Kementerian ESDM Buka Opsi Penghapusan Tunggakan Pertambangan

TEMPO.CO, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan sampai saat ini masih memverifikasi kondisi tunggakan penerimaan negara bukan pajak sektor pertambangan yang sulit ditagih sejak 2010 silam. Jika piutang setoran pertambangan ini benar-benar macet, Kementerian Energi membuka opsi untuk menghapuskan piutang tersebut dari kekayaan negara.

“Kami harus pastikan dulu. Kalau bisa, kami akan tagih semuanya,” ujar Direktur Penerimaan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Jonson Pakpahan kepada Tempo, Kamis 23 Agustus 2018.

Jonson mencatat total tunggakan yang berisiko macet sebesar Rp 2,1 triliun dari ribuan penambang. Sebagian besar piutang berasal dari komponen iuran tetap (land rent) yang semestinya dibayar perusahaan saban tahun.

Jonson mengatakan Kementerian Energi tak bisa sembarangan mengusulkan penghapusan piutang. Lembaganya harus berkoordinasi lebih dulu dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara dan Daerah, Kementerian Keuangan bakal menilai upaya Kementerian Energi menagih tunggakan. Jika dirasa optimal, maka pilihan pemutihan bisa dipertimbangkan.

Untuk dikategorikan macet, Kementerian Energi juga harus melihat faktor kemampuan keuangan penunggak, keberadaan barang jaminan, dan masalah lainnya. Dia menuturkan nantinya verifikasi akan dibantu oleh Dinas Energi provinsi setempat. “Kalau kami hapus ternyata masih bisa, enak banget (bagi penunggak) dong,” ungkap Jonson.

Jonson memastikan seluruh penunggak ini sudah tak diizinkan menambang. Pasalnya, pemerintah sudah memblokir pelayanan mulai dari bea cukai, administrasi hukum, hingga izin berlayar di syahbandar, pada akhir 2017 lalu. Ada 5.587 izin tambang yang menjadi objek pemblokiran.

Anggota Tim Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batubara Komisi Pemberantasan Korupsi, Dian Patria, mengatakan pemerintah tak bisa menghapus piutang begitu saja. “Kewajiban itu harus dilunasi,” kata dia.

Dian menyarankan pemerintah supaya memburu perusahaan hingga ke penerima manfaat terakhir (ultimate beneficial ownership). Pasalnya, Dian mencurigai para pemilik meninggalkan perusahaannya lalu mendirikan korporasi baru.

“Sangat mungkin perusahaan itu berganti baju. Apalagi kalau dia (pemilik) punya perusahaan lain yang sehat,” ujar Dian.

Sementara, Direktur Pilar Nusantara-lembaga masyarakat sipil yang mengawal penertiban izin tambang di Sumatera Selatan-Rabin Ibnu Zainal, mengemukakan mengemukakan pemerintah sulit menagih piutang pertambangan, terutama ke pemegang izin yang tak aktif. “Alamat perusahaannya tak jelas. Ada juga yang ketika ditagih mereka mengaku tak punya dana lagi,” ujar Rabin.

Pemerintah, kata dia, juga sempat ingin melacak perusahaan ke pemilik sebenarnya. Namun upaya ini terbentur akses informasi yang terbatas. “Kalau pemerintah berkomitmen seharusnya pemerintah pusat bisa langsung akses ke Kementerian Hukum dan HAM.”

Meski begitu, Rabin berpendapat aturan beneficial ownership Tanah Air belum sempurna. Sebab, sekali pun ditemukan, pemerintah tak bisa meminta pertanggungjawaban ke pemilik sebenarnya. Dia meminta regulator memperbaiki aturan ini.

Menanggapi hal ini, Jonson mengatakan ESDM bakal menggunakan segala cara, termasuk di antaranya melacak pemilik sebenarnya dari badan usaha yang menunggak. “Tentu jika memungkinkan opsi itu bisa kami ambil,” katanya.

 

Copyright: TEMPO.CO

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan