Perlu Transparansi untuk Perbaikan Tata Kelola Sektor Minerba

Jakarta, TAMBANG – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dorong penegakan prinsip transparansi dan upaya perbaikan tata kelola pada sektor industri ekstraktif (migas dan minerba) untuk memenuhi standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI)

Asisten Deputi Industri Ekstraktif, Kemenko Bidang Perekonomian, Ahmad Bastian Halim, mengatakan, berdasarkan data EITI tahun 2016, 94 persen Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba disumbang oleh 112 perusahaan dari ribuan perusahaan sektor minerba di Indonesia. Karena itu menurutnya, Perlu dilakukan verifikasi yang lebih baik untuk mendata ribuan perusahaan sektor minerba yang hanya berkontribusi 6 persen PNBP nasional tersebut.

“Dengan tata kelola yang lebih baik, diharapkan penerimaan negara dari sektor minerba dapat lebih meningkat,” kata Ahmad Bastian Halim, saat Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dan implikasinya, di Jakarta, Rabu (26/9).

Dalam kebijakan DMO batu bara, Kementerian ESDM telah menerbitkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 23/2018 yang mewajibkan 25 persen produksi batubara perusahaan dijual di dalam negeri. Namun dalam perkembangannya, demi mendorong ekspor dan mengurangi defisit neraca perdagangan, Kementerian ESDM telah merevisi Kepmen tersebut menjadi Kepmen 1924/2018 dengan menetapkan tambahan kuota produksi sebesar 100 juta ton untuk ekspor yang tidak dikenakan kewajiban DMO. Sehingga target produksi batu bara yang semula 485 juta ton meningkat menjadi 585 juta ton untuk tahun 2018.

Di sisi lain, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pembangunan sektor pertambangan disusun dengan semangat untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan agar mendapatkan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional.

Karena itu, terdapat upaya untuk membatasi eksploitasi hasil tambang agar tidak terlalu berlebih. Kebijakan ini antara lain dilaksanakan dengan melakukan pembatasan produksi batubara pada tingkat produksi sekitar 400 juta ton per tahun, sekaligus menerapkan kewajiban penjualan ke dalam negeri atau DMO dengan target 60 persen pada tahun 2019.

Melalui upaya transparansi, EITI berupaya mendorong perbaikan tata kelola, termasuk kebijakan tentang DMO batu bara. Harapannya agar ada masukan untuk pemerintah dalam menentukan kebijakan sektor minerba ke depan.

“Dengan adanya diskusi publik, diharapkan dapat memberi masukan, kritik atau opsi-opsi kebijakan, sekaligus mendorong perbaikan tata kelola di sektor industri ekstraktif,” tambah Bastian, dalam keterangan resminya, Kamis (27/9).

copyright: tambang.co.id

Hasil Evaluasi Pemerintah, Perusahaan Batu Bara Peroleh Izin Produksi Tambahan 21,9 Juta Ton

JAKARTA – Pemerintah memastikan tidak akan lagi memberikan izin penambahan produksi batu bara dari perusahaan tambang. Dari kuota tambahan produksi 100 juta ton, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya memberikan persetujuan tambahan produksi kurang dari 25% tambahan kuota yang dibuka pemerintah.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, mengungkapkan Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM telah selesai mengevaluasi terhadap seluruh permohonan peningkatan produksi yang diajukan perusahaan PKP2B dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) operasi produksi PMA sehingga tidak ada lagi permohonan yang diproses.

“Terdapat 32 perusahaan pemegang PKP2B dan IUP operasi produksi PMA yang telah mendapatkan izin penambahan produksi dari menteri ESDM yang dinyatakan dalam persetujuan perusahaan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) 2018,” kata Agung kepada Dunia Energi, Kamis (27/9).

Menurut Agung, total volume produksi tambahan untuk ke 32 perusahaan tersebut adalah sebesar 21,9 juta ton. Penambahan produksi yang telah disetujui sudah tidak lagi dikenakan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) lantaran para perusahaan yang mendapatkan izin tambahan produksi sebenarnya sudah memenuhi DMO. Hal Ini juga sesuai dengan regulasi yang diatur melalui Keputusan Menteri  ESDM Nomor 1924 K/30/MEM/2018.

“Perusahaan dapat menjual seluruh volume tambahan produksi ke luar negeri (eskpor),” tukas dia.

Pada 2018, pemerintah menargetkan produksi batu bara mencapai 458 juta ton. Berdasarkan data Kementerian ESDM realisasi produksi hingga Agustus 2018 sudah mencapai 306,06 juta ton dengan penyaluran ke pasar domestik mencapai 101,17 juta ton dan volume ekspor sebesar 197,17 juta ton.(RI)

copyright: merdeka.com

Presiden targetkan bagi-bagi 3 Juta hektare lahan perhutanan sosial

Jakarta (Antara) – Presiden Joko Widodo menargetkan tahun ini 3 juta hektare lahan dibagikan ke masyarakat melalui kegiatan perhutanan sosial.

“Tahun lalu sudah 1,9 juta hektare, tahun ini targetnya 3 juta hektare. Saya kemarin minta 4,3 juta (kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan), saya hitung-hitung, ditawar 3 juta, ya sudah. Enggak apa-apa 3 juta tapi benar 3 juta harus terlampaui,” kata Presiden saat pidato peresmian  Pembukaan Rembuk Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial untuk Keadilan Sosial dan Global Land Forum 2018 di Istana Negara Jakarta, Kamis.

Kepala Negara menegaskan bahwa perhutanan sosial itu bagian dari reformasi agraria yang menjadi konsen pemerintah untuk diselesaikan.

Presiden juga mengatakan bahwa program pemberian sertifikat juga merupakan bagian dari  reformasi agraria yang masih dikejar penyelesaiannya.

Jokowi menyebut 126 juta bidang yang ada di Indonesia baru 43,5 juta yang bersertifikat, sehingga masih 82,5 juta lahan yang belum bersertifikat.

Pemerintah menargetkan tahun ini bisa menyelesaikan 7 juta sertifikat tanah dan pada 2019  bisa menyelesaikan 9 juta sertifikat tanah.

“Saya enggak tahu Pak Menteri BPN kerjanya seperti apa. Bukan urusan saya, urusan Pak Menteri. Kantor BPN kerjanya seperti apa, urusan kantor BPN. Tapi yang jelas kita bekerja harus dengan target-target yang ada. Nyatanya 5 juta (ha) ya bisa ini. Ini tahun ini 7 juta Insyaallah juga bisa,” harap Presiden.

Jokowi meminta pemberian sertifikat, konsensi pada masyarakat, masyarakat adat, perorangan bisa menjadi produktif.
“Jangan sampai ada yang nggak profuktif,” kata Presiden di akhir pidatonya.

Acara tersebut dihadiri oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Koordinator Staf Khusus Presiden Teten Masduki, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri KLH Siti Nurbaya, Menteri Desa PDTT Eko Sandjojo, dan Ketua Panitia Global Land Forum, serta peserta Global Land Forum 2018 Dewi Kartika.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Dewanti Lestari
COPYRIGHT © ANTARA 2018

Tak Taruh Devisa di Indonesia, Ekspor Perusahaan Tambang Akan Dicabut

Perusahaan tambang wajib mengembalikan devisa hasil ekspor melalui rekening perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri.

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mewajibkan seluruh pelaku industri mineral dan batu bara (minerba) mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam negeri. Bahkan, ada sanksi bagi industri yang tidak melaksanakan kebijakan itu.

Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1952 /84/MEM/2018 tentang Penggunaan Perbankan di Dalam Negeri atau Cabang Perbankan Indonesia di Luar Negeri untuk Penjualan Mineral dan Batu Bara ke Luar Negeri. Keputusan ini berlaku sejak 5 September 2018.

Ada enam kriteria yang wajib melakukan kebijakan itu. Mereka adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

Mereka wajib menggunakan cara pembayaran Letter of Credit dan mengembalikan sepenuhnya ke dalam negeri hasil penjualan mineral dan batubara ke luar negeri melalui rekening perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri. “Spirit-nya harus masuk rekening bank devisa nasional itu saja,” kata Direktur Jendral Minerba, Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, di Jakarta, Jumat (7/9).

Nantinya, Direktur Jenderal Minerba akan melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kewajiban tersebut. Jika, kewajiban itu dilakukan, Direktur Jenderal Minerba dapat mencabut rekomendasi persetujuan ekspor mineral, dan eksportir terdaftar batu bara ke pelaku industri tambang, selain pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada tahun berikutnya juga akan dilakukan penyesuaian. Penyesuaian dilakukan jika setelah izin ekspor itu dicabut, tapi mereka tetap tak melakukan kewajiban tersebut.

Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan ini akan mendapatkan sanksi yang berbeda. Sanksi itu yakni peringatan atau teguran tertulis dan penghentian sementara kegiatan usaha.

Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah mengatakan pengembalian hasil ekspor itu guna meningkatkan devisa. Ujungnya bisa memperkuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. “Hasil ekspornya 100 persen kembali ke indonesia, boleh dalam bentuk US$ atau bisa ditempatkan di bank-bank BUMN dalam negeri,” kata dia, di Jakarta Selasa (4/9).

Reporter: Fariha Sulmaihati

Copyright: katadata.co.id

Stop Tambang Ilegal Gunung Botak Tak Bisa Sekadar Bongkar Tenda Penambang

Awal September 2018, aparat gabungan TNI/ Polri, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Lingkungan Hidup Buru, pemerintah daerah, dan sejumlah organisasi kemasyarakatan, melakukan pembersihan dan penertiban ribuan penambang ilegal tambang Gunung Botak atau biasa disebut Gunung Emas, di Kabupaten Buru, Maluku. Ratusan tenda milik penambang yang berjejer di kawasan itu dibongkar dan dibakar.

Saat pembersihan, tak ada perlawanan dari para penambang. Mereka telah mengosongkan tenda-tenda lebih awal sebelum penertiban, hanya tampak beberapa orang membersihkan tenda mereka.

AKBP M Roem Ohoirat, Kabid Humas Polda Maluku, mengatakan, 300 personil aparat gabungan dipimpin Kapolres Pulau Buru, Dandim 1506 Namlea dan Asisten Kanor Bupati, turun penyisiran menurunkan para penambang ilegal dari gunung itu. Sebelumnya, tim sudah sosialisasi agar penambang mengosongkan Gunung Emas dari penambangan.

“Kamis pagi, aparat sudah menyisir penambang. Namun lokasi emas sudah lebih awal ditinggalkan, hanya beberapa orang sedang membereskan barangnya. Mereka juga sudah diturunkan aparat,” kata Ohoirat.

Sebelum penertiban, katanya, ada sosialisasi dan pembagian selebaran kepada sekitar 7.000-an penambang ilegal.

Data himpunan Mongabay, ribuan penambang beroperasi di Gunung Emas. Mereka menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri. Jika sebelumnya dengan wajan, nyiru dan berbagai alat manual lain untuk menambang emas, kini sudah dengan cara moderen seperti rendaman dan penggunaan sistem pengolahan tong. Rendaman dan tong inilah yang menyebabkan merkuri dan sianida marak dijual di Gunung Emas.

 

Temuan ratusan kaleng sianida dan ratusan sak jin chan diduga mengandung B3. Zat kimia berbahaya ini ditemukan di rumah warga, di Unit 18, Desa Dobowae, Kecamatan Wailata Buru, Maluku. Foto : Rustam Soamole untuk Mongabay Indonesia

Tangkap cukong

Umar Nurlatu, Ketua Lembaga Adat Bersatu Petuanan Kaiely, Pulau Buru, mengapresiasi upaya aparat tim gabungan tetapi, belum berdampak signifikan selama aparat tak menahan pelaku usaha atau cukong sianida di Pulau Buru. Pasalnya, kata Umar, merekalah pelaku kehajatan lingkungan di wilayah itu.

 

Aparat, katanya, jangan hanya menyisir tetapi harus menangkap para cukong sianida dan merkuri yang leluasa menjual serta bertransaksi di Gunung Emas. Kalau penyisiran, katanya, sudah berkali-kali, namun penambangan ilegal tetap berjalan.

“Saya yakin setelah ini para penambang akan beraksi lagi. Apa yang kita lihat selama ini sangat jelas, berkali-kali aparat menyisir Gunung Emas namun penambang masih saja beraktivitas,” katanya.

Dia mendesak, aparat menangkap para pihak yang selama ini sering melegalkan penambangan di gunung itu. Dia bilang, yang berhak melegalkan hanya tokoh adat atau pemilik lahan sah.

 

Hatta, tokoh adat lain juga menyampaikan hal serupa. Aparat, katanya, sepantasnya mengawal ketat semua pintu-pintu masuk yang berpotensi transaksi merkuri dan sianida. Dengan langkah itu, upaya meminimalisir zat-zat kimia berbahaya masuk ke Pulau Buru berjalan epektif.

“Saya kira ini solusi harus dibijaki aparat dan pemerintah. Pemerintah juga harus proses tuntas pihak-pihak yang sudah merusak lingkungan di Buru,” katanya.

Setelah penertiban aparat dan pemerintah, kata Hatta, masyarakat adat akan membangun pos-pos jaga untuk mengawasi para penambang yang naik di Gunung Emas .

Langkah ini, katanya, samata-mata demi mengawal intruksi Presiden RI Joko Widodo pada 2015, menutup tambang emas di Pulau Buru. Jokowi mengintruksikan, pemerintah daerah menutup lokasi pertambangan karena terjadi pencemaran lingkungan luar biasa dampak penggunaan merkuri dan sianida.

Aparat gabungan mulai penyisiran dan penertiban di Gunung Emas. Foto : Humas Polda

 

Sita zat kimia berbahaya

Meski pemerintah terus berupaya menghentikan peredaran merkuri dan sianida di Gunung Emas, penggunaan zat kimia berbahaya itu masih saja marak. Pada, Minggu (19/8/18), aparat temukan dua rumah warga di Unit 18, Desa Dobowae, Kecamatan Wailata, dipakai sebagai gudang penyimpan ratusan kaleng sianida dan bahan kimia berbahaya.

Sebanyak 440 sak merek Jin Chan diduga mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dan 171 sianida dikemas dalam kaleng berukuran 30 liter. Berbagai jenis zat kimia berbahaya ini siap edar ilegal ke lokasi tambang Gunung Emas untuk kebutuhan pengolahan emas.

Data himpunan Mongabay, Sabtu (25/8/18), sianida dan jin chan ditemukan di rumah Sukardi dan Saharudin. Zat kimia ini diduga milik Monding, salah satu pengusaha sianida di yang konon tinggal di luar Pulau Buru. Dalam operasi itu, 110 sak jin chan dan 51 kaleng sianida diamankan di rumah Sukardi. Sebanyak 330 sak jin chan dan 120 kaleng sianida ditemukan di rumah Saharudin.

Ratusan kaleng sianida belum jelas siapa pemesan. Sedangkan 300 sak jin chan, merupakan orderan salah satu dari tiga perusahaan yang mendapat izin operasi di lokasi Gunung Emas.

AKBP Adityanto Budi Satrio, Kapolres Pulau Buru, mengaku ada penangkapan sejumlah bahan kimia berbahaya, namun tidak menjelaskan detil proses penangkapan. “Iya benar pak,” jawab Satrio singkat kepada Mongabay.

Dikutip dari Kabar Timur, media online lokal di Maluku, Budi bicara soal penangkapan itu. Dia mengaku sianida yang diamankan hanya 171 kaleng dan karbon ada puluhan karung.

“Kami masih melakukan penyelidikan. Jin chan ditemukan 300 sak, sianida 171 kaleng. Karung warna putih diduga karbon, saya lupa datanya. Ada puluhan,” katanya.

Sianida dan karbon terungkap pada 19 Agustus lalu, diamankan lebih awal Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Ratusan kaleng sianida berwarna abu-abu dan karung putih berisi karbon, katanya, langsung diserahkan kepada Polsek Waelata.

“Kita masih teliti, selidiki asal usulnya, keabsahan. Pemilik masih kita telusuri dulu.”

Rustam Soamole, Koordinator Lembaga Parlemen Jalanan mengatakan, merkuri dan sianida bak bisnis bebas di Gunung Emas. Upaya pemerintah menghentikan itu, katanya, masih terkendala lantaran belum mengungkap pelaku usaha itu.

“Kita juga sering audensi dengan pemerintah, DPRD, Ombudsman maupun aparat TNI/ Polri untuk menghentikan proses penambangan llegal di Gunung Emas. Kami juga sudah lapor ke pemerintah dan aparat di Jakarta,” kata pegiat lingkungan ini.

Baru-baru ini, katanya, ratusan warga adat Buru hendak menyisir para penambang ilegal di Gunung Emas. Sayangnya, upaya itu dihentikan aparat kepolisian dengan alasan keamanan. Kala itu, nyaris bentrok antara penduduk adat dan aparat kepolisian, di Desa Dava.

Mereka menilai, aparat tak bertindak tegas dalam penertiban terhadap para penambang ilegal yang hingga kini masih terus menambang. Padahal, kerusakan lingkungan dan jatuh korban sudah nyata.

“Baru-baru ini sapi kembali ditemukan mati. Juga terjadi penambang tertimbun longsor hingga meninggal, merkuri sianida tetap merajalela. Pemerintah seakan tutup mata,” katanya.

Teror merkuri dan sianida, katanya, sangat mengancam kehidupan masyarakat di Buru. Bahkan, para peneliti dari sejumlah universitas ternama di Maluku, banyak mengungkap berbagai hasil penelitian mereka. Pulau Buru, katanya, sudah masuk zona darurat lingkungan.

“Harus ada perhatian serius.”

 

 

Biota laut terkontaminasi

Yustinus Male, peneliti logam, keracunan logam dan lingkungan dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon mengatakan, pemerintah harus bertindak cepat mengantisipasi dampak penggunaan zat kimia berbahaya di Pulau Buru.

Setelah penelitian pada 2014, dia sudah menyampaikan kepada Ombudsman Perwakilan Maluku, agar pemerintah peka dan segera bertindak. Dia melihat, terkesan ada proses pembiaran di Pulau Buru.

Racun merkuri, katanya, sudah menyebar masuk ke laut dan mencemari lingkungan.

“Saya bilang ke Ombudsman, harusnya pemerintah peka. Ada pembiaran dengan alasan ekonomi. Mungkin masyarakat awam, bertarung hidup di tambang emas adalah soal ekonomi, tetapi bagi orang besar, tidak. Ini menyangkut uang miliaran rupiah, bukan lagi sepiring nasi. Keserakahan membawa bencana besar,” katanya.

Dosen Fakultas MIPA Unpatti ini tak membayangkan ikan-ikan yang masuk ke perut warga. “Setiap hari kita makan ikan, bahkan tiga kali sehari. Pemerintah harus menghentikan distribusi sianida dan merkuri di Gunung Botak. Masyarakat akan terkontaminasi,” katanya.

Sianida, kata Yustinus, jangka waktu lama memang tidak berbahaya bagi lingkungan, namun mematikan dalam jangka waktu pendek. Dua bahan kimia paling mematikan yakni sianida dan karbon monoksida.

“Karbon monoksida itu seperti knalpot yang kurang oksigen. Kalau orang masukkan genset dalam ruangan tertutup dipastikan semua akan mati. Seperti merokok dalam ruang ber-AC, itu juga sangat berbahaya. Jadi dua senyawa itu yang bisa membunuh oksigen kita.”

Penelitian dia sudah kali ketiga. Dari penelitian 2014, dengan sampel diuji pada laboratorium di Australia, memperlihatkan, berbagai biota laut di Teluk Kaiely sudah tercemar merkuri dengan tingkat konsentrat atau kadar pencemaran lebih 3%.

Hasil uji itu, katanya, tak terbantahkan karena merupakan laboratorium terbaik kedua di dunia. Meski kadar pencemaran masih tergolong kecil, kata Yustinus, biota laut di Teluk Kaiely, sudah tercemar.

Untuk itu, perlu langkah kongkrit pemerintah menghentikan suplai merkuri dan sianida ke Gunung Botak.

“Sesuai hasil penelitian 2014 atas perintah Presiden Joko Widodo, lokasi Gunung Botak ditutup. Namun kini penambangan dengan merkuri dan sianida kembali marak,” katanya seraya bilang, akan meneliti kembali terkait pencemaran merkuri dan sianida.

 

 

Keterangan foto utama: Aparat gabungan gelar penyisiran di lokasi Gunung Emas Pulau Buru, Maluku. Ratusan tenda milik penambang ilegal dibakar dan dibongkar. Foto: Humas Polda

emuan ratusan kaleng sianida dan ratusan sak jin chan diduga mengandung B3. Foto: Rustam Soamole untuk Mongabay Indonesia

Copyright: Mongabay.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan