Punya Kekayaan Alam Melimpah, tetapi Angka Kemiskinan di Lahat Nomor 2 di Sumsel, Nomor 1 Muratara

LAHAT -Banyak orang hebat lahir di Kabupaten Lahat, Kabupaten ini juga memiliki banyak kekayaan alam mulai dari pertambangan sampai perkebunan. Lahat merupakan kabupaten tertua di Sumsel, diberi julukan Bumi Seganti Setungguan.

Selain kaya alamnya, Lahat juga menjadi pusat peradaban masa lampau yang dibuktikan banyak temuan megalit. Tetapi semua itu tersebut belum berimbas pada kesejahteraan masyarakatnya. Masih banyak sekali warga di Lahat ‘dibelunggu’ kemiskinan, bahkan mirisnya, Lahat merupakan Kabupaten termiskin kedua di Sumsel. Hal ini seperti terdata di Badan Pusat Statistik (BPS) Lahat.

Menurut Kepala BPS Lahat, Ir Hj Chairanita Kurniarita MSi, kendati terjadi penurunan persentase ditahun 2017, persentase kemiskinan di Lahat masih relatif tinggi berada diurutan kedua setelah Musirawas Utara.

Berada dipersentase 16.81 persen, dengan jumlah 67.330 jiwa penduduk miskin. “Angka kemiskinan di Lahat, relatif besar. Lahat sudah ramai diperbincangkan, ujar Chairanita, dalam agenda focus group discusskon lahat dalam angka 2018, di Grand Zury Hotel, Rabu (7/11/2018).

Melihat perkembangannya, tahun 2011 angka kemiskinan berada di 17.92 persen atau 67.700 jiwa penduduk miskin.

Tahun 2012 menurun menjadi 17.46 persen, 66.600 jiwa. Kenaikan mulai terjadi di tahun 2013 mencapai 18.61 persen, atau 71.800 jiwa.

Tahun 2014-2015 sedikit menurun jadi 18.02 persen, 7071 jiwa, dan 70.670 jiwa. Sedangkan ditahun 2016 menjadi 17.11 persen, atau 67.800 jiwa,

Hingga ditahun 2017 menjadi 16.81 persen, sebanyak 67.330 jiwa. Dengan jumlah penduduk pria 204. 875 jiwa, perempuan 196.619 jiwa.

“BPS sudah berupaya menyajikan data yang akurat, tepat waktu, murah, akuntabel, relevan atau bisa dibandingkan dengan sebelumnya,” terangnya.

Ditanya faktor penyebabnya, Chairanita menuturkan adanya ketimpangan kehidupan cukup jauh, antara masyarakat menengah, keatas, dan ke bawah.

Sehingga membuat tingkat pengeluaran masyarakat menengah ke bawah, ikut relatif tinggi.

“Data ini kita peroleh melalui survei tingkat pengeluaran makanan masyarakat. Banyak faktor penyebabnya, seperti faktor kenaikan harga, jumlah pendapatan tetap, ditambah minimnya bantuan sosial dari pemerintah,” tuturnya. (SP/ Ehdi Amin)

Sumber: Tribunsumsel.com

 

 

Angkutan Truk Batubara Dilarang Lewat Jalan Umum di Sumsel Mulai 8 November 2018

Palembang, Sekda Provinsi Sumsel, Nasrun Umar di Ruang Rapat Bina Praja, mengatakan, Pergub nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batubara Melalui Jalan Umum dicabut.

Keputusan itu diambil untuk menindaklanjuti banyaknya keluhan masyarakat atas penggunaan jalan umum oleh angkutan batubara.

Sekda Provinsi Sumsel, Nasrun Umar di Ruang Rapat Bina Praja, mengatakan, Pergub nomor 23 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pengangkutan Batubara Melalui Jalan Umum dicabut.

Dengan demikian aturan dikembalikan dengan Perda nomor 5 tahun 2011.

“Dengan pencabutan Pergub tersebut maka angkutan batubara dilarang melintas di jalan umum mulai 8 November 2018 pukul 00.00,” ujarnya, Selasa (6/11/2018)

Maka dari itu seluruh angkutan batubara di Wilayah Kabupaten Lahat dan Muara Enim supaya mengalihkan semua angkutan batubara yang menggunakan jalan umum ke angkutan kereta api dan jalan khusus.

Menurutnya, dengan penutupan jalan umum untuk angkutan batubara sesuai instruksi Gubernur Sumsel, maka Dinas Perhubungan Provinsi Sumsel bersama instansi terkait lainnya diminta untuk melakukan pengawasan angkutan batubara di jalan raya.

“Saya minta Dishub Sumsel dapat melakukan pengawasan angkutan batubara di jalan raya. Dan ingat, mulai nanti tidak ada lagi angkutan batubara yang melintasi di jalan umum,” tegasnya.

Sementara itu Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Sumsel, Nelson Firdaus menambahkan, dengan dicabutnya Pergub tersebut, maka pihaknya bersama Tim Terpadu akan melakukan pengawasan dan penertiban angkutan batubara di jalan raya.

“Mulai 8 November kita akan lakukan pengawasan dan penertiban. Kalau nanti masih ada yang kedapatan melintas di jalan raya, maka akan kita beri sanksi berupa tilang,” jelasnya.

Setelah Pergub ini dicabut, angkutan batubara harus melewati jalur alternatif dan tidak menggunakan jalan umum, khususnya jalan lintas Kabupaten Muara Enim sampai dengan Kota Prabumulih.

“Untuk itu, angkutan batubara mulai 8 November harus menggunakan jalan khusus angkutan batubara yang dikelola oleh PT Titan Infra Energy melalui PT Servo Lintas Raya,” katanya.

Sementara itu, Kepala ESDM Provinsi Sumsel Robert Heri menjelaskan, selama ini angkutan yang membawa batubara dan melintasi jalan umum mencapai 5 juta ton.

“Kita sudah melakukan rapat dan PT Titan Infra Energy melalui PT Servo Lintas Raya melalui jalur khusus angkutan batubara itu siap menampung 5 juta ton tersebut.”

“Bahkan, kondisi jalan, dermaga, timbangan semua sudah lengkap dan siap,” jelasnya. (TS/Linda)

Sumber: Tribunsumsel.com

Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat

Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria pada 27 September 2018. Aturan ini diharapkan jadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan agraria di Indonesia.

Sebagai instrumen legal, Perpres Reforma Agraria memuat norma untuk menata ulang struktur agraria yang memastikan petani penggarap, nelayan, dan kelompok masyarakat pra-sejahtera dapat mengakses tanah negara, perlindungan terhadap hak tanah, dan menerima manfaat penyelesaian konflik agraria.

Dengan landasan itu, perpres ini menggunakan tiga strategi dalam pelaksanaan reforma agraria, yaitu, sertifikasi hak milik, redistribusi tanah negara dan mekanisme penyelesaian konflik agraria.

Satu hal perlu jadi perhatian, Perpres Reforma Agraria belum tegas menempatkan posisi masyarakat adat beserta hak-haknya dalam kerangka reforma agraria, terlihat dari taka da penyebutan masyarakat adat sebagai salah satu subyek reforma agraria.

Konflik masyarakat adat Paser dengan perusahaan tambang batubara PT TMJ di Paser. Tumpang tindih lahan banyak terjadi di Indonesia, Apakah aturan percepatan pendaftaran lahan, bisa jadi satu solusi, atau malah sebaliknya? Foto: Dokumen AMAN Kaltim

Posisi masyarakat adat

Perpres Reforma Agraria menyebutkan, subyek reforma agraria terdiri dari tiga kategori, yaitu perorangan, kelompok masyarakat dan badan hukum.

Subyek perorangan berupa petani penggarap, nelayan dan kelompok pekerja formal/informal. Sedangkan kelompok masyarakat, adalah kelompok dengan hak kepemilikan bersama atas tanah. Terakhir, badan hukum adalah koperasi dan badan usaha milik desa.

Masyarakat adat tak tercantum sebagai subyek reforma agraria. Walaupun terdapat kategori kelompok masyarakat dengan hak kepemilikan bersama, namun kategori masyarakat itu tak merujuk pada masyarakat adat, karena definisi kelompok yang dimaksud bersifat artifisial (dibentuk atas kepentingan bersama), alih-alih sebagai kesatuan sosial organik masyarakat adat.

Ketidakjelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria berimplikasi serius terhadap persoalan-persoalan agraria terkait masyarakat adat. Setidaknya terdapat dua persoalan, yaitu, pertama, secara paradigmatik, perpres ini mengabaikan ada persoalan agraria terkait masyarakat adat dari kerangka kebijakan reforma agraria.

Kedua, pada tingkat operasional, perpres ini mengeluarkan persoalan agraria terkait masyarakat adat dari skema perlindungan hak tanah dan mekanisme penyelesaian konflik agraria yang disasar dari kerangka kebijakan reforma

 

Selain itu, perpres reforma agraria inkonsisten dengan rujukan hukum, yaitu Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPR IX/2001). Secara gamblang, TAP MPR IX/2001 menjelaskan, reforma agraria sebagai usaha menata ulang struktur agraria yang berkeadilan dengan memastikan hak masyarakat adat. Artinya, persoalan ketidakadilan dan ketidakpastian hak masyarakat adat masuk dalam ruang lingkup reforma agraria.

Selanjutnya, Perpres Reforma Agraria menutup mata atas kenyataan konflik-konflik agraria masyarakat adat terkait penentuan obyek reforma agraria. Perpres ini menyebutkan, obyek atau tanah reforma agraria (tora) antara lain, tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah dari pelepasan kawasan hutan, dan tanah bekas hak erfpacht (hak barat).

Bila ditelaah lebih dalam, kita bisa melihat banyak konflik hak masyarakat adat berada pada kriteria tora itu, misal, konflik-konflik perkebunan sawit di Sumatera Barat sejak pemberian hak erpacht. Dalam beberapa kasus berlanjut dalam bentuk baru jadi HGU. Konflik itu muncul karena abai pengakuan legal hak ulayat saat konsolidasi (konversi) jadi tanah negara—saat proses pemberian hak erfpacht maupun HGU.

Begitu juga dengan konflik masyarakat adat di kawasan hutan. Pada kasus terakhir, 9,3 juta hektar wilayah adat diklaim berada di kawasan hutan (BRWA, 2018). Ketiadaan pengakuan legal hak ulayat dan penetapan sepihak kawasan hutan oleh negara jadi penyebab konflik agraria masyarakat adat di kawasan hutan ini.

Dari konflik-konflik agraria itu setidaknya menunjukkan dua hal penting. Pertama, konflik agraria masyarakat adat bersifat historis, yaitu konflik berlaku pada rentang waktu lama karena minim perlindungan hak, baik sejak masa kolonial sampai sekarang. Kedua, konflik-konflik agraria masyarakat adat menunjukkan masih ada pekerjaan rumah dalam menata ulang struktur agraria (sumber daya alam).

Dengan kata lain, persoalan agraria masyarakat adat adalah masalah struktural dengan menyertakan perangkat hukum beserta struktur yang mengabaikan hak.

Perpres Reforma Agraria, belum begitu tajam melihat kenyataan konflik agraria terkait hak masyarakat adat pada tora. Dalam perpres ini memang menyebutkan, hak ulayat bukan bagian dari obyek reforma agraria, namun memasukkan tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawasan hutan sebagai obyek reforma agraria yang notabene potensial tumpang tindih dengan hak ulayat atau dalam kondisi berkonflik.

Artinya, penentuan kriteria tora belum sepenuhnya jelas (clean and clear) dan bisa mempersulit implementasi reforma agraria itu sendiri serta berpotensi melahirkan konflik baru.

Air Terjun Bojokan, di Siberut, hutan adat orang Mentawai, dengan keliling pepohonan hutan dengan tutupan bagus ini masuk dalam konsesi Biomass. Apakah hutan penjaga sumber air seperti ini akan jadi kebun kaliandra? Foto: Buyong/ Mongabay Indonesia

Perbaikan substansi

Perpres Reforma Agraria, merupakan terobosan kebijakan dalam menjawab persoalan struktural agraria, namun aturan ini memerlukan perbaikan terkait kejelasan posisi masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria. Alasan- alasan pokok pentingnya pengakuan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria adalah, pertama, mempertegas kembali masyarakat adat sebagai korban ketidakadilan agraria dan mengakui kenyataan bahwa konflik agraria masyarakat adat lahir karena ketidakadilan agraria.

Dalam konteks ini, upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria akan melingkupi penyelesaian konflik masyarakat adat.

Kedua, penegasan masyarakat adat sebagai subyek reforma agraria diharapkan mampu menyentuh penyebab utama persoalan agraria masyarakat adat, yaitu soal perlindungan hak ulayat. Menempatkan kembali posisi masyarakat adat dalam kerangka reforma agraria sebenarnya mempertegas mandat TAP MPR No. IX/2001 sebagai dasar hukum perpres ini. Yaitu, perlindungan hak ulayat terintegrasi dengan penataan kembali struktur agraria. Dalam hal ini, skema legalisasi hak atas tanah sebagai pengejawantahan perlindungan hak dalam perpres ini semestinya melingkupi juga pengakuan hak ulayat.

 

Keterangan foto utama: Masyarakat adat penjaga hutan. Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena di hutan adat Marena yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Hingga kini, hutan adat Marena yang masuk dalam taman nasional belum mendapatkan pengakuan penuh pemerintah sebagai hutan hak. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

Aksi protes masyarakat adat Laman Kinipan, atas masuknya investasi dan membuka hutan adat mereka. Foto: Mongabay Indonesia

 

KLHK Menangi Gugatan Rp 17 Triliun, Baru Dieksekusi Rp 30 Miliar

Jakarta -Sejak menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya mencatat sudah membawa 517 kasus pidana kejahatan lingkungan ke pengadilan. Ada juga 18 kasus gugatan perdata dan 503 sanksi administratif.

Awal bulan ini Mahkamah Agung memenangkan gugatan perdata terhadap tiga perusahaan besar yang terkait kebakaran hutan 2015. Mahkamah mewajibkan ketiganya, PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP), PT Waringin Agro Jaya (PT WAJ) dan PT Palmina Utama, membayar ganti rugi dan melakukan pemulihan lingkungan sebesar Rp 1,3 triliun.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi juga memenangkan KLHK atas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014. Majelis hakim menghukum BMH membayar Rp 78,5 miliar dari gugatan Rp7,9 triliun.

Selain itu, KLHK juga menang gugatan atas PT Merbau Pelalawan Lestari (Riau) dan PT Kalista Alam (Nanggroe Aceh Darussalam) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan. Jika dihitung semua gugatan yang berhasil dimenangkan, KLHK tercatat lebih dari Rp 17 triliun.

“Jadi keseluruhan banyak juga Rp 17 triliunan, yang sudah (eksekusi) baru Rp 30-an miliar. Jadi memang kita sedang terus berusaha karena eksekusi itu kan kewenangannya di pengadilan,” kata Siti saat Blak blakan dengan detikcom yang tayang, Selasa (25/9/2018).

Pengadilan dimaksud antara lain Pengadilan Negeri Meulaboh dan Pengadilan Negeri Pekanbaru. “Kami sudah menyurati mereka,” Siti menambahkan.

Menurut Siti, pihaknya mengajukan gugatan ke sejumlah perusahaan pelaku kebakaran hutan dan perusak lingkungan murni untuk penegakkan hukum. Dia mengklaim baru di masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masalah penegakkan hukum itu sangat ditekankan.

“Saya membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum LIngkungan Hidup dan Kehutanan. Hal terpenting bagi pemerintah adalah memberikan efek jera,” kata Siti.

Mulai 8 November, pengangkutan batubara di Sumsel harus lewat jalan khusus

JAKARTA. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) melarang pengangkutan batubara melintasi jalan umum, dan mengalihkannya ke jalan khusus. Kebijakan itu mulai berlaku pada 8 November 2018 mendatang.

Kepala Bidang Teknik dan Penerimaan Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sumsel Aries Syafrizal mengungkapkan, pelarangan sebenarnya telah diinstruksikan sejak tujuh tahun lalu, yakni tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumsel Nomor 05 Tahun 2011.

Pelarangan ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan, seperti faktor keselamatan, untuk mengurangi tingkat kemacetan, serta pengurangan kapasitas beban jalan.

Namun, menurut Aries, ada sejumlah faktor yang menghambat realisasi dari pelarangan akses jalan umum untuk pengangkutan batubara. Utamanya ialah soal kesiapan infrastruktur, sehingga baru bisa direalisasikan akhir tahun ini.

“Jalan khususnya belum siap. Nah, sekarang sudah siap, jadi kita coba. Ini baru uji coba, mudah-mudahan bisa jalan. Jadi semua angkutan batubara sudah enggak boleh lagi pakai jalan umum,” kata Aries kepada KONTAN saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/10).

Uji coba tersebut akan dilakukan mulai 8 November dengan masa evaluasi selama satu minggu. Jika masih ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi yang melanggar dengan melalui jalan umum, maka Pemda setempat akan mengeluarkan peringatan hingga pencabutan Surat Rekomendasi Pengangkutan dan Penjualan (SRPP) batubara.

Aries mengungkapkan, saat ini ada 128 IUP di Provinsi Sumsel. Dari jumlah tersebut, baru 37 perusahaan yang aktif melakukan produksi. Setidaknya, ada lima kabupaten dengan sebaran IUP paling banyak, yakni Kabupaten Muara Enim, Lahat, Ogan Komering Ulu (Oku), Musi Banyuasin (Muba), dan Musi Rawas (Mura).

Namun, hanya IUP di tiga kabupaten yang akan terkena kebijakan ini, yakni di Muara Enim, Lahat dan Oku. “Cuma tiga kabupaten, yang di luar itu, yaitu Muba sama Mura sudah tidak pakai jalan umum, Karena mereka dekat sungai,” jelas Aries.

Adapun, jalan yang akan dipakai sebagai akses pengangkutan batubara ini adalah jalan khusus milik PT Titan Infra Energy. Melalui anak usahanya, Servo Lintas Raya (SLR), Titan akan menangani rantai distribusi batubara dengan IUP Operasi Produksi yang bekerja sama dengan skema Business to Business (B to B).

Director Compliance and External Affairs PT Titan Infra Energy Taufik M. Ahmad menjelaskan, pihaknya memiliki jalan khusus untuk pengangkutan batubara sepanjang 113 kilometer (KM) dengan kapasitas jalan sekitar 15 juta ton per tahun. Menurut Taufik, proses bisnis antara pihaknya dengan IUP yang bekerja sama cukup sederhana.

Prosesnya, IUP bisa mengirimkan batubara ke Intermediate Stockpile (IS), di mana ada dua IS yang dimiliki Titan di jalan khusus tersebut, yakni IS 107 dan IS 113.

Dari IS itu, Titan selanjutnya akan mengangkut batubara ke pelabuhan yang ada di KM 0 dengan menggunakan truck 30 ton/120 ton. Dari pelabuhan, Titan akan menyediakan angkutan hingga batubara sampai ke tongkang yang telah ditunjuk, serta jadwal yang telah ditentukan oleh IUP.

“Bisa dikatakan demikian (Titan hanya sebagai rantai distribusi), sampai ke pelabuhan. Dari pelabuhan, tongkang dan kedatangannya mereka (IUP) yang menentukan,” jelas Taufik.

Namun, jasa distribusi ini pun bisa menyesuaikan berdasarkan kesepakatan bisnis dari Titan dan IUP yang bersangkutan. Mengenai soal tarif, Taufik tidak memberikan rinciannya. Hanya saja, Taufik bilang, harga sesuai kesepakatan B to B dengan menyesuaikan jenis tambang batubaranya.

“Harganya juga tidak akan lebih dari sekitar tarif kalau kirim ke Peleburan RMK, yang melewati Palembang. Bervariasi tergantung dari jenis tambangnya dari mana. Kita ingin develop soal harga dengan bagian komersial,” ungkapnya.

Saat ini, Taufik menyebut bahwa sudah ada delapan IUP yang telah bekerja sama dengan Titan sejak tiga bulan lalu. Saat ini, pihaknya tengah fokus untuk menjaga kesiapan infrastruktur, alat angkut dan sarana penunjang lainnya sehingga proses distribusi batubara melalui jalan khusus ini tidak mengalami kendala.

“Menurut data, saat ini ada sekitar 5 juta ton yang melewati jalan umum. Kita sedang siapkan agar jika 5 juta ton itu melalui jalan khusus, tidak ada kendala,” ujar Taufik.
Masih Menyimpan Kekhawatiran

Di sisi lain, pengalihan distribusi batubara ini menyimpan sejumlah kekhawatiran. Di antaranya datang dari Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI). Juru Bicara APLSI Rizal Calvary menekankan, pemerintah harus mengantisipasi agar dengan adanya pengalihan ini, pasokan batubara khususnya untuk pembangkit listrik tidak terganggu.

Pasalnya, Rizal menyebut bahwa pasokan batubara dari Sumsel sangat signifikan dan strategis terhadap sebagian besar pembangkit yang ada di Sumatera dan Jawa, baik dari sisi volume maupun akses pengiriman. Sehingga, lanjut Rizal, penting untuk memastikan bahwa pasokan batubara dari Sumsel sebagai sumber energi dan ekonomi tidak terkendala adanya kebijakan tersebut.

“Kalau di pembangkit, yang paling penting pasokan (batubara) harus siap tersedia. Soal distribusi itu kan yang paling penting kelayakan mobil, sopir dan kepatuhan jadwal. Intinya dari kami sih soal ketersediaan pasokan, ” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Sumsel (APBS) Andi Asmara. Ia tak menepis bahwa awalnya para pengusaha batubara resistensi terhadap kebijakan ini. Namun, sebagai jalan tengah, para pengusaha tetap akan mengikuti peraturan ini, meski pihaknya terus akan menyampaikan aspirasi sembari mencari alternatif yang lain.

“Kami dukung, tapi keinginan pengusaha tambang juga terus akan menyampaikan aspirasi. Ini juga kan masalah janji politik, kami akan bertatap muka langsung dengan Pak Gubernur, mungkin ada alternatif yang bisa kita sampaikan dan bicarakan bersama,” ujarnya.

Menurut Andi, para pengusaha batubara telah banyak memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembangunan Sumsel dan perekonomian masyarakat sekitar. Mulai dari kontribusi untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta menggulirkan roda ekonomi seperti pembukaan lapangan kerja, menghidupkan jasa angkutan batubara, dan sektor pendukung lainnya.

Ia berujar, ada potensi kerugian yang harus ditanggung pengusaha dari kebijakan pengalihan ke jalan khusus ini. “Masyarakat dan daerah juga menikmati. Dengan adanya batubara, PAD jadi signifikan meningkat. (Pengalihan jalan) ini rugi pasti, karena kita kan sudah investasi, mengatur ini cukup panjang dan koordinasi dengan semua pihak,” ujarnya.

Sementara menurut Aries Syafrizal, selain pertimbangan dampak terhadap jalan umum, pemakaian jalan khusus untuk batubara ini juga bisa menjadi peluang pengembangan investasi di Provinsi Sumsel. Aries menyebut, pemerintah mendorong swasta, baik perusahaan maupun konsorsium untuk membangun jalan khusus.

Di luar jalan khusus yang dimiliki Titan, Aries bilang, ada jalan khusus yang saat ini siap dibangun oleh pengusaha transportir dan dermaga. “Ada satu lagi yang sudah survei di lapangan, tinggal jalan saja mereka. Memang kita serahkan pada swasta, siapa pun bisa membangun. Kita mengundang investasi, silakan saja,” terangnya.

Aries pun membenarkan, sumbangan batubara untuk Provinsi Sumsel terhitung signifikan. Ia mencontohkan, per tahun, ada sekitar Rp. 1,7 triliun yang disumbangkan dari royalti batubara, dengan produksi batubara di Sumsel tak kurang dari 45 juta per tahun.

“Untuk tahun lalu seperti itu, memang besar (produksi dan penerimaan) dari batubara,” tandasnya.

Sumber: Kontan.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan