Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria Harus Jelas Pelaksanaannya

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menetapkan reforma agraria sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Juga, memperluas wilayah kelola masyarakat melalui perhutanan sosial.

Abetnego Tarigan, tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menyatakan, pemerintahan Jokowi menyiapkan 9 juta hektar lahan untuk reforma agraria. Juga, 12,7 juta hektar lahan dalam bentuk perhutanan sosial yang secara realistis dipenuhi seluas 4,38 juta hektar.

Menurut dia, pencanangan tersebut sangat singkat karena hingga 2019. Sementara tantangannya, struktural maupun dari luar, sangat berat. Belum lagi, ditambah praktik korupsi di lapangan yang kemungkinan bisa terjadi. Sehingga, KSP selalu berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan KLHK untuk menjalankan reforma agraria dan perhutanan sosial.

“Harapannya, setiap masalah ada penyelesaiannya. Saudara kita di pulau kecil saat ini banyak berkonflik dengan perusahaan,” jelasnya.

Lantas, untuk wilayah Sumatera, bagaimana pelaksanaan program tersebut?

Bresman Marpaung, Kepala Seksi Tenur dan Hutan Adat Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera, kepada Mongabay belum lama ini di Medan mengatakan, ada 200 ribuan hektar yang sudah diserahkan SK perlindungan hak tanah dari Presiden Jokowi. “Untuk nasional, sudah mendekati target 2 juta hektar yang saat ini 1,9 juta hektar. Itu merupakan perhutanan sosial,” jelasnya.

Terkait hutan adat, dari 16 SK pengakuan sebanyak 10 di antaranya berada di di wilayah BPSKL Wilayah Sumatera. Sumatera Utara, sampai saat ini belum ada. “Tobasa, Tapanuli Utara, Samosir dan Simalungun merupakan wilayah masyarakat adat di Sumatera Utara yang sudah mengklaim hutan adatnya. Ini masih dilakukan verifikasi, dibantu tenman-teman AMAN Tano Batak, ” jelasnya.

Bresman menjelaskan, selain memberikan akses kelola, pemerintah juga berniat menyelesaikan berbagai konflik sosial terkait penguasaan lahan yang tidak seimbang, antara pemegang izin skala besar dengan masyarakat. Ini dilakukan secara damai dan mengedepankan dialog.

Melaui perbaikan kebijakan mengurangi ketimpangan lahan, Presiden pada 4 Januari 2017 dalam sidang kabinet paripurna di Bogor, menetapkan program pemerataan ekonomi. “Di bidang lahan, melalui reforma agraria yaitu tanah objek reforma agraria (TORA) sekitar 9 juta hektar, dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar yang telah direvisi menjadi 4,38 juta hektar sampai tahun 2019,” jelasnya.

Pengakuan

Manambus Pasaribu, Direktur BAKUMSU mengatakan, isu konflik pertanahan selama ini sudah akut. Pemerintah harus dengan baik menyelesaikannya, secara cermat. Lakukan dari bawah, ketika ada kebijakan bicarakan dengan masyarakat sebagai landasan kebijakan.

“Di 2018, keluar satu perda perlindungan masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta, kemudian di Toba Samosir tentang perda wilayah adat. Di wilayah yang masih kuat sejarah dan kepemimpinan adat, pemerintah harus membuat perda masyarakat adat agar hak kelolanya lebih kuat dan pengakuannya semakin tinggi,” jelas Manambus.

Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam Kongres AMAN di Deli Serdang, Sumatera Utara mengatakan, saat ini ada kebijakan pengakuan adat dan wilayah adat. Ada perhutanan sosial dan juga reforma agrarian. Tetapi, di sisi lain sama-sama diketahui kriminalisasi terhadap masyrakarat adat, represi, dan intimidasi masih terjadi.

Standar ganda ini harus dihentikan. Bila ingin menjalankan reforma agraria, pengakuan masyarakat dan wilayah adat harus selaras dengan pemulihan hak korban. “Bukan malah mengintimidasi atau melakukan kriminalisasi sebagaimana banyak kasus sengketa tanah di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Dewi, kriminalisasi sebagaimana terjadi di Seko, Kendeng, juga di Luwu. Satu pihak, janji reforma agraria akan pengakuan wilayah adat dijanjikan, tetapi di sisi lain polisi dan TNI tetap masuk di wilayah-wilayah konflik tersebut.

“Harus ada keputusan politik dari KSP yang dapat memberikan informasi ke Presiden guna menjalankan reforma agraria yang konkret. Kebijakan nasional ini harus bisa dirasakan di tingkat masyarakat paling bawah,” jelasnya.

Copyright: Mongabay.co.id

Tambang Batubara Ilegal Masih Marak

Palembang, tambang batubara ilegal yang mayoritas dikelola oleh masyarakat umum masih marak di Sumsel. Kondisi ini diakui oleh Kepala Dinas Pertambangan dan ESDM Provinsi Sumatera Selatan, Robert Heri.

Ia mengaku, pihaknya sudah mendata bahkan melaporkan ke aparat berwenang agar penambang ilegal ini ditertibkan, bahkan masalah ini sudah dilaporkan ke Ditjen Minerba di Jakarta. Namun, aktivitas penambangan ilegal ini masih marak dlakukan.

“Kalau kita berantas di hulunya, hari ini kita operasi, besok mereka menambang lagi. Solusinya, kita sudah minta bantuan Ditjen Minerba, karena permasalahan ini harus diberantas dihilirnya, karena jika tidak ada yang beli, otomatis mereka (penambang liar) tidak akan lagi menambang.” ungkap Robert Heri saat menjai pembicara pada fokus Group Discussion (FGD) bertema “Peningkatan Pengawasan dan Pelaporan Produksi Mineral dan Batubara untuk Perbaikan Kualitas Data Produksi dan Peninkatan PNBP”, di Hotel Novotel PAlembang, kamis (25/10/2018)

Menurut Robert, kendala lainnya untuk memberantas praktek penambangan batubara ilegal ini, yakni batubara hasil penambangan liar ini disinyalir dijual ke luar Sumsel, dalam hal ini Provinsi Lampung, sehingga sumsel kesulitan untuk mencegahnya.

“Kalau ke Palembang, saya pastikan tidak ada lagi penjualan semacam ini (dari tambang liar), namun ini dibawa ke Provinsi lain. Oleh karena itu, kita minta bantua Ditjen Minerba, karena ini bukan wewnang kami lagi.”tukas Robert.

Sementar itu, Direktur Pilar Nusantara (PINUS) Rabin Ibnu Zainal mengungkapkan, sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan batubara masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemprov Sumsel dan pihak terkait lainnya. Yakni tindak lajut bekas wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) yang izinnya sudah dicabut dan diakhiri, kemudian masih maraknya tambang ilegal, dan truk batubara yang menggangu arus lalu lintas umum.

“Untuk tambang ilegal, terutama di Tanjung Enim, ini milik rakyat, disana kalau kita melintas, banyak sekali karung-karung berisi batubara di pinggiran jalan, dan ini ada pengepulnya, dan ada indikasi pengepulnya ini memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), jadi mereka sengaja tidak membuka tambang dan hanya membeli dari penambang-penambang liar, ini masih kita telusuri,” ungkap Rabin.

Kondisi ini kata Rabin, sudah dilaporkan ke aparat berwenang, bahkan pihaknya juga sudah melaporkan permaslahan ini ke KPK, agar mereka menyelidiki proses pemberian IUP ke pengusaha-pengusaha yang terindikasi menyalahi aturan.

Menurut Rabin, pemberian IUP masih menjadi hal yang perlu diperhatikan. Karena disinyalir masih ada pemberian IUP oleh kepala daerah tanpa Prosedur lelang WIUP sesuai UU no 4 tahun 2019.

“Ditahun 2014, terdata sebanyak 359 pemegang IUP, kemudian disaat itu, kita membantu pemerintah untuk menertibkan IUP ini, hasilnya di tahun 2016, ada 2018 IUP yang dicabut maupun diakhiri.”pungkasnya

 

Sumber: koransn.com

Menteri Lingkungan Bakal Evaluasi 2,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, akan mengevaluasi sekitar 2,3 juta hektar perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.

“Kalau dari sisi land cover, luas perkebunan sawit seluruhnya hampir 15 juta hektar. Ini data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebun di dalam hutan baik itu karet, sawit dan lain-lain ada 11 juta hektar. Seluruh land cover, artinya tutupan lahan dalam bentuk kebun maupun karet. Khusus sawit luas dalam kawasan hutan sekitar 2,3 juta hektar,” katanya usai rapat koordinasi bersama Menko Perekonomian di Jakarta, Jumat (19/10/18).

Dia bilang, angka itu masih perkiraan dan terus evaluasi. KLHK, katanya, akan mendetailkan angka luasan perkebunan sawit dalam kawasan hutan bersama para pihak lain.

Evaluasi perizinan perkebunan sawit ini, katanya, sejalan dengan tiga regulasi Presiden Joko Widodo, yakni, Perpres Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan hutan, Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit, dan Inpres Reforma Agraria.

“Tiga-tiganya sama untuk menata perizinan. Juga memastikan keberpihakan kepada perizinan bagi masyarakat dan penyelesaian masalah tanah di kawasan hutan seperti tumpang tindih,” katanya.

Ketiga regulasi itu, katanya, harus jelas. Pemerintah juga menyiapkan langkah teknis dalam menjalankan regulasi ini.

“Bagian saya di kehutanan dalam hal Inpres Moratorium Sawit.”

Tugas KLHK, kata Siti, tak boleh ada izin baru, sampai evaluasi izin yang ada permohonan tetapi tak keluar. “Karena ada permohonan enam atau delapan tahun lalu. Itu dilihat persyaratan seperti apa kebun sawit saat izin diterbitkan oleh bupati, sudah sesuai apa tidak? Itu bagian saya juga,” katanya.

Masuk juga dalam evaluasi, katanya, kala perizinan sudah keluar tetapi di lapangan belum ada kegiatan. “Ada dalam proses, ada izin sudah keluar, di lapangan sudah buka atau belum? Kalau ada izin belum buka, ini evaluasi juga. Apakah ada di hutan lebat, atau hutan primer? Kalau lebat bagaimana? Harus seperti apa? Ini yang saya laporkan.”

Kebun sawit di lahan gambut. Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Selain itu, kata Siti, untuk menjalankan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit, KLHK segera menerbitkan aturan turunan.

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, soal hak guna usaha, baru bisa keluar kalau perizinan dari KLHK sudah beres. Dia juga mendata HGU perkebunan sawit yang ada.

“HGU merupakan bagian paling akhir. Perizinan berada di KLHK. Dari kita HGU akan keluar jika perizinan sudah beres,” katanya.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebut, Inpres Moratorium Sawit merupakan solusi berbagai persoalan tata kelola. Ia juga sejalan dua aturan lain, yakni Inpres Percepatan Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan dan Inpres Reforma Agraria.

“Inpres Moratorium Sawit jangan diartikan kita akan berhenti menambah produksi minyak sawit. Kita memberikan waktu tiga tahun membereskan semua persoalan di perkebunan sawit. Termasuk di dalam kawasan hutan,” katanya.

Tak hanya perkebunan sawit besar, katanya, juga menjawab persoalan perkebunan perusahaan menengah dan swadaya masyarakat yang selama ini belum banyak terdaftar.

Berbagai masalah tata kelola, katanya, akan diselesaikan selama tiga tahun.

“Kita akan tata semua hingga mereka terdaftar dan perizinan beres. Tentu nanti akan ada persoalan yang selama ini tak terdata, melanggar kemudian sanksi apa. Itu semua ada sanksi. Jadi, berbagai regulasi itu untuk membenahi perkebunan kita supaya memenuhi standar sustainable (berkelanjutan-red) dan jelas.”

Darmin bilang, pembenahan ini sangat penting guna menunjukkan kepada semua pihak bahwa Indonesia serius memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Kalau tidak, kita akan terus menjadi bulan-bulanan. Ada anggapan tak jelas bahwa Indonesia malah menebang hutan untuk menanam sawit. Jangan sampai moratorium ini dianggap hanya untuk menindak orang. Ini untuk menyelesaikan persoalan.”

Copyright : Mongabay.co.id

 

Diskusi Kelompok Masyarakat Sipil- RPJMD Provinsi Sumatera Selatan 5 Tahun Kedepan

Palembang, 22 Oktober 2018 PINUS Sumsel telah mengadakan Diskusi Kelompok Masyarakat Sipil – RPJMD Provinsi Sumatera Selatan 5 Tahun Kedepan yang bertempat di Dzuri Hotel, Palembang Pada pukul 09.00 WIB.

Diskusi tersebut dihadiri oleh Kepala Badan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Sumatera Selatan, DR. Ekowati Retnaningsih, SKM., M.Kes didampingi oleh Kepala Bidang Pengendalian, Evaluasi dan Perencanaan Strategis, M. Adhie Martadhiwira, S.Sos., M.Pol. kemudian dihadiri oleh wakil Tim  Transisi / Percepatan Pembangunan Provinsi Sumatera Selatan DR. Peryansya,S.E, M.M, CMA serta diikuti NGO Pusat (The Asia Foundation dan ZSL) dan NGO Provinsi Sumatera Selatan (Haki, Walhi, Lingkar Hijau, BRG (Badan Restorasi Gambut), Solidaritas Perempuan, dan Perwakilan dari Mahasiswa Peduli Lingkungan Provinsi Sumatera Selatan.

Program Officer PINUS Ir. Ahmad Muhaimin  dalam sambutannya mengatakan, diskusi  ini akan menjadi langkah awal dalam penyusunan RPJMD yang menitik beratkan arah pembangunan lima tahun mendatang, serta acuan sinkonisasi program pemerintah dan masyarakat.

“Diskusi ini dapat dijadikan forum penjaringan aspirasi antar pemangku kepentingan untuk membahas dan menyepakati arah serta kebijakan pembangunan sesuai dengan visi dan misi kepala daerah dalam rancangan RPJMD Provinsi Sumatera Selatan tahun 2018-2023,” paparnya

DR. Ekowati Retnaningsih, SKM., M.Kes  dalam penyampaiannya menjelaskan, dalam mewujudkan visi Sumatera Selatan  2018-2023 “Sumsel Maju Untuk Semua”, bahwa gubernur terpilih 2018-2023 sudah merumuskan lima misi diantaranya:

  1. Membangun Sumsel berbasis ekonomi kerakyatan yang didukung sektor pertanian, industri dan UMKM yang tangguh untuk mengatasi pengangguran baik di pedesaan dan perkotaan.
  2. Meningkatkan SDM yang sehat, profesional dan menjunjung tinggi nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, kejujuran dan integritas.
  3. Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bebas KKN, mengedepankan transparansi dan akuntabilitas yang didukung aparatur pemerintah yang jujur, berintegritas, profesional dan responsif.
  4. Membangun dan meningkatkan infrastruktur guna percepatan pembangunan wilayah pedalaman, memperlancar arus barang dan mobilitas penduduk serta mewujudkan daya saing dengan mempertimvangkan pemerataan daerah.
  5. Meningkatkan kehidupan beragama, seni, budaya untuk.membangun karakter kehidupan sosial yang agamis dan berbudaya ditopang fisik yang sehat melalui kegiatan olahraga. Untuk pariwisata berorientasi pada pariwisata religius.

Ditambahkan, forum diskusi ini diharapkan dapat diperoleh kesepakatan dalam menentukan arah dan kebijakan yang menjadi acuan dalam merencanakan program pembangunan yang sifatnya strategis dan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan masyarakat di daerah. Tujuannya, agar program yang direncanakan dapat berdaya guna dan berhasil guna. “Dengan pendekatan teknokratik ini, perencanaan pembangunan daerah, akan tetap berjalan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan,” ungkapnya.

Dokumen RPJMD merupakan pedoman pembangunan daerah. Sekaligus, instrumen penilaian kinerja pembangunan daerah selama lima tahun. Karena itu, penyiapan data serta informasi pembangunan, dan keuangan dalam beberapa tahun terakhir, sebagai dasar dalam perumusan RPJMD tahun 2018-2023 sangat diperlukan. “Mudah-mudahan dari diskusi ini, semua berperan aktif memberikan ide. Sebagai bahan penyusunan rancangan teknokratik RPJMD,” ujarnya.

Pada kesempatan tersebut, Ahmad Taufik dari The Asia Foundation menawarkan konsep  Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologis (TAPE) untuk di terapkan di Provinsi Sumatera Selatan, TAPE adalah Transfer dana dari pemerintah provinsi ke kabupaten / kota berbasis pada kinerja dalam menjaga lingkungan hidup. diharapkan dengan menerapkan konsep TAPE di Provinsi Sumatera Selatan untuk menjaga tutupan lahan, tutupan hutan di Sumatera Selatan tetap terjaga.

Menyikapi dari tawaran mengenai Transfer Anggaran Provinsi Berbasis Ekologis (TAPE), DR. Ekowati Retnaningsih, SKM., M.Kes  sangat tertarik dengan simulasi yang disampaikan, namun untuk saat ini Provinsi Sumatera Selatan masih harus mengerjakan  kewajiban-kewajiban yang harus segera diselesaikan. Tapi tidak menutup kemungkinan konsep TAPE ini akan digunakan untuk tahun depan, ujarnya

Tanggapan NGO mengenai diskusi

Ir. Nasrun dari Hutan Kita Institute (HAKI) menekankan  dalam penyusunan RPJMD ini pemerintah harus lebih memperhatikan persoalan-persoalan penting yang ada di sumatera selatan diantaranya  tata kelola lingkungan, terutama  pengembangan Perhutanan Sosial yang sudah di kerjakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan di Provinsi Sumatera Selatan. Beliau juga menambahkan ” Basis dari pembangunan harus sesuai dengan persoalan-persoalan penting yang ada”. ujarnya

sementara itu dari  Solidaritas Perempuan (SP) Ekowati menambahkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pembangunan masih kurang perhatian dari Pemerintah, beliau menekankan kepada agar pemerintah lebih melibatkan perempuan dalam proses pembangunan di Sumatera Selatan.

Tanggapan dari beberapa NGO tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam perancangan RPJMD pemerintah harus lebih memperhatikan persoalan-persoalan mengenai Lingkungan Hidup , baik itu tutupan lahan, reforma agraria, penanganan konflik dan mengarusutamakan gender.

Dari hasil diskusi yang di laksanakan PINUS tersebut Kepala BAPPEDA Sumatera Selatan akan mengadakan diskusi lanjutan bersama NGO terkait untuk membahas persoalan di sumatera selatan terutama permasalahan lingkungan hidup, seperti yang diamanatkan oleh Gubernur terpilih Sumatera Selatan Herman Deru dan Mawardi Yahya untuk periode 2018-2023 yaitu ” Melibatkan NGO mengenai pembangunan”. ujarnya

 

 

Perhutanan Sosial Sudah Terealisasi 2,1 Juta Hektare

Pemerintah pusat telah mencanangkan program Perhutanan Sosial yang melegalkan masyarakat untuk mengelola hutan yang saat ini sudah terealisasi seluas 2,1 jutha Hektare dari target tahun 2019 seluas 4,3 juta hektare. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, menuturkan hutan sosial merupakan program pemerintah yang keberadaannya dapat dikelola oleh masyarakat menjadi lahan produktif sehingga memberikan manfaat lanngsung buat masyarakat sekitar hutan.

Program pemerintah Presiden Joko Widodo itu, kata dia sudah direalisasikan secara nasional  termasuk di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Program Pengelolaan lahan hutan dapat dijual oleh masyarakat untuk mendapatkan modal, sesuai peraturan yang berlaku tidak boleh. Tetapi lahan hutan yang dikelola masyarakat dapat dikerjasamakan dengan perusahaan agar hasil hasilnya bisa dipasarkan dan masyarakat bisa lebih produktif sehingga memberikan keuntungan.

sumber : Antaranews.com

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan