Catatan Akhir Tahun: Lingkungan Rusak, Bencana Makin Mengancam, Bagaimana Prediksi 2019?

Duka menyelimuti akhir tahun ini. Berjarak kurang lebih 200 kilometer dari Jakarta, tsunami menghantam Banten dan meluluhlantakkan pesisir pantai provinsi itu di sepanjang Selat Sunda. Pantai Carita, dan Pantai Anyer, dua obyek wisata di Banten, rusak parah. Tsunami juga mengenai Lampung Selatan dan Tanggamus, Lampung. Kejadian pada Sabtu malam (22/12/18) sekitar pukul 21.30 itu menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan luka-luka.

Data dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), sampai Selasa (25/12/18), 429 orang meninggal dunia, 1.485 luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.082 mengungsi. Tak hanya korban jiwa, hantaman gelombang tinggi yang diduga dampak longsoran karena erupsi anak Krakatau ini menyebabkan sekitar 882 rumah rusak. Sebanyak 73 penginapan, 60 warung, 434 perahu dan kapal alami kerusakan. Belum lagi puluhan mobil dan motor juga rusak.

Sepanjang 2018, belum termasuk tsunami di Selat Sunda, ada 2.426 bencana alam melanda Indonesia. Tiga bencana menelan korban lumayan besar yakni, gempa bumi di Nusa Tenggara Barat, terutama Lombok, dengan 564 orang tewas, gempa dan tsunami Sulawesi Tenggara 2.101 orang meninggal dunia dan tsunami Selat Sunda.

Data BNPB sampai akhir Desember—sebelum memasukkan tsunami Selat Sunda—selama 2018, mengakibatkan 4.231 orang meninggal, 6.948 luka-luka dan 9,9 juta orang terdampak.

Bencana juga mengakibatkan kerusakan 374.023 rumah, 1.928 fasilitas pendidikan, 110 fasilitas kesehatan dan 1.120 fasilitas peribadatan.

Willem Rampangilei, Kepala BNPB, pekan lalu mengatakan, secara umum, tren bencana di Indonesia dari 2009-2018, terus meningkat baik intensitas maupun frekuensi. Kondisi ini, katanya, dipicu kerusakan lingkungan.

Dia sebutkan, daerah aliran sungai (DAS) kritis, perubahan iklim, pertumbuhan penduduk tak terkendali, urbanisasi, hingga perilaku masyarakat belum sadar dengan budaya peduli bencana menjadi antara lain pemicu bencana.

“Perilaku masyarakat belum mencerminkan budaya sadar bencana. Indikasinya orang masih menebang pohon, masih mengotori sungai dan lain-lain,” katanya.

Sumber PNPB

Selain itu, tutupan hutan makin berkurang juga menyebabkan makin bencana makin marak. Willem menyebut, total lahan kritis di Indonesia seluas 14.006.450 hektar.

Dari serangkaian peristiwa bencana itu, katanya, banjir, longsor dan puting beliung masih mendominasi. Puting beliung terjadi 750 kali, banjir 627, tanah longsor 440, kebakaran hutan dan lahan 370, kekeringan 129, letusan gunung api 55, gelombang pasang atau abrasi 34, gempa bumi 20 kali, gempa bumi beserta tsunami satu kali dan tsunami buntut erupsi.

Dari seluruh bencana 2018, katanya, sebanyak 2.350 (96,9%) merupakan bencana hidrometeologis. Sementara yang masuk kategori bencana geologi 76 kali (3,1%).

“Meskipun bencana geologi hanya 3,1%, namun menimbulkan dampak lebih besar, terutama gempa bumi dan tsunami. Seperti terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulteng.”

“Di Sulteng ini unik. Kita tak pernah mengalami seperti ini sebelumnya. Gempa bumi diikuti tsunami dan likuifaksi sekaligus. Sekarang banyak tim ahli dari berbagai negara mempelajari ini mencari tahu apakah tsunami karena likuifaksi atau ada penyebab lain?”

Willem mengatakan, korban meninggal dan hilang karena bencana alam, terbanyak dialami tahun ini. Beberapa peristiwa lain yang menimbulkan korban lebih 1.000 orang, pernah terjadi 2009 saat gempa bumi di Sumatera Barat. Lalu 2010, saat terjadi banjir bandang di Wasior, tsunami Mentawai dan erupsi Gunung Merapi.

“Pada 2010, bencana alam terjadi di tiga lokasi berbeda di waktu yang hampir bersamaan. Saat itu kita harus mngerahkan semua sumber daya yang ada,” katanya.

Secara angka, katanya, kalau dibandingkan dengan bencana pada 2017, terjadi penurunan. Pada 2017, bencana sebanyak 2.862 kali tetapi dari segi jumlah korban, tahun ini jauh lebih banyak.

Kalau diuraikan berdasarkan waktu kejadian, pada 23 Januari terjadi gempa bumi di Lebak, Banten, mengakibatkan 8.467 rumah rusak. Lalu 5 Februari longsor di empat titik di Kabupaten Bogor (Ciawi, Cisarua, Cijeruk, Babakan Madang) menyebabkan enam orang meninggal dunia, 81 mengunggsi dan sembilan rumah rusak.  “Maret tak ada kejadian bencana.” Pada 18 April, gempa bumi di Banjarnegara, menyebabkan dua orang meninggal dunia, 2.125 mengungsi, 27 luka-luka dan 465 rumah rusak.

Satu unit alat berat dikerahkan untuk menyingkirkan batu besar di Sungai Batang Arau pasca banjir yang melanda kota Padang, Jumat (2/11/18). Terlihat sebuah jembatan gantung yang rusak akibat terseret kerangka jembatan disebelahnya yang hanyut terbawa arus pada saat banjir. Foto Vinolia/ Mongabay Indonesia.

Pada Mei, terjadi dua bencana. Pertama, erupsi Gunung Merapi mengakibatkan 1.900 orang mengungsi. Kedua, banjir di Sulawesi Selatan terdampak pada 13.000 orang (10.000 orang di Kabupaten Bone, 5.000 Luwu Timur), 3.040 hektar sawah terendam.

Pada 13 Juni, gempa di Sumenep mengakibatkan enam orang luka-luka, 25 rumah rusak, tiga fasilitas peribadatan rusak, dan dua fasilitas pendidikan juga rusak.

Juli terjadi gempa di NTB. Korban jiwa mencapai 564 orang, 1.886 orang luka-luka, dan 149.715 rumah rusak. Lalu, Agustus, terjadi kebakaran hutan dan lahan dan kekeringan di beberapa wilayah. Pada 28 September terjadi gempa disusul tsunami dan likuifaksi di Sulteng.

Pada 11 Oktober, gempa bumi di Sumenep mengakibatkan tiga orang meninggal dunia, 36 luka-luka, 552 rumah rusak dan 11 fasilitas umum juga rusak. Lalu 12 Oktober, banjir di Mandailing Natal menyebabkan 17 meninggal dunia, 500 mengungsi, 41 rumah rusak dan tiga fasilitas umum rusak.

Pada 10 November, ada longsor di Nias Selatan, tujuh orang tertimbun. Masih November, longsor di Nagekeo, Nusa Tenggara Barat, menyebabkan tiga orang meninggal, 2.125 orang mengungsi dan lima rumah tertimbun.

Pada 6 Desember, puting beliung di Bogor menyebabkan satu orang meninggal dunia, tiga luka-luka, 942 mengungsi, 1.700 rumah rusak.

Menjelang tutup tahun, 22 Desember lalu, tsunami menghantam Banten dan Lampung, menyebabkan 400 orang lebih tewas.

Dia bilang, provinsi paling sering bencana antara lain Jawa Tengah (551), Jawa Timur (422), Jawa Barat (322), Aceh (150), dan Kalimantan Selatan (95). Kabupaten paling sering bencana antara lain Bogor (76), Cilacap (57), Wonogiri (54), Serang (46), dan Ponorogo (41).

“Jumlah bencana terbanyak berada di Pulau Jawa, karena penduduk terbanyak di Jawa. Kalau kejadian bencana misal, gempa dan tak ada korban penduduk, itu bukan bencana,” kata Willem.

Erupsi gunung

Di Indonesia, terdapat 127 gunung aktif (13% dari total di dunia). Gunung yang berstatus awas atau level empat yaitu Gunung Sinabung. Ia terus erupsi sejak 2 Juni 2015. Gunung dengan berstatus siaga antara lain Gunung Agung sejak 10 Februari 2018 dan Gunung Soputan sejak 3 Oktober 2018.

Gunung berstatus waspada seperti Merapi, Ili Lewotolok, Banda Api, Dempo, Bromo, Rinjani, Karangetang, Lokok, Gamalama, Sangeangapi, Rokatenda, Ibu, Gamkonora, Semeru, Anak Krakatau, Marapi, Dukono dan Kerinci.

Beberapa peristiwa erupsi gunung pada 2018, pertama, Gunung Merapi meletus Mei 2018, letusan beberapa kali sejak 11 Mei.

Akibatnya, 1.900 orang mengungsi. Bandara Adi Sucipto juga sempat ditutup. Kedua, Kawah Sileri pada Gunung Dieng meletus pada 1 April menyebabkan 56 orang keracunan gas berbahaya.

“Sebanyak 75 Kabupaten kota berada di daerah bahaya sedang hingga tinggi dari erupsi gunung api di Indonesia. Sekitar 3,5 juta penduduk terpapar bahaya sedang-tinggi dari erupsi gunung api,” katanya.

Kebakaran hutan dan lahan

Willem mengatakan, pada 2018, dampak kebakaran hutan dan lahan tak signifikan. BNPB bersama berbagai pihak sudah melakukan upaya penanggulangan secara baik.

“Tidak berdampak seperti penutupan bandara dalam waktu lama, pencemaran udara, atau tidak ada sekolah libur,” katanya.

Meskmi begitu, katanya, di beberapa tempat karhutla masih terjadi. Titik panas sepanjang 2018 masih terpantau tetapi jauh menurun dibandingkan peristiwa serupa pada 2015.

Data BNPB sepanjang 2018 hingga 14 Desember, beberapa provinsi masih terdeteksi titik panas di Kalimantan Barat (11.605), Papua 6.787, Kalimantan Tengah 6.661, NTT 5.569, dan Riau 3.525 titik.

“Di Kalbar sempat terjadi karhutla cukup parah. Waktu itu kami menurunkan semua sumber daya. Baru bisa memadamkan api setelah satu minggu,” katanya.

Api berkobar melalap pasang sabana di TNBTS. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

Kerugian ekonomi

Menurut Willem, bencana alam membawa dampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi. Data Bappenas terkait dampak benca alam di Sulteng, misal, menunjukkan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Kalau tak ada bencana, pertumbuhan ekonomi di Sulteng bisa 6,24%. , setelah bencana, hanya 1,75%. Selain itu juga menimbulkan inflasi dari semula 3,65% jadi 10,28%.

“Dampak bencana sedemikian kompleks, bukan hanya pada kehidupan juga ekonomi dan lingkungan. Ini menunjukkan, ke depan kita perlu melakukan upaya dalam pengurangan risiko bencana. Kita negara rawan bencana, harus melakukan investasi di dalam pengurangan risiko bencana,” katanya.

Menurut dia, penurunan pertumbuhan ekonomi karena bencana alam di Sulteng, meningkatkan jumlah penduduk miskin baru sebanyak 18.400 jiwa. Dengan begitu, kemiskinan Sulteng pada 2019 naik 14,42%, atau 438.610 jiwa.

“Seiring perbaikan ekonomi pasca pemulihan, perlahan kemiskinan di Sulteng dapat menurun kembali, diperkirakan memerlukan waktu tiga tahun.”

Namun untuk melakukan upaya pemulihan, katanya, juga perlu dana tak sedikit. Untuk pemulihan Sulteng, dia perkirakan perlu dana Rp22 triliun dan untuk NTB Rp12 triliun, total Rp34 triliun. Pendanaan yang ada total hanya Rp18,39 trilun, asih ada kekurangan Rp15,60 triliun. Perkiraan ini belum masuk perhitungan setelah tsunami di Selat Sunda.

“Bayangkan baru dua bencana saja di NTB dan Sulteng, kita harus menganggarkan Rp34 triliun.”

Tutupan hutan yang terus hilang pelahan mengubah iklim negeri dan memicu bencana. Foto: dokumen Laman Kinipan

Bencana masih tinggi 2019

Tahun depan, kata Willem, secara umum musim di Indonesia diprediksi normal. Tidak ada El-Nino dan La-Nina intentitas kuas. Musim penghujan dan kemarau pun, normal.

Meski begitu, BNPB memprediksi bencana yang akan terjadi di Indonesia, bisa 2.500, didominasi banjir, longsor dan puting beliung.

“Diperkirakan lebih 95% bencana hidrometeorologi. Ini karena masih luas kerusakan DAS, lahan kritis, laju kerusakan hutan, kerusakan lingkungan, perubahan penggunaan lahan, dan tingginya kerentanan menyebabkan bencana hidrometeorologi akan meningkat,” katanya.

Dia mengatakan, rata-rata laju perubahan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mencapai 110.000 hektar per tahun.

“Banjir dan longsor masih akan banyak terjadi di daerah-daerah rawan banjir dan longsor sesuai peta wilayah rawan. Kebakaran hutan dan lahan masih akan terjadi tetapi dapat diatasi lebih baik,” katanya.

Pemilu legislatif dan presiden-wakil presiden pada 17 April 2019 akan berpengaruh dalam penanggulangan bencana. Hal ini, katanya, perlu diantisiapasi sejak dini.

Prakiraan BMKG, kondisi El-Nino Southern Osciliation, cenderung netral hingga tak menyebabkan El-Nino atau La-Nina. Puncak hujan diprediksi pada Januari 2019.

Potensi tinggi terjadi banjir, longsor dan puting beliung hampir di sebagian besar Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara. Sementara Sulawesi, Maluku dan Papua berpotensi curah hujan menengah.

Sumber PNPB

Potensi banjir, katanya, diperkirakan melanda 489 kabupaten dan kota berada di daerah bahaya sedang-tinggi, dengan penduduk terpapar dari bahaya sedang -tinggi 63,7 Juta jiwa. Ancaman longsor pada 441 kabupaten dan kota.

“Meningkatnya pembangunan menyebabkan perubahan penggunaan lahan di perkotaan dan permukiman. Konsekuensi perubahan ini keseimbangan hidrologi berubah, meningkatkan aliran permukaan hingga menimbulkan banjir karena upaya pengendalian terbatas.”

Di Pantura Jawa, terdapat daerah seluas 6.996 hektar terendam rob karena amblesan permukaan tanah. Fenomena ini terjadi sejak 1980-an dan cenderung meningkat dan meluas.

“Adaptasi dan mitigasi antara lain pembangunan tanggul, pompa, polder, mangrove, penataan permukiman dan lain-lain,” katanya.

Untuk prediksi kejadian geologi sepanjang 2019, kata Willem, gempa akan terus terjadi. Rata-rata setiap bulan sekitar 500 gempa di Indonesia.

“Gempa bumi tidak dapat diprediksi pasti, berapa besar dan kapan tetapi diprediksikan gempa terjadi di jalur subduksi laut dan jalur sesar di darat. Perlu waspada gempa-gempa di Indonesia bagian timur yang kondisi seismisitas dan geologi lebih rumit serta kerentanan lebih tinggi,” katanya.

Dengan temuan 214 sumber gempa baru, maka teridentifikasi 295 sesar aktif. Di Jawa, ada 37, Sulawesi 48, Papua 79, Nusa Tenggara dan Laut Banda 49 sesar aktif.

Soal potensi tsunami, kata Willem, sangat tergantung dari besaran gempa bumi dan lokasi. Kalau gempa lebih 7 SR, kedalaman kurang 20 km dan berada di jalur subduksi maka ada potensi tsunami.

Setelah tsunami Selat Sunda– muncul tanpa didahului gempa–makin banyak ancaman-ancaman bencana yang perlu mitigasi lebih baik ke depan hingga meminimalisir korban jiwa dan kerugian.

Keterangan foto utama: Kondisi di sekitar pesisir Pantai Banten, setelah sapuan tsunami, Sabtu lalu. Foto: BNPB

Ilustrasi. Longsor di Brebes, baru-baru ini menewaskan belasan orang. Longsor terjadi murni bencana alam karena daerah penyangga bagian atas bertutupan pohon lebat, tetapi masih bisa longsor. Apalagi kalau tak bertutupan bahkan jadi tambang, makin rawan longsor. Foto: BNPB

 

 

Laporan Ungkap Karut Marut Tata Kelola Batubara Berelasi dengan Para Elite Politik

Korupsi dalam lingkaran bisnis batubara tak bisa lepas dari sejumlah elit politik, mulai dari pejabat daerah, pemerintah pusat bahkan jenderal perwira. Ia terungkap dalam laporan Greenpeace Indonesia bersama Indonesia Corruption Watch |(ICW), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Yayasan Auriga yang rilis Senin (17/12/18).

Dalam laporan “Coalruption: Elite politik dalam pusaran bisnis batubara,’ setebal 50 halaman, Greenpeace menguak bagaimana karut marut tata kelola batubara berakhir dengan penyuapan dan korupsi yang menguntungkan segelintir orang.

“Korupsi dalam bisnis batubara tak hanya massif tetapi sudah sistematis, antara pemerintah daerah, pusat dan oligarki lama,” kata Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace.

Bermula dari desentralisasi yang memberikan wewenang bagi pemerintah daerah untuk memberlakukan pajak baru dan menerbitkan izin pertambangan dan ekspor. Selama periode 2001-2010, setidaknya ada peningkatan izin pertambangan dan ekspor dari 750-10.000.

“Sekitar 40% adalah pertambangan batubara,” katanya.

Proses penerbitan izin usaha pertambangan tingkat lokal ini berisiko penyuapan dan kickback (merupakan suatu bagian ofisial dari dana yang digelapkan). Terjadi kenaikan ekspor batubara ilegal menjadi 90 juta ton atau sekitar Rp58 triliun setiap tahun.

Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jatam, mengatakan, para kandidat atau partai politik mengumpulkan dana kampanye dari perusahaan dengan imbalan penerbitan izin usaha penambangan.

Rita Widyasari, mantan Bupati Kabupaten Kutai Kertanegara, misal, menerbitkan 254 izin usaha pertambangan, Gubernur Samarinda periode 2000-2010, Achmad Amin menerbitkan 63 isin tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang sesuai dalam masa kampanye 2009.

“Bentang politik berkontribusi besar rusaknya bentang alam dan lingkungan,” katanya.

Hasilnya, hanya 338 dari 856 pemegang izin pertambangan komersial punya surat jaminan reklamasi. Hanya 96 telah membayar uang muka jaminan pasca tambang. Parahnya, 632 tambang batubara berubah jadi genangan air raksasa, 42% di Kutai Kertanegara.

Infografis data matinya anak di lubang tambang dari Jatam. dok Jatam

Parahnya, kata Merah, hingga Desember 2018, 32, orang meninggal di lubang tambang. Hingga kini, tak satupun kasus anak meninggal di lubang tambang dapat penanangan memadai.

Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, mengatakan, di Indonesia, risiko korupsi terbesar terjadi saat pemberian izin pertambangan dan penentuan lokasi tambang. Praktik korupsi sering terjadi, yakni pertukaran pengaruh, korupsi politik atau campur tangan politik dan korupsi peraturan.

Indonesia, disebut sebagai the dirty man of Asia karena ketergantungan pada batubara.

Siapa saja pemainnya? Laporan ini menyebut, mereka sebagai politically exposed persons (PEP), yakni mereka yang memegang atau pernah memegang peran publik, atau anggota keluarga maupun kerabat dekat dari pejabat. PEP cenderung menyalahgunakan atau mengabaikan peraturan, regulasi dan kebijakan untuk memastikan bisnis batubara terus berlanjut dan menghasilkan keuntungan.

Dengan memanfaatkan perannya dalam pemerintahan, PEP membuat regulasi berpihak pada industri batubara, seperti dilaporkan dalam kajian International Institute for Sustainable Development (IISD), ada 15 subsidi untuk industri batubara dalam bentuk pemindahan tanggungjawab, pendapatan negara hilang, pengadaan barang dan jasa di bawah nilai pasar dan dukungan pendapatan atau harga.

Beberapa kasus disoroti laporan ini untuk menggambarkan pengaruh PEP dalam menyelamatkan bisnis batubara mereka.

Pertama, kasus Churchill melawan Nusantara Group. Churchill, sebuah perusahaan tambang terdaftar di London, sengketa mengenai izin pertambangan dengan Nusantara Group, milik Prabowo Subianto yang didukung Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor.

Mitra lokal Churchill, Ridiatama mengeksploitasi hubungan dengan pejabat daerah untuk memalsukan dokumen izin pertambangan. Namun, Nusantara Group terbukti punya koneksi politik lebih kuat untuk memperpanjang izin dan mencabut izin Churchill.

Kasus lain, BP dan Rio Tinto, pemilik PT Kaltim Prima Coal (KCP) yang dapat perlindungan politik dengan berpihak pada Aburizal Bakrie. Bakrie pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bakrie lantas jadi Ketua Umum Partai Golkar pada 2009.

“BP dan Rio Tinto menjual KPC kepada PT Bumi Resources milik Bakrie untuk melindungi mereka dari serangan Gubernur Kaltim serta aktor politik lain yang menggunakan isu naisonalisme dan lokalisme,” kata Tata.

 

Beberapa tokoh

Industri batubara di Indonesia terdiri dari beberapa perusahaan besar dan banyak konsesi kecil di Sumatera dan Kalimantan. Enam perusahaan penghasil batubara terbesar di Indonesia yakni Bumi Resources, Adaro Energy, Kideco Jaya Agung, ITM, Berau Coal dan Bukit Asam. Keenam perusahaan ini menghasilkan lebih dari 50% produksi batubara nasional pada 2015.

Jika dilihat lebih dalam, lanjut Tata, PEP dari berbagai latar belakang terlibat dalam pengoperasian usaha pertambangan batubara di Kaltim. Siapa saja mereka?

  • Sandiaga Salahudin Uno pemegang saham Adaro Energy. Selain jadi wakil Gubernur Jakarta 2017-2018, Uno juga calon wakil presiden bersama Prabowo Subianto pada Pilpres 2019. Sebelumnya, Uno menjabat Dewan Pembina Partai Gerindra.
  • Raden Pardede, Komisaris Independen Adaro Energy merupakan Koordinator Tim Asistensi Menteri Keuangan (2000-2004), pernah jadi staf khusus Menteri Koordinator Perekonomian (2004-2005) dan wakil direktur PT Perusahaan Pengelola Aset (2004-2005).
  • Theodore Permadi Rahmat, Wakil Presiden Adaro Energy anggota Dewan Ekonomi Nasional (1999-2000).
  • Letnan Kolonel (Purn) Pagunadi Tatit Setyawan Komisaris Independen Adaro Energy juga menjabat sebagai Presiden Komisaris PT Jakarta Propertindo (2010-2013).
  • Darmono, wakil Jaksa Agung (2009-2013) pernah jadi pelaksana tugas jaksa Agung pada 2010, komisaris Berau Coal.
  • Laksamana (Purn) DR Marsetio Komisaris Independen Berau Coal merupakan mantan Kepala staf Angkatan Laut 2012-2014.

Teks: Anton Septian/Tempo Sumber: Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Timur, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM

Toba Sejahtera

Satu kasus jadi sorotan utama laporan ini yang dapat menggambarkan bagaimana korupsi sektor batubara ini berkelindan dengan elit politik, yakni di Kalimantan Timur.

“Kaltim adalah bukti korupsi nyata di Indonesia,” kata Firdaus.

Kaltim menduduki rangking ke-9 dari 10 provinsi dengan kasus korupsi terbanyak pada 2015 menurut KPK. Selama desentralisasi kasus-kasus korupsi Kaltim melibatkan anggota DPRD, kepala daerah, wakil kepada daerah makin marak. Kasus ini berkaitan dengan pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam terutama batubara.

Dua PEP dari Kaltim yang menyatukan bisnis dan politik antara lain Syaukani Hasan Rasid dan Rita Widyasari. Syaukani adalah mantan Ketua DPD Golkar Kaltim dan mantan Bupati Kutai Kertanegara, selama dua periode. Dia menggunakan jabatan untuk menerbitkan izin pertambangan dalam jumlah drastis yang diduga untuk membiayai kampanye. Belakangan terbukti melakukan empat tindak pidana korupsi yang merugikan negara Rp120 miliar.

Rita Widyasari, adalah anak Syaukani. Rita dapat warisan jaringan kolusi dari ayahnya ketika menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara pada 2010. Didukung jaringan tim 11 yang menfasilitasi penyuapan, gratifikasi dan penggelapan uang. Tim 11 diketuai mantan anggota DPRD dan organisasi pemuda Golkar Khairudin.

Rita membangun aliansi strategis dengan dua pejabat Golkar nasional dari kubu Aburizal Bakrie, yaitu Azis Syamsuddin dan Idrus Marham, yang mendukung Rita dalam kampanye pilkada kedua. Azis Syamsuddin merupakan komisaris perusahaan tambang milik ibu Rita, Sinar Kumala Naga.

Hendrik Siregar, peneliti Auriga, memberi contoh kasus korupsi politik yang menyatukan politik dan bisnis industri batubara yang memicu dampak negatif sosial dan lingkungan. Dalam laporan ini yang disoroti antara lain, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan dengan PT Toba Sejahtera.

“Sejarah pemilikan saham dalam bisnis industri batubara tak bisa dilepakan begitu aja,”katanya.

Tahun 2004, Bakrie membantu Luhut merintis usaha tambang batubara lewat jaringan yang dimiliki Bupati Kutai Kertanegara saat itu, Syaukani Hasan Rais.

Kemenangan Rita Widyasari sebagai Bupati Kukar pada 2010 memulihkan hubungan antara keluarganya dan Luhut. Dia kemudian menerbitkan IUP operasi produksi bagi perusahaan-perusahaan milik Luhut.

Ada beberapa PEP dari jaringan Luhut dalam militer dan birokrasi yang terlibat dalam bisnis tambang batubara. Di PT Toba Sejahtera ada Luhut, David T Panjaitan, Jusman Syafii Djamal, Fachrul Razi dan Sumardi.

Anak perusahaannya, Kutai Energi ada Suadi Marasabessy, Jusman Syafii Djamal dan Hamid Awaluddin. Anak perusahaan lain Toba Bara Sejahtera juga ada David T Panjaitan, Pandu Patria Syahrir, Jusman Syafii Djalal, Bacelius Ruru dan Farid Harianto.

Anak perusahaan Toba Bara, Adimitra Baratama Nusantara juga ada PEP Sintong Hamonangan Panjaitan, Pandu Patria Syahrir dan Hamid Awaluddin.

“Sintong Panjaitan dan Suadi Marasabessy adalah orang yang membantu Luhut berkomunikasi dengan warga di Kaltim,” kata Merah.

 

Dampak sosial

Toba Sejahtera punya 23 lubang tambang yang ditelantarkan di Kukar. Perusahaan ini juga menghindari hukum dengan mengabaikan lubang tambang terbuka serta mencemari tanah. Empat lubang terbuka di konsesi Kutai Energi tidak direklamasi. Air dari salah satu lubang konsesi mengalir ke Sungai Nangka tanpa disaring. Pengujian kualitas air menunjukkan tingkat keasaman dan kontaminasi logam tinggi.

“Sungai Nangka dari 1970 dimanfaatkan kami untuk mencari ikan, mandi, minum ternak dan memasak, sudah tak bisa digunakan,” kata Rukka, Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Muara Jawa Kabupaten Kukar seperti dikutip dari laporan.

Dia bilang, tak ada lagi berbagai jenis ikan. Air keruh dan berlumpur. Untuk minum ternak pun warga tak berani pakai air sungai lagi.

Selain pencemaran, masalah lain dihadapi warga dengan Toba Sejahtera yakni sengketa tanah.

“Kasus sengketa tanah memperlihatkan, pengaruh Luhut di Kukar dan Kalimantan Timur, sangat kuat,” ucap Hendrik.

Bahruddin, petani cabai di Makroman, Samarinda. Lahan pertanian warga sekitra sebagian sudah berubah menjadi galian tambang batubara. Foto: Tommy Apriando

Perkuat penegakan hukum

Sebentar lagi, Indonesia, memasuki masa pemilihan presiden. Berbagai organisasi masyarakat sipil ini meminta presiden terpilih harus memperkuat penegakan hukum dalam operasi pertambangan batubara. Selain juga harus memperkuat langkah-langkah hukum, termasuk menyusun regulasi mencegah konflik kepentingan diantara pemain bisnis batubara.

“Termasuk memberikan perlindungan lebih kuat dari risiko kolusi dan campur tangan politik yang ditimbukan oleh seringnya berpindah jabatan dari sektor publik dan swasta,” kata Tata.

Pemimpin Indonesia terpilih, katanya, harus menyoroti pemilik manfaat (beneficial ownership) dalam usaha tambang batubara.

“Jika pemilik perusahaan yang sebenarnya tersamar, publik tak mungkin dapat tau siapa yang mengendalikan perusahaan itu.”

Penting juga, katanya, menyusun peta jalan untuk menutup bisnis tambang batubara di Indonesia.

Dampak lingkungan dan komunitas, pembangunan berkelanjutan dan konflik sosial yang timbul dampak tambang batubara sangat luas dan tak dapat dihindari.

“Butuh peta jalan untuk transisi dari energi batubara ke terbarukan.”

Menanggapi laporan ini, Dian Patria, Kepala Satgas III Unit Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK mengatakan, laporan ini mengkonfirmasi kajian KPK pada 2011 mengenai pejabat-pejabat yang punya peran dalam bisnis batubara.

KPK, katanya, telah mengupayakan pencegahan bersama pemerintah. Dia bilang, yang dilakukan KPK termasuk dalam Korsup Minerba pada 2014 lumayan efektif menekan potensi korupsi.

“Yang KPK lakukan lumayan tapi tak cukup,” kata Dian.

Ekonom Faisal Basri, membenarkan, ada politik ekonomi dalam bisnis batubara. Terbukti dari ekploitasi berlebihan di Indonesia. Karena itu, kata Faisal, perlu ada perubahan paradigma pengelolaan energi dari sumber komoditas, penerimaan negara, saran pemburuan rente, dan sumber penerimaan devisa negara jadi penggerak pembangunan dan akselerasi industrialisasi.

“Perlu keadilan antargenerasi, pembangunan ramah lingkungan dan berkelanjutan,” kata Faisal.

Menanggapi laporan ini, Luhut Binsar Pandjaitan membantah ada konflik kepentingan antara dirinya dan industri batubara terutama di Kaltim. Seperti dikutip dari Tempo, Luhut bilang sudah tak lagi mengurusi Toba Sejahtera sejak melepas saham perusahaan itu sebelum jadi menteri.

Copyright:mongabay.co.id

Nyawa Hilang di Lubang Batubara Bertambah, Aktivis Lingkungan Dapat Teror dan Serangan

Nyawa manusia hilang di ‘danau’ tambang batubara terus bertambah, sampai awal November 2018 sudah 32 korban. Kondisi tambah parah kala aktivis lingkungan yang konsern menyuarakan kritisi terhadap permasalahan batubara ini mendapat teror dan penyerangan. Sekretariat Jatam dirusak orang-orang tak dikenal. Jatam melaporkan kasus penyerangan ke Polres Samarinda.

 

Awal November 2018, Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, beberapa kali mendapat tteror orang tak dikenal. Berbagai ancaman dia terima kala tuntutan penuntasan kematian anak di lubang tambang viral di berbagai media lokal dan nasional.

Aksi damai Jatam, jaringan masyarakat sipil dan mahasiswa dibalas ancaman, penyerangan serta pengerusakan sekretariat Jatam 5 November lalu.

Rupang mengatakan, penyerangan ini tak bisa terpisahkan dari eskalasi dukungan publik agar pemerintah dan aparat penegak hukun menuntaskan 32 kasus anak tewas di lubang bekas tambang batubara.

Kronologisnya, kata Rupang, 4 November 2018, sekitar pukul 17.30 waktu setempat Jatam Kaltim mendapatkan kabar duka lewat sosial media kalau ada seorang amak Tenggarong Seberang, Ari Wahyu Utomo (13) meninggal dunia di lubang bekas tambang. Lokasi kejadian di konsesi PT Bukit Baiduri Energi (BBE).

Tim Jatam Kaltim segera turun menuju rumah duka, selain melayat juga menggali informasi. Setelah mengikuti proses pengajian dan berbincang-bincang dengan pihak keluarga, tim Jatam Kaltim kembali ke Samarinda membuat rilis kasus.

Pada 5 November 2018, sekitar pukul 20.00, Sekretariat Jatam Kaltim di Jalan KH Wahid Hasyim II, Perum Kayu Manis Blok C No.06, Kel. Sempaja, didatangi sekelompok massa sekitar 30 orang. Jatam mendapat informasi dari tetangga.

Saat itu, sekretariat kosong karena sudah lewat jam kerja. Kelompok orang itu menggeledah kantor Jatam dan mendobrak pintu belakang. Jendela kamar gedung belakang kantor rusak. Tidak menemukan satupun aktivis Jatam, pencarian mereka lanjut dengan menggeledah rumah tetangga.

Tak puas sampai di situ, puluhan orang tak dikenal ini mengempesi ban motor milik salah staf Jatam Kaltim.

“Informasi yang kami terima, pasca penyerangan dan perusakan, kami kerap kali diawasi dan diintai orang-orang tak dikenal baik siang dan malam,” katanya.

Dia bilang, intimidasi dan teror berulang ini menandakan ada pihak-pihak yang tak suka alias terganggu dengan kampanye dan advokasi Jatam Kaltim cs selama ini.

Kondisi lubang bekas tambang batubara PT TPS di Kukar. Dari citra setelit. Foto dok Jatam Kaltim

Hingga kini, dia belum mengetahui motif jelas di balik penyerangan dan penrusakan ini. Namun, Rupang meyakini, terkait sejumlah laporan dan advokasi mereka atas kasus korban ke-32 di lubang tambang, operasi tambang Ilegal, pencemaran lingkungan, perampasan lahan dan lain-lain.

Atas penyerangan itu, jatam Kaltim Senin, (26/11/18), melapor resmi kasus teror dan perusakan ke Polres Samarinda. Mereka menyertakan sejumlah bukti berkaitan dengan peristiwa ini.

“Tadinya kami berpikir situasi dan ancaman akan berakhir, ternyata tak, masih terus berlanjut sampai sekarang. Itulah sebabnya kami melaporkan kepada pihak berwajib,” kata Rupang.

Bagi Jatam Kaltim, penyerangan dan perusakan ini ancaman gerakan pro-lingkungan dan pro-demokrasi yang lantang menyuarakan keselamatan masyarakat. Jatam mencatat, sepanjang 2011-2018, lebih dari 20 kasus intimidasi dan teror, baik kriminalisasi maupun penyerangan fisik, kepada warga penolak tambang.

Rupang menuntut, kepolisian Samarinda mengusut kasus ini dan memproses hukum perusakan sekretariat Jatam Kaltim. Negara, katanya, juga harus memberikan perlindungan bagi pejuang lingkungan dari ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

“Harus ada jaminan keselamatan bagi rakyat yang memperjuangkan lingkungan dari acaman manapun.”

Dia juga mengajak rakyat bersama-sama mengusir dan melawan pihak-pihak yang merusak lingkungan dan mengancam nyawa anak-anak. “Rakyat tak akan pernah aman dan sejahtera jika kejahatan tambang masih terus merajalela.”

Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam Nasional mengatakan, kriminalisasi dan serangan kepada perjuang lingkungan hidup dan anti tambang meningkat dan meluas. Situasi ini, katanya, seiring situasi di Asia.

“Jokowi harus turun tangan menjamin perlindungan negara kepada pejuang lingkungan hidup. Juga menuntaskan kasus anak tewas di lubang tambang dan perusakan lingkungan di Indonesia,” kata Melky.

Dalam laporan Global Witness berjudul Defender of the Earth; Global Klillings on Land and Environtmental Defenders,” menyatakan, serangan maksimum berupa pembunuhan meluas pada 24 negara pada 2016, setelah 2015 terjadi di 16 negara. Ada 60% pembunuhan di Amerika Latin utama terjadi di Brazil.

Data Jatam Nasional, ada 18 kasus kriminalisasi dan serangan maksimum berupa penembakan dan pembunuhan menyasar 81 penolak tambang di Indonesia sepanjang 2011-2018.

Pembunuhan pejuang anti tambang salah satu yang menghebohkan, Salim Kancil, warga di Lumajang, Jawa Timur, penolak tambang pasir besi.

Pola baru kini, kriminalisasi terhadap ahli lingkungan seperti Basuki Wasis dan Bambang Hero, yang membantu mendorong gugatan kerugian negara karena kerusakan lingkungan.

Pola lain, kriminalisasi dengan pasal tuduhan komunisme pada kasus Budi Pego, menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Juga tuduhan mengada-ngada pasang bendera terbalik oleh warga penolak pembangkit listrik batubara di Indramayu.

Ada juga serangan langsung ke kantor organisasi seperti di Jatam Kaltim pada 26 Januari 2016 dan 5 November 2018 di Samarinda.

“Kami menilai presiden dan Menteri Lingkungan Hidup serta aparat penegak hukum gagal menjalankan mandat dan fungsinya,” katanya, seraya bilang, UUD 1945 menyatakan setiap orang berhap atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pemerintah dan aparat, katanya, tak menjalankan tugas melindungi warga dalam menjalankan hak asasi itu sesuai Deklarasi Universal PBB tentang hak asasi manusia bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, sebenarnya menjamin setiap individu maupun kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan tak bisa digugat perdata dan pidana.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, dalam kasus serangan Kantor Jatam Kaltim, kepolisian belum membuka surat perkembangan hasil penyelidikan perkara (SP2HP) kepada pelapor maupun korban lubang tambang batubara.

“Ada kekuatan oligarki besar yang dilindungi untuk terus merusak lingkungan. Negara ini berpihak pada warga dan pelestarian lingkungan hidup atau pemodal?”

Jatam mendesak Komnas HAM mengambil peran lebih jauh mengawal dan mengkoordinasikan segala upaya memperkecil kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang lingkungan. “Kini teror para pejuangan lingkungan dan anti tambang makin membesar.”

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Vendra Riviyanto tak mendapat balasan. Dikutip dari detik.com, Vendra mengaku belum menerima laporan dari Jatam Kaltim terkait intimidasi dan perusakan kantor mereka.

Beberapa barang bukti perusakan Sekretariat Jatam Kaltim. Foto:dokumen Jatam Kaltim

Presiden harus turun tangan

Pada 21 Oktober 2018, Jatam Kaltim mendapat kabar korban tewas lubang bekas tambang ke-30, Alif Alforaci. Dia jatuh di Kecamatan Tenggarong, Desa Rapak Lambur dalam Konsesi PT Patriot Trias Sejahtera (TPS).

Pada 25 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo kunjungan ke Kaltim. Terjadi aksi di sejumlah titik di Samarinda. Tidak hanya Jatam Kaltim, gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa turun ke jalan mendesak presiden turut menyelesaikan dan bertindak atas jumlah korban anak-anak tewas terus bertambang di lubang bekas tambang.

Gubernur Kaltim Isran Noor kala ditanya wartawan, menyatakan, kematian anak di lubang bekas tambang batubara, sudah nasib. Isran hanya prihatin.

Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin,” katanya.

Ketika ditanya soal upaya gubernur menuntaskan kasus itu agar peristiwa tak terulang, Isran mengatakan, korban jiwa itu di mana-mana terjadi.

“Ya, namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang. Ya, pasti upaya. Itu kan pertanggungjawaban dunia akhirat,” kata Isran.

Setelah itu, korban terus bertambah. Data Jatam, korban sudah 32 orang, atau ke-11 di Kabupaten Kutai Kartanegara terhitung sejak 2011-2018.

Rupang mengatakan, pemerintah seakan tak pernah belajar dan menganggap penting persoalan ini. Padahal, kejadian serupa belum lama berselang. Korban ke-30, Alif pada 21 Oktober 2018, seminggu setelah itu, Ari Wahyu dan awal November 2018 seorang anak lagi mati di lubang tambang batubara.

“Sudah 32 nyawa melayang di lubang tambang batubara. presiden harus berrtindak,” kata Rupang.

Dia bilang, kehadiran presiden beberapa hari setelah anak meninggal di lubang tambang, beberapa hari kemudian kejadian serupa terjadi.

Jatam, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan, tak cukup mengasistensi pemerintah daerah. “Gubernur, bupati dan walikota di Kaltim belum menganggap kasus anak tewas di lubang tambang sebagai persoalan penting. Upaya pencegahan agar tak terulang lagi selayaknya dilakukan presiden.”

Jatam, katanya, juga mendesak Gubernur Kaltim bertindak keras kepada pebisnis tambang yang membiarkan lubang-lubang tambang batubara mereka menganga. Seharusnya, kata Rupang, izin BBE dicabut, karena lakukan pembiaran dan tak mau membenahi sistem keamanan dan keselamatan sesuai mandat UU Mineral dan Batubara dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Faktanya, tak ada pencabutan, padahal kejadian berulang dan perusahaan tak juga diproses hukum.”

Secara terpisah Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, sejumlah perusahaan tambang batubara di Kaltim harus mempertanggungjawabkan kematian anak di lubang tambang, dan persoalan reklamasi.

Walhi dan Jatam mempertanyakan sikap Kapolda Kaltim, kapan kasus-kasus ini diproses hukum hingga ke pengadilan. Publik katanya, menunggu upaya serius kepolisian Kaltim untuk memastikan penegakan hukum kasus ini.

“Kita duga kuat ada pihak-pihak tertentu yang ingin kasus ini dipetieskan dan tak berlanjut ke pengadilan. Kami mempertanyakan profesionalisme kepolisian Kaltim memastikan penegakan hukum 32 orang tewas di lubang tambang batubara.”

Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum Universitas Mulawarman kepada Mongabay menagih aksi konkrit. Selama ini, presiden yang hanya melempar upaya penyelesaian kasus-kasus hilangnya nyawa manusia di bekas galian lubang tambang kepada gubernur, nampak seperti ingin cuci tangan.

Padahal, katanya, presiden punya kekuasaan untuk ambil alih kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan kontroversial, serta gagal diselesaikan pemerintah daerah.

Rahmawati memegang foto anaknya, M Raihan korban ke sembilan lubang tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Menurut Herdiansyah, dalam negara kesatuan, kendali utama di tangan pemerintah pusat, walau kewenangan dibagi ke pemerintah daerah. “Ketika kewenangan itu gagal dijalankan baik, pemerintah pusat dapat memgambil tindakan atas nama kepentingan warga negara.”

“Jadi salah besar jika pilihan presiden tidak mencampuri urusan ini, dengan menyerahkan kembali kepada pemerintah daerah yang notabene salama ini gagal.”

Pernyataan gubernur yang mengunci kasus korban lubang tambang sebatas sebagai takdir semata, sangat menyedihkan.

Pernyataan ini, katanya, bermakna dua hal, pertama, menunjukkan kedangkalan pemahaman gubernur terhadap kasus korban lubang tambang dan dampak lingkungan industri ekstraktif lain. Kedua, menunjukkan, kalau gubernur tidak punya empati kepada para korban. Sesungguhnya, dia punya kewenangan mendorong penyelesaian kasus ini.

Secara administratif, katanya, gubernur punya kuasa menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan dengan wilayah konsesi memakan korban.

“Pada aspek pidana, gubernur bisa mendorong penyelesaian kasus ini dengan berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Jika sanksi tak pernah dijatuhkan, baik administratif maupun pidana, tak akan ada efek jera. Kejadian akan terus berulang,” kata Castro, sapaan akrabnya.

Haris Retno, pengajar Universitas Mulawarman kepada Mongabay mengatakan, korban yang terus berjatuhan menunjukkan ada kegagalan dalam pengelolaan pertambangan di Kaltim. Gubernur baru Kaltim, katanya, harus mengambil momentum ini untuk bertindak cepat agar korban tak bertambah.

Di Kaltim terdapat 1.200-an izin tambang, jika satu izin meninggalkan dua lubang, akan ada 2.400 lubang bekas tambang. “Pemerintah harus bertanggung jawab karena izin diberikan pemerintah. Tambang bukan datang diam-diam tapi dengan izin negara.”

Wahyu Nugroho, dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta mengatakan, harus ada proses hukum pidana kepada perusahaaan atas tewasnya orang di lubang bekas tambang. Dia bilang, sudah kewajiban perusahaan mereklamasi lubang tambang.

Dalam kasus di Kaltim, tak lagi pembekuan, seharusnya sudah pencabutan izin. Menurut dia, kejadian itu sudah melanggar ketentuan hukum administrasi dan hukum pidana bidang pertambangan berdasarkan UU Minerba dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sumber: Mongabay.co.id

Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) paling mutakhir menyatakan kita hanya punya waktu 12 tahun bila ingin bisa menjaga kenaikan suhu pada maksimal 1,5 derajat Celsius di tahun 2100.Kalau di tahun 2030 kita tak bisa memotong emisi sebesar yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan itu, umat manusia bakal kesulitan untuk bisa membuat kondisi kehidupan yang baik.Pilihan yang tadinya dianggap cukup baik, yaitu kenaikan 2 derajat Celsius, kini diketahui lebih buruk daripada yang kita sangka sebelumnya.

Padahal, kita kini hidup dalam cara yang trajektorinya mengarah pada kenaikan 3,2 derajat Celsius—jauh sekali di atas pilihan terbaik.Kondisi ini menjanjikan katastropik bagi peradaban manusia.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita semua akan membuat perubahan sedrastis dan secepat yang dibutuhkan untuk bisa menghindari kondisi yang sangat buruk untuk anak-cucu kita?Ataukah, seperti yang ‘diramalkan’ oleh sastrawan besar Kurt Vonnegut, kita cuma bakal menulis di batu nisan Bumi yang mati :‘We could have saved the Earth, but we were too damned cheap.’

Tentu, kondisi sebaliknyalah yang mungkin terjadi.Bumi akan melihat umat manusia mengalami kesengsaraan luar biasa akibat perbuatannya sendiri.Kecuali, kalau kemudian umat manusia memang melakukan pertobatan yang dibutuhkan.Dan, untuk bisa melakukan pertobatan yang dibutuhkan itu, kita semua perlu mengecek apa saja dosa-dosa yang sudah kita buat, dan bagaimana dosa-dosa itu bisa ditebus.

 

LaporanBrown to Green 2018 dari Climate Transparencyyang diluncurkan pada tanggal 21 November 2018 di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, menyediakan alat pengecekan ‘dosa-dosa’ kolektif kita.Betapa tidak menyenangkan, bahkan menakutkan, membaca laporan tersebut.Tetapi, itu harus dilakukan, agar kita semua bisa melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan generasi sekarang, dan terutama generasi mendatang.

Kalau laporan IPCC menyatakan bahwa seluruh dunia perlu memotong sekitar 40% emisi di tahun 2030, penurunan yang disarankan oleh laporanBrown to Green 2018 lebih dalam lagi, yaitu 50%.Tentu, lantaran objek dan sasaran laporan ini adalah negara-negara G20 yang emisinya lebih besar, dan secara ekonomi lebih kaya, maka tuntutan tersebut sangat masuk akal.

Sayangnya, laporan itu menegaskan bahwa negara-negara G20 masih jauh dari sasaran tersebut.DokumenNationally Determined Contributions(NDCs) yang disetorkan negara-negara itu tidak menggambarkan kesadaran atas kontribusi yang adil ataufair share.Yang paling parah, kalau NDC seluruh negara itu mengikuti ‘komitmen’ Rusia, Saudi Arabia dan Turki, maka atmosfer Bumi akan memanas lebih dari 4 derajat Celsius.

 

Bagaimana dengan NDC Indonesia?Laporan itu menegaskan bahwa—bersama-sama dengan Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Rusia, dan Arab Saudi—kita akan bisa mencapai target NDC bila emisi dari pemanfaatan lahan dan hutan (LULUCF) tidak diperhitungkan.Mengapa?Karena kita mematok ambisi yang kelewat rendah.

Status NDC Indonesia sendiri menurut Climate Action Tracker memanghighly insufficientdi tahun 2018 ini, turun status satu tingkat dariinsufficientdi tahun 2017.Dengan status tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang turut berencana menaikkan suhu atmosfer lebih dari 3 derajat Celsius. Sebuah status yang memalukan.

Biang kerok dari kondisi emisi negara-negara G20 ini adalah pemanfaatan sumber-sumber energi fosil yang kelewat tinggi dan belum cukup diturunkan setelah peringatan soal ini datang bertahun-tahun lampau.Laporan ini menyatakan bahwa 82% kebutuhan energi G20 memang dipasok dari energi fosil.Pengukuran di tahun 2017 menunjukkan bahwa di 15 dari anggota G20, emisi dari energi meningkat lagi, setelah sebelumnya oleh berbagai laporan diperkirakan sudah memuncak.

Ternyata kita masih lapar dan haus energi fosil.Batubara terus kita ‘kunyah’, dan minyak terus kita ‘minum’ dalam proporsi yang semakin besar—kecuali di Inggris, Tiongkok, dan Prancis.

 

Apa sektor yang paling perlu diubah?Pembangkitan listrik dan transportasi.Demikian yang ditegaskan dalam laporan ini.Tetapi apa yang terjadi dengan kedua sektor?Saking kurangnya negara-negara G20 bertindak dalam urusan ini, status yang diberikan adalahlaggardalias tertinggal.

Afrika Selatan, Australia dan Indonesia adalah negara-negara paling payah dalam urusan emisi dari pembangkitan listrik, lantaran masih kelewat doyan batubara.Amerika Serikat, Kanada dan Australia adalah yang paling banyak membuang emisi dari transportasinya.

Kalau kemudian sektor-sektor lainnya dilihat, maka hasilnya juga tak menggembirakan.Dalam sektor industri, satu-satunya anggota G20 yang dipandang punya kebijakan memadai adalah Uni Eropa.Tiga yang paling ketinggalan adalah Afrika Selatan, Tiongkok dan Rusia.Mereka bertiga memiliki emisi dari sektor ini yang paling tinggi intensitasnya—sementara kebijakannya tampak tak berniat menurunkan intensitas itu.

Soal sektor bangunan juga cuma Uni Eropa yang kompatibel dengan tujuan 1,5 derajat Celsius.Kanada, Jerman, dan Amerika Serikat emisinya paling tinggi.Terakhir, dari sektor kehutanan, ‘juara’ dengan emisi tertinggi adalah Indonesia, Argentina, dan Brazil.Kebijakan dan tindakan dari ketiga negara tersebut dipandang memprihatinkan.

Katrok’-nya, sudah demikian buruk situasinya, negara-negara G20 masih saja memberi subsidi gila-gilaan untuk bahan bakar fosil yang dikonsumsi.Hitung-hitungan laporan ini mengungkapkan bahwa di tahun 2016, anggota G20 secara kolektif menuangkan USD147 miliar untuk subsidi batubara, minyak dan gas.Cuma Kanada dan Prancis yang menghasilkan pendapatan dari pajak karbon yang lebih besar daripada subsidi bahan bakar fosilnya.Yang paling banyak memberi subsidi? Arab Saudi, Italia, dan Australia.

 

Memang sudah ada beberapa negara yang kini mengembangkan kebijakan pengungkapan pembiayaan terkait dengan perubahan iklim, di mana subsidi atas bahan bakar fosil bisa menjadi lebih terkendali.Kebijakan yang paling maju misalnya ditunjukkan oleh Pranis, Uni Eropa dan Jepang.

Tetapi, sebagaimana yang beberapa waktu lalu diungkap oleh laporan dari Rainforest Action Network (RAN) dan Profundo, bank-bank dari Jepang tampak masih sangat getol membiayai pembangkit listrik tenaga batubara.Jadi, pengungkapan itu tidak menjamin bahwa kemudian tindakannya akan sesuai dengan tujuan kebijakan pengungkapan.Bank-bank dari Jepang tampakcueksaja, meneruskan pembiayaan terhadap projek-projek yang membahayakan Bumi.

Komitmen Indonesia

Walaupun begitu, laporan ini juga menunjukkan bahwa ada beberapa negara anggota G20 yang mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan terkait transisi yang adil dari energi fosil.Kanada, Tiongkok, Prancis dan Indonesia adalah di antara negara-negara yang disebut mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan yang demikian.Ketika negara yang disebut pertama itu sudah memiliki kebijakan dan anggaran yang secara khusus ditujukan untuk mendukung pekerja dan daerah yang terkena dampak dari transisi meninggalkan batubara.

Indonesia, kita tahu, punya sejumlah pemikiran awal soal pembiayaan ekonomi hijau secara menyeluruh, dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup, juga upaya ‘menghijaukan’ Rencana Pembangunan Jangka Manengah 2020-2024, selain membuat skenario pembangunan rendah karbon hingga tahun 2045.

 

Secara umum ruang perbaikan untuk Indonesia yang paling menonjol adalah pada sektor energi dan kehutanan.Intensitas emisi dari pembangkitan listrik kita adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara G20.Di sektor kehutanan, ketika banyak negara anggota G20 sudah menunjukkan peningkatan tutupan hutan dibandingkan kondisi tahun 1990, kita ternyata masih kehilangan 23%.Di sektor transportasi dan bangunan, walaupun emisi kita tergolong rendah, namun ada kecenderungan meningkat, sehingga perlu diwaspadai.

LaporanBrown to Green 2018,yang di Indonesia diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), ini adalahdashboardyang sangat penting bagi pembangunan Indonesia, di samping berbagai laporan lain yang diproduksi di dalam maupun luar negeri.Sebetulnya semua laporan memberi pesan yang konsisten, yaitu soal ruang perbaikan yang perlu kita isi demi masa depan yang lebih baik.Pesan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kita masih punya waktu untuk memilih menjadi lebih baik.Pembangunan berkelanjutan, dengan rendah karbon sebagai salah satu kunci pentingnya, adalah satu-satunya yang masuk akal bagi kita semua.

Kalau baru-baru ini Bappenas mengeluarkan laporan bahwa skenario pembangunan rendah karbon sesungguhnya membawa Indonesia kepada tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak perlu ada lagi keraguan untuk mengambil jalur hijau itu.Sebaliknya, semakin lama berada di jalur coklat yang selama ini kita tempuh, semakin membahayakan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi Indonesia.Jadi mengapa tidak mengambil jalur hijau secepat mungkin?

Pesan ini tampaknya sangat perlu dipahami oleh siapapun yang akan memimpin Indonesia di tahun 2019 nanti.Demikian pula, kita yang hendak memilih pemimpin Indonesia, hendaknya menimbang kapasitas dan rekam jejak kandidat dalam urusan ini.Siapa yang lebih kita percaya bisa membawa Indonesia ke jalur hijau itulah yang seharusnya kita pilih.

sumber: mongabay.co.id

Pertengahan November 2018, PNBP Minerba Capai Rp 41 Triliun

Purwokerto, TAMBANG – Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari subsektor mineral dan batubara (Minerba) hingga pertengahan November 2018 mencapai angka Rp41,02 triliun. Raihan ini melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar Rp32,1 triliun.

“Kira-kira sampai akhir tahun, dari minerba diproyeksikan PNBP kurang lebih sebesar Rp 43 triliun, dari target Rp 32,1 triliun. Kalau untuk tahun depan proyeksinya (masih) Rp 32,1 triliun, tapi nanti kita lihat perkembangannya,” papar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono saat menjadi Keynote Speaker pada acara ESDM Goes to Campus di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dalam keterangan resminya, Kamis (15/11).

Bambang menambahkan, komposisi penerimaan minerba 2018 berasal dari royalti, penjualan hasil tambang serta iuran tetap. Besarannya untuk royalti mencapai sekitar Rp24,5 triliun, penjualan hasil tambang sekitar Rp16 triliun serta iuran tetap sekitar Rp0,5 triliun.

“Intinya penerimaan negara pasti lebih baik. Pendapatan terbesar di minerba itu batubara. Batubara selain royalti ada pendapatan hasil tambang besarnya 13,5 persen dari komposisi penerimaan minerba,” lanjut Bambang.

Lebih lanjut Bambang menjelaskan, faktor-faktor yang dapat meningkatkan penerimaan negara tersebut diantaranya, harga komoditi yang fluktuatif, produksi minerba yang semakin bagus, juga peran aktif perusahaan-perusahaan dalam melakukan kegiatan yang semakin baik.

“Faktor pertama adalah harga komoditi fluktuatif dan kebetulan seasonnya bagus, kedua produksi batubara mineral juga makin bagus, artinya tercapai, ketiga perusahaan-perusahaan dalam melakukan kegiatan makin baik, dengan standar SOP akan lebih baik dan menghasilkan sesuatu yang positif, kegiatannya lancar berarti produksi tercapai, harga bagus berarti kan tinggal mengalikan saja kan proyeksinya bagaimana,” jelas Bambang.

Apabila ditelisik ke tahun-tahun sebelumnya, komposisi PNBP minerba dari tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan. Di akhir tahun 2017 berada pada angka Rp40,6 triliun, Sedangkan untuk tahun 2016 hanya mencapai Rp27,2 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp29,6 triliun.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM terus berusaha sekuat tenaga mengawal kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sehingga seluruh rakyat Indonesia mendapatkan energi berkeadilan,” tandas Bambang.

Sumber: Tambang.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan