidak menjual batubara sesuai kewajiban bisa membeli kuota dari perusahaan yang memiliki persentase produksi berlebih. Namun surat itu tak membuat masalah beres. Sebab, banyak penambang yang keberatan harus membeli kuota dengan harga yang mahal.

“Banyak perusahaan yang sudah melaporkan kesulitan memasok batubara karena kebijakan ini,” ungkap Hendra.

Asosiasi nantinya akan menghelat kajian lanjutan untuk skema pungutan ekspor. Bisa saja, kata Hendra, dana nantinya dikelola oleh lembaga khusus. Skemanya seperti Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang mengelola setoran ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO).

“Kami akan mengkaji detil arahnya dan dari pemerintah maunya bagaimana,” tutur Hendra.

Meski begitu, Hendra memberi catatan bahwa asosiasi menginginkan kebijakan khusus batubara domestik hanya berlaku hingga tahun depan. Sebab, ini sesuai dengan komitmen pemerintah menahan tarif listrik sampai 2019.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono mengakui masih ada penambang batu bara yang belum melaksanakan kewajibannya. Pemerintah saat ini juga sulit menghukum perusahaan yang melanggar. Sebagian besar di antaranya adalah penambang kecil yang mengantongi izin dari pemerintah provinsi. Namun, kata Bambang, hal itu bukan satu-satunya alasan pemerintah untuk membatalkan kebijakan. “Penambang memang ada yang memenuhi dan ada yang tidak. Tapi belum ada rencana itu (penghapusan harga khusus batubara)” tutur dia.
Sumber : Tempo.co

Reporter: Robby Irfany

Editor: Ali Akhmad Noor Hidayat

Cabut Harga Pasokan Batu Bara Domestik Tak Signifikan Perbaiki Defisit

Rencana pemerintah mencabut aturan harga kewajiban penjualan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) batu bara mendapatkan tentangan dari berbagai kalangan.

Tujuan utama dari kebijakan ini untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan bahkan dikatakan mengada-ada. “Alasan yang dikemukakan sesungguhnya mengada-ada,” ujar Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (28/7/2018).

Ia menuturkan, ketentuan DMO produksi batu bara hanya 25 persen dari total penjualan. Sedangkan 75 persen masih tetap bisa diekspor dengan harga pasar.

“Dengan DMO produksi 25 persen, penambahan devisa dari ekspor sangat tidak signifikan, bahkan diperkirakan tidak ada tambahan devisa sama sekali untuk mengurangi defisit neraca pembayaran,” ujar dia.

Fahmy menuturkan, berdasarkan data Kementerian ESDM, total produksi batu bara pada 2018 diperkirakan sebesar 425 juta metrik ton. Sementara, harga pasar batu bara pada Juli 2018 sebesar USD 104,65 per metrik to. Kalau penjualan 25 persen kepada PLN atau sebesar 106 juta metrik ton dijual dengan harga pasar, tambahan pendapatan sebesar USD 3,68 miliar.

Angka USD 3,68 miliar ini merupakan hasil dari USD 11,12 (jika batu bara DMO dijual dengan harga pasar) dikurangi dengan USD 7,44 miliar (jika batu bara dijual dengan harga khusus USD 70 per metrik ton). Sementara, menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar USD 25 miliar.

“Maka selisih harga itu tidak signifikan,” kata dia.

Fahmy juga kritisi pernyataan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar yang menyatakan, DMO harga USD 70 yang akan dibatalkan dan bukan produksi 25 persen.

“Artinya, pengusaha batubara tidak mengekspor seluruh total produksi batubara sebesar 425 juta metrik ton, tetapi tetap menjual ke PLN sebesar 25 persen produksi atau sekitar 106,25 juta metrik ton. Hanya, menjualnya ke PLN dengan harga pasar USD 104,65, bukan harga DMO USD 70 per metrik ton,” ujar dia.

“Kalau benar yang dikatakan oleh Acandra, tidak akan ada tambahan devisa dari pendapatan ekspor, melainkan penambahan pendapatan pengusaha batu bara dari PLN, yang berasal dari kenaikan harga jual dari USD 70 naik menjadi USD 104,65,” ujar dia.

Dengan demikian, pembatalan DMO harga batu bara tidak menghasilkan tambahan devisa sama sekali, kecuali hanya menambah pendapatan pengusaha batu bara, sekaligus menambah beban biaya bagi PLN. “Kecuali seluruh produksi batu bara sebesar 425 metrik ton diekspor, maka akan ada tambahan devisa dari ekspor batubara sebesar USD 3,68 miliar,” kata dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

PWYP Minta Pemerintah Konsisten Kendalikan Produksi Batubara

Jakarta,  TAMBANG – Publish What You Pay (PWYP) Indonesia meminta Pemerintah Indonesia konsisten dengan kebijakan pengendalian produksi batu bara.

Hal ini dimandatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang baru-baru ini juga diperkuat dengan penerbitan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Mineral dan Batubara. Dimana dalam Permen tersebut diatur mengenai wewenang pemerintah untuk melakukan kebijakan pengendalian produksi batubara.

Dalam RPJMN Tahun 2015–2019, target produksi tahun ini hanya 406 juta ton, dengan skenario yang harus diturunkan terus hingga hanya 400 juta ton di tahun 2019. Tapi jika melihat produksi semester satu tahun ini yang sudah mencapai 163,44 juta ton, gelagatnya akhir tahun bakal lebih dari 485 juta ton (target RKAB).

Padahal Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) juga sudah sejalan dengan RPJMN yang memasang skenario pembatasan produksi batu bara, mengingat dampak lingkungan (emisi karbon/gas rumah kaca dan penebangan hutan) serta potensi dampak kesehatan yang ditimbulkannya.

Peneliti Tata Kelola Pertambangan PWYP Indonesia, Rizky Ananda,menyesalkan inkonsistensi pemerintah dalam mengendalikan produksi batubara tersebut. Padahal, selain RPJMN dan RUEN,  Permen ESDM 25/2018 menegaskan kembali kewenangan Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pengendalian produksi, seharusnya Pemerintah dapat menetapkan batas produksi batu bara yang harus dipatuhi oleh pelaku usaha.

Lebih lanjut Rizky mengkritik pemerintah selama ini justru terbelenggu oleh mekanisme yang keliru, yakni menentukan target produksi nasional berdasarkan usulan perusahaan dalam RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) baik PKP2B maupun IUP di pusat maupun di daerah.

Rizky menegaskan,  seharusnya Pemerintah menetapkan angka produksi nasional per tahunnya sesuai dengan skenario perencanaan kebijakan, lalu diturunkan ke batasan produksi bagi tiap-tiap perusahaan, jadi semestinya dengan mekanisme top-down bukan bottom-up.

“Ini mengindikasikan bahwa Pemerintah cenderung disetir oleh kepentingan pasar yang memburu pendapatan dari perdagangan komoditas, bukan kepentingan strategis pembangunan yang sudah direncanakan dalam RPJMN,” imbuh Rizky.

Kewajiban DMO dan Pembatasan Produksi

Rizky menambahkan, inkonsistensi kebijakan juga menghambat pelaksanaan kebijakan pengendalian produksi batu bara. Salah satunya Keputusan Menteri ESDM No.1395K/30/MEM/2018 yang justru memberikan insentif berupa kenaikan kuota produksi sebesar 10 persen bagi pelaku usaha yang memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation(DMO).  Padahal, pengalokasian DMO sebesar 25 persen sudah menjadi kewajiban pelaku usaha.

“Semestinya tidak perlu diberi insentif, karna justru memicu eksploitasi batubara yang berlebihan, apalagi di saat harga merangkak naik,” tegas Rizky.

Sementara, sanksi pemotongan kuota produksi (melalui SE Menteri ESDM bernomor 2841/30/MEM.B/18) bagi pelaku usaha yang tidak memenuhi kewajiban DMO juga disangsikan efektifitasnya tanpa ada pengawasan yang ketat dari Pemerintah.

 

Pasalnya, pengawasan selama ini masih bertumpu pada laporan yang bersifat selfreporting dari pelaku usaha. Sementara Korsup Minerba mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam pelaporan produksi dan penjualan ke pemberi izin masih rendah. Begitu juga dengan kepatuhan pemerintah daerah dalam menyampaikan laporan pengawasan produksi dan penjualan ke pemerintah pusat,” ungkap Rizky.

“Terlebih dari 1.575 IUP batubara yang berada di fase operasi produksi, hanya 41 diantaranya yang merupakan izin pusat (Maret 2018). Sisanya merupakan izin provinsi.  Karenanya, pemerintah daerah juga memiliki peranan penting dalam pengawasan produksi,” pungkas Rizky.

Mengenai kepatuhan pelaku usaha, khususnya dalam memenuhi kewajiban keuangan, lingkungan,  dan menutup celah kebocoran dalam rantai produksi dan penjualan, sejumlah persoalan masih membayangi tata kelola batub

Bukit Asam Mulai Konstruksi PLTU Sumsel 8 Senilai Rp 24 T

Jakarta, CNBC Indonesia- PT Bukit Asam Tbk (PTBA) berencana memulai tahap konstruksi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 8 (Banko Tengah 2×620 MW) pada kuartal-III tahun ini.

Nilai dari proyek tersebut mencapai US$ 1,68 miliar atau setara Rp 24 triliun. Menurut perseroan, proyek tersbeut merupakan bagian dari program 35 ribu MW dan dibangun oleh PTBA melalui PT Huadian Bukit Asam Power (PT HBAP) sebagai independent Power Producer (IPP).

PT HBAP sendiri merupakan konsorsium antara perseroan dengan China Huadian Hongkong Company Ltd dengan share sebesar 45% bagi PTBA dan sisanya 55% dipegang oleh China Huadian Hongkong Company Ltd.

Skema pembiayaan dari proyek tersbeut diantaranya 25% ekuitas dan 75% berasal dari fasilitas pinjaman.

“PT HBAP telah menandatangani loan facility agreement dimana CEXIM Bank akan memberikan pinjaman sebesar 75% dari total biaya proyek atau senilai US$ 1,26 miliar,” ujar Arviyan Arifin Direktur Utama PTBA di The Ritz Carlton Hotel Mega Kuningan, Senin (23/7/18).

Nantinya, dari proyek tersebut PT HBAP juga akan membangun jalur transmisi dari PLTU Sumsel 8 ke Gardu Induk PLN di Muara Enim sejauh 45 kilometer dan mengalirkan listriknya untuk Sumatera Grid menggunakan jalur transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SYTET) 500 KV.

“Amandemen Power Purchase Agreement (PPA) DAN Coal Supply Agreement (CSA) atas proyek PLTU ini sudah ditandatangani bersama dengan PT PLN (Persero), PTBA dan PT HBAP,” tambah Arviyan.

Direncanakan konstruksi proyek tersebut akan berlangsung selama 42 bulan untuk Unit I dan 45 bulan kedepan untuk Unit II.

Sedangkan Commercial Operation Date (COD) ditargetkan pada tahun 2021 mendatang untuk Unit I dan pada tahun 2022 untuk Unit II dengan total kebutuhan bat bara sebesar 5,4 juta taon per tahun.

Tanggapan Akuisisi Freeport
Sementara itu, Direktur Utama Perseroan Arviyan Arifin mengatakan bahwa pihaknya tidak terlalu terlibat secara langsung terhadap kepemilikan 51% saham PT Freeport Indonesia melalui PT Inalum (Persero) selaku induk usaha (holding).

Namun, menurutnya secara tidak langsung perseroan juga memiliki kontribusi terhadap rencana tersebut mengingat lebih dari 50% pendapatan yang diperoleh Inalum berasal dari perseroan.

“Secara langsung tidak ada, namun secara langsung iya, kami sebenarnya bisa saja membeli Freeport sendiri. Sinergi dengan Freeport tentu akan ada kami bisa belajar bagaimana membuat tambang yang katanya sedalam 600 kilometer dan mau 1.000 kilometer kan,” ungkap Arviyan. (gus)

 

Copyright: CNCB Indonesia

Coaching Clinic Verifikasi Teknis dan Fasilitasi Usulan Permohonan Izin Perhutanan Sosial Sumatera Selatan

Sebagai tindak lanjut dari Loka karya POKJA PPS Sumatera selatan yang telah dibahas sebelumya  pada tanggal tanggal 10 Juli 2018 mengenai Pra Coaching Clinic, maka pada tanggal 17 juli s/d 19 juli POKJA PPS Sumatera selatan mengadakan Rapat untuk membahas  mengenai kegiatan Coaching Clinic Verifikasi teknis dan Fasilitasi Usulan Perhutanan Sosial, Rapat tersebut  dihadiri oleh PKPS pusat, Tim Balai BPSKL Wilayah Sumatera, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Kepala Dinas POKJA PPS Sumatera selatan dan seluruh 45 Anggota Tim Verifikasi dan fasilitasi Usulan Permohonan Izin Perhutanan Sosial.

Ketua POKJA PPS Sumatera Selatan Prof. Dr. Rujito Agus Suwignyo, M.Agr sebagai pemimpin dalam rapat tersebut memberikan arahan yang positif agar kegiatan berjalan dengan baik  serta menyampaikan hasil Pra Coaching Clinic ” jemput Bola” Percepatan Perhutanan Sosial Provinsi Sumatera Selatan, selain itu juga ke 45 Anggota tersebut diberikan pembekalan oleh tim PKPS, BPSKL dan TP2PS pendampingan Fasilitasi Usulan  permohonan izin Perhutanan Sosial, dan pembentukan tim yang telah disepakati menjadi 29 Tim. (Grand Zuri Palembang 17 juli 2018)

Dari ke 29 Tim tersebut, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan Menunjuk dua orang dari Pinus Sumsel yaitu Ir. Ahmad Muhaimin dan Rani Nova Riani Spd untuk memberikan kontribusi dalam kegiatan Coaching Clinic Verifikasi teknis dan Fasilitasi Usulan Perhutanan Sosial

Ir. Ahmad Muhaimin menambahkan bahwa “kembali kepada Komitmen PINUS  untuk percepatan Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan dan misi untuk menciptakan good Goverment”, semoga kegiatan Coaching Clinic Verifikasi teknis dan Fasilitasi Usulan Perhutanan Sosial ini berjalan dengan baik. ujarnya

 

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan