Keadilan Iklim dan Bencana yang Menghantam Sumatera

Sumber gambar: shutterstock.com

Sejak 25 November 2025, banjir bandang dan tanah longsor yang melumpuhkan Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat menyingkap tabir ketidakadilan iklim yang selama ini belum terbuka. Menurut data BNPB bencana Sumatera per 3 November 2025 telah menelan 770 korban jiwa dan 443 orang masih dalam pencarian. Tragedi ini tidak lagi dapat dipandang sebagai bencana alam yang tidak terduga. Bencana di Sumatera mencerminkan krisis yang lebih mendasar, yaitu kerusakan tata kelola lingkungan dan ketidakadilan iklim yang selama ini dibiarkan menumpuk.

Sumatera tidak hanya menjadi rumah bagi sebagian kawasan hutan tersisa di Indonesia, tetapi juga menjadi salah satu wilayah dengan beban ekologis paling berat. Ekspansi sawit, tambang batu bara, dan konsesi hutan tanaman industri berlangsung dalam skala masif selama bertahun-tahun. Data menunjukkan bahwa wilayah Sumatera kini dikelilingi oleh ribuan aktivitas ekstraktif: terdapat 1.907 izin tambang yang masih aktif dan kawasan konsesi yang jika digabungkan mencakup sekitar 2,4 juta hektare, belum termasuk berbagai izin pemanfaatan hutan.

Masalahnya, beban ekologis ini tidak ditanggung secara adil. Masyarakat lokal yang tidak mendapat keuntungan berarti dari ekspansi ekonomi ekstraktif justru menanggung risiko terbesar. Mereka kehilangan kebun, rumah, dan mata pencaharian ketika banjir atau longsor datang. Mereka menghirup asap ketika kebakaran hutan terjadi. Sementara keuntungan utama dari ekspansi perkebunan, tambang, dan industri energi justru berpusat pada korporasi dan pemerintah pusat. Di sinilah ketimpangan keadilan iklim terlihat jelas: mereka yang paling sedikit menyumbang kerusakan justru menjadi pihak yang paling menderita.

Keadilan iklim menuntut agar risiko dan manfaat terbagi secara proporsional. Namun hal tersebut tidak tampak dari temuan data di Aceh berikut: Untuk wilayah Aceh, total kerugian yang dicatat mencapai 2,04 triliun rupiah (Celios, 2025). Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan penerimaan daerah dari sektor yang selama ini dikaitkan dengan tekanan ekologis. Penerimaan negara bukan pajak dari pertambangan di Aceh hingga akhir Agustus 2025 hanya berjumlah 929 miliar rupiah. Dana Bagi Hasil dari perkebunan sawit yang diterima Aceh pada tahun yang sama hanya 12 miliar rupiah dan DBH dari sektor minerba hanya 56,3 miliar rupiah (Detik, 2025). Besaran penerimaan tersebut tidak mendekati nilai kerugian akibat banjir yang mencapai lebih dari dua triliun rupiah.

Pemerintah daerah yang memiliki APBD terbatas kesulitan membiayai restorasi ekosistem, membangun infrastruktur mitigasi, atau memberikan perlindungan sosial yang memadai. Ketika bencana datang, daerah harus menanggung biaya pemulihan, meski mereka bukan pihak yang menyebabkan kerusakan ekologis sejak awal. Dalam konteks ini, ketidakadilan fiskal menjadi lapisan tambahan dari ketimpangan ekologi.

Perencanaan pembangunan yang tidak hati-hati dan kelonggaran pengawasan juga turut memperburuk keadaan. Tata ruang yang tidak ketat memungkinkan konsesi diberikan di wilayah rawan bencana. Pengawasan izin sering lemah, sehingga praktik perusakan lingkungan dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa konsekuensi berarti. 

Selain itu di tingkat pusat dan daerah, kebijakan mitigasi dan adaptasi belum terhubung dengan baik. Instrumen pendanaan hijau seperti transfer fiskal berbasis ekologi (EFT) belum diterapkan secara merata di tingkat nasional, padahal mekanisme ini dapat memberi insentif bagi daerah yang menjaga hutan dan sumber daya air. Tanpa dukungan pendanaan yang kuat, sulit bagi daerah untuk keluar dari lingkaran bencana yang berulang.

Untuk mengubah situasi ini, pendekatan yang diambil tidak bisa lagi bersifat tambal sulam. Sumatera membutuhkan kerangka keadilan iklim yang konkret: pendanaan ekologis yang memadai, penegakan hukum yang tegas terhadap aktivitas ekstraktif merusak, dan pemulihan ekosistem serta hutan yang rusak. Keadilan iklim bagi masyarakat lokal harus menjadi prioritas, bukan efek samping dari agenda ekonomi. Pendekatan adaptasi dan mitigasi harus berakar pada komunitas, bukan hanya pada kebijakan makro yang sering tidak menyentuh akar persoalan.

Pada akhirnya, bencana yang menghantam Sumatera kali ini adalah cermin dari bagaimana ketidakadilan iklim bekerja di tingkat daerah. Bagaimana eksploitasi sumber daya dianggap wajar dan biaya sosial-ekologisnya ditanggung langsung oleh masyarakat. Sumatera membutuhkan kebijakan yang mengakui beban ekologis yang telah dipikulnya, sekaligus memastikan bahwa risiko dan tanggung jawab ditata ulang secara adil. Keadilan iklim bukan slogan; ia adalah syarat agar Sumatera dapat keluar dari krisis bencana yang berpotensi berulang.

Penulis: Zinedine Reza

Audiensi PINUS dengan Ditjen Bina Pembangunan Daerah: Mendorong Implementasi Insentif Kinerja Berbasis Ekologis

Jakarta, 4 Desember 2025 – Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS), yang diwakili oleh Direktur Rabin Ibnu Zainal, Deputi Direktur Hari Kusdaryanto dan Program Manager Oke Indraya melakukan audiensi dengan Bapak Ir. Edison Siagian, ME, Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I. Pertemuan berlangsung di kantor Ditjen Bina Pembangunan Daerah, Kalibata, Jakarta Selatan, pada 4 Desember 2025. Audiensi ini membahas rencana sosialisasi petunjuk teknis (juknis) Insentif Kinerja Berbasis Ekologis (IKE) kepada pemerintah daerah di seluruh Indonesia.

Pada tahap pertama (2023-2024), PINUS Indonesia bersama Ditjen Bina Bangda dan Ford Foundation telah menyusun juknis IKE yang memuat panduan pelaksanaan serta good practice dari provinsi, kabupaten dan kota yang telah mengadopsi kebijakan IKE.

Insentif Kinerja Berbasis Ekologi merupakan mekanisme pemberian insentif dari pemerintah daerah kepada pemerintahan di bawahnya berdasarkan capaian kinerja terkait pelestarian lingkungan. Skema ini memanfaatkan instrumen belanja transfer daerah, seperti Bantuan Keuangan (BK) di tingkat provinsi dan kabupaten, Alokasi Dana Desa (ADD) di tingkat kabupaten, serta alokasi dana kelurahan di tingkat kota. Berbeda dengan pemerintah pusat yang telah menetapkan nomenklatur insentif secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, pemerintah daerah dapat mengadaptasi skema ini melalui pos-pos belanja transfer keuangan yang telah tersedia.

Menurut Ir. Edison Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah I dalam konteks penurunan emisi dan mitigasi gas rumah kaca, peran pemerintah daerah menjadi sangat penting. Upaya pelestarian ekologis di tingkat lokal merupakan bagian integral dari pencapaian komitmen iklim nasional. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan insentif yang mendorong kinerja lingkungan menjadi langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan program dan memperkuat praktik pelestarian di wilayah masing-masing.

Direktur PINUS Rabin Ibnu Zainal menyampaikan bahwa kolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri dapat mengakselerasi sosialisasi Juknis IKE agar regulasi dan praktik penerapannya dapat dipahami serta diadopsi lebih luas oleh pemerintah daerah. Langkah ini diharapkan menjadi katalis bagi lahirnya inovasi kebijakan lingkungan yang lebih progresif di seluruh Indonesia.

Sejauh ini sudah ada 48 pemerintah daerah di Indonesia yang telah mempraktikkan insentif kinerja berbasis ekologis dengan menyalurkan transfer anggaran kepada desa atau kelurahan yang menunjukkan kinerja baik dalam pengelolaan lingkungan. Terhitung sampai Agustus 2025 total anggaran dalam skema EFT yang sudah berjalan pada 48 daerah adalah Rp 529 miliar. Menurut Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) apabila total anggaran tersebut diperbandingkan setara dengan biaya rehabilitasi hutan dan lahan untuk target lahan kritis seluas 43.000 hektare.

Unduh Juknis IKE:

https://pinus.or.id/wp-content/uploads/2024/11/Juknis-Tata-Cara-Penerapan-Insentif-Kinerja-Berbasis-Ekologi-di-Daerah_31Mei24_Rev-2.pdf

PINUS Kolaborator Pasar Kolaboraya 2025: Cerita Perhutanan Sosial, WFD dan Inovasi Ekologis

Kepala Kantor Perwakilan Pinus Sumatera Selatan Yunita Sari dan Program Manager Pinus Sulawesi Selatan Muh.Idrus di depan booth Pinus di Pasar Kolaboraya. (22/11/2025)

Yogyakarta, 22 November 2025 – Pada 22–23 November 2025, PINUS berpartisipasi dalam Pasar Kolaboraya yang digelar di JNM Bloc Yogyakarta. Kolaboraya merupakan platform dan pendekatan gerakan kolektif yang muncul sebagai respons atas berbagai krisis global seperti krisis iklim, pangan, air, energi, hingga demokrasi. Dengan pendekatan ekosistem, Kolaboraya mendorong solusi inovatif yang lahir dari kolaborasi lintas sektor. Gerakan ini bertumpu pada tiga nilai utama: kolaborasi sebagai metode kerja, eksperimentasi sebagai sikap adaptif, dan raya sebagai semangat gotong royong berskala luas. Nilai-nilai tersebut diwujudkan melalui tiga pilar: Connect (ruang interaksi), Collaborate (penguatan inovasi sosial), dan Change (perawatan ekosistem perubahan).

Dalam rangkaian acara di Pasar Kolaboraya tahun ini, PINUS mengangkat tema Woman Forest Defender (WFD) untuk memperkenalkan peran perempuan penjaga hutan serta kontribusi komunitas dalam merawat ruang hidup. Melalui produk-produk dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) binaan PINUS di Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan, pengunjung dapat melihat bagaimana WFD menjadi contoh praktik perhutanan sosial yang berhasil, karena tidak hanya menghasilkan nilai ekonomi yang selaras dengan kelestarian ekologi, tetapi juga membuka ruang bagi para perempuan untuk berkontribusi dalam pengelolaan hutan sosial melalui berbagai pendekatan seperti pemberdayaan ekonomi, advokasi kebijakan, dann peningkatan kapasitas perempuan dalam usaha perhutanan sosial. 

PINUS juga mengenalkan gagasan Asuransi Perhutanan Sosial, sebuah inisiatif pertama di Indonesia yang dirancang oleh PINUS untuk memberikan perlindungan risiko bagi pengelola hutan berbasis komunitas. Skema ini dihadirkan untuk menjawab kerentanan terhadap krisis iklim seperti ketidakpastian cuaca, hingga potensi gagal panen yang selama ini membebani kelompok perhutanan sosial tanpa mekanisme pengaman finansial yang memadai. 

Krisis iklim kini berdampak langsung pada kehidupan masyarakat di kawasan hutan: curah hujan tidak menentu, kekeringan berkepanjangan, serta peningkatan risiko banjir dan kebakaran. Lebih dari 1,4 juta rumah tangga pengelola 8,3 juta hektar hutan dalam skema Perhutanan Sosial kini menanggung risiko ekologis dan ekonomi yang terus meningkat, meski mereka berperan penting menjaga keseimbangan lingkungan. 

Asuransi Perhutanan Sosial (APS) dikembangkan untuk menjawab kebutuhan ini. Skema ini memberikan perlindungan finansial terhadap risiko iklim dan bencana dengan menggunakan pendekatan parametrik-hybrid, yang memungkinkan pembayaran klaim secara cepat dan objektif berdasarkan indikator cuaca dan ekologi. Desainnya dibuat sederhana, inklusif, dan mudah diakses oleh kelompok masyarakat kecil, termasuk perempuan dan komunitas adat.

Tim Pilar Nusantara Jakarta setelah berdiskusi dengan rekan-rekan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN).

Selama dua hari berlangsungnya acara, booth PINUS menjadi titik diskusi yang mempertemukan pengunjung, pegiat komunitas, peneliti, dan pemangku kepentingan yang ingin mendalami peran perempuan dalam pengelolaan hutan, serta bagaimana skema asuransi perhutanan sosial dapat memperkuat resiliensi ekonomi masyarakat hutan.

Dari Ideasi ke Aksi: Rapat Kerja Pinus Indonesia 2025

Direktur Pilar Nusantara Rabin Ibnu Zainal dan Wakil Direktur Pilar Nusantara Hari Kusdaryanto bersama para narasumber: Farah Sofa dari Ford Foundation, R Alam Surya Senior Adviser, Bhima Yudhistira Direktur Celios dan Hening Parlan sebagai Koordinator Nasional Green Faith Indonesia. (21/11/2025)

Yogyakarta, 21 November 2025 – Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS) menggelar Rapat Kerja tahun 2025 di Hotel Alana Malioboro, Yogyakarta, Jumat (21/11/2025). Rapat kerja tahun ini terasa istimewa karena menghadirkan sejumlah narasumber yang berperan sebagai pemantik ideasi, membuka ruang refleksi mendalam mengenai arah gerakan keadilan iklim di Indonesia.

Sesi ideasi pertama dibuka oleh Farah Sofa dari Ford Foundation Indonesia, yang menguraikan perkembangan global terkait keadilan iklim dan implikasinya bagi kerja advokasi di Indonesia. Berdasarkan pengalamannya membangun kolaborasi strategis di berbagai tingkat, ia menekankan bahwa transisi energi dan dinamika pendanaan iklim menuntut organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat analisis, meningkatkan adaptabilitas, serta membuka ruang kemitraan lintas aktor. Setelah itu, Hening Parlan dari Green Faith Indonesia berbagi pandangan tentang bagaimana gerakan lintas agama memainkan peran signifikan dalam mendorong keadilan iklim dan transisi energi yang inklusif dan berkeadilan.

Pada sesi kedua, Bhima Yudhistira dari CELIOS menjelaskan transformasi lembaganya dari think tank ekonomi konvensional menjadi organisasi yang mampu merespons isu-isu strategis dengan cepat tanpa mengabaikan ketajaman analisis. Ia menyoroti penguatan metodologi riset, perluasan jejaring, dan strategi komunikasi publik yang lebih efektif sebagai faktor penting agar gagasan ekonomi dapat menjangkau publik secara lebih luas. Pembelajaran ini menjadi inspirasi bagi PINUS untuk memperkuat riset, advokasi, dan komunikasi yang lebih relevan dalam mendorong agenda keadilan ekologis dan sosial.

Selanjutnya, Muhammad Raavi dari Climate Rangers Jogja menegaskan pentingnya keadilan iklim bagi generasi muda. Ia menekankan prinsip keadilan antar generasi yang menuntut tanggung jawab generasi saat ini untuk memastikan generasi mendatang memperoleh kesempatan dan manfaat ekologis yang setara. Perspektif ini memperkaya refleksi PINUS mengenai pentingnya membangun gerakan yang mampu menjembatani kepentingan berbagai kelompok umur.

Penutup sesi dipaparkan oleh R. Alam Surya Putra, seorang senior advisor yang telah lama berkecimpung dalam gerakan masyarakat sipil. Ia menguraikan teori dan praktik gerakan masyarakat sipil, menekankan peran strategis lembaga swadaya masyarakat dalam menjembatani pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani untuk mewujudkan transformasi sosial dan ekologis yang berkelanjutan.

Rangkaian paparan tersebut memberi PINUS pijakan penting untuk memperkuat strategi gerakan, mulai dari analisis, riset, advokasi, hingga konsolidasi jaringan, demi memperluas dampak kerja-kerja untuk keadilan iklim di Indonesia.

Tim Pilar Nusantara (PINUS) berfoto bersama saat penutupan Rapat Kerja 2025.

Dengan rangkaian masukan dari para narasumber, rapat kerja ini tidak hanya menjadi forum evaluasi internal, tetapi juga ruang refleksi strategis. PINUS memanfaatkannya untuk menyelaraskan prioritas program dan merumuskan strategi baru yang lebih responsif terhadap kebutuhan lapangan. Seluruh sesi ideasi pada akhirnya menegaskan komitmen PINUS untuk terus memainkan peran penting sebagai jembatan antara kebijakan publik dan aksi masyarakat dalam memperjuangkan keadilan iklim di Indonesia.

Memperkuat Skema Ekonomi Karbon: Dari Riau hingga Jambi, Masyarakat Lokal Jadi Penopang Utama

Jakarta, 6 Agustus 2025 – Diskusi tematik ke-2 dalam Konferensi Nasional Pendanaan Ekologis VI mengangkat tema “Memperkuat Skema Ekonomi Karbon”. Sejumlah pemangku kepentingan dari pemerintah daerah, BUMD, komunitas lokal, hingga akademisi menegaskan bahwa perdagangan karbon bukan hanya peluang ekonomi baru, tetapi juga instrumen penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Riau: Potensi Besar, Ancaman Karhutla

Gubernur Riau, Abdul Wahid, menekankan bahwa provinsinya memiliki peran strategis dalam peta karbon nasional. Dengan 4,9 juta hektar lahan gambut—terluas di Indonesia—dan hutan mangrove seluas 231 ribu hektar, Riau menjadi daerah kunci dalam mitigasi perubahan iklim.

Namun, ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi momok. Pemerintah Riau menetapkan status siaga api setiap 1 April dan membentuk tim Manggala Agni bersama kementerian terkait. “Alih fungsi lahan, termasuk maraknya perkebunan sawit ilegal, telah menjadi tantangan besar. Karena itu, regulasi daerah seperti Pergub Riau Hijau, SRAP REDD+ 2022–2051, RPPEG, dan Renja FoLU disiapkan untuk mengintegrasikan ekonomi karbon dalam strategi pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.

Aceh: BUMD Jadi Motor Pengelolaan Aset Karbon

Dari Aceh, Faisal selaku Direktur Komersil PT PEMA Perseroda, mengungkapkan tiga proyek strategis yang tengah difokuskan: perdagangan karbon, pengembangan Carbon Capture Utility Storage (CCUS), dan pemanfaatan energi panas bumi bersama Pertamina Geothermal Energy (PGE).

“Asset seluas 2,2 juta hektare berada dalam kewenangan Pemerintah Aceh. Tantangan kami adalah bagaimana mendigitalkan aset tersebut menggunakan teknologi geospasial agar bisa menjadi data real-time yang bernilai dalam skema perdagangan karbon,” ujar Faisal.

Saat ini terdapat 15 proyek CCS/CCUS yang tersebar di Indonesia, termasuk di Riau melalui kerja sama Pertamina dan Mitsui yang ditargetkan beroperasi pada 2028.

Jambi: Dana Karbon untuk Desa

Dari Jambi, Al-Jufri mewakili Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) menceritakan pengalaman sejak 2008 ketika lima desa mengusulkan Hutan Desa dengan luas 7.400 hektar. Melalui pendampingan KKI Warsi, komunitas kemudian mulai menerima dana karbon. Pada 2022, lima desa menerima Rp1 miliar yang digunakan untuk beasiswa, santunan anak yatim, dan pembangunan desa.

“Meski masyarakat belum sepenuhnya paham dana karbon, manfaat nyata sudah dirasakan. Namun, sejak 2023 pendanaan terhambat karena adanya mekanisme lembaga satu pintu. Kami kini berupaya masuk ke mekanisme perdagangan karbon agar insentif bagi masyarakat tetap berkelanjutan,” jelasnya.

Donggala: Dari Konservasi Penyu ke Mangrove dan Terumbu Karang

Saiful Bahri dari LPHD Desa Mapane Tambu, Donggala, berbagi praktik konservasi berbasis komunitas. Sejak 2017, mereka memulai dengan konservasi penyu menggunakan dana desa. Pada 2024, desa ini meraih insentif Transfer Anggaran Berbasis Ekologi (TAKE) dan menjadi lima terbaik nasional. “Kini kami mengembangkan konservasi mangrove dan transplantasi terumbu karang, bahkan sudah mulai dilirik oleh kementerian,” katanya.

Peran CSO dan Mekanisme Pasar Karbon

Ade Chandra dari KKI Warsi menegaskan bahwa hutan sosial membutuhkan pendampingan intensif agar benar-benar bermanfaat. Salah satu contoh sukses adalah Bujang Raba, Jambi, yang telah memperoleh standar internasional Plan Vivo. “Pertanyaannya adalah bagaimana memastikan insentif tetap mengalir kepada masyarakat agar pengelolaan hutan berkelanjutan bisa terjamin,” ujarnya.

Sementara itu, Dicky Edwin Hindarto, praktisi pembiayaan karbon, menjelaskan bahwa pasar karbon terbagi atas mekanisme pasar (carbon market) dan non-pasar (result-based payment dan pajak karbon). “Mayoritas proyek karbon di Indonesia masih berasal dari sektor energi, bukan kehutanan. Jangan hanya mengandalkan investor karbon, kita perlu menghimpun sumber pendanaan lain termasuk blue carbon dari mangrove,” jelasnya.

Pemerintah Pusat: Target NDC dan Regulasi Perdagangan Karbon

Dari sisi kebijakan nasional, Ary Sudijanto dari KLHK menegaskan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi 31,89% dengan upaya sendiri, dan hingga 43,20% dengan bantuan internasional sesuai Paris Agreement.

“Dua sektor penyumbang emisi terbesar adalah energi dan kehutanan (FoLU) dengan kontribusi lebih dari 98%. Karena itu, perdagangan karbon menjadi instrumen penting, baik melalui perdagangan emisi (pembangkit) maupun offset. Namun, perlu dipahami bahwa harga karbon tidak untuk keuntungan besar, melainkan sebagai penopang proyek lingkungan yang kurang profit,” tegasnya.

Kesimpulan: Karbon Sebagai Instrumen, Bukan Tujuan

Diskusi ini menyimpulkan bahwa perdagangan karbon membuka peluang pendanaan lingkungan yang signifikan, tetapi bukan tujuan akhir. Manfaat nyata justru terlihat dari bagaimana pendanaan karbon mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, memperkuat kelembagaan lokal, dan mendorong kolaborasi multistakeholder.

Penulis: Sinta Meilia

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan