KLHK Didesak Hentikan Pertambangan Ilegal di Kawasan Hutan

Perwakilan masyarakat sipil yang terdiri perwakilan masyarakat Barito Timur dan Berau menuntut tindakan tegas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam penegakan hukum pidana bagi perusahaan tambang yang melakukan usaha tambang di hutan secara ilegal.

Komitmen KLHK, institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan hutan dan lingkungan hidup di Indonesia, dalam menegakkan hukum patut dipertanyakan. Pasca koordinasi dan supervisi atas pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang digalakkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih saja ditemukan perusahaan-perusahaan tambang yang membangkang pada aturan. Dua dari ribuan perusahaan yang membangkang tersebut adalah PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (PT BNJM) dan PT Kaltim Jaya Bara (PT KJB), masing-masing merupakan perusahaan tambang batubara yang beroperasi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

“KLHK harus segera merespon laporan masyarakat dan menindak tegas PT BNJM, karena sampai saat ini belum mengantongi IPPKH. Bukti-bukti yg dilampirkan juga menunjukkan dengan jelas bahwa sejak memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP), beroperasi di kawasan hutan dan sampai saat ini, tidak pernah mengantongi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH,” ujar Raynaldo Sembiring dari ICEL dalam keterangan resmi, Kamis (6/4/2017).

“Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan merupakan izin yang wajib dimiliki oleh siapapun yang akan menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan, termasuk untuk kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, maupun eksploitasi bahan tambang supaya kegiatan pertambangan terkontrol,” tambah Raynaldo.

Merah Johansyah dari JATAM menegaskan, “Selain menghancurkan kawasan hutan dan mengakibatkan kerugian negara karena diduga beroperasi tanpa IPPKH, penambangan ilegal di kawasan hutan jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang menargetkan akan mengurangi emisi GRK sampai 29 persen, salah satunya menjaga kawasan hutan dan lahan dengan pencegahan dan penegakan hukum, terutama di kawasan hutan bumi Borneo yang berfungsi sebagai paru-paru dunia.”

Selain itu, Mardiana, perwakilan tokoh Perempuan Adat Dayak Maanyan, Kabupaten Barito Timur menyatakan, “Kegiatan tambang di hutan telah menghilangkan sumber kehidupan masyarakat dan memaksa masyarakat untuk membayar mahal terhadap kebutuhan sehari – harinya . Sebelumnya, masyarakat dapat menikmati madu, buah-buahan dan ikan-ikan dari hutan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.”

Menambang tanpa IPPKH di kawasan hutan merupakan bentuk tindak pidana yang serius dan banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Maka dari itu, sekali lagi, masyarakat menuntut ketegasan dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan untuk menghukum perusahaan-perusahaan yang tidak taat pada aturan dan telah merusak kelestarian hutan dan keseimbangan ekosistem.

Sumber: Suara.com

 

Tuah Para Pendamping Perhutanan Sosial

Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Bisnis.com, JAKARTA–Boedi mengaku bisa bernafas lega. Pasalnya, setelah 17 tahun lamanya berkebun di kawasan hutan lindung, dia dapat mengantongi izin perhutanan sosial yang dikeluarkan pemerintah pada 2016.

Wajar jika ada perasaan lega setelah legalitas untuk hutan yang selama ini menjadi tempat Boedi berkebun terbit, pasalnya petani yang tinggal di Desa Gunung Agung, Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, itu pernah punya pengalaman buruk.

 

“Saya tidak bisa tenang karena selalu menggarap lahan di kawasan hutan lindung, bahkan pada 2000 saya pernah dikejar-kejar polisi kehutanan [polhut] karena kebun saya tidak berizin,” katanya saat sarasehan masyarakat perhutanan sosial di Palembang, awal pekan ini.

Boedi mengatakan dirinya Bersama 200 petani lainnya mulai menggarap kawasan hutan untuk bercocok tanam sejak 1999 atau pascakebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 1997 silam.

 

Ratusan petani itu mengelola areal seluas 440 hektare yang masuk dalam hutan lindung di Kaki Gunung Dempo. Mereka tak hanya menanam alpukat, melainkan hortikultura lainnya, yakni nangka, durian juga tanaman sayur, seperti tomat, kol dan cabai.

Pengakuan dari negara untuk pemanfaatan hutan lindung bagi masyarakat di kawasan itu sampai di telinga Boedi pada 2013 ketika pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mendatangi para petani setempat.

 

Dia mengatakan setelah mengantongi izin perhutanan sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM), Boedi dan kawan-kawan telah menyusun program kerja ke depan untuk pemanfaatan kawasan tersebut.

Boedi mengemukakan pihaknya ingin membuat naungan hasil hutan bukan kayu di areal tersebut di mana selain ditanami pohon buah-buahan, petani juga menanam kopi di tanah yang terkenal subur itu.

Perasaan lega tak hanya menghinggapi Boedi dan petani di Dempo Utara, melainkan ratusan petani kopi di Desa Sinar Nabalan, Kecamatan Buai Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan.

Ali Aripin, Sekretaris Kelompok Tani Napalan Makmur, mengatakan bahwa sebelum mengantongi izin perhutanan sosial pihaknya seringkali terkena pungutan liar (pungli) oleh sejumlah oknum yang enggan dia sebutkan institusinya.

Dia mengatakan, kopi menjadi komoditas utama yang ditanamnya di kawasan hutan tersebut, selain tanaman lain, seperti jahe, jagung, hingga jengkol.

Selain itu, Ali ingin ada pendampingan bagi petani kopi di tempatnya sehingga bisa meningkatkan produksi serta kualitas kopi yang berujung pada perbaikan harga komoditas itu di tingkat petani.

“Selama ini ya kami petik asalan. Selama ini tidak ada yang ngajarin petik biji kopi yang benar itu bagaimana, tetapi setelah ada perhutanan sosial ini program pendampingan mulai masuk ke desa kami,” katanya.

Pendampingan

Program perhutanan sosial untuk masyarakat memang membutuhkan pendampingan dari berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah hingga lembaga sosial masyarakat (LSM), sehingga program yang mengusung misi untuk mengatasi konflik kehutanan hingga peningkatan kesejahteraan warga sekitar itu bisa optimal.

Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Rudjito Agus Suwignyo mengatakan Sumsel membutuhkan 400 tenaga pendamping, sedangkan jumlah tenaga yang tercatat saat ini baru 40 pendamping.

Ratusan pendamping itu diperlukan untuk disebar di 98.947 hektare kawasan perhutanan sosial yang telah diberi pemerintah untuk masyarakat, ditambah 40.000 ha lagi kawasan yang akan dilepaskan tahun ini.

Dia menilai skema perhutanan sosial perlu diperkuat karena sejauh ini masih belum optimal dalam pendampingan terhadap kelompok masyarakat dan perencanaan penyusunan Rancangan Kerja Usaha (RKU).

“Padahal, RKU itu menjadi dasar untuk memberikan akses permodalan dari bantuan hibah, CSR maupun dana pinjaman KUR dari perbankan atau dari BLU (Badan Layanan Umum),” katanya.

Secara nasional, hingga 2018, realisasi perhutanan sosial baru seluas 2,51 juta hektare. Capaian tersebut terlihat masih jauh dibandingkan dengan target kawasan hutan untuk program perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang awalnya dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk selesai pada 2019.

KLHK pun memperkirakan realisasi hingga akhir tahun ini hanya mencapai 4,38 juta hektare. Maka dari itu, strategi menjemput bola mulai dijalankan termasuk dengan mendorong jumlah pendamping.

Saat ini, baru ada sekitar 3.600 pendamping petani penggarap lahan. Setidaknya masih diperlukan 1.400 pendamping di seluruh Indonesia.

KLHK mengaku telah menyampaikan secara terbuka kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga donor, dan masyarakat luas untuk bergabung menjadi pendamping.

Sejumlah lembaga yang memberikan pendampingan untuk masyarakat yang mendapat izin perhutanan sosial di Sumsel adalah Zoological Society London (ZSL) Indonesia, Hutan Kita Institut (Haki) dan WRI Indonesia.

Sementara itu, Aidil Fikri, Fasilitator Haki, mengatakan pihaknya telah melakukan pendampingan bagi petani kopi di Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim. “Kami sudah mendampingi petani kopi di sana selama dua tahun terakhir secara intens, tidak hanya di bidang hulu bahkan kami damping untuk hilir dari kopi yang mereka produksi,” katanya.

Salah satunya, Haki membantu pemasaran kopi jenis Semendo dengan brand Cahaya Alam yang dikemas menarik untuk dipasarkan secara ritel. Dalam kemasan tersebut juga diberi keterangan bahwa kopi robusta dan arabika itu merupakan produk perhutanan sosial.

“Kami sudah pasarkan ke beberapa kota di Indonesia, bahkan kami sudah mengenalkan kopi Cahaya Alam ini ke Amerika, Jepang dan Eropa,”ujarnya.

Pemprov Sumatra Selatan mencatat kawasan hutan yang telah diberikan ke masyarakat menjadi perhutanan sosial 98.947 hektare pada tahun ini.

Plt Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Pandji Thajanto mengatakan lahan perhutanan sosial di daerah itu ditujukan untuk 14.511 kepala keluarga (KK). Pandji memaparkan potensi kawasan perhutanan sosial yang tersebar di Sumsel mencapai hingga 300.000 ha yang bisa menjadi peningkatan akses ekonomi masyarakat sekitar.

Sumber: Bisnis.com

Mawardi Yahya Berharap Pemegang Izin Perhutanan Sosial Bisa Lebih Produktif dan Menyejahterakan

PALEMBANG-Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Mawardi Yahya membuka acara Sarasehan masyarakat perhutanan sosial dan rapat koordinasi Pokja percepatan perhutanan sosial di Asrama Haji Palembang, Senin (1/4/2019).

Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya mengucapkan terima kasih dan rasa bangga kepada Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) Sumsel yang telah memprakarsai kegiatan ini.

Menurutnya kegiatan ini mengumpulkan dan memberi pencerahan bagi para pemegang izin perhutanan sosial.

“Diharapkan kegiatan sarasehan ini menjadi pendorong dalam mengelola area izinnya agar lebih produktif, menyejahterakan dan dapat mewujudkan kelestarian hutan,” katanya.

Perhutanan Sosial merupakan usaha untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang dulunya tidak diberikan akses legal oleh pemerintah, dan sekarang telah diberikan.

Dalam kesempatan yang sama Mawardi mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mendukung program dan melaksanakan kebijakan perhimpunan sosial dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait.

Serta melakukan pengawalan dalam bentuk fasilitasi banyak sekali kegiatan perhutanan sosial mulai dari fasilitasi kegiatan penyiapan kawasan perhutanan sosial, penanganan konflik, pembinaan usaha perhutanan sosial.

“Ada status hak yang adalah hutan kemasyarakatan yang tidak jelas akan dibenarkan dan diberikan hak dan statusnya, kemudian ada pula hutan desa yang nantinya mendapat kepastian hukum,”

“Hutan adat yang ke depan akan ada pembinaan melalui pokja-pokja dengan dinas kehutanan kabupaten/kota maupun dinas kehutanan Provinsi Sumsel,” tambahnya.

 

Oleh sebab itu pula Ia sangat mengapresiasi acara sarahsehan ini yang akan memberikan kejelasan terhadap statusnya.

“Dan harapan kita (Pemprov Sumsel) jangan dengan mendapat status nantinya diperjual belikan dan nantinya pula bukan membantu masyarakat kecil tapi terkoodinir oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab justru tidak sampai sasaran dalam pengalokasiannya,” tambahnya.

Melalui program kehutanan sosial yang dicanangkan oleh Presiden RI Joko Widodo sejak 2018 lalu membuat masyarakat yang berada disekitaran kawasan hutan kini dapat bernafas lega.

Boedi salah satunya. Lelaki berusia 43 tahun warga Desa Gunung Agung, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam, Sumatra Selatan mengaku program perhutanan sosial itu memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat di Kecamatan Dempo Utara.

Sebagai ketua kelompok dari petani penerima SK Perhutanan Sosial, ia bersama 96 kartu keluarga lainnya sudah mulai merasakan dampak program itu.

Ia menceritakan, sebelum dilegalkan izin perhutanan sosial ini. Ia bersama warga lain harus berjibaku dengan polisi hutan jika sedang patroli.

“Dari tahun 1999 kami bertani dikawasan hutan. Sejak saat itu, kami selalu was-was dikejar Polisi Hutan karena kami melakukan kegiatan bertani dan berkebun di area hutan yang notabene-nya kami lakukan secara ilegal. Sekarang, sejak 2018 lalu, alhamdulillah kami sudah tenang,” tegas dia.

Katanya, saat belum mendapatkan izin pemanfaatan kawasan hutan memang banyak susahnya.

“Bukan hanya dikejar Polisi Hutan, namun ia dan petani lainnya takut untuk memperluas area pertaniannya,” ujarnya.

Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Erna Rosdiana mengatakan pemerintah menargetkan 12,7 hektar hutan sosial, dan hingga kini sudah tercapai 2,6 juta hektar.

“SK Perhutanan Sosial ini diperuntukkan sebagai izin pemanfaatan hutan menjadi lahan produktif, dan mensejahterakan masyarakat. SK ini tidak boleh dijualbelikan atau dipindahtangankan ke pihak lain,” tambah Erna.

Pemerintah juga memberikan bantuan berupa permudah pemberian modal.

“Pemerintah fokus pada kesejahteraan rakyat. Karena lahan sudah legal, maka pintu gerbang berbagai kemudahan sudah bisa didapatkan. Bukan hanya perbankan bisa masuk, namun dana desa bisa masuk kesana, UMKM, koperasi pun bisa,” ucapnya.

Pemerintah daerah pun sudah diminta untuk membantu para petani yang mendapatkan izin perhutanan sosial. Seperti bantuan bibit dan sebagainya.

“Bantuan tidak hanya uang, tapi bisa bantuan bibit, pendampingan, ataupun peralatan yang dibutuhkan,” kata dia.

Untuk di Sumsel hingga desember 2018, pemerintah telah menerbitkan 93 izin perhutanan sosial di Sumsel seluas 98.947,18 hektar.

Hadir pula dalam kesempatan ini Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumsel M Yansuri, Direktur Hutan Kita Institute Aidil Fitri, Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Prof Rudjito Agus Sugwignyo.

Sumber: TribunSumsel.com

Wagub Sumsel Mawardi Yahya Tegaskan Pemegang Izin Perhutanan Sosial Harus Tepat Sasaran

SRIPOKU.COM, PALEMBANG– Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Mawardi Yahya membuka dengan resmi acara Sarasehan masyarakat perhutanan sosial dan rapat koordinasi Pokja percepatan perhutanan sosial, bertempat di Asrama Haji Palembang, Senin (01/04).

Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya mengucapkan terima kasih dan rasa bangga kepada Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) Sumsel yang telah memprakarsai kegiatan ini, dimana menurutnya akan mengumpulkan dan memberikan ajang pencerahan bagi para pemegang izin perhutanan sosial.

“Diharapkan kegiatan sarasehan ini menjadi pendorong dalam mengelola area izinnya agar lebih produktif, mensejahterakan dan dapat mewujudkan kelestarian hutan,” katanya.

Wakil Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Mawardi Yahya membuka dengan resmi acara Sarasehan masyarakat perhutanan sosial dan rapat koordinasi Pokja percepatan perhutanan sosial, bertempat di Asrama Haji Palembang, Senin (01/04). (Dok. Humas Pemprov Sumsel)

Dikatakan Mawardi, Perhutanan Sosial merupakan salah satu usaha untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang dulunya tidak diberikan akses legal oleh pemerintah dan sekarang telah diberikan.

Dalam kesempatan yang sama Mawardi mengucapkan terimakasih kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mendukung program dan melaksanakan kebijakan perhimpunan sosial dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan terkait, serta melakukan pengawalan dalam bentuk fasilitasi banyak sekali kegiatan perhutanan sosial mulai dari fasilitasi kegiatan penyiapan kawasan perhutanan sosial, penanganan konflik, pembinaan usaha perhutanan sosial.

“Ada status hak yang adalah hutan kemasyarakatan yang tidak jelas akan dibenarkan dan diberikan hak dan statusnya, kemudian ada pula hutan desa yang nantinya mendapat kepastian hukum, hutan adat yang kedepan akan ada pembinaan melalui pokja-pokja dengan dinas kehutanan kabupaten/kota maupun dinas kehutanan Provinsi Sumsel,” tambahnya

Oleh sebab itu pula Ia sangat mengapresiasi acara sarahsehan ini yang akan memberikan kejelasan terhadap statusnya.

“Dan harapan kita (Pemprov Sumsel) jangan dengan mendapat status nantinya diperjual belikan dan nantinya pula bukan membantu masyarakat kecil tapi terkoodinir oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab justru tidak sampai sasaran dalam pengalokasiannya,” tambahnya.

Hadir pula dalam kesempatan ini Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumsel H.M Yansuri, Direktur Hutan Kita Institute Aidil Fitri, Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Prof. Dr. Ir. Rudjito Agus Sugwignyo., M. Agr.

 

Sumber: SRIPOKU.com

PINUS Gelar FGD mengenai Mekanisme Pengaduan

Palembang – PINUS mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Mekanisme Pengaduan”  bertempat di Cafe Bangki Kopi, Palembang. FGD dihadiri oleh perwakilan Dinas ESDM, Dinas Kominfo, Ombudsman dan GIZ. (21/03/2019)

Dalam sambutannya, Direktur PINUS Rabin Ibnu Zainal, P. Hd menyampaikan bahwa Sumatera Selatan merupakan lumbung batu bara yang menjadi penggerak listrik di Pulau Jawa, beliau berharap eksploitas SDA di Sumatera Selatan tidak merugikan masyarakat. Dalam rangka korsup KPK tahun 2014 telah dilakukan CNC dan pencabutan IUP oleh Dinas Provinsi, di Indonesia IUP yang sudah CNC hanya di Sumatera Selatan,  namun imbasnya 10 IUP melaporkan pemerintah atas pencabutan, hasilnya 4 IUP yang memenangkan gugatan dan 4 IUP di aktifkan kembali  berdasarkan putusan pengadilan, sedangkan 2 IUP telah  diputuskan hakim sebagai putusan pusat untuk dicabut namun sampai detik ini belum dicabut. Maka dari itu hasil dari penataan IUP kami support dinas ESDM  dalam website data  IUP minerba. Namun masih banyak keterbatasan, karena sistem datanya tidak real time dan secara langsung oleh perusahaan. tujuan FGD tersebut adalah untuk mengoptimalkan serta mengintegriraskan website yang sudah dibuatkan oleh PINUS dan Dinas ESDM  dengan sistem lapor.go.id.

Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Publik Diskominfo Prov. Sumsel, Amrullah, S. STP., M.Si menyampaikan SP4N LAPOR dikelola pada akhir tahun 2017, perintah dari Undang Undang juga program dari pusat KemePAN, KSP dan Ombudsman. Menerima laporan yang masuk ke admin lapor.go.id yang dikelola oleh Dinas Kominfo, bisa melalui sms, website, juga media lapor dengan format yang berbeda. Dari pengaduan/info/aspirasi yang masuk kemudian dikelola dan dianalisa kemudian disampaikan pada OPD yang berwewenang. Disposisi laporan yang masuk pada admin sumsel hanya bisa masuk ke OPD-OPD Sumsel yang disampaikan oleh pejabat penhubung. Dengan kata lain SP4N LAPOR ini salah satu format dalam pendokumentasian laporan yang disampaikan oleh pelapor. Keuntungan dari sistem LAPOR adalah kita akan melihat trend pengaduan tahunan oleh masyarakat. Pengaduan ini juga masuk dalam dasbord gubernur langsung.

Sementara itu dari Kepala Bidang Pengusahaan Mineral dan Batubara ESDM Sumatera Selatan Hendriansyah, ST, MSi  mengatakan sistem informasi pelaporan sudah berjalan walaupun masih secara manual, misalnya kejadian di Muratara penangkap 12 truk batu bara ke camat yang telah di follow up ke ESDM dan DPR. Sistem pelaporan ini berarti hanya saja memindahkan media teknologi pelaporan. Beliau menyarankan lebih diluaskan dibawah OPD-OPD penghubung. Dinas ESDM juga ingin menciptakan transparansi sepanjang dalam koridor peraturan perundang-undangan.

Rabin Ibnu Zainal, P. Hd menambahkan bahwa tujuan dari FGD tersebut adalah “Bagaimana mengoptimalkan website yang sudah dibuat oleh PINUS dan Dinas ESDM  dengan sistem LAPOR.

Maka pada FGD tersebut  menghasilkan beberapa yang harus ditindaklanjuti antara lain:

  1. Butuh izin dari kadin (sebagai fasiltas kemudahan, karena laporan bisa diarahkan dan semua laporan mengenai tambang tidak serta merta tugas Dinas ESDM).
  2. Membuat SOP dari sistem pengaduan (PINUS)
  3. Mengintegrasikan website minerba dengan lapor.go.id

Integrasi antara Website ESDM  dan SP4N-LAPOR diharapkan akan semakin meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik sekaligus mempercepat format laporan khususnya di sektor Minerba.

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan