Program SETAPAK 2 Usung Tema : ”Transformasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia”

Banyaknya permasalahan kehutanan  dan pengelolaan hutan di Indonesia, seperti  deforestasi yang jumlahnya begitu  besar membuat banyak pihak prihatin dan memberikan banyak perhatian terhadap nasib hutan di Indonesia, tak terkecuali para penggiat kehutanan dari  pihak asing seperti yang digagas oleh The Asia Foudation ( TAF ).

Sejak digagas tahun 2011 dengan dukungan UK Climate Change Unit (UKCCU), program Selamatkan Hutan dan Lahan melalui Perbaikan Tata Kelola (SETAPAK) The Asia Foundation meyakini bahwa tata kelola hutan dan lahan yang baik adalah kunci bagi pembangunan sektor hutan yang berkelanjutan yang bertujuan untuk pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat desa sekitar hutan serta pelestarian lingkungan.

Atas dasar itulah The Asia Foundation ( TAF ) melalui  program SETAPAK   mengadakan temu mitra Program SETAPAK 2 (Forestival 4), yang setiap tahun diadakan.  Tema yang diusung dalam  acara Temu Mitra Program SETAPAK 2 (Forestival 4) kali ini adalah ”Transformasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan di Indonesia.”

Sebanyak 130 orang perwakilan dari 64 mitra Program SETAPAK 2  dari  14 provinsi tersebut berkumpul di Jakarta untuk menghadiri Forestival 4 dalam upaya mengevaluasi serta mensinergikan program kerja dan berbagai gerakan dan kebijakan yang mendukung perbaikan tata kelola hutan dan lahan dengan mengedepankan asas kelestarian, keadilan, dan kesetaraan.

64 mitra yang merupakan organisasi masyarakat sipil dari 14 provinsi dan nasional tersebut berasal dari Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, Papua Barat, Jakarta, dan Bogor.

Melalui program SETAPAK 2  mereka sepakat  semakin mengokohkan perannya untuk:

  1. Mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan sebagai upaya untuk menurunkan laju deforestasi dan degradasi lahan,
  2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di sektor hutan dan lahan,
  3. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman di sektor kehutanan dan penggunaan lahan melalui kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil di daerah-daerah untuk memantau tindakan pemerintah dalam proses penerbitan izin dan perbaikan kebijakan,
  4. Membantu penyusunan strategi kampanye dan upaya advokasi untuk perlindungan sumber daya alam,
  5. Menganalisis data dan informasi untuk mengadvokasi isu penyalahgunaan anggaran, gender, dan keputusan pemerintah terkait kasus sumber daya alam.

“Program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif serta mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, “ ungkap  Sandra Hamid , Country Representative The Asia Foundation (TAF), dalam keterangannya di Jakarta Selasa ( 30/10/2018).

Sebagai hasil prgram tersebut, menurut Lili Hasanuddin selaku Direktur Program SETAPAK 2, mengatakan bahwa capaian dari program SETAPAK bersama para mitranya adalah sebagai berikut:

  • Menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait, anggaran, kebijakan mediasi konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan lain-lain untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkelanjutan.
  • 16% izin usaha yang melanggar dicabut secara nasional melalui Korsup Minerba KPK.
  • Berkontribusi 13% terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Dimana 222,385 hektar telah diizinkan untuk dikelola warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.

“Dengan capaian tersebut Mitra SETAPAK telah berkontribusi dalam mendorong Transformasi  Sektor Tata Kelola Hutan dan Lahan di 14 Provinsi,” tegas Lili pada kesempatan yang sama

Program Setapak 2 tersebut lanjut Lili,  juga berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup. Langkah lainnya adalah dengan bekerjasama dengan pemerintah dan membuat program-program yang fokus terhadap perempuan.

Meski belum maksimal menurut Lili, capaian tersebut merupakan hasil kerja keras maksimal dari seluruh elemen yang mendukung program tersebut. Kedepan menurut Lili akan terus diupayakan capaian yang lebih optimal lagi.

Sementara itu Peter Rajadiston selaku Deputy Head of United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU), dalam sambutannya mengapresiasi kerja keras 64 mitra program SETAPAK 2 dalam mendorong Tata Kelola Hutan dan Lahan melalui keterbukaan informasi, penegakan hukum, keadilan gender, anggaran dan keuangan berkelanjutan, kebijakan, dan ruang kelola rakyat.

Untuk menjaring berbagai masukan dari para peserta Forestival 4 yang berlangsung di Jakarta, Selasa ( 30/10/2018 ) tersebut peserta diminta untuk menuliskan berbagai ide dan gagasan untuk Tata Kelola Hutan dan Lahan kedepan yang lebih baik lagi. Nantinya seluruh masukan tersebut akan dibahas lebih dalam dan menjadi masukan untuk program kedepannya menuju Tata Kelola Hutan dan Lahan yang berkelanjutan.

Menurut Sulthon, Direktur Eksekutif  Forest Watch Indonesia ( FWI ), mengungkapkan bahwa Tata Kelola Hutan dan Lahan kedepan harus benar-benar sesuai dengan azas dan amanah yang diemban oleh UUD 45 pasal 33.

“ Pengelolaah hutan harus sepenuhnya diperuntukan bagi kepentingan, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh negara, agar terjadi keadilan dan berkelanjutan,” ujar Sulthon di sela-sela acara Forestival 4 tersebut di Jakarta.

sumber: Eksekutif.id

Mendorong Keterlibatan Kelompok Perempuan untuk Pengelolaan SDA yang Adil dan Berkelanjutan

ALIH fungsi lahan yang ditandai maraknya izin-izin kebun sawit, hutan tanaman industri, dan tambang, berdampak besar kepada salah satu kelompok rentan di masyarakat yaitu, perempuan. Dari berbagai hasil kajian, kelompok perempuanlah yang menanggung dampak paling parah dari lemahnya TKHL (Tata Kelola Hutan dan Lahan) di tingkat lokal.

Hal ini akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya alam. Perubahan peran produktif ini mengakibatkan terampasnya wilayah kelol perempuan, hilangnya mata pencaharian, dan penghasilan yang menyebabkan ketergantungan ekonomi perempuan di dalam rumah tangga.

Padahal, perspektif gender sangat penting dalam isu lingkugan, karena dengan adanya perspektif tersebut, posisi perempuan dan laki-laki berada dalam posisi yang setara, terutama dalam hal kesempatan dan partisipasi.

Perspektif ini juga digadang-gadang memperkaya upaya perbaikan TKHL dengan melibatkan perempuan dalam proses advokasi dan perumusan kebijakan TKHL.

Oleh karena itu, analisis gender dalam TKHL akan membantu mengidentifikasi kesenjagan berbasis gender untuk merancang program yang dapat membantu mengatasi berbagai permasalahan dalam isu lingkungan.

Kendati demikian ada sejumlah tantangan yang harus dihadapai dalam upaya mengimplementasi Pendekatan Gender Responsif (GRA). Masih minimnya inisiatif sebuah institusi maupun mitra untuk melibatkan kelompok perempuan secara aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka terkait pengelolaab hutan dan lahan yabg adil dan berkelanjutan.

Selama ini, mitra menerjamahkan GRA sebagai women specific programme yang fokus kepada kegiatan ekonomi mikro, dan tidka mendorng perempuan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat kampung/desa, termasuk advokasi untuk perlindugan kepada sumber daya alam.

Melihat kesenjangan antara konsep dan implementasi GRA pada fase pertama program SETAPAK (Selamatkan Hutan dan Lahan Melalui Perbaikan Tata Kelola), The Asia Foundation mendorong mitra untuk mengintegrasikan GRA ke dalam pelaksanaan program dan kelembagaan mitra, dengan terlebih dahulu melakukan penilaian. Penilaian inilah yang nantinya akan menggunakan metode Gender Analysis Pathway (GAP).

Metode ini berupaya menulusuri bagaimana mitra secara kelembagaan menerapkan GRA, mulai dari visi organisasi, komposisi gender staf, bagaimana mereka menyusun program, sampai mengkaji ulang logical framework.

“Bersama 64 mitra, program SETAPAK 2 secara terus menerus berupaya memperkuat kapasitas masyarakat termasuk perempuan di berbagai provinsi untuk mewujudkan tata kelola hutan dan lahan yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. Termasuk mewujudukan keadilan dan kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia,” ujar Sandra Hamid selaku Country Representative The Asia Foundation, dalam acara Forestival 4, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Selasa (31/10/2018).

Sejauh ini, program tersebut telah berkontribusi terhadap 1,72 juta pencapaian Perhutanan Sosial secara nasional. Di mana 222.385 hektar telah diizinkan untuk dikelola oleh warga melalui berbagai skema Perhutanan Sosial, serta 20 proposal tambahan untuk memperoleh izin Perhutanan Sosial sudah diajukan.

Program ini juga dianggap berhasil mendorong penguatan gender focal point dengan menambah jumlah “gender champions” untuk mendorong keadilan gender serta memperkuat jejaring organisasi masyarakat sipil (CSOs) dalam isu-isu gender dan lingkungan hidup.

“Sejauh ini, kami telah menghasilkan 239 kebijakan terkait dengan izin perhutanan sosial, transparansi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan kebijakan terkait anggaran, mediasi, konflik, moratorium, hak masyarakat adat, dan masih banyak lagi. Tujuannya untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang berkalnjutan,” kata Lili Hasanuddi selaku Direktur Program SETAPAK 2.

Sumber: okezone.com

Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria Harus Jelas Pelaksanaannya

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menetapkan reforma agraria sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019. Juga, memperluas wilayah kelola masyarakat melalui perhutanan sosial.

Abetnego Tarigan, tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) dalam Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, menyatakan, pemerintahan Jokowi menyiapkan 9 juta hektar lahan untuk reforma agraria. Juga, 12,7 juta hektar lahan dalam bentuk perhutanan sosial yang secara realistis dipenuhi seluas 4,38 juta hektar.

Menurut dia, pencanangan tersebut sangat singkat karena hingga 2019. Sementara tantangannya, struktural maupun dari luar, sangat berat. Belum lagi, ditambah praktik korupsi di lapangan yang kemungkinan bisa terjadi. Sehingga, KSP selalu berkoordinasi dengan Kementerian ATR/BPN dan KLHK untuk menjalankan reforma agraria dan perhutanan sosial.

“Harapannya, setiap masalah ada penyelesaiannya. Saudara kita di pulau kecil saat ini banyak berkonflik dengan perusahaan,” jelasnya.

Lantas, untuk wilayah Sumatera, bagaimana pelaksanaan program tersebut?

Bresman Marpaung, Kepala Seksi Tenur dan Hutan Adat Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera, kepada Mongabay belum lama ini di Medan mengatakan, ada 200 ribuan hektar yang sudah diserahkan SK perlindungan hak tanah dari Presiden Jokowi. “Untuk nasional, sudah mendekati target 2 juta hektar yang saat ini 1,9 juta hektar. Itu merupakan perhutanan sosial,” jelasnya.

Terkait hutan adat, dari 16 SK pengakuan sebanyak 10 di antaranya berada di di wilayah BPSKL Wilayah Sumatera. Sumatera Utara, sampai saat ini belum ada. “Tobasa, Tapanuli Utara, Samosir dan Simalungun merupakan wilayah masyarakat adat di Sumatera Utara yang sudah mengklaim hutan adatnya. Ini masih dilakukan verifikasi, dibantu tenman-teman AMAN Tano Batak, ” jelasnya.

Bresman menjelaskan, selain memberikan akses kelola, pemerintah juga berniat menyelesaikan berbagai konflik sosial terkait penguasaan lahan yang tidak seimbang, antara pemegang izin skala besar dengan masyarakat. Ini dilakukan secara damai dan mengedepankan dialog.

Melaui perbaikan kebijakan mengurangi ketimpangan lahan, Presiden pada 4 Januari 2017 dalam sidang kabinet paripurna di Bogor, menetapkan program pemerataan ekonomi. “Di bidang lahan, melalui reforma agraria yaitu tanah objek reforma agraria (TORA) sekitar 9 juta hektar, dan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar yang telah direvisi menjadi 4,38 juta hektar sampai tahun 2019,” jelasnya.

Pengakuan

Manambus Pasaribu, Direktur BAKUMSU mengatakan, isu konflik pertanahan selama ini sudah akut. Pemerintah harus dengan baik menyelesaikannya, secara cermat. Lakukan dari bawah, ketika ada kebijakan bicarakan dengan masyarakat sebagai landasan kebijakan.

“Di 2018, keluar satu perda perlindungan masyarakat adat Pandumaan – Sipituhuta, kemudian di Toba Samosir tentang perda wilayah adat. Di wilayah yang masih kuat sejarah dan kepemimpinan adat, pemerintah harus membuat perda masyarakat adat agar hak kelolanya lebih kuat dan pengakuannya semakin tinggi,” jelas Manambus.

Dewi Sartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam Kongres AMAN di Deli Serdang, Sumatera Utara mengatakan, saat ini ada kebijakan pengakuan adat dan wilayah adat. Ada perhutanan sosial dan juga reforma agrarian. Tetapi, di sisi lain sama-sama diketahui kriminalisasi terhadap masyrakarat adat, represi, dan intimidasi masih terjadi.

Standar ganda ini harus dihentikan. Bila ingin menjalankan reforma agraria, pengakuan masyarakat dan wilayah adat harus selaras dengan pemulihan hak korban. “Bukan malah mengintimidasi atau melakukan kriminalisasi sebagaimana banyak kasus sengketa tanah di Indonesia,” jelasnya.

Menurut Dewi, kriminalisasi sebagaimana terjadi di Seko, Kendeng, juga di Luwu. Satu pihak, janji reforma agraria akan pengakuan wilayah adat dijanjikan, tetapi di sisi lain polisi dan TNI tetap masuk di wilayah-wilayah konflik tersebut.

“Harus ada keputusan politik dari KSP yang dapat memberikan informasi ke Presiden guna menjalankan reforma agraria yang konkret. Kebijakan nasional ini harus bisa dirasakan di tingkat masyarakat paling bawah,” jelasnya.

Copyright: Mongabay.co.id

Tambang Batubara Ilegal Masih Marak

Palembang, tambang batubara ilegal yang mayoritas dikelola oleh masyarakat umum masih marak di Sumsel. Kondisi ini diakui oleh Kepala Dinas Pertambangan dan ESDM Provinsi Sumatera Selatan, Robert Heri.

Ia mengaku, pihaknya sudah mendata bahkan melaporkan ke aparat berwenang agar penambang ilegal ini ditertibkan, bahkan masalah ini sudah dilaporkan ke Ditjen Minerba di Jakarta. Namun, aktivitas penambangan ilegal ini masih marak dlakukan.

“Kalau kita berantas di hulunya, hari ini kita operasi, besok mereka menambang lagi. Solusinya, kita sudah minta bantuan Ditjen Minerba, karena permasalahan ini harus diberantas dihilirnya, karena jika tidak ada yang beli, otomatis mereka (penambang liar) tidak akan lagi menambang.” ungkap Robert Heri saat menjai pembicara pada fokus Group Discussion (FGD) bertema “Peningkatan Pengawasan dan Pelaporan Produksi Mineral dan Batubara untuk Perbaikan Kualitas Data Produksi dan Peninkatan PNBP”, di Hotel Novotel PAlembang, kamis (25/10/2018)

Menurut Robert, kendala lainnya untuk memberantas praktek penambangan batubara ilegal ini, yakni batubara hasil penambangan liar ini disinyalir dijual ke luar Sumsel, dalam hal ini Provinsi Lampung, sehingga sumsel kesulitan untuk mencegahnya.

“Kalau ke Palembang, saya pastikan tidak ada lagi penjualan semacam ini (dari tambang liar), namun ini dibawa ke Provinsi lain. Oleh karena itu, kita minta bantua Ditjen Minerba, karena ini bukan wewnang kami lagi.”tukas Robert.

Sementar itu, Direktur Pilar Nusantara (PINUS) Rabin Ibnu Zainal mengungkapkan, sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan batubara masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemprov Sumsel dan pihak terkait lainnya. Yakni tindak lajut bekas wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) yang izinnya sudah dicabut dan diakhiri, kemudian masih maraknya tambang ilegal, dan truk batubara yang menggangu arus lalu lintas umum.

“Untuk tambang ilegal, terutama di Tanjung Enim, ini milik rakyat, disana kalau kita melintas, banyak sekali karung-karung berisi batubara di pinggiran jalan, dan ini ada pengepulnya, dan ada indikasi pengepulnya ini memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), jadi mereka sengaja tidak membuka tambang dan hanya membeli dari penambang-penambang liar, ini masih kita telusuri,” ungkap Rabin.

Kondisi ini kata Rabin, sudah dilaporkan ke aparat berwenang, bahkan pihaknya juga sudah melaporkan permaslahan ini ke KPK, agar mereka menyelidiki proses pemberian IUP ke pengusaha-pengusaha yang terindikasi menyalahi aturan.

Menurut Rabin, pemberian IUP masih menjadi hal yang perlu diperhatikan. Karena disinyalir masih ada pemberian IUP oleh kepala daerah tanpa Prosedur lelang WIUP sesuai UU no 4 tahun 2019.

“Ditahun 2014, terdata sebanyak 359 pemegang IUP, kemudian disaat itu, kita membantu pemerintah untuk menertibkan IUP ini, hasilnya di tahun 2016, ada 2018 IUP yang dicabut maupun diakhiri.”pungkasnya

 

Sumber: koransn.com

Menteri Lingkungan Bakal Evaluasi 2,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengatakan, akan mengevaluasi sekitar 2,3 juta hektar perkebunan sawit di dalam kawasan hutan.

“Kalau dari sisi land cover, luas perkebunan sawit seluruhnya hampir 15 juta hektar. Ini data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kebun di dalam hutan baik itu karet, sawit dan lain-lain ada 11 juta hektar. Seluruh land cover, artinya tutupan lahan dalam bentuk kebun maupun karet. Khusus sawit luas dalam kawasan hutan sekitar 2,3 juta hektar,” katanya usai rapat koordinasi bersama Menko Perekonomian di Jakarta, Jumat (19/10/18).

Dia bilang, angka itu masih perkiraan dan terus evaluasi. KLHK, katanya, akan mendetailkan angka luasan perkebunan sawit dalam kawasan hutan bersama para pihak lain.

Evaluasi perizinan perkebunan sawit ini, katanya, sejalan dengan tiga regulasi Presiden Joko Widodo, yakni, Perpres Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan hutan, Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit, dan Inpres Reforma Agraria.

“Tiga-tiganya sama untuk menata perizinan. Juga memastikan keberpihakan kepada perizinan bagi masyarakat dan penyelesaian masalah tanah di kawasan hutan seperti tumpang tindih,” katanya.

Ketiga regulasi itu, katanya, harus jelas. Pemerintah juga menyiapkan langkah teknis dalam menjalankan regulasi ini.

“Bagian saya di kehutanan dalam hal Inpres Moratorium Sawit.”

Tugas KLHK, kata Siti, tak boleh ada izin baru, sampai evaluasi izin yang ada permohonan tetapi tak keluar. “Karena ada permohonan enam atau delapan tahun lalu. Itu dilihat persyaratan seperti apa kebun sawit saat izin diterbitkan oleh bupati, sudah sesuai apa tidak? Itu bagian saya juga,” katanya.

Masuk juga dalam evaluasi, katanya, kala perizinan sudah keluar tetapi di lapangan belum ada kegiatan. “Ada dalam proses, ada izin sudah keluar, di lapangan sudah buka atau belum? Kalau ada izin belum buka, ini evaluasi juga. Apakah ada di hutan lebat, atau hutan primer? Kalau lebat bagaimana? Harus seperti apa? Ini yang saya laporkan.”

Kebun sawit di lahan gambut. Kebakaran di Dusun Suka Damai, Desa Tanjung Leban, Kecamatan Kubu, Rokan Hilir, Riau. Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Selain itu, kata Siti, untuk menjalankan Inpres Moratorium Izin Perkebunan Sawit, KLHK segera menerbitkan aturan turunan.

Sofyan Djalil, Menteri ATR/BPN mengatakan, soal hak guna usaha, baru bisa keluar kalau perizinan dari KLHK sudah beres. Dia juga mendata HGU perkebunan sawit yang ada.

“HGU merupakan bagian paling akhir. Perizinan berada di KLHK. Dari kita HGU akan keluar jika perizinan sudah beres,” katanya.

Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebut, Inpres Moratorium Sawit merupakan solusi berbagai persoalan tata kelola. Ia juga sejalan dua aturan lain, yakni Inpres Percepatan Penyelesaian Tanah Dalam Kawasan Hutan dan Inpres Reforma Agraria.

“Inpres Moratorium Sawit jangan diartikan kita akan berhenti menambah produksi minyak sawit. Kita memberikan waktu tiga tahun membereskan semua persoalan di perkebunan sawit. Termasuk di dalam kawasan hutan,” katanya.

Tak hanya perkebunan sawit besar, katanya, juga menjawab persoalan perkebunan perusahaan menengah dan swadaya masyarakat yang selama ini belum banyak terdaftar.

Berbagai masalah tata kelola, katanya, akan diselesaikan selama tiga tahun.

“Kita akan tata semua hingga mereka terdaftar dan perizinan beres. Tentu nanti akan ada persoalan yang selama ini tak terdata, melanggar kemudian sanksi apa. Itu semua ada sanksi. Jadi, berbagai regulasi itu untuk membenahi perkebunan kita supaya memenuhi standar sustainable (berkelanjutan-red) dan jelas.”

Darmin bilang, pembenahan ini sangat penting guna menunjukkan kepada semua pihak bahwa Indonesia serius memperbaiki tata kelola perkebunan sawit.

“Kalau tidak, kita akan terus menjadi bulan-bulanan. Ada anggapan tak jelas bahwa Indonesia malah menebang hutan untuk menanam sawit. Jangan sampai moratorium ini dianggap hanya untuk menindak orang. Ini untuk menyelesaikan persoalan.”

Copyright : Mongabay.co.id

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan