GAPOKTAN Bukit Nanti Desa Mendingin Peroleh Izin SK Perhutanan Sosial dari Presiden

Pinus sumsel, Sebanyak 85 kepala keluarga GAPOKTAN Desa Mendingin peroleh SK izin perhutanan sosial yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 25 November 2018 di Palembang.

Pada periode 2015-2019, pemerintah mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta Ha melalui program Perhutanan Sosial. Khusus di 2019, program Perhutanan Sosial direncanakan untuk 3,5 sampai dengan 4,3 juta Ha.

Di wilayah Provinsi Sumatera Selatan sendiri, telah tercatat pencadangan kawasan untuk hutan sosial seluas 333.651 Ha.

Presiden juga menyampaikan pentingnya SK sebagai kejelasan hak hukum masyarakat dalam akses kelola lahan selama 35 tahun. Jokowi juga mengingatkan para penerima SK untuk berhati-hati dalam menggunakan hak kelolanya, dan senantiasa mengelola lahan dengan produktif.

GAPOKTAN Bukit Nanti Desa Mendingin adalah salah satu Desa Dampingan PINUS Sumsel dalam percepatan perhutanan sosial seluas 478 hektar.

Suroyo Ketua dari GAPOKTAN Bukit Nanti Desa Mendingin mengungkapkan bahwa” sangat senang sekali, kami yang selama ini berada si hutan lindung merasa was-was, karena tidak punya kekuatan apa-apa, sekarang setelah kami mendaptkan SK perizinan yang diberikan langsung oleh presiden kami tidak lagi di bayang-bayang ketakutan” katanya.

Sementara itu, PINUS Sumsel yang memfasilitasi UPTD KPH Wilayah VI Bukit Nanti Martapura yang sekaligus pendamping GAPOKTAN Bukit Nanti Desa Mendingin Kabupaten Ogan Komering Ulu Provinsi Sumatera Selatan, mengatakan ada 85 KK atau petani yang mendapat manfaat dari penyerahan SK perizinan ini

Kepala UPTD KPH Bukit Nanti wilayah VI Bukit Nanti Martapura juga menambahkan bahwa manfaat yang dirasakan petani-petani ini akan semakin besar karena mereka juga lebih tenang beraktivitas dan berusaha di lahan hutan, apalagi ini adalah Desa pertama dampingan wilayah UPTD KPH Bukit Nanti Wilayah VI Bukit Nant Martapura yang mendapatkan SK IUPHKm, dan beliau berharap ini akan menjadi Desa Percontohan yang akan diikuti oleh Desa-desa lainnya.

Pemerintah melalui KLHK melaksanakan program nasional Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi dan mengurangi ketimpangan ekonomi melalui tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan usaha dan sumber daya manusia.

Perhutanan Sosial juga menjadi benda legal untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan untuk mengelola kawasan hutan negara seluas 12,7 juta hektare.

Bentuk Perhutanan Sosial di antaranya Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, Kemitraan Kehutanan.

 

Nyawa Hilang di Lubang Batubara Bertambah, Aktivis Lingkungan Dapat Teror dan Serangan

Nyawa manusia hilang di ‘danau’ tambang batubara terus bertambah, sampai awal November 2018 sudah 32 korban. Kondisi tambah parah kala aktivis lingkungan yang konsern menyuarakan kritisi terhadap permasalahan batubara ini mendapat teror dan penyerangan. Sekretariat Jatam dirusak orang-orang tak dikenal. Jatam melaporkan kasus penyerangan ke Polres Samarinda.

 

Awal November 2018, Pradarma Rupang, dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, beberapa kali mendapat tteror orang tak dikenal. Berbagai ancaman dia terima kala tuntutan penuntasan kematian anak di lubang tambang viral di berbagai media lokal dan nasional.

Aksi damai Jatam, jaringan masyarakat sipil dan mahasiswa dibalas ancaman, penyerangan serta pengerusakan sekretariat Jatam 5 November lalu.

Rupang mengatakan, penyerangan ini tak bisa terpisahkan dari eskalasi dukungan publik agar pemerintah dan aparat penegak hukun menuntaskan 32 kasus anak tewas di lubang bekas tambang batubara.

Kronologisnya, kata Rupang, 4 November 2018, sekitar pukul 17.30 waktu setempat Jatam Kaltim mendapatkan kabar duka lewat sosial media kalau ada seorang amak Tenggarong Seberang, Ari Wahyu Utomo (13) meninggal dunia di lubang bekas tambang. Lokasi kejadian di konsesi PT Bukit Baiduri Energi (BBE).

Tim Jatam Kaltim segera turun menuju rumah duka, selain melayat juga menggali informasi. Setelah mengikuti proses pengajian dan berbincang-bincang dengan pihak keluarga, tim Jatam Kaltim kembali ke Samarinda membuat rilis kasus.

Pada 5 November 2018, sekitar pukul 20.00, Sekretariat Jatam Kaltim di Jalan KH Wahid Hasyim II, Perum Kayu Manis Blok C No.06, Kel. Sempaja, didatangi sekelompok massa sekitar 30 orang. Jatam mendapat informasi dari tetangga.

Saat itu, sekretariat kosong karena sudah lewat jam kerja. Kelompok orang itu menggeledah kantor Jatam dan mendobrak pintu belakang. Jendela kamar gedung belakang kantor rusak. Tidak menemukan satupun aktivis Jatam, pencarian mereka lanjut dengan menggeledah rumah tetangga.

Tak puas sampai di situ, puluhan orang tak dikenal ini mengempesi ban motor milik salah staf Jatam Kaltim.

“Informasi yang kami terima, pasca penyerangan dan perusakan, kami kerap kali diawasi dan diintai orang-orang tak dikenal baik siang dan malam,” katanya.

Dia bilang, intimidasi dan teror berulang ini menandakan ada pihak-pihak yang tak suka alias terganggu dengan kampanye dan advokasi Jatam Kaltim cs selama ini.

Kondisi lubang bekas tambang batubara PT TPS di Kukar. Dari citra setelit. Foto dok Jatam Kaltim

Hingga kini, dia belum mengetahui motif jelas di balik penyerangan dan penrusakan ini. Namun, Rupang meyakini, terkait sejumlah laporan dan advokasi mereka atas kasus korban ke-32 di lubang tambang, operasi tambang Ilegal, pencemaran lingkungan, perampasan lahan dan lain-lain.

Atas penyerangan itu, jatam Kaltim Senin, (26/11/18), melapor resmi kasus teror dan perusakan ke Polres Samarinda. Mereka menyertakan sejumlah bukti berkaitan dengan peristiwa ini.

“Tadinya kami berpikir situasi dan ancaman akan berakhir, ternyata tak, masih terus berlanjut sampai sekarang. Itulah sebabnya kami melaporkan kepada pihak berwajib,” kata Rupang.

Bagi Jatam Kaltim, penyerangan dan perusakan ini ancaman gerakan pro-lingkungan dan pro-demokrasi yang lantang menyuarakan keselamatan masyarakat. Jatam mencatat, sepanjang 2011-2018, lebih dari 20 kasus intimidasi dan teror, baik kriminalisasi maupun penyerangan fisik, kepada warga penolak tambang.

Rupang menuntut, kepolisian Samarinda mengusut kasus ini dan memproses hukum perusakan sekretariat Jatam Kaltim. Negara, katanya, juga harus memberikan perlindungan bagi pejuang lingkungan dari ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak tak bertanggung jawab.

“Harus ada jaminan keselamatan bagi rakyat yang memperjuangkan lingkungan dari acaman manapun.”

Dia juga mengajak rakyat bersama-sama mengusir dan melawan pihak-pihak yang merusak lingkungan dan mengancam nyawa anak-anak. “Rakyat tak akan pernah aman dan sejahtera jika kejahatan tambang masih terus merajalela.”

Melky Nahar, Kepala Kampanye Jatam Nasional mengatakan, kriminalisasi dan serangan kepada perjuang lingkungan hidup dan anti tambang meningkat dan meluas. Situasi ini, katanya, seiring situasi di Asia.

“Jokowi harus turun tangan menjamin perlindungan negara kepada pejuang lingkungan hidup. Juga menuntaskan kasus anak tewas di lubang tambang dan perusakan lingkungan di Indonesia,” kata Melky.

Dalam laporan Global Witness berjudul Defender of the Earth; Global Klillings on Land and Environtmental Defenders,” menyatakan, serangan maksimum berupa pembunuhan meluas pada 24 negara pada 2016, setelah 2015 terjadi di 16 negara. Ada 60% pembunuhan di Amerika Latin utama terjadi di Brazil.

Data Jatam Nasional, ada 18 kasus kriminalisasi dan serangan maksimum berupa penembakan dan pembunuhan menyasar 81 penolak tambang di Indonesia sepanjang 2011-2018.

Pembunuhan pejuang anti tambang salah satu yang menghebohkan, Salim Kancil, warga di Lumajang, Jawa Timur, penolak tambang pasir besi.

Pola baru kini, kriminalisasi terhadap ahli lingkungan seperti Basuki Wasis dan Bambang Hero, yang membantu mendorong gugatan kerugian negara karena kerusakan lingkungan.

Pola lain, kriminalisasi dengan pasal tuduhan komunisme pada kasus Budi Pego, menolak tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Juga tuduhan mengada-ngada pasang bendera terbalik oleh warga penolak pembangkit listrik batubara di Indramayu.

Ada juga serangan langsung ke kantor organisasi seperti di Jatam Kaltim pada 26 Januari 2016 dan 5 November 2018 di Samarinda.

“Kami menilai presiden dan Menteri Lingkungan Hidup serta aparat penegak hukum gagal menjalankan mandat dan fungsinya,” katanya, seraya bilang, UUD 1945 menyatakan setiap orang berhap atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Pemerintah dan aparat, katanya, tak menjalankan tugas melindungi warga dalam menjalankan hak asasi itu sesuai Deklarasi Universal PBB tentang hak asasi manusia bebas berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, katanya, sebenarnya menjamin setiap individu maupun kelompok masyarakat yang memperjuangkan lingkungan tak bisa digugat perdata dan pidana.

Merah Johansyah Ismail, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, dalam kasus serangan Kantor Jatam Kaltim, kepolisian belum membuka surat perkembangan hasil penyelidikan perkara (SP2HP) kepada pelapor maupun korban lubang tambang batubara.

“Ada kekuatan oligarki besar yang dilindungi untuk terus merusak lingkungan. Negara ini berpihak pada warga dan pelestarian lingkungan hidup atau pemodal?”

Jatam mendesak Komnas HAM mengambil peran lebih jauh mengawal dan mengkoordinasikan segala upaya memperkecil kriminalisasi dan serangan terhadap pejuang lingkungan. “Kini teror para pejuangan lingkungan dan anti tambang makin membesar.”

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Vendra Riviyanto tak mendapat balasan. Dikutip dari detik.com, Vendra mengaku belum menerima laporan dari Jatam Kaltim terkait intimidasi dan perusakan kantor mereka.

Beberapa barang bukti perusakan Sekretariat Jatam Kaltim. Foto:dokumen Jatam Kaltim

Presiden harus turun tangan

Pada 21 Oktober 2018, Jatam Kaltim mendapat kabar korban tewas lubang bekas tambang ke-30, Alif Alforaci. Dia jatuh di Kecamatan Tenggarong, Desa Rapak Lambur dalam Konsesi PT Patriot Trias Sejahtera (TPS).

Pada 25 Oktober 2018, Presiden Joko Widodo kunjungan ke Kaltim. Terjadi aksi di sejumlah titik di Samarinda. Tidak hanya Jatam Kaltim, gerakan masyarakat sipil dan organisasi mahasiswa turun ke jalan mendesak presiden turut menyelesaikan dan bertindak atas jumlah korban anak-anak tewas terus bertambang di lubang bekas tambang.

Gubernur Kaltim Isran Noor kala ditanya wartawan, menyatakan, kematian anak di lubang bekas tambang batubara, sudah nasib. Isran hanya prihatin.

Oh gitu. Sikap apa? Oh, enggak masalah. Nasibnya kasihan. Ikut prihatin. Pastilah ikut prihatin,” katanya.

Ketika ditanya soal upaya gubernur menuntaskan kasus itu agar peristiwa tak terulang, Isran mengatakan, korban jiwa itu di mana-mana terjadi.

“Ya, namanya nasibnya dia, meninggalnya di kolam tambang. Ya, pasti upaya. Itu kan pertanggungjawaban dunia akhirat,” kata Isran.

Setelah itu, korban terus bertambah. Data Jatam, korban sudah 32 orang, atau ke-11 di Kabupaten Kutai Kartanegara terhitung sejak 2011-2018.

Rupang mengatakan, pemerintah seakan tak pernah belajar dan menganggap penting persoalan ini. Padahal, kejadian serupa belum lama berselang. Korban ke-30, Alif pada 21 Oktober 2018, seminggu setelah itu, Ari Wahyu dan awal November 2018 seorang anak lagi mati di lubang tambang batubara.

“Sudah 32 nyawa melayang di lubang tambang batubara. presiden harus berrtindak,” kata Rupang.

Dia bilang, kehadiran presiden beberapa hari setelah anak meninggal di lubang tambang, beberapa hari kemudian kejadian serupa terjadi.

Jatam, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan, tak cukup mengasistensi pemerintah daerah. “Gubernur, bupati dan walikota di Kaltim belum menganggap kasus anak tewas di lubang tambang sebagai persoalan penting. Upaya pencegahan agar tak terulang lagi selayaknya dilakukan presiden.”

Jatam, katanya, juga mendesak Gubernur Kaltim bertindak keras kepada pebisnis tambang yang membiarkan lubang-lubang tambang batubara mereka menganga. Seharusnya, kata Rupang, izin BBE dicabut, karena lakukan pembiaran dan tak mau membenahi sistem keamanan dan keselamatan sesuai mandat UU Mineral dan Batubara dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Faktanya, tak ada pencabutan, padahal kejadian berulang dan perusahaan tak juga diproses hukum.”

Secara terpisah Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, mengatakan, sejumlah perusahaan tambang batubara di Kaltim harus mempertanggungjawabkan kematian anak di lubang tambang, dan persoalan reklamasi.

Walhi dan Jatam mempertanyakan sikap Kapolda Kaltim, kapan kasus-kasus ini diproses hukum hingga ke pengadilan. Publik katanya, menunggu upaya serius kepolisian Kaltim untuk memastikan penegakan hukum kasus ini.

“Kita duga kuat ada pihak-pihak tertentu yang ingin kasus ini dipetieskan dan tak berlanjut ke pengadilan. Kami mempertanyakan profesionalisme kepolisian Kaltim memastikan penegakan hukum 32 orang tewas di lubang tambang batubara.”

Herdiansyah Hamzah, pengajar hukum Universitas Mulawarman kepada Mongabay menagih aksi konkrit. Selama ini, presiden yang hanya melempar upaya penyelesaian kasus-kasus hilangnya nyawa manusia di bekas galian lubang tambang kepada gubernur, nampak seperti ingin cuci tangan.

Padahal, katanya, presiden punya kekuasaan untuk ambil alih kasus-kasus yang menyita perhatian publik dan kontroversial, serta gagal diselesaikan pemerintah daerah.

Rahmawati memegang foto anaknya, M Raihan korban ke sembilan lubang tambang batubara. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Menurut Herdiansyah, dalam negara kesatuan, kendali utama di tangan pemerintah pusat, walau kewenangan dibagi ke pemerintah daerah. “Ketika kewenangan itu gagal dijalankan baik, pemerintah pusat dapat memgambil tindakan atas nama kepentingan warga negara.”

“Jadi salah besar jika pilihan presiden tidak mencampuri urusan ini, dengan menyerahkan kembali kepada pemerintah daerah yang notabene salama ini gagal.”

Pernyataan gubernur yang mengunci kasus korban lubang tambang sebatas sebagai takdir semata, sangat menyedihkan.

Pernyataan ini, katanya, bermakna dua hal, pertama, menunjukkan kedangkalan pemahaman gubernur terhadap kasus korban lubang tambang dan dampak lingkungan industri ekstraktif lain. Kedua, menunjukkan, kalau gubernur tidak punya empati kepada para korban. Sesungguhnya, dia punya kewenangan mendorong penyelesaian kasus ini.

Secara administratif, katanya, gubernur punya kuasa menjatuhkan sanksi pencabutan izin kepada perusahaan dengan wilayah konsesi memakan korban.

“Pada aspek pidana, gubernur bisa mendorong penyelesaian kasus ini dengan berkoordinasi dengan aparat kepolisian. Jika sanksi tak pernah dijatuhkan, baik administratif maupun pidana, tak akan ada efek jera. Kejadian akan terus berulang,” kata Castro, sapaan akrabnya.

Haris Retno, pengajar Universitas Mulawarman kepada Mongabay mengatakan, korban yang terus berjatuhan menunjukkan ada kegagalan dalam pengelolaan pertambangan di Kaltim. Gubernur baru Kaltim, katanya, harus mengambil momentum ini untuk bertindak cepat agar korban tak bertambah.

Di Kaltim terdapat 1.200-an izin tambang, jika satu izin meninggalkan dua lubang, akan ada 2.400 lubang bekas tambang. “Pemerintah harus bertanggung jawab karena izin diberikan pemerintah. Tambang bukan datang diam-diam tapi dengan izin negara.”

Wahyu Nugroho, dosen hukum lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta mengatakan, harus ada proses hukum pidana kepada perusahaaan atas tewasnya orang di lubang bekas tambang. Dia bilang, sudah kewajiban perusahaan mereklamasi lubang tambang.

Dalam kasus di Kaltim, tak lagi pembekuan, seharusnya sudah pencabutan izin. Menurut dia, kejadian itu sudah melanggar ketentuan hukum administrasi dan hukum pidana bidang pertambangan berdasarkan UU Minerba dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sumber: Mongabay.co.id

Presiden Serahkan SK Perhutanan Sosial 56 Ribu Hektare di Sumsel

Palembang – Setelah wilayah Jawa Barat, kini Presiden Joko Widodo menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial di Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu, Kota Palembang, Sumatra Selatan, Minggu (25/11).

Penerima SK sebanyak 9.710 kepala keluarga berasal dari 10 kabupaten yakni Muara Enim, Musi Rawas, Pagar Alam, Lahat, Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), OKI Timur, dan Musi Banyuasin, dengan luasan hutan 56.276.

“Hari ini telah diserahkan kepada bapak/ibu semuanya sebanyak 56 ribu hektar (Ha). Hati-hati 56 ribu itu gede sekali, banyak sekali. Di seluruh Indonesia telah diserahkan sebanyak 2,1 juta hektare kepada masyarakat, bukan kepada yang ‘gede-gede’, dan target 12,7 juta hektare akan kita serahkan seterusnya,” tutur Presiden Jokowi.

Pemerintah mengalokasikan distribusi kawasan hutan seluas 12,7 juta ha kepada masyarakat melalui program Perhutanan Sosial. Khusus di 2019, program Perhutanan Sosial akan direncanakan untuk 3,5 sampai dengan 4,3 juta ha. Di wilayah Provinsi Sumatera Selatan sendiri, telah tercatat pencadangan kawasan untuk hutan sosial seluas 333.651 ha.

Presiden juga menyampaikan pentingnya SK sebagai kejelasan hak hukum masyarakat dalam akses kelola lahan selama 35 tahun. Beliau juga mengingatkan para penerima SK untuk berhati-hati dalam menggunakan hak kelolanya, dan senantiasa mengelola lahan dengan produktif.

 

“Pemerintah akan terus membagikan konsesi-konsesi seperti ini kepada para petani, agar lahan-lahan yang ada betul-betuk produktif dimanfaatkan untuk kesejahteraan,” imbuh Presiden.

Turut hadir mendampingi Presiden yakni Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kapolri Tito Karnavian, serta Gubernur Sumatra Selatan Herman Deru.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan Perhutanan Sosial merupakan salah satu kegiatan untuk tujuan pemerataan ekonomi. Saat ini realisasi Perhutanan Sosial telah mencapai 2,173 juta ha, dari target 12,7 juta ha.

“Dalam reforma agraria, ada tiga kebijakan utama, yang pertama adalah sertifikasi lahan rakyat, kedua Perhutanan Sosial, dan ketiga, redistribusi lahan, yang pelaksanaannya baru akan mulai Januari tahun depan, dan saat ini sudah diidentifikasi bersama KLHK dan Kementerian ATR untuk langkah-langkahnya,” jelas Darmin.

Darmin juga berharap, melalui Perhutanan Sosial, masyarakat dapat bekerja secara kelompok dan belajar bekerjasama satu sama lain.
“Sebagai upaya penguatan pengembangan usaha dan produktivitas hutan sosial di Sumatera Selatan, akan diberikan bantuan 6 unit motor angkut hasil produk hutan sosial, 4 (empat) unit alat pengupas kopi, dan penyerahan bibit karet untuk tahun tanam 2019,” lanjutnya. (OL-1)

Sumber: MediaIndonesia

Presiden Jokowi akan Serahkan 50 Hektare Hutan Sosial kepada 10.500 KK di Sumatera Selatan

PALEMBANG – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan RI, Siti Nurbaya mengungkapkan pemerintah akan menyerahkan sekitar 50 ribu hektare kawasan hutan sosial bagi 10.500 KK dari 10 kabupaten yang ada di Sumatera Selatan.

Nantinya pengelolaan akses hutan sosial tersebut dapat dikelola oleh masyarakat hingga kurun waktu 35 tahun.

“Rencananya Pak Jokowi akan melakukan kunjungan ke Sumsel karena saya sebagai penanggungjawab teknis bidang kehutanan sosial maka saya cek duluan.”

“Saya masih meyakinkan ke pak Presiden bahwa Sumsel untuk hutan sosial itu bagus karena pada berbagai hal bicara hutan sosial dapat menjawab konflik-konflik teritorial,” jelas Siti Nurbaya di sela kunjungannya guna mengecek kondisi Perhutanan Sosial di Taman Wisata Punti Kayu, Rabu (21/11/2018).

Dijelaskan Siti Nurbaya, sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan sosial pihaknya sudah terlebih dahulu memiliki kajian seperti apa kondisi hutan yang bisa dijadikan kawasan hutan sosial.

“Baik tim di lapangan ataupun pemerintah sudah tahu untuk membedakan mana kawasan hutan dengan tanaman, vegetasi alam, hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau bukan konservasi. Kawasan yang bukan termasuk itulah yang kita usulkan ke Presiden agar bisa diberikan akses pengelolaan,” ujarnya.

Sejauh ini dari target target seluas 12,7 juta hektar, sejauh ini kata Siti, baru mencapai 2,2 juta hektar hutan sosial yang sudah diberikan untuk akses kelola kawasan hutan bagi masyarakat.

“Ini tidak mudah sebab fakta dilapangan banyaknya konflik teritorial. Tapi kami masih optimis hingga akhir 2019 bisa mencapai 3,5 juta hektar,” katanya.

Sementara itu, Direktorat Hutan dan Tanaman Rakyat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Abdur Rahman menambahkan 10 kabupaten/kota yang direncanakan menjadi perhutan sosial di antaranya ada di Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), Muaraenim, Lahat, Pagaralam dan Banyuasin.

“Jadi bukan dilepas tapi hanya diberikan akses legal agar masyarakat sah masuk kawasan tersebut. Masyarakat bisa mengelola dan memanfaatkannya semisal menanam pohon dan kemudian memanfaatkan hasil kayu tersebut. Intinya pengelolaannya tetap sesuai kaedah kehutanan,” jelasnya.

Sumber : Sripoku.com

Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) paling mutakhir menyatakan kita hanya punya waktu 12 tahun bila ingin bisa menjaga kenaikan suhu pada maksimal 1,5 derajat Celsius di tahun 2100.Kalau di tahun 2030 kita tak bisa memotong emisi sebesar yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan itu, umat manusia bakal kesulitan untuk bisa membuat kondisi kehidupan yang baik.Pilihan yang tadinya dianggap cukup baik, yaitu kenaikan 2 derajat Celsius, kini diketahui lebih buruk daripada yang kita sangka sebelumnya.

Padahal, kita kini hidup dalam cara yang trajektorinya mengarah pada kenaikan 3,2 derajat Celsius—jauh sekali di atas pilihan terbaik.Kondisi ini menjanjikan katastropik bagi peradaban manusia.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita semua akan membuat perubahan sedrastis dan secepat yang dibutuhkan untuk bisa menghindari kondisi yang sangat buruk untuk anak-cucu kita?Ataukah, seperti yang ‘diramalkan’ oleh sastrawan besar Kurt Vonnegut, kita cuma bakal menulis di batu nisan Bumi yang mati :‘We could have saved the Earth, but we were too damned cheap.’

Tentu, kondisi sebaliknyalah yang mungkin terjadi.Bumi akan melihat umat manusia mengalami kesengsaraan luar biasa akibat perbuatannya sendiri.Kecuali, kalau kemudian umat manusia memang melakukan pertobatan yang dibutuhkan.Dan, untuk bisa melakukan pertobatan yang dibutuhkan itu, kita semua perlu mengecek apa saja dosa-dosa yang sudah kita buat, dan bagaimana dosa-dosa itu bisa ditebus.

 

LaporanBrown to Green 2018 dari Climate Transparencyyang diluncurkan pada tanggal 21 November 2018 di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, menyediakan alat pengecekan ‘dosa-dosa’ kolektif kita.Betapa tidak menyenangkan, bahkan menakutkan, membaca laporan tersebut.Tetapi, itu harus dilakukan, agar kita semua bisa melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan generasi sekarang, dan terutama generasi mendatang.

Kalau laporan IPCC menyatakan bahwa seluruh dunia perlu memotong sekitar 40% emisi di tahun 2030, penurunan yang disarankan oleh laporanBrown to Green 2018 lebih dalam lagi, yaitu 50%.Tentu, lantaran objek dan sasaran laporan ini adalah negara-negara G20 yang emisinya lebih besar, dan secara ekonomi lebih kaya, maka tuntutan tersebut sangat masuk akal.

Sayangnya, laporan itu menegaskan bahwa negara-negara G20 masih jauh dari sasaran tersebut.DokumenNationally Determined Contributions(NDCs) yang disetorkan negara-negara itu tidak menggambarkan kesadaran atas kontribusi yang adil ataufair share.Yang paling parah, kalau NDC seluruh negara itu mengikuti ‘komitmen’ Rusia, Saudi Arabia dan Turki, maka atmosfer Bumi akan memanas lebih dari 4 derajat Celsius.

 

Bagaimana dengan NDC Indonesia?Laporan itu menegaskan bahwa—bersama-sama dengan Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Rusia, dan Arab Saudi—kita akan bisa mencapai target NDC bila emisi dari pemanfaatan lahan dan hutan (LULUCF) tidak diperhitungkan.Mengapa?Karena kita mematok ambisi yang kelewat rendah.

Status NDC Indonesia sendiri menurut Climate Action Tracker memanghighly insufficientdi tahun 2018 ini, turun status satu tingkat dariinsufficientdi tahun 2017.Dengan status tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang turut berencana menaikkan suhu atmosfer lebih dari 3 derajat Celsius. Sebuah status yang memalukan.

Biang kerok dari kondisi emisi negara-negara G20 ini adalah pemanfaatan sumber-sumber energi fosil yang kelewat tinggi dan belum cukup diturunkan setelah peringatan soal ini datang bertahun-tahun lampau.Laporan ini menyatakan bahwa 82% kebutuhan energi G20 memang dipasok dari energi fosil.Pengukuran di tahun 2017 menunjukkan bahwa di 15 dari anggota G20, emisi dari energi meningkat lagi, setelah sebelumnya oleh berbagai laporan diperkirakan sudah memuncak.

Ternyata kita masih lapar dan haus energi fosil.Batubara terus kita ‘kunyah’, dan minyak terus kita ‘minum’ dalam proporsi yang semakin besar—kecuali di Inggris, Tiongkok, dan Prancis.

 

Apa sektor yang paling perlu diubah?Pembangkitan listrik dan transportasi.Demikian yang ditegaskan dalam laporan ini.Tetapi apa yang terjadi dengan kedua sektor?Saking kurangnya negara-negara G20 bertindak dalam urusan ini, status yang diberikan adalahlaggardalias tertinggal.

Afrika Selatan, Australia dan Indonesia adalah negara-negara paling payah dalam urusan emisi dari pembangkitan listrik, lantaran masih kelewat doyan batubara.Amerika Serikat, Kanada dan Australia adalah yang paling banyak membuang emisi dari transportasinya.

Kalau kemudian sektor-sektor lainnya dilihat, maka hasilnya juga tak menggembirakan.Dalam sektor industri, satu-satunya anggota G20 yang dipandang punya kebijakan memadai adalah Uni Eropa.Tiga yang paling ketinggalan adalah Afrika Selatan, Tiongkok dan Rusia.Mereka bertiga memiliki emisi dari sektor ini yang paling tinggi intensitasnya—sementara kebijakannya tampak tak berniat menurunkan intensitas itu.

Soal sektor bangunan juga cuma Uni Eropa yang kompatibel dengan tujuan 1,5 derajat Celsius.Kanada, Jerman, dan Amerika Serikat emisinya paling tinggi.Terakhir, dari sektor kehutanan, ‘juara’ dengan emisi tertinggi adalah Indonesia, Argentina, dan Brazil.Kebijakan dan tindakan dari ketiga negara tersebut dipandang memprihatinkan.

Katrok’-nya, sudah demikian buruk situasinya, negara-negara G20 masih saja memberi subsidi gila-gilaan untuk bahan bakar fosil yang dikonsumsi.Hitung-hitungan laporan ini mengungkapkan bahwa di tahun 2016, anggota G20 secara kolektif menuangkan USD147 miliar untuk subsidi batubara, minyak dan gas.Cuma Kanada dan Prancis yang menghasilkan pendapatan dari pajak karbon yang lebih besar daripada subsidi bahan bakar fosilnya.Yang paling banyak memberi subsidi? Arab Saudi, Italia, dan Australia.

 

Memang sudah ada beberapa negara yang kini mengembangkan kebijakan pengungkapan pembiayaan terkait dengan perubahan iklim, di mana subsidi atas bahan bakar fosil bisa menjadi lebih terkendali.Kebijakan yang paling maju misalnya ditunjukkan oleh Pranis, Uni Eropa dan Jepang.

Tetapi, sebagaimana yang beberapa waktu lalu diungkap oleh laporan dari Rainforest Action Network (RAN) dan Profundo, bank-bank dari Jepang tampak masih sangat getol membiayai pembangkit listrik tenaga batubara.Jadi, pengungkapan itu tidak menjamin bahwa kemudian tindakannya akan sesuai dengan tujuan kebijakan pengungkapan.Bank-bank dari Jepang tampakcueksaja, meneruskan pembiayaan terhadap projek-projek yang membahayakan Bumi.

Komitmen Indonesia

Walaupun begitu, laporan ini juga menunjukkan bahwa ada beberapa negara anggota G20 yang mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan terkait transisi yang adil dari energi fosil.Kanada, Tiongkok, Prancis dan Indonesia adalah di antara negara-negara yang disebut mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan yang demikian.Ketika negara yang disebut pertama itu sudah memiliki kebijakan dan anggaran yang secara khusus ditujukan untuk mendukung pekerja dan daerah yang terkena dampak dari transisi meninggalkan batubara.

Indonesia, kita tahu, punya sejumlah pemikiran awal soal pembiayaan ekonomi hijau secara menyeluruh, dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup, juga upaya ‘menghijaukan’ Rencana Pembangunan Jangka Manengah 2020-2024, selain membuat skenario pembangunan rendah karbon hingga tahun 2045.

 

Secara umum ruang perbaikan untuk Indonesia yang paling menonjol adalah pada sektor energi dan kehutanan.Intensitas emisi dari pembangkitan listrik kita adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara G20.Di sektor kehutanan, ketika banyak negara anggota G20 sudah menunjukkan peningkatan tutupan hutan dibandingkan kondisi tahun 1990, kita ternyata masih kehilangan 23%.Di sektor transportasi dan bangunan, walaupun emisi kita tergolong rendah, namun ada kecenderungan meningkat, sehingga perlu diwaspadai.

LaporanBrown to Green 2018,yang di Indonesia diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), ini adalahdashboardyang sangat penting bagi pembangunan Indonesia, di samping berbagai laporan lain yang diproduksi di dalam maupun luar negeri.Sebetulnya semua laporan memberi pesan yang konsisten, yaitu soal ruang perbaikan yang perlu kita isi demi masa depan yang lebih baik.Pesan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kita masih punya waktu untuk memilih menjadi lebih baik.Pembangunan berkelanjutan, dengan rendah karbon sebagai salah satu kunci pentingnya, adalah satu-satunya yang masuk akal bagi kita semua.

Kalau baru-baru ini Bappenas mengeluarkan laporan bahwa skenario pembangunan rendah karbon sesungguhnya membawa Indonesia kepada tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak perlu ada lagi keraguan untuk mengambil jalur hijau itu.Sebaliknya, semakin lama berada di jalur coklat yang selama ini kita tempuh, semakin membahayakan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi Indonesia.Jadi mengapa tidak mengambil jalur hijau secepat mungkin?

Pesan ini tampaknya sangat perlu dipahami oleh siapapun yang akan memimpin Indonesia di tahun 2019 nanti.Demikian pula, kita yang hendak memilih pemimpin Indonesia, hendaknya menimbang kapasitas dan rekam jejak kandidat dalam urusan ini.Siapa yang lebih kita percaya bisa membawa Indonesia ke jalur hijau itulah yang seharusnya kita pilih.

sumber: mongabay.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan