Roadshow Juknis Penerapan Insentif Kinerja Berbasis Ekologis di Sulawesi Selatan

Perkumpulan Pilar Nusantara (Pinus) menggelar diskusi publik mengenai petunjuk teknis tata cara penerapan insentif berbasis kinerja ekologis di Hotel Claro Makassar, pada Selasa, 16 Juli 2024. Kegiatan ini dihadiri oleh DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, lima Organisasi Perangkat Daerah Provinsi, 24 Kepala Bappeda Kabupaten/Kota, lima Kepala Dinas Kota Makassar, empat perguruan tinggi, serta 20 lembaga, CSO, dan praktisi. Acara ini juga didukung oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan dibuka langsung oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel.

Diskusi publik ini merupakan roadshow lanjutan setelah sebelumnya digelar di Sumatera Utara dan Aceh. Perwakilan Pinus, Hari Kusdaryanto, menjelaskan bahwa tujuan acara ini adalah untuk menjaring masukan terkait rancangan petunjuk teknis yang dapat membantu daerah dalam mengeluarkan kebijakan yang memberikan insentif kepada daerah yang berprestasi dalam menjaga lingkungan dan mengimplementasikan inovasi ekologis.

Hari juga menjelaskan bahwa petunjuk teknis ini bertujuan untuk memastikan daerah-daerah yang berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan akan mendapatkan insentif lebih banyak dalam bentuk anggaran. Di Indonesia, sudah ada 39 daerah, termasuk provinsi dan kabupaten/kota, yang mengadopsi kebijakan insentif berbasis kinerja ekologis dengan total anggaran mencapai Rp 289 miliar dalam empat tahun terakhir. Dari 39 daerah tersebut, 4 merupakan provinsi, 29 kabupaten, dan sisanya kota.

Di Sulawesi Selatan, dua daerah—Kota Parepare dan Kabupaten Maros—sudah mengadopsi kebijakan ini sejak dua tahun lalu, dan diharapkan Kabupaten Bulukumba akan segera menyusul. Dengan keluarnya petunjuk teknis yang resmi, diharapkan semakin banyak daerah yang mengadopsi kebijakan insentif berbasis kinerja ekologis.

Sumber: Sumber 1 dan Sumber 2

Kemendagri Bersama Pilar Nusantara Sosialisasikan Petunjuk Teknis Insentif Kinerja Berbasis Ekologis di Aceh

Pilar Nusantara, bersama dengan Kemendagri RI Bina Pembangunan Daerah (Bangda), mendorong pemerintah daerah di Aceh untuk mengadopsi kebijakan transfer fiskal berbasis ekologis/lingkungan (EFT), yang saat ini sedang disusun petunjuk teknis terkait tata cara penerapan insentif kinerjanya.

“Kami telah menyusun petunjuk teknis mengenai penerapan kinerja berbasis ekologis. Diharapkan hal ini dapat mendorong penerapan EFT di daerah-daerah yang belum menerapkannya,” ujar Kasubdit Lingkungan Hidup Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Kunto Bimaji, di Banda Aceh, Selasa.

Pernyataan tersebut disampaikan Kunto Bimaji dalam sosialisasi dan diskusi publik mengenai petunjuk teknis tata cara penerapan insentif kinerja berbasis ekologis (IKE) di daerah.

Kunto menjelaskan bahwa Kemendagri telah bekerja sama dengan Pilar Nusantara untuk mengembangkan inovasi pendanaan berbasis ekologis, yaitu Ecological Fiscal Transfer (EFT), dengan tujuan meningkatkan skema pembiayaan untuk lingkungan hidup di daerah.

“Dengan EFT ini, diharapkan bisa memberikan kompensasi dan insentif kepada daerah atas upaya perlindungan ekologis yang dilakukan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa EFT merupakan model pengalokasian belanja transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di bawahnya. Hal ini mencakup transfer anggaran nasional berbasis ekologi (TANE), transfer dari provinsi ke kabupaten/kota (TAPE), serta transfer dari kabupaten ke desa (TAKE).

“Harapannya, inovasi ini dapat menjadi praktik baik yang diterapkan oleh pemerintah daerah dan dikembangkan di kabupaten/kota lain, sehingga pembangunan dapat terus berlanjut,” tambah Kunto.

Sementara itu, Direktur Perkumpulan Pilar Nusantara (Pinus), Rabin Ibnu Zainal, mengatakan bahwa sosialisasi petunjuk teknis ini bertujuan untuk mendapatkan masukan terhadap draf yang telah disusun sejak 2023.

Hingga saat ini, Rabin menyebutkan, sebanyak 39 pemerintah daerah di Indonesia telah mengadopsi konsep EFT, dengan dana sekitar Rp289 miliar yang dialokasikan sebagai insentif berdasarkan kinerja ekologis kepada pemerintah daerah di bawahnya.

“Poin utama kami adalah tidak ingin menambah kebijakan baru, tetapi ingin EFT dapat diadopsi melalui kebijakan yang sudah ada,” jelas Rabin Ibnu Zainal.

Sumber : Kemendagri dorong pemda di Aceh adopsi kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi

Dirjen Bina Bangda Kemendagri Bersama PINUS Gelar Diskusi Publik Juknis Intensif Kinerja Di Sumsel

Kementerian Dalam Negeri Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Ditjen Bina Bangda), yang diwakili oleh Gunawan Eko Movianto, SE, MM, bersama Direktur Perkumpulan Pilar Nusantara (PINUS) Indonesia, Rabin Ibnu Zainal, SE, M.Sc., Ph.D., menyelenggarakan diskusi publik mengenai petunjuk teknis (juknis) tata cara penerapan insentif kinerja berbasis ekologi di daerah.

Acara ini bertujuan untuk membahas pedoman yang jelas mengenai pemberian insentif kinerja sebagai bentuk penghargaan bagi daerah yang menerapkan praktik ramah lingkungan yang berdampak positif terhadap keberlanjutan lingkungan hidup. Diskusi ini dilaksanakan pada Jumat (05/07/2024) di Hotel Harper Palembang.

Diskusi ini mencakup berbagai aspek terkait tata cara penerapan insentif kinerja berbasis ekologi, termasuk definisi insentif, mekanisme pemberian insentif, tata cara pelaksanaan, serta pengawasan dan evaluasi. Para peserta akan diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dan saran guna meningkatkan efektivitas dalam penerapan insentif tersebut.

Acara ini dibuka oleh Pj. Gubernur Sumatera Selatan, yang diwakili oleh Ir. H. Pandji Tjahyanto, S.Hut., M.Si., Staf Ahli Bidang Pemerintahan, Hukum, dan Politik.

Kami mengundang para pemangku kepentingan terkait, seperti DPRD Provinsi Sumatera Selatan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, serta 17 Bappeda dari seluruh kabupaten/kota di Sumatera Selatan.

Selain itu, beberapa lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LPPM) dari perguruan tinggi, serta organisasi swadaya masyarakat yang peduli terhadap keberlanjutan lingkungan hidup, juga diundang untuk hadir dalam diskusi ini, ujar Achmad Taufik.

Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Sumatera Selatan untuk mengadopsi konsep Insentif Kinerja Ekologi (IKE) dalam kebijakan transfer fiskal (bantuan keuangan, ADD, dan pagu alokasi dana kelurahan), serta mensosialisasikan draft dokumen juknis tata cara penerapan insentif kinerja berbasis ekologi (IKE) di daerah dan mendapatkan masukan untuk penyempurnaan dokumen tersebut, ujar Herduan Prasetyo.

Sumber: a1news.co.id

Policy brief mengembangkan skema Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi (ALAKE) di Kota Dumai

Pilar Nusantara dan Fitra Riau telah menyelesaikan policy brief yang mengembangkan skema Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi (ALAKE) di Kota Dumai. Pilar Nusantara berharap bahwa policy brief ini dapat mendukung konsep penggunaan ALAKE di Kota Dumai. Untuk melihat hasil policy brief secara lengkap, dapat mengakses tautan berikut ini: Policy Brief mengembangkan skema Alokasi Anggaran Kelurahan Berbasis Ekologi (ALAKE) di Kota Dumai .

Dumai terletak di pesisir timur Pulau Sumatera, berada pada jalur lintas perdagangan dunia dengan perkembangan industri yang sangat pesat. Kota ini memiliki luas wilayah sebesar 276.067 hektare yang terdiri dari 206.476,83 hektare daratan dan 71.393 hektare perairan. Secara administratif, Dumai terbagi menjadi 7 kecamatan dengan 36 kelurahan dan memiliki penduduk sebanyak 331.8 ribu jiwa (BPS, 2022). Meskipun berstatus kotamadya, Dumai memiliki kawasan hutan yang dijadikan sebagai area industri kehutanan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW-K) 2019-2030, terdapat sekitar 151.9 ribu hektare atau 73.5% dari luas daratan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Terdiri dari 11.8 ribu hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT), 121.2 ribu hektare Hutan Produksi Tetap (HP), dan 18.8 ribu hektare Hutan Produksi dapat Dikonversi (HPK). Selain itu, ada kawasan lindung seluas 4.378,4 hektare (2.07%) serta Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 55.08 ribu hektare (26.7%) yang digunakan untuk kawasan industri, perdagangan, dan pemukiman.

Urgensi Kebijakan ALAKE untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kota Dumai

Guna mencapai target pembangunan lingkungan hidup di daerah, Dumai tidak lagi dapat menggunakan pendekatan business as usual (BAU). Diperlukan optimalisasi sumber daya dan kolaborasi pembangunan yang melibatkan multi-stakeholder, sejalan dengan agenda prioritas RPJPD Dumai 2020-2025. Pemerintah Kota Dumai memiliki jaringan pemerintah hingga tingkat kelurahan yang diharapkan dapat mendukung perlindungan lingkungan. Inisiatif insentif fiskal berbasis lingkungan telah menjadi instrumen yang mendorong kinerja lingkungan hidup antar pemerintah daerah dan berpotensi diadopsi untuk mendukung Dumai sebagai kota hijau.

Langkah Implementasi Kebijakan ALAKE

Sebagaimana diuraikan dalam policy brief, konsep kebijakan ALAKE ditawarkan sebagai alternatif inovasi pengelolaan keuangan daerah untuk penguatan perlindungan lingkungan hidup, sesuai dengan visi Kota Dumai sebagai Kota Hijau. Tahapan implementasi kebijakan ALAKE meliputi:

  1. Tahap 1: Penyepakatan dan Penyempurnaan Konsep Kebijakan ALAKE – Diskusi kebijakan ini melibatkan pemangku kepentingan lintas OPD dan dipimpin oleh Bappeda Kota Dumai bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup.
  2. Tahap 2: Penyiapan Regulasi – Penyusunan atau revisi peraturan yang mendukung alokasi Dana Kelurahan, termasuk penerbitan Peraturan Walikota.
  3. Tahap 3: Sosialisasi Kebijakan – Penyampaian kebijakan kepada pemangku kepentingan khususnya kelurahan terkait penilaian kinerja dalam kebijakan Dana Kelurahan.
  4. Tahap 4: Penghimpunan Data – Mengumpulkan data sebagai dasar perhitungan alokasi Dana Kelurahan (alokasi formula dan kinerja).
  5. Tahap 5: Penyepakatan Pagu Anggaran dan Perhitungan Alokasi Kelurahan – Penetapan anggaran dan alokasi kinerja diharapkan dapat diterapkan pada perubahan anggaran tahun 2024 serta perencanaan tahun 2025.

Pilar Nusantara berharap dengan adanya langkah-langkah ini, Dumai dapat mencapai tujuan sebagai kota hijau yang berkelanjutan.

Urgensi Inovasi Kebijakan Insentif Fiskal Ekologi untuk Ketahanan Iklim di Aceh Besar

Pilar Nusantara dan GeRak Aceh telah menyelesaikan policy brief berjudul “Urgensi Inovasi Kebijakan Insentif Fiskal Ekologi untuk Ketahanan Iklim di Aceh Besar.” Pilar Nusantara berharap bahwa policy brief ini dapat mendukung konsep penerapan skema TAPE di Kabupaten Aceh Besar. Untuk melihat hasil policy brief secara lengkap, dapat mengakses tautan berikut ini : Urgensi Inovasi Kebijakan Insentif Fiskal Ekologi untuk Ketahanan Iklim di Aceh Besar .

Latar Belakang dan Urgensi EFT di Aceh Besar

Aceh Besar merupakan kabupaten penyangga yang berbatasan langsung dengan Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Dengan luas mencapai 2.903,50 km², sebagian besar wilayah ini adalah daratan, sementara sisanya merupakan kepulauan. Dari total luas wilayah tersebut, sekitar 95.029 hektare adalah Kawasan Hutan Lindung, dengan komposisi area penggunaan lain mencapai 40%, kawasan lindung 32,7%, dan kawasan budidaya 26%. Aceh Besar terdiri dari 23 kecamatan, 68 mukim, dan 604 gampong. Tantangan unik wilayah ini meliputi jarak beberapa gampong yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten, Jantho, hingga 106 km.

Aceh Besar memiliki Indeks Risiko Bencana tertinggi di Aceh dan berada di peringkat ke-9 nasional. Potensi bencana di kabupaten ini mencakup gempa bumi, tsunami, aktivitas vulkanik, tanah longsor, banjir, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dalam menghadapi tantangan pengelolaan lingkungan dan penanggulangan bencana, pemerintah kabupaten dan gampong perlu berkolaborasi erat serta melibatkan kontribusi para mitra pembangunan. Melalui Dana Desa, pemerintah gampong memiliki diskresi fiskal dalam menjalankan pembangunan desa sesuai tujuan nasional, namun pemerintah kabupaten dapat turut serta dalam penyesuaian arah pembangunan sesuai prioritas daerah.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Beberapa poin rekomendasi untuk pengambil kebijakan di Kabupaten Aceh Besar adalah sebagai berikut:

  1. Masih terdapat tantangan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Kabupaten Aceh Besar. Sebagian dari permasalahan ini diharapkan dapat diatasi melalui pendekatan kebijakan insentif fiskal berbasis ekologi, dengan mendorong peran serta kinerja pemerintah gampong.
  2. Terdapat praktik baik di beberapa gampong selama hampir satu dekade yang menunjukkan keberhasilan pengelolaan lingkungan, seperti: 1) pengelolaan sampah mandiri, 2) pengelolaan eko-budaya dan wisata berbasis sumber daya alam, serta 3) desa tangguh bencana. Praktik-praktik ini membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah kabupaten.
  3. Pemerintah Aceh Besar dapat mempertimbangkan inovasi kebijakan insentif ekologi melalui skema yang paling memungkinkan, antara lain: 1) Reformulasi Alokasi Dana Gampong; dan 2) Skema Bantuan Keuangan Khusus (BKK). Insentif dapat diberikan kepada gampong dengan kinerja terbaik. Kebijakan Alokasi Dana Gampong tahun anggaran 2023 sebesar Rp 126,23 juta dialokasikan sepenuhnya untuk pembiayaan Penghasilan Tetap (SILTAP), tanpa dialokasikan untuk pembangunan. Maka, perlu dilakukan reformulasi agar ADG dialokasikan untuk SILTAP, alokasi formula, dan alokasi kinerja.
  4. Pemilihan kategori dan indikator penilaian kinerja dapat mempertimbangkan kontribusi pemerintah gampong dalam mendukung kinerja daerah, khususnya dalam menghadapi perubahan iklim. Beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain: 1) Pengelolaan sampah; 2) Kualitas lingkungan hidup dan perlindungan SDA/pesisir; 3) Tata kelola pemerintahan gampong; 4) Penanggulangan risiko bencana di tingkat gampong; 5) Ketahanan pangan, penurunan angka stunting, dan pengentasan kemiskinan.
× Hubungi Kami Untuk Pemesanan