Efek Nobar Sexy Killer, Ternyata Ada 4 Perusahaan Batubara Terbesar di Indonesia

AKURAT.CO, Sobat Milenial belum lama ini ramai perbincangan soal film Sexy Killers dimana film ini tergolong sensitif karena bertepatan dengan pesta demokrasi. Sementara film tersebut mengupas tuntas perusahaan tambang batubara yang memiliki keterkaitan dengan penguasa dan jaringannya.

Dalam film tersebut juga terkuak sejumlah data dari masing-masing kubu yang ikut konstestasi dalam bursa pilpres. Dimana beberapa konstestan dan jaringan kelompoknya memiliki investasi cukup besar disektor pertambangan batubara.

Hal ini tentu saja membuka mata kita bahwa penguasa juga bisa memiliki bisnis pertambangan batubara. Boleh jadi aksesnya lebih mudah dan bisnisnya lebih terjamin karena ada embel-embel pemerintah? Entahlah kita tidak perlu berspekulasi.

 

Batu bara memang sangat menjanjikan, sebab sedang menjadi primadona dibidang energi. Pasalnya batu bara dianggap lebih murah dibading menggunakan energi alternatif lainnya. Al hasil batubara begitu diburu oleh perusahaan energi.

Nah sobat milenial, berikut data 4 perusahahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia.

1. Kaltim Prima Coal (KPC)

KPC bergerak dibidang pertambangan dan pemasaran batu bara. Kebanyakan batu bara hasil produksi KPC di pasok untuk industri baik di dalam maupun di luar negeri. Perusahaan ini berlokasi di Sangatta, Kabupaten Kutai Timur, Kaltim.

KPC mengelola konsesi area pertambangan mencapai 90.938 hektar di Sanggatta. Saham KPC dikuasai PT Bumi Resourches Tbk. Adapun hasil produksinya lumanyan menjanjikan yakni mencapai 57,6 juta ton dan laba mencapai Rp3,79 triliun pada akhir tahun 2017 silam.

2. Adaro Indonesia

Berdiri sejak tahun 1966 perusahaan ini memegang konsesi di wilayah Kalimantan Selatan dengan mengelola 3 pertambangan sekaligus yaitu di daerah Tutupan, Paringin dan Wara. Adaro Indonesia mampu menghasilkan produksi mencapai 54 juta ton pada 2018 silam.

Adaro juga mencatatkan pendapatan mencapai angka fantastis yakni sekitar Rp 37 triliun. 43 Persen Saham Adaro Indonesia dikuasai PT Adaro Strategic Investmen dan sebagian sahamnya dimiliki Gabribaldi dan Erik Tohir dan share publik.

3. Berau Coal 

Satu lagi perusahaan Batubara dari Kalimantan Timur, yang berpusat di Berau. Perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan dan perdagangan batu bara ini memperoleh konsesi lahan seluas 118.400 hektar di Berau Samarinda.

Sementara untuk kepemilikan saham dikuasai Vallar Investment UK Limited dan Sinarmas Group. Adapun total produksi berdasarkan data tahun 2016 mencapai 26 juta metrix ton.

4. Kideco Jaya Agung

Masih dari Kalimantan Timur Kideco Jaya Agung sudah mulai operasionalnya sejak tahun 1982 terletak di Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.

Saham perusahaan batu bara Kideco Jaya Agung ini dikuasai PT Indika Energi sebanyak 91 Persen. Sisanya dimiliki Samtan co.,Ltd. Dengan total produksi per akhir tahun 2018 mencapai 26,1 juta metrik ton.[]

 

sumber: Akurat.co

KLHK Didesak Hentikan Pertambangan Ilegal di Kawasan Hutan

Perwakilan masyarakat sipil yang terdiri perwakilan masyarakat Barito Timur dan Berau menuntut tindakan tegas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penegakan hukum pidana bagi perusahaan tambang yang melakukan usaha tambang di hutan secara ilegal.

Komitmen KLHK, institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan hutan dan lingkungan hidup di Indonesia, dalam menegakkan hukum patut dipertanyakan. Pasca koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang digalakkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih saja ditemukan perusahaan-perusahaan tambang yang membangkang pada aturan. Dua dari ribuan perusahaan yang membangkang tersebut adalah PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (PT BNJM) dan PT Kaltim Jaya Bara (PT KJB), masing-masing merupakan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

“KLHK harus segera merespon laporan masyarakat dan menindak tegas PT BNJM, karena sampai saat ini belum mengantongi IPPKH. Bukti-bukti yg dilampirkan juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP), beroperasi di kawasan hutan dan sampai saat ini, tidak pernah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH,” ujar Raynaldo Sembiring dari ICEL dalam keterangan resmi, Kamis (6/4/2017).

“Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan merupakan izin yang wajib dimiliki oleh siapapun yang akan menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, termasuk untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, maupun eksploitasi bahan tambang supaya kegiatan pertambangan terkontrol,” tambah Raynaldo.

Merah Johansyah dari JATAM menegaskan, “Selain menghancurkan kawasan hutan dan mengakibatkan kerugian negara karena diduga beroperasi tanpa IPPKH, penambangan ilegal di kawasan hutan jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang menargetkan akan mengurangi emisi GRK sampai 29 persen, salah satunya menjaga kawasan hutan dan lahan dengan pencegahan dan penegakan hukum, terutama di kawasan hutan bumi Borneo yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.”

Selain itu, Mardiana, perwakilan tokoh Perempuan Adat Dayak Maanyan, Kabupaten Barito Timur menyatakan, “Kegiatan tambang di hutan telah menghilangkan sumber kehidupan masyarakat dan memaksa masyarakat untuk membayar mahal terhadap kebutuhan sehari – harinya . Sebelumnya, masyarakat dapat menikmati madu, buah-buahan dan ikan-ikan dari hutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.”

Menambang tanpa IPPKH di kawasan hutan merupakan bentuk tindak pidana yang serius dan banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Maka dari itu, sekali lagi, masyarakat menuntut ketegasan dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang tidak taat pada aturan dan telah merusak kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem.

Sumber: Suara.com

 

Tuah Para Pendamping Perhutanan Sosial

Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Bisnis.com, JAKARTA–Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Wajar jika ada perasaan lega setelah legalitas untuk hutan yang selama ini menjadi tempat Boedi berkebun terbit, pasalnya petani yang tinggal di Desa Gunung Agung, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, itu pernah punya pengalaman buruk.

 

“Saya tidak bisa tenang karena selalu menggarap lahan di kawasan hutan lindung, bahkan pada 2000 saya pernah dikejar-kejar polisi kehutanan [polhut] karena kebun saya tidak berizin,” katanya saat sarasehan masyarakat perhutanan sosial di Palembang, awal pekan ini.

Boedi mengatakan dirinya Bersama 200 petani lainnya mulai menggarap kawasan hutan untuk bercocok tanam sejak 1999 atau pascakebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 1997 silam.

 

Ratusan petani itu mengelola areal seluas 440 hektare yang masuk dalam hutan lindung di Kaki Gunung Dempo. Mereka tak hanya menanam alpukat, melainkan hortikultura lainnya, yakni nangka, durian juga tanaman sayur, seperti tomat, kol dan cabai.

Pengakuan dari negara untuk pemanfaatan hutan lindung bagi masyarakat di kawasan itu sampai di telinga Boedi pada 2013 ketika pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendatangi para petani setempat.

 

Dia mengatakan setelah mengantongi izin perhutanan sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM), Boedi dan kawan-kawan telah menyusun program kerja ke depan untuk pemanfaatan kawasan tersebut.

Boedi mengemukakan pihaknya ingin membuat naungan hasil hutan bukan kayu di areal tersebut di mana selain ditanami pohon buah-buahan, petani juga menanam kopi di tanah yang terkenal subur itu.

Perasaan lega tak hanya menghinggapi Boedi dan petani di Dempo Utara, melainkan ratusan petani kopi di Desa Sinar Nabalan, Kecamatan Buai Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan.

Ali Aripin, Sekretaris Kelompok Tani Napalan Makmur, mengatakan bahwa sebelum mengantongi izin perhutanan sosial pihaknya seringkali terkena pungutan liar (pungli) oleh sejumlah oknum yang enggan dia sebutkan institusinya.

Dia mengatakan, kopi menjadi komoditas utama yang ditanamnya di kawasan hutan tersebut, selain tanaman lain, seperti jahe, jagung, hingga jengkol.

Selain itu, Ali ingin ada pendampingan bagi petani kopi di tempatnya sehingga bisa meningkatkan produksi serta kualitas kopi yang berujung pada perbaikan harga komoditas itu di tingkat petani.

“Selama ini ya kami petik asalan. Selama ini tidak ada yang ngajarin petik biji kopi yang benar itu bagaimana, tetapi setelah ada perhutanan sosial ini program pendampingan mulai masuk ke desa kami,” katanya.

Pendampingan

Program perhutanan sosial untuk masyarakat memang membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah hingga lembaga sosial masyarakat (LSM), sehingga program yang mengusung misi untuk mengatasi konflik kehutanan hingga peningkatan kesejahteraan warga sekitar itu bisa optimal.

Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Rudjito Agus Suwignyo mengatakan Sumsel membutuhkan 400 tenaga pendamping, sedangkan jumlah tenaga yang tercatat saat ini baru 40 pendamping.

Ratusan pendamping itu diperlukan untuk disebar di 98.947 hektare kawasan perhutanan sosial yang telah diberi pemerintah untuk masyarakat, ditambah 40.000 ha lagi kawasan yang akan dilepaskan tahun ini.

Dia menilai skema perhutanan sosial perlu diperkuat karena sejauh ini masih belum optimal dalam pendampingan terhadap kelompok masyarakat dan perencanaan penyusunan Rancangan Kerja Usaha (RKU).

“Padahal, RKU itu menjadi dasar untuk memberikan akses permodalan dari bantuan hibah, CSR maupun dana pinjaman KUR dari perbankan atau dari BLU (Badan Layanan Umum),” katanya.

Secara nasional, hingga 2018, realisasi perhutanan sosial baru seluas 2,51 juta hektare. Capaian tersebut terlihat masih jauh dibandingkan dengan target kawasan hutan untuk program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang awalnya dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk selesai pada 2019.

KLHK pun memperkirakan realisasi hingga akhir tahun ini hanya mencapai 4,38 juta hektare. Maka dari itu, strategi menjemput bola mulai dijalankan termasuk dengan mendorong jumlah pendamping.

Saat ini, baru ada sekitar 3.600 pendamping petani penggarap lahan. Setidaknya masih diperlukan 1.400 pendamping di seluruh Indonesia.

KLHK mengaku telah menyampaikan secara terbuka kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, dan masyarakat luas untuk bergabung menjadi pendamping.

Sejumlah lembaga yang memberikan pendampingan untuk masyarakat yang mendapat izin perhutanan sosial di Sumsel adalah Zoological Society London (ZSL) Indonesia, Hutan Kita Institut (Haki) dan WRI Indonesia.

Sementara itu, Aidil Fikri, Fasilitator Haki, mengatakan pihaknya telah melakukan pendampingan bagi petani kopi di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim. “Kami sudah mendampingi petani kopi di sana selama dua tahun terakhir secara intens, tidak hanya di bidang hulu bahkan kami damping untuk hilir dari kopi yang mereka produksi,” katanya.

Salah satunya, Haki membantu pemasaran kopi jenis Semendo dengan brand Cahaya Alam yang dikemas menarik untuk dipasarkan secara ritel. Dalam kemasan tersebut juga diberi keterangan bahwa kopi robusta dan arabika itu merupakan produk perhutanan sosial.

“Kami sudah pasarkan ke beberapa kota di Indonesia, bahkan kami sudah mengenalkan kopi Cahaya Alam ini ke Amerika, Jepang dan Eropa,”ujarnya.

Pemprov Sumatra Selatan mencatat kawasan hutan yang telah diberikan ke masyarakat menjadi perhutanan sosial 98.947 hektare pada tahun ini.

Plt Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Thajanto mengatakan lahan perhutanan sosial di daerah itu ditujukan untuk 14.511 kepala keluarga (KK). Pandji memaparkan potensi kawasan perhutanan sosial yang tersebar di Sumsel mencapai hingga 300.000 ha yang bisa menjadi peningkatan akses ekonomi masyarakat sekitar.

Sumber: Bisnis.com

Mawardi Yahya Berharap Pemegang Izin Perhutanan Sosial Bisa Lebih Produktif dan Menyejahterakan

PALEMBANG-Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Mawardi Yahya membuka acara Sarasehan masyarakat perhutanan sosial dan rapat koordinasi Pokja percepatan perhutanan sosial di Asrama Haji Palembang, Senin (1/4/2019).

Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya mengucapkan terima kasih dan rasa bangga kepada Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) Sumsel yang telah memprakarsai kegiatan ini.

Menurutnya kegiatan ini mengumpulkan dan memberi pencerahan bagi para pemegang izin perhutanan sosial.

“Diharapkan kegiatan sarasehan ini menjadi pendorong dalam mengelola area izinnya agar lebih produktif, menyejahterakan dan dapat mewujudkan kelestarian hutan,” katanya.

Perhutanan Sosial merupakan usaha untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang dulunya tidak diberikan akses legal oleh pemerintah, dan sekarang telah diberikan.

Dalam kesempatan yang sama Mawardi mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mendukung program dan melaksanakan kebijakan perhimpunan sosial dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait.

Serta melakukan pengawalan dalam bentuk fasilitasi banyak sekali kegiatan perhutanan sosial mulai dari fasilitasi kegiatan penyiapan kawasan perhutanan sosial, penanganan konflik, pembinaan usaha perhutanan sosial.

“Ada status hak yang adalah hutan kemasyarakatan yang tidak jelas akan dibenarkan dan diberikan hak dan statusnya, kemudian ada pula hutan desa yang nantinya mendapat kepastian hukum,”

“Hutan adat yang ke depan akan ada pembinaan melalui pokja-pokja dengan dinas kehutanan kabupaten/kota maupun dinas kehutanan Provinsi Sumsel,” tambahnya.

 

Oleh sebab itu pula Ia sangat mengapresiasi acara sarahsehan ini yang akan memberikan kejelasan terhadap statusnya.

“Dan harapan kita (Pemprov Sumsel) jangan dengan mendapat status nantinya diperjual belikan dan nantinya pula bukan membantu masyarakat kecil tapi terkoodinir oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab justru tidak sampai sasaran dalam pengalokasiannya,” tambahnya.

Melalui program kehutanan sosial yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo sejak 2018 lalu membuat masyarakat yang berada disekitaran kawasan hutan kini dapat bernafas lega.

Boedi salah satunya. Lelaki berusia 43 tahun warga Desa Gunung Agung, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, Sumatra Selatan mengaku program perhutanan sosial itu memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat di Kecamatan Dempo Utara.

Sebagai ketua kelompok dari petani penerima SK Perhutanan Sosial, ia bersama 96 kartu keluarga lainnya sudah mulai merasakan dampak program itu.

Ia menceritakan, sebelum dilegalkan izin perhutanan sosial ini. Ia bersama warga lain harus berjibaku dengan polisi hutan jika sedang patroli.

“Dari tahun 1999 kami bertani dikawasan hutan. Sejak saat itu, kami selalu was-was dikejar Polisi Hutan karena kami melakukan kegiatan bertani dan berkebun di area hutan yang notabene-nya kami lakukan secara ilegal. Sekarang, sejak 2018 lalu, alhamdulillah kami sudah tenang,” tegas dia.

Katanya, saat belum mendapatkan izin pemanfaatan kawasan hutan memang banyak susahnya.

“Bukan hanya dikejar Polisi Hutan, namun ia dan petani lainnya takut untuk memperluas area pertaniannya,” ujarnya.

Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Erna Rosdiana mengatakan pemerintah menargetkan 12,7 hektar hutan sosial, dan hingga kini sudah tercapai 2,6 juta hektar.

“SK Perhutanan Sosial ini diperuntukkan sebagai izin pemanfaatan hutan menjadi lahan produktif, dan mensejahterakan masyarakat. SK ini tidak boleh dijualbelikan atau dipindahtangankan ke pihak lain,” tambah Erna.

Pemerintah juga memberikan bantuan berupa permudah pemberian modal.

“Pemerintah fokus pada kesejahteraan rakyat. Karena lahan sudah legal, maka pintu gerbang berbagai kemudahan sudah bisa didapatkan. Bukan hanya perbankan bisa masuk, namun dana desa bisa masuk kesana, UMKM, koperasi pun bisa,” ucapnya.

Pemerintah daerah pun sudah diminta untuk membantu para petani yang mendapatkan izin perhutanan sosial. Seperti bantuan bibit dan sebagainya.

“Bantuan tidak hanya uang, tapi bisa bantuan bibit, pendampingan, ataupun peralatan yang dibutuhkan,” kata dia.

Untuk di Sumsel hingga desember 2018, pemerintah telah menerbitkan 93 izin perhutanan sosial di Sumsel seluas 98.947,18 hektar.

Hadir pula dalam kesempatan ini Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumsel M Yansuri, Direktur Hutan Kita Institute Aidil Fitri, Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Prof Rudjito Agus Sugwignyo.

Sumber: TribunSumsel.com

Wagub Sumsel Mawardi Yahya Tegaskan Pemegang Izin Perhutanan Sosial Harus Tepat Sasaran

SRIPOKU.COM, PALEMBANG– Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Mawardi Yahya membuka dengan resmi acara Sarasehan masyarakat perhutanan sosial dan rapat koordinasi Pokja percepatan perhutanan sosial, bertempat di Asrama Haji Palembang, Senin (01/04).

Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya mengucapkan terima kasih dan rasa bangga kepada Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) Sumsel yang telah memprakarsai kegiatan ini, dimana menurutnya akan mengumpulkan dan memberikan ajang pencerahan bagi para pemegang izin perhutanan sosial.

“Diharapkan kegiatan sarasehan ini menjadi pendorong dalam mengelola area izinnya agar lebih produktif, mensejahterakan dan dapat mewujudkan kelestarian hutan,” katanya.

Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Mawardi Yahya membuka dengan resmi acara Sarasehan masyarakat perhutanan sosial dan rapat koordinasi Pokja percepatan perhutanan sosial, bertempat di Asrama Haji Palembang, Senin (01/04). (Dok. Humas Pemprov Sumsel)

Dikatakan Mawardi, Perhutanan Sosial merupakan salah satu usaha untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang dulunya tidak diberikan akses legal oleh pemerintah dan sekarang telah diberikan.

Dalam kesempatan yang sama Mawardi mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mendukung program dan melaksanakan kebijakan perhimpunan sosial dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait, serta melakukan pengawalan dalam bentuk fasilitasi banyak sekali kegiatan perhutanan sosial mulai dari fasilitasi kegiatan penyiapan kawasan perhutanan sosial, penanganan konflik, pembinaan usaha perhutanan sosial.

“Ada status hak yang adalah hutan kemasyarakatan yang tidak jelas akan dibenarkan dan diberikan hak dan statusnya, kemudian ada pula hutan desa yang nantinya mendapat kepastian hukum, hutan adat yang kedepan akan ada pembinaan melalui pokja-pokja dengan dinas kehutanan kabupaten/kota maupun dinas kehutanan Provinsi Sumsel,” tambahnya

Oleh sebab itu pula Ia sangat mengapresiasi acara sarahsehan ini yang akan memberikan kejelasan terhadap statusnya.

“Dan harapan kita (Pemprov Sumsel) jangan dengan mendapat status nantinya diperjual belikan dan nantinya pula bukan membantu masyarakat kecil tapi terkoodinir oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab justru tidak sampai sasaran dalam pengalokasiannya,” tambahnya.

Hadir pula dalam kesempatan ini Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumsel H.M Yansuri, Direktur Hutan Kita Institute Aidil Fitri, Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Prof. Dr. Ir. Rudjito Agus Sugwignyo., M. Agr.

 

Sumber: SRIPOKU.com

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan