Kementerian ESDM setujui tambahan produksi batubara 21,9 juta ton

 

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan tambahan kuota produksi batubara. Dari 100 juta ton kuota yang ditawarkan, hanya ada tambahan sebesar 21,9 juta ton yang disetujui.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyebutkan, ada 32 perusahaan yang telah mendapatkan izin penambahan produksi dari Menteri ESDM yang dinyatakan dalam persetujuan RKAB 2018 perusahaan. Sayang, Agung enggan membuka perusahaan mana saja yang telah diizinkan menambah produksi.

“Terdapat 32 perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi penanaman modal asing (PMA) yang telah mendapatkan izin penambahan produksi dari Menteri ESDM,” kata Agung saat dijumpai di kementerian ESDM, Rabu (26/9).

Melalui Direktorat Mineral dan Batubara, lanjut Agung, Kementerian ESDM telah menyelesaikan evaluasi atas seluruh permohonan peningkatan produksi yang diajukan oleh perusahaan pemegang PKP2B dan IUP operasi produksi PMA. “Sehingga tidak ada lagi permohonan yang sedang diproses” imbuhnya.

Agung juga mengungkapkan, sesuai dengan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1924 K/30/MEM/2018, tambahan produksi yang telah disetujui ini tidak dikenakan kewajiban domestic market obligation (DMO) sebesar 25% dari total produksi. Artinya, lanjut Agung, perusahaan dapat menjual seluruh volume tambahan produksi untuk diekspor.

Untuk diketahui, sarat dari penambahan kuota produksi ini adalah kewajiban DMO yang harus terlebih dulu dipenuhi oleh perusahaan yang bersangkutan. Terkait hal ini, sebelumnya pada 20 Agustus 2018 lalu, Agung mengemukakan bahwa ada 40 perusahaan yang mengajukan tambahan.

Dari sejumlah perusahaan itu, 18 perusahaan telah memenuhi kewajiban DMO 25% dan 12 perusahaan telah memenuhi DMO pada kisaran 12,5%-25%. Sementara 10 perusahaan lainnya masih di bawah 12,5% sehingga otomatis tereliminasi. Untuk 32 perusahaan yang telah positif disetujui, Agung memastikan, semuanya telah memenuhi kewajiban DMO.

Dengan adanya tambahan kuota produksi ini, jumlah produksi batubara pada tahun 2018 mengalami perubahan. Dari yang tadinya dipatok sebesar 485 juta ton, kini menjadi 506,9 juta ton.

Sekadar mengingatkan, penambahan kuota yang dibuka hingga 100 juta ton ini berasal dari arahan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas pada 14 Agustus 2018 lalu. Tujuannya, ialah untuk menambah devisa.

Menanggapi hal ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menyebut bisa memakluminya. Langkah ini sekaligus membuktikan bahwa peran sektor batubara dalam menopang perekonomian masih dianggap penting oleh pemerintah.

Namun, Hendra tak menampik adanya kekhawatiran penambahan ini bisa mengakibatkan suplai berlebih, sehingga berpotensi menekan harga batubara. “Kami belum tahu persisnya. Tapi tentu tambahan suplai bisa berpotensi menekan harga yang mana indeks harga jual batubara kita menunjukkan penurunan” jelasnya.

Namun, Agung menekankan, tidak akan ada lagi penambahan produksi kuota batubara. Alasannya adalah pertimbangan rasional, yakni menyangkut dengan kesiapan perusahaan mulai dari kesiapan administrasi, modal, peralatan dan kesiapan teknis produksi lainnya, sehingga perusahaan lebih memilih untuk fous mencapai target RKAB.

“Apalagi mengingat sisa waktu yang ada saat ini, sekarang sudah di penghujung tahun” tandas Agung.

Reporter: Ridwan Nanda Mulyana

Perhutanan Sosial dan TORA, Memastikan Hak Atas Tanah Bagi Rakyat

Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin, 24 September 2018. Konflik sosial seringkali mengusik kedamaian di berbagai negara di dunia. Meskipun hampir semua negara telah merdeka, namun persoalan perampasan tanah dan sumber daya alam, yang merupakan simbol dari kolonialisme dan kapitalisme, masih terjadi.
Situasi penanganan konflik sosial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami perkembangan signifikan. Diantaranya dari sisi kemajuan gerakan sosial yang memperjuangkan hak atas tanah, serta adanya kemajuan politik pemerintah mendorong proses-proses pengakuan hak atas tanah melalui kebijakan reforma agraria dan penyelesaian konflik.
Sejak tahun 2014, Pemerintahan Jokowi-JK mempunyai komitmen politik untuk melakukan land reform melalui program Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) 9 juta ha.
Berdasarkan data hingga September 2018, dikatakan Bambang Soepriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK pada acara Global Land Forum (GLF) di Bandung (24/09), bahwa telah diberikan akses Perhutanan Sosial seluas 1,917 juta Ha untuk kurang lebih 458.889 KK dengan jumlah Surat Keputusan (SK) sebanyak 4.786 unit SK Ijin/Hak.
“Untuk Hutan Adat, hingga September 2018 telah ditetapkan seluas 25.110,34 Ha dengan jumlah 33 unit SK, dimana sebelum tahun 2015 belum pernah ada” ucap Bambang di hadapan 800 peserta dari berbagai negara.
Sedangkan perkembangan Reforma Agraria menurut Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang, bahwa tahun ini telah diterbitkan 5,4 juta sertifikat dari target 7 juta, dan tahun 2019 ditargetkan 9 juta sertifikat untuk masyarakat. “Pada tahun 2025 diharapkan semua tanah di Indonesia sudah teregistrasi dan bersertifikat”, tegas Sofyan.
Program TORA lebih diperuntukkan bagi desa-desa di dalam kawasan untuk kehidupan masyarakat ada disana. Sedangkan Perhutanan Sosial, kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk mendapatkan hak akses kelola.
Secara garis besar, tanah di Indonesia mempunyai dua yurisdiksi. Untuk kawasan hutan seluas 120 juta (70% dari luas Indonesia) ha berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan 30% di luar kawasan hutan di bawah kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution bahwa kedua program tersebut demi penyelesaian konflik agraria secara adil. Program reforma agraria bukan hanya memberikan hak atas lahan, tetapi juga memberi kemudahaan atas pasar dan keterampilan. Begitu juga dengan program perhutanan sosial, termasuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dimana pemerintah menyediakan bantuan permodalan dan pendampingan.
Berharap melalui spirit Bandung yang mewakili kebebasan, kesetaraan, Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan sosial seperti yang digemakan Konferensi Asia Afrika 1955 melalui Deklarasi Bandung, GLF tahun ini dapat melahirkan agenda kerja dengan semangat yang sama untuk memastikan pengelolaan tanah berbasis masyaakat, sebagai jawaban mengatasi ketimpangan penguasaan tanah, dan kelaparan yang tengah mengancam jutaan masyarakat di berbagai belahan dunia.

Perlu Transparansi untuk Perbaikan Tata Kelola Sektor Minerba

Jakarta, TAMBANG – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dorong penegakan prinsip transparansi dan upaya perbaikan tata kelola pada sektor industri ekstraktif (migas dan minerba) untuk memenuhi standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI)

Asisten Deputi Industri Ekstraktif, Kemenko Bidang Perekonomian, Ahmad Bastian Halim, mengatakan, berdasarkan data EITI tahun 2016, 94 persen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba disumbang oleh 112 perusahaan dari ribuan perusahaan sektor minerba di Indonesia. Karena itu menurutnya, Perlu dilakukan verifikasi yang lebih baik untuk mendata ribuan perusahaan sektor minerba yang hanya berkontribusi 6 persen PNBP nasional tersebut.

“Dengan tata kelola yang lebih baik, diharapkan penerimaan negara dari sektor minerba dapat lebih meningkat,” kata Ahmad Bastian Halim, saat Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dan implikasinya, di Jakarta, Rabu (26/9).

Dalam kebijakan DMO batu bara, Kementerian ESDM telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 23/2018 yang mewajibkan 25 persen produksi batubara perusahaan dijual di dalam negeri. Namun dalam perkembangannya, demi mendorong ekspor dan mengurangi defisit neraca perdagangan, Kementerian ESDM telah merevisi Kepmen tersebut menjadi Kepmen 1924/2018 dengan menetapkan tambahan kuota produksi sebesar 100 juta ton untuk ekspor yang tidak dikenakan kewajiban DMO. Sehingga target produksi batu bara yang semula 485 juta ton meningkat menjadi 585 juta ton untuk tahun 2018.

Di sisi lain, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pembangunan sektor pertambangan disusun dengan semangat untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan agar mendapatkan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional.

Karena itu, terdapat upaya untuk membatasi eksploitasi hasil tambang agar tidak terlalu berlebih. Kebijakan ini antara lain dilaksanakan dengan melakukan pembatasan produksi batubara pada tingkat produksi sekitar 400 juta ton per tahun, sekaligus menerapkan kewajiban penjualan ke dalam negeri atau DMO dengan target 60 persen pada tahun 2019.

Melalui upaya transparansi, EITI berupaya mendorong perbaikan tata kelola, termasuk kebijakan tentang DMO batu bara. Harapannya agar ada masukan untuk pemerintah dalam menentukan kebijakan sektor minerba ke depan.

“Dengan adanya diskusi publik, diharapkan dapat memberi masukan, kritik atau opsi-opsi kebijakan, sekaligus mendorong perbaikan tata kelola di sektor industri ekstraktif,” tambah Bastian, dalam keterangan resminya, Kamis (27/9).

copyright: tambang.co.id

Hasil Evaluasi Pemerintah, Perusahaan Batu Bara Peroleh Izin Produksi Tambahan 21,9 Juta Ton

JAKARTA – Pemerintah memastikan tidak akan lagi memberikan izin penambahan produksi batu bara dari perusahaan tambang. Dari kuota tambahan produksi 100 juta ton, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya memberikan persetujuan tambahan produksi kurang dari 25% tambahan kuota yang dibuka pemerintah.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, mengungkapkan Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM telah selesai mengevaluasi terhadap seluruh permohonan peningkatan produksi yang diajukan perusahaan PKP2B dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi PMA sehingga tidak ada lagi permohonan yang diproses.

“Terdapat 32 perusahaan pemegang PKP2B dan IUP operasi produksi PMA yang telah mendapatkan izin penambahan produksi dari menteri ESDM yang dinyatakan dalam persetujuan perusahaan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2018,” kata Agung kepada Dunia Energi, Kamis (27/9).

Menurut Agung, total volume produksi tambahan untuk ke 32 perusahaan tersebut adalah sebesar 21,9 juta ton. Penambahan produksi yang telah disetujui sudah tidak lagi dikenakan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) lantaran para perusahaan yang mendapatkan izin tambahan produksi sebenarnya sudah memenuhi DMO. Hal Ini juga sesuai dengan regulasi yang diatur melalui Keputusan Menteri  ESDM Nomor 1924 K/30/MEM/2018.

“Perusahaan dapat menjual seluruh volume tambahan produksi ke luar negeri (eskpor),” tukas dia.

Pada 2018, pemerintah menargetkan produksi batu bara mencapai 458 juta ton. Berdasarkan data Kementerian ESDM realisasi produksi hingga Agustus 2018 sudah mencapai 306,06 juta ton dengan penyaluran ke pasar domestik mencapai 101,17 juta ton dan volume ekspor sebesar 197,17 juta ton.(RI)

copyright: merdeka.com

Presiden targetkan bagi-bagi 3 Juta hektare lahan perhutanan sosial

Jakarta (Antara) – Presiden Joko Widodo menargetkan tahun ini 3 juta hektare lahan dibagikan ke masyarakat melalui kegiatan perhutanan sosial.

“Tahun lalu sudah 1,9 juta hektare, tahun ini targetnya 3 juta hektare. Saya kemarin minta 4,3 juta (kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), saya hitung-hitung, ditawar 3 juta, ya sudah. Enggak apa-apa 3 juta tapi benar 3 juta harus terlampaui,” kata Presiden saat pidato peresmian  Pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan Global Land Forum 2018 di Istana Negara Jakarta, Kamis.

Kepala Negara menegaskan bahwa perhutanan sosial itu bagian dari reformasi agraria yang menjadi konsen pemerintah untuk diselesaikan.

Presiden juga mengatakan bahwa program pemberian sertifikat juga merupakan bagian dari  reformasi agraria yang masih dikejar penyelesaiannya.

Jokowi menyebut 126 juta bidang yang ada di Indonesia baru 43,5 juta yang bersertifikat, sehingga masih 82,5 juta lahan yang belum bersertifikat.

Pemerintah menargetkan tahun ini bisa menyelesaikan 7 juta sertifikat tanah dan pada 2019  bisa menyelesaikan 9 juta sertifikat tanah.

“Saya enggak tahu Pak Menteri BPN kerjanya seperti apa. Bukan urusan saya, urusan Pak Menteri. Kantor BPN kerjanya seperti apa, urusan kantor BPN. Tapi yang jelas kita bekerja harus dengan target-target yang ada. Nyatanya 5 juta (ha) ya bisa ini. Ini tahun ini 7 juta Insyaallah juga bisa,” harap Presiden.

Jokowi meminta pemberian sertifikat, konsensi pada masyarakat, masyarakat adat, perorangan bisa menjadi produktif.
“Jangan sampai ada yang nggak profuktif,” kata Presiden di akhir pidatonya.

Acara tersebut dihadiri oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri KLH Siti Nurbaya, Menteri Desa PDTT Eko Sandjojo, dan Ketua Panitia Global Land Forum, serta peserta Global Land Forum 2018 Dewi Kartika.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Dewanti Lestari
COPYRIGHT © ANTARA 2018

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan