Tahun 2018, Sumatera Selatan sukses menggelar Asian Games tanpa diganggu kebakaran hutan dan lahan. Pada 2019 ini, mampukah Sumatera Selatan menjaga pesta politik tanpa bencana kekeringan dan kebakaran? Terlebih, sejumlah wilayah gambut di Sumatera ada yang telah terbakar.
Dr. Najib Asmani, Koordinator Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumatera Selatan, Minggu (13/1/2019) mengatakan, semangat pencegahan atau pemadaman kebakaran hutan dan lahan harusnya bukan hanya untuk mengamankan suatu event atau takutdikecam dunia internasional. Tetapi, karena suatu kebutuhan untuk pelestarian lingkungan bebas emisi. Kesadaran untuk menjaga Bumi lestari, sehingga dapat menghidupi semua makhluk hidup di masa mendatang.
“Oleh karena itu, penting dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang biasa membuka lahan, reforma agraria pada lahan yang terbengkalai dan berkonflik, penegakkan hukum bagi pembakar lahan, serta membangun klaster kegiatan green industry. Ini dilakukan bertahap dan berkelanjutan hingga semuanya tercapai sempurna,” jelasnya.
Klaster kegiatan green industry ini, misalnya mendorong hadirnya kelompok industri yang efektif dan efisien terhadap sumber daya alam. Kemudian mendorong penggunaan energi bersih terbarukan atau tidak lagi menggunakan energi fosil. “Industri ini menciptakan produk yang hemat bahan baku dan mudah diperbarui. Teknologi yang digunakan juga tidak boros energi,” jelasnya.
Musuh bersama
Kol. Inf. Iman Budiman, Danrem 044 Garuda Dempo dalam sebuah tulisannya di harian Sriwijaya Post, menjelaskan enam langkah mencegah kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan. Yang pertama, jadikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebagai musuh bersama.
“Sangat penting mengkampanyekan dan menjadikan opini bersama bahwa karhutla dan kabut asap adalah derita kita bersama. Karhutla bukan hanya dirasakan masyarakat setempat, tidak hanya di titik terjadinya api, tapi juga daerah lain yang mungkin tidak tahu apa-apa. Efek karhutla tak pandang strata dan status, mau pejabat, rakyat biasa, tentara, polisi, siapa pun akan terkena. Karhutla adalah musuh bersama,” tulisnya.
Kedua, memberikan solusi kepada masyarakat terutama dalam pengolahan lahan pertanian. Memperbanyak cadangan tampungan air atau melakukan rekayasa teknologi, harus dilakukan dari sekarang.
Ketiga, membangun pola pikir bersama bahwa karhutla bukan rutinitas tahunan yang harus ditunggu. Arahkanlah sebagian besar program pembangunan untuk peningkatan ekonomi masyarakat yang berefek pencegahan perilaku membakar.
Keempat, peran serta perusahaan dan kalangan swasta di berbagai lokasi harus diperkuat dan dikawal. Pengawalan maksudnya, kegiatan mereka yang bersinggungan dengan gambut harus memiliki jaminan aman kebakaran dan tidak menjadi penyebab kebakaran di tempat lain.
Kelima,sudah cukup banyak pihak yang terlibat dalam mengatasi karhutla, baik unsur pemerintah, masyarakat, LSM, dan bahkan pihak luar negeri. Sangat penting kesamaan gerak dan koordinasi maksimal dilakukan.
Keenam, perlu dukungan pemetaan yang jelas dan terukur terhadap semua lahan yang rentan terbakar dan masyarakat terdampak, baik secara fisik, kesehatan, maupun ekonomi. Terpenting adalah komitmen semua pihak untuk tidak membiarkan lahannya terlantar menjadi santapan api.
Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, sepaham dengan pandangan Najib Asmani dan Imam Budiman. “Karhutla jangan dipandang sebagai persoalan sesaat. Ini sudah menjadi persoalan utama bangsa dalam pengelolaan lahan dan hutan. Jadi benar, mengatasi persoalannya bukan karena takut dikecam dunia internasional, tapi karena sebuah kesadaran. Kesadaran menjadikan karhutla musuh bersama,” katanya, Minggu (13/1/2019).
“Sebagai musuh bersama, pemerintah kota dan kabupaten harus bertanggung jawab terhadap persoalan ini. Termasuk pula mendorong seoptimalnya tanggung jawab pelaku usaha. Jangan hanya dibebankan kepada masyarakat yang sebenarnya menjadi korban dari sistem pengelolaan hutan dan lahan yang sejak lama sudah salah,” tandasnya.
Sumber: Mongabay.co.id