Tumpahan Batubara di Pantai Lampuuk: Pemerintah Didesak Usut Tuntas, Perusahaan Harus Tanggung Jawab

Pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, merana. Pantai indah andalan pariwisata itu tercemar tumpahan batubara. Setidaknya 7.000 ton batubara yang diangkut kapal tongkang milik perusahaan pabrik semen PT Lafarge Cement Indonesia (LCI), mencemari pantai itu. Berbagai kalangan mendesak pemerintah segera mengusut tragedi ini dan anak perusahaan PT Holcim Indonesia harus bertanggung jawab segera menangani tumpahan batubara agar tak merusak laut lebih luas.

 

Henri Soebagio, Direktur Eksekutif Indonesia Centre for Environmental Law (ICEL) ditemui Mongabay di Jakarta, Senin (6/8/18) mengatakan, pemerintah harus merespon dengan dua hal. Pertama, memerintahkan perusahaan segera membersihkan tumpahan. Kedua, kalau tidak, pemerintah bisa melakukan dulu, lalu perusahaan harus membayar biaya yang keluar.

Dari segi hukum, katanya, sebetulnya UU 32 tahun 2009 memungkinkan pemerintah memberikan sanksi administratif untuk pemulihan. Atau bisa clean up dulu tanpa harus menunggu. Pemerintah clean up dulu, lalu meminta ganti kepada si pelaku,” katanya.

Guna menghindari hal serupa terjadi lagi–mengingat kejadian serupa sudah berulangkali–, katanya, tindakan tegas perlu dilakukan.

“Mulai bekukan izin, proses audit, pengawasan jalan, mana-mana saja yang belum dipenuhi si pelaku usaha itu diperintahkan memenuhi.”

 

Tongkang batubara ini terus melintasi Sungai Musi di tengah Kota Palembang. Beberapa kali tongkang batubara ini menabrak tiang Jembatan Ampera, termasuk tiang Jembatan Musi VI dan IV, yang menyebabkan pembangunan meleset dari target waktunya. Foto: Nopri Ismi

 

Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengatakan, ada dua hal perlu digarisbawahi dari tragedi batubara tumpah di pesisir pantai ini. Petama, kecelakaan laut yang kemungkinan besar karena ketidaklayakan kapal. Kedua, ada pengabaian informasi BMKG soal keselamatan dan keamanan pelayaran. Apalagi, katanya, jalur yang dilalui tongkang ini berhadapan langsung dengan laut lepas.

Dia bilang, ada indikasi pelanggaran UU Pelayaran, baik sengaja oleh perusahaan pengoperasi maupun syahbandar di pelabuhan. Untuk itu, katanya, perlu investigasi mendalam oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) agar penyebab kecelakaan laut dan oknum terlibat bisa proses hukum berlaku.

Dia bilang, ada pelanggaran UU Lingkungan Hidup dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Bentuk pelanggarannya, kata Halim, sengaja maupun tidak menyebabkan pencemaran laut atau kerusakan ekosistem pesisir atau laut.

“Berkaitan dengan ini, masyarakat terdampak bisa mengajukan gugatan terhadap perusahaan dan pemerintah atas kelalaian yang ditimbulkan.”

Guna mengatasi dampak lebih buruk terhadap ekosistem pesisir, katanya, Bupati Aceh Besar bisa pembersihan untuk meminimalisasi dampak negatif lebih luas dari tumpahan batubara itu.

“Upaya ini bisa dengan mendesak komitmen perusahaan agar bertanggung jawab penuh, baik membiayai ongkos pembersihan pantai hingga pemulihan ekosistem maupun bertanggung jawab di mata hukum atas kelalaian aktivitas usaha mereka,” katanya.

Ariefsyah Nasution, Pengkampanye Laut Greenpeace Indonesiamenyesalkan tumpahan batubara dari tongkang yang akan mensuplai muatan ke LCI ini.

“Kami mendukung gerakan masyarakat sipil di Aceh mendesak pimpinan perusahaan termasuk pemerintah menuntaskan investigasi penyebab utama insiden serta prioritas pemulihan lingkungan,” katanya.

LCI, katanya, harus bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan. sosial dan ekonomi yang terjadi. Selain itu, keberadaan dan operasi pabrik semen perlu evaluasi kembali dengan serius dan menyeluruh. “Ini harus jadi bagian evaluasi menyeluruh terhadap keberadaan dan operasional perusahaan.”

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara menyayangkan peristiwa ini. Menurut dia, Lhokga merupakan pantai berpasir putih yang luar biasa indah, dan tempat nelayan sandar.

“Bisa dibayangkan pencemaran dan berapa banyak biota laut maupun terumbu karang rusak.”

Dia bilang, terumbu karang perlu sekitar 60 tahun untuk bisa tumbuh kembali dengan baik. “Artinya sudah berapa banyak karbon lepas karena pencemaran ini?”

Belum lagi, katanya, biota yang tercemar dan mati. Belum lagi, kala biota laut tercemar dan jadi konsumsi manusia.

Sebenarnya, kata Susan, pencemaran seperti ini sering terjadi. Tahun lalu di Teluk Balikpapan. Sanksi dan hukuman kepada pelaku pencemaran pun cenderung lemah dan tak memberi efek jera. Paling hanya ganti rugi, atau denda.

“Padahal yang dirusak kehidupan nelayan dan biota di laut. Seharusnya negara berani mencabut izin. Negara baik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kemenko Maritim, harus tegas.”

Tidak hanya terumbu karang yang rusak, biota laut juga menjadi korban akibat tumpahan batubara ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 mendorong negara menjamin hak konstitusional nelayan, salah satu hak mendapatkan pesisir yang bersih dan sehat. “Jadi negara harus tegas. Ini soal laut dan hidup nelayan.”

Hingga kini, katanya, laut masih jadi tempat sampah besar mengalirkan limbah industri seperti tambang. Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat, kurun 1998-2017, diperkirakan terjadi 37 kasus tumpahan minyak di perairan Indonesia.

Dia sebutkan, pencemaran perairan Timor di Nusa Tenggara Timur tahun 2016 karena ledakan ladang minyak di blok Atlas Australia milik Petroleum Authoritu of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP). “Sampai kini kerugian ekologis karena pencemaran belum dipulihkan.”

Kasus lain, pada 2017 di Teluk Bayur, Kota Padang, Sumatera Barat terjadi tumpahan minyak sawit mentah 50 ton milik PT Wira Inno Mas. Ia berdampak pada biota laut dan menyulitkan nelayan tradisional di wilayah itu. Juga kasus pencemaran laut di pesisir pantai Indonesia karena pembangunan PLTU.

Sampai 2017, Kiara mencatat ada 979 desa pesisir mengalami pencemaran air. Sebanyak 204 desa pesisir mengalami pencemaran tanah dan 1.257 desa alami pencemaran udara. Sumber pencemaran, katanya, sebagian besar dari pabrik atau perusahaan-perusahaan yang eksplorasi sumber daya laut dan pesisir.

“Berbagai pencemaran yang selama ini terjadi menurunkan kualitas perairan di Indonesia. Tak hanya merusak ekosistem, juga mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup dari sumber daya laut dan pesisir,” kata Susan.

Keterangan foto utama:Batubara yang diangkut kapal tongkang sebanyak 7 ribu ton dari Palembang ini, berceceran di pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Rabu (01/8/2018). Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sumber : Mongabay

oleh di 7 August 2018

 

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan