KLHK-BPS tanda tangani nota kesepemahaman pengembangan data lingkungan hidup

Jakarta (ANTARA News) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)  dan Badan Pusat Statistik (BPS) menandatangani Nota Kesepahaman
tentang Penyediaan, Pemanfaatan Serta Pengembangan Data dan Informasi Statistik Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk penyediaan, pemanfaatan serta pengembangan data dan informasi statistik lingkungan hidup dan kehutanan yang akurat, konsisten, berkesinambungan dan tepat waktu sebagai unsur penting perumusan kebijakan, strategi, rencana, program, pelaksanaan dan evalausi terkait lingkungan hidup dan kehutanan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan  Siti Nurbaya Bakar dalam acara penandatanganan nota kesepahaman itu di Jakarta, Senin.

Menteri Siti mengharapkan kerja sama pertukaran data dan informasi antara KLHK dan BPS dapat berjalan baik.

“Kerjasama KLHK dan BPS kami rasakan kebutuhannya setelah hampir lima tahun ini melaksanakan berbagai mandat tugas Rencana Kerja Pemerintah dari tahun ke tahun di mana Program Prioritas Nasional dimandatkan kepada KLHK rata-rata per tahun antara 57-79 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Artinya, ada tugas berat KLHK untuk melaksanakan mandat pembangunan nasional bagi masyarakat,” ujarnya.

Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto menuturkan nota kesepahaman itu merupakan lanjutan dari kerja sama dengan KLHK.

“Kerja sama yang sudah terjalin dengan cukup baik tetapi ke depan saya berharap bahwa kerja sama antara BPS dan KLHK akan terus meningkat dan koordinasinya bisa lebih solid lagi,” tuturnya.

BPS secara rutin mengeluarkan data dan publikasi yang terkait hal dengan lingkungan hidup maupun kehutanan.

Secara rutin, BPS merilis publikasi mengenai statistik lingkungan hidup Indonesia.

Kita juga mengabarkan statistik sumber daya laut dan pesisir, indeks perilaku ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan hidup, potensi desa dan indikator tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) .

“Saya sungguh berharap bahwa penandatanganan nota kesepahaman ini akan mendukung tugas KLHK untuk menjaga kualitas lingkungan hidup, menjaga jumlah dan fungsi hutan dan juga merawat keseimbangan ekosistem dan keberadaan sumber daya alam,” tuturnya.

Sebaliknya bagi BPS, penandatanganan nota kesepahaman itu bermanfaat  karena dengan menggunakan berbagai data yang ada di KLHK, diharapkan BPS akan bisa menyusun indikator SDGs terkait dengan pilar lingkungan, penghitungan pertumbuhan ekonomi sub sektor kehutanan.

“Dan satu lagi yang sekarang sedang kita kerjakan adalah penyusunan system of enviromental economical accounting,” ujarnya.*

Sumber: Antara.news.com

Kebakaran Hutan dan Lahan Itu Musuh Bersama, Harus Dicegah!

Tahun 2018, Sumatera Selatan sukses menggelar Asian Games tanpa diganggu kebakaran hutan dan lahan. Pada 2019 ini, mampukah Sumatera Selatan menjaga pesta politik tanpa bencana kekeringan dan kebakaran? Terlebih, sejumlah wilayah gambut di Sumatera ada yang telah terbakar.

Dr. Najib Asmani, Koordinator Tim Restorasi Gambut (TRG) Sumatera Selatan, Minggu (13/1/2019) mengatakan, semangat pencegahan atau pemadaman kebakaran hutan dan lahan harusnya bukan hanya untuk mengamankan suatu event atau takutdikecam dunia internasional. Tetapi, karena suatu kebutuhan untuk pelestarian lingkungan bebas emisi. Kesadaran untuk menjaga Bumi lestari, sehingga dapat menghidupi semua makhluk hidup di masa mendatang.

“Oleh karena itu, penting dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang biasa membuka lahan, reforma agraria pada lahan yang terbengkalai dan berkonflik, penegakkan hukum bagi pembakar lahan, serta membangun klaster kegiatan green industry. Ini dilakukan bertahap dan berkelanjutan hingga semuanya tercapai sempurna,” jelasnya.

Klaster kegiatan green industry ini, misalnya mendorong hadirnya kelompok industri yang efektif dan efisien terhadap sumber daya alam. Kemudian mendorong penggunaan energi bersih terbarukan atau tidak lagi menggunakan energi fosil. “Industri ini menciptakan produk yang hemat bahan baku dan mudah diperbarui. Teknologi yang digunakan juga tidak boros energi,” jelasnya.

Kebakaran hutan dan lahan harus dicegah, bukan dijadikan sebagai bencana tahunan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Musuh bersama

Kol. Inf. Iman Budiman, Danrem 044 Garuda Dempo dalam sebuah tulisannya di harian Sriwijaya Post, menjelaskan enam langkah mencegah kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan. Yang pertama, jadikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebagai musuh bersama.

“Sangat penting mengkampanyekan dan menjadikan opini bersama bahwa karhutla dan kabut asap adalah derita kita bersama. Karhutla bukan hanya dirasakan masyarakat setempat, tidak hanya di titik terjadinya api, tapi juga daerah lain yang mungkin tidak tahu apa-apa. Efek karhutla tak pandang strata dan status, mau pejabat, rakyat biasa, tentara, polisi, siapa pun akan terkena. Karhutla adalah musuh bersama,” tulisnya.

Kedua, memberikan solusi kepada masyarakat terutama dalam pengolahan lahan pertanian. Memperbanyak cadangan tampungan air atau melakukan rekayasa teknologi, harus dilakukan dari sekarang.

Ketiga, membangun pola pikir bersama bahwa karhutla bukan rutinitas tahunan yang harus ditunggu. Arahkanlah sebagian besar program pembangunan untuk peningkatan ekonomi masyarakat yang berefek pencegahan perilaku membakar.

Keempat, peran serta perusahaan dan kalangan swasta di berbagai lokasi harus diperkuat dan dikawal. Pengawalan maksudnya, kegiatan mereka yang bersinggungan dengan gambut harus memiliki jaminan aman kebakaran dan tidak menjadi penyebab kebakaran di tempat lain.

Kelima,sudah cukup banyak pihak yang terlibat dalam mengatasi karhutla, baik unsur pemerintah, masyarakat, LSM, dan bahkan pihak luar negeri. Sangat penting kesamaan gerak dan koordinasi maksimal dilakukan.

Keenam, perlu dukungan pemetaan yang jelas dan terukur terhadap semua lahan yang rentan terbakar dan masyarakat terdampak, baik secara fisik, kesehatan, maupun ekonomi. Terpenting adalah komitmen semua pihak untuk tidak membiarkan lahannya terlantar menjadi santapan api.

Hutan gambut adalah bagian dari kehidupan kita yang harus dikelola secara benar. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang, sepaham dengan pandangan Najib Asmani dan Imam Budiman. “Karhutla jangan dipandang sebagai persoalan sesaat. Ini sudah menjadi persoalan utama bangsa dalam pengelolaan lahan dan hutan. Jadi benar, mengatasi persoalannya bukan karena takut dikecam dunia internasional, tapi karena sebuah kesadaran. Kesadaran menjadikan karhutla musuh bersama,” katanya, Minggu (13/1/2019).

“Sebagai musuh bersama, pemerintah kota dan kabupaten harus bertanggung jawab terhadap persoalan ini. Termasuk pula mendorong seoptimalnya tanggung jawab pelaku usaha. Jangan hanya dibebankan kepada masyarakat yang sebenarnya menjadi korban dari sistem pengelolaan hutan dan lahan yang sejak lama sudah salah,” tandasnya.

 

 

Sumber: Mongabay.co.id

 

Sistem Informasi Tanah Objek Reforma Agraria

Pengukuhan kawasan hutan merupakan bagian proses pemantapan kawasan hutan yang membutukan waktu panjang dalam penyelesaiannya serta melibatkan banyak pihak sehingga menjadi program prioritas Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam setiap Rencana Stategis lima tahunan. Kegiatan pengukuhan kawasan hutan diselenggarakan untuk memberikan kepastian hukum mengenai status, letak, batas, dan luas kawasan hutan saat ini adalah adanya tuntutan akan kepastian kawasan hutan.

Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan berdasarkan Permenhut No. P.18/MenLHK-II/2015 tanggal 14 April 2015 mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanan bimbingan teknis, dan supervisi pelaksaan urusan  di daerah bidang pengukuhan dan penatagunaan kawasan.

Salah satu pondasi dalam pelaksanaan tata kepemerintahan yang baik (good govermance) adalah keterbukaan informasi publik. Peraturan Menteri Kehutanan No P.7/Menhut-II/2011 Tentang Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Kehutanan mengamanatkan pelayanan Informasi publik di lingkup Kementerian Kehutanan bersifat terbuka dan dapat dikases oleh setiap pengguanan informasi, lecuali informasi yang dikecualikan.

 

http://sitora.menlhk.go.id

Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan Baru Terwujud 97 Ribu Hektar. Bagaimana Hutan Adat?

Target luasan perhutanan sosial di Sumatera Selatan berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) hingga tahun 2020 seluas 586.393 hektar. Namun sejak 2010- 2018, baru 97.748,10 hektar yang terwujud. Dari luasan tersebut, berapa banyak masyarakat adat mengelola hutan?

Luasan 97.748,10 hektar itu diperuntukan bagi 14.160 warga di sekitar hutan yang berada di 10 kabupaten dan kota di Sumatera Selatan. Demikian data Pokja PPS (Percepatan Perhutanan Sosial) Sumatera Selatan yang diterima Mongabay Indonesia, 3 Januari 2019.

Akhir November 2018 lalu, Presiden Jokowi secara simbolik menyerahkan SK Perhutanan Sosial kepada 9.476 keluarga di Palembang. Uraiannya, hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 16.258, 32 hektar, dan seluas 4.708 hektar menunggu surat keputusan penetapan. Kemudian hutan desa (HD) seluas 32.961 hektar, serta hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 20.819, 64 dan sekitar 6.566 hektar menunggu surat keputusan penetapan. Terakhir, hutan adat sekitar 336 hektar yang diperuntukan bagi 234 warga dari masyarakat adat.

Luasan hutan adat ini, jika dibandingkan dengan hutan kemitraan yang mencapai 27.373,14 hektar untuk 4.732 warga, sangatlah kecil. Belum lagi hutan kemitraan dikelola setiap warga rata-rata 5,7 hektar, sementara warga yang mengelola hutan adat rata-rata hanya 1,4 hektar.

“Saat ini, kita tengah mengajukan ke Menteri LHK untuk penetapan hutan adat yang baru. Hutan Adat Ghimbe Peramunan di Semende Darat, Kabupaten Muaraenim, seluas 43,7 hektar, menyusul surat keputusan Bupati Muaraenim Nomor 964 Tahun 2018 tentang Hutan Adat Ghimbe Peramunan,” kata Achmad Taufik, Wakil Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Penyelenggaraan Perhutanan Sosial (PPS) Sumatera Selatan, Senin (31/12/2018).

Alam yang indah di pagi hari terpancar di Desa Agusen, Kecamatan Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, tepat di kaki Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Pemerintah tidak serius?

Rustandi Adriansyah, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Sumatera Selatan menyatakan, dengan luasan yang kecil itu membuktikan pemerintah atau penguasa tidak serius mengembalikan hak dan martabat masyarakat adat. “Perhutanan sosial tidak sejalan visinya untuk redistribusi hutan demi kelestarian dan kesejahteraan, penguatan budaya, serta mengatasi persoalan sosial dan konflik,” katanya, Minggu (6/01/2019).

Tepatnya, minimnya luasan lahan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat adat dalam skema perhutanan sosial menunjukkan penguasa masih abai untuk mengakui hak masyarakat adat atas entitas dan wilayahnya. Membiarkan terus terjadi krisis yang dialami masyarakat adat dalam segala aspek kehidupan, yang sebenarnya dijaminm oleh konstitusi.

“Dengan perbandingan angka luasan hutan dalam skema perhutanan sosial tersebut, kami curiga atau terindikasi kuat praktik PPS sebetulnya melegalisasi hak penguasaan hutan oleh korporasi, sindikat bisnis kehutanan di atas wilayah-wilayah masyarakat adat,” katanya.

Berapa luas hutan yang harus diserahkan ke masyarakat adat? “Sumatera Selatan ini terkenal dengan sembilan masyarakat adat. Ini sesuai dengan sembilan anak sungai besar yang bermuara ke Sungai Musi. Artinya, setiap masyarakat adat, seperti Komering, Pasemah, Musi, Rawas, Lakitan, Komering, Semende, Enim, Lakitan, harus ada hutan yang diserahkan kepada masyarakat adatnya. Jadi, minimal satu juta hektar,” katanya.

Rustandi menjelaskan jika AMAN Sumatera Selatan selama dua tahun terakhir sudah mengusulkan perhutanan sosial dalam skema hutan adat seluas 18 ribu hektare ke KLHK. “Semua usulan itu berada di wilayah konflik. Tapi sampai saat ini belum ada langkah konkrit dan kejelasan perkembangannya dari KLHK. Sementara konflik terus terjadi di masyarakat adat terkait hutan,” katanya.

Terkait pendapat tersebut, Achmad Taufik, Minggu (6/01/2019) mengatakan, perhutanan sosial itu merupakan usulan dari masyarakat. Jadi semua skema perhutanan sosial yang sudah ada di Sumatera Selatan merupakan usulan dari masyarakat. “Syarat hutan adat itu dapat dilihat dari dua hal. Jika berada di dalam kawasan hutan perlu dibuat peraturan derah. Jika di luar kawasan hutan konservasi cukup SK Bupati atau Walikota. Yang mengusulkan masyarakat hutan adat tersebut.”

Permukiman warga di sekitar lahan gambut yang selama ini terbakar di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel. Foto: Berlian Pratama

Hutan kemitraan di wilayah gambut

Hampir sebagian besar hutan kemitraan yang berjalan di Sumatera Selatan berada di rawa gambut. Sementara rawa gambut merupakan target pemerintah untuk direstorasi. Kemitraan ini tentunya antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku usaha yang selama ini beraktivitas di rawa gambut.

Skema hutan kemitraan ini berada di Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten OKI, seluas 10 ribu hektar. Kemudian dua desa di Kabupaten Musi Banyuasin yakni Desa Karang Sari di Kecamatan Lalan dan Desa Suka Damai di Kecamatan Tungkal Jaya, serta Desa Rimau Sungsang di Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Skema di luar hutan kemitraan di rawa gambut hanya di Desa Muara Medak, Kabupaten Musi Banyuasin.

“Itu kebetulan, lokasi kemitraan kehutanan sebagian besar di areal gambut konsesi HTI dan areal tertentu KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan). Juga, sebagian besar gambut seperti di Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin,” kata Taufik.

Edwin Martin, dari Balai Litbang LHK Palembang, mengatakan perhutanan sosial di lahan gambut dalam skema kemitraan sudah tepat. “Bagaimana pun lahan gambut ini merupakan kasus khusus, sehingga tanggung jawab penggunaan lahan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengelola kawasan, baik pemegang izin konsesi atau KPH. Kemitraan memungkinkan kesepakatan kerja sama yang menginternalisasi kerja-kerja restorasi ganbut, di dalam rencana pengelolaan areal kemitraan,” katanya.

“Pemanfaatan lahan gambut dalam skema perhutanan sosial butuh kerja dan tanggung jawab kolaboratif. Bukan sekadar penguasaan lahan belaka,” tandasnya.

Sumber: Mongabay.co.id

Forum Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis

Manfaat dan peluang dari peran instrumen ekologis dalam kebijakan transfer keuangan antar level pemerinahan perlu banyak didiskusikan. Penggunaan dana transfer antar level pemerintahan untuk melindungi kawasan hutan, telah diidentifikasi sebagai instrumen positif dan inovatif dalam mendorong pemerintah daerah untuk menjaga dan memperluas area hutannya.

Untuk itu, Forum Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis (TAKE) hadir sebagai ruang interaksi dan konsultasi pemangku kepentingan untuk mendiskusikan peluang dan tantangan penerapan model Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis (TAKE) di Indonesia sebagai bagian dari skema transfer dari  Kabupaten ke Desa. (Muara enim,03/01/19).

Pertemuan tersebut dihadiri oleh BAPPEDA,DPKAD,DPMD dan Dinas Lingkungan Hidup yang berlangsung di ruang rapat hotel Grand Zuri Muara enim Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan pertemuan bersama Bupati Muara Enim Ahmad Yani berlangsung di kantor Bupati Muara Enim setempat.

Pertemuan PINUS  dengan pemerintahan Muara Enim tersebut yaitu  membahas persoalan pengusulan Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologis (TAKE) di Muara Enim yang harus dilakukan Pemerintah Muara Enim sebagai salah satu upaya menjaga lingkungan.

Direktur PINUS Rabin Ibnu Zainal  menyampaikan bahwa skema TAKE ini penting dilaksanakan pemerintah agar dapat menyelamatkan lingkungan dan mencegah terjadinya degradasi serta deforestasi.

Dalam pertemuan tersebut, Rabin Ibnu Zainal menjelaskan TAKE merupakan transfer dana dari pemerintah kabupaten/kota ke Desa berbasis pada kinerja dalam menjaga lingkungan, indikator yang dilihat adalah tutupan hutan dan perubahan tutupan hutan.

Terkait sumber dana TAKE, kata Rabin Ibnu Zainal bisa dimasukkan dalam formulasi pengelolaan dana Kabupaten, Tambahan Dana Bagi Hasil (TDBH) Minyak dan Gas, serta melalui Bantuan Keuangan Kabupaten/kota ke Desa, seperti bantuan hibah dan sosial.

“Dibutuhkan kerjasama antara kabupaten/kota untuk menjaga hutan,” paparnya.

Hal senada juga disampaikan Program Office PINUS Ahmad Muhaimin,  mengatakan sejauh ini Pemerintah daerah tidak mempunyai kekuatan menjaga kerusakan hutan, hal itu disebabkan karena kurangnya anggaran yang diperuntukkan untuk masalah ekologi.

Rabin Ibnu Zainal menegaskan, pengusulan TAKE ini dalam tidak meminta adanya penambahan anggaran, tetapi hanya memasukkan ekologi dalam formulasi pengelolaan dana  dan anggaran lainnya.

“Bukan meminta tambahan anggaran, tetapi mereformulasi, dimasukkan persoalan ekologi,” tandasnya.

Menurut Rabin, jika masalah ekologi ini tidak menjadi perhatian pemerintah Kabupaten maka persoalan lingkungan terus terjadi, sehingga nantinya anggaran Kabupaten Muara Enim sendiri habis untuk memperbaiki kerusakan akibat bencana.

“Kalau tidak dilindungi, anggaran habis untuk membangun kerusakan karena bencana,” tuturnya.

Menanggapi usulan tersebut, Perwakilan dari BAPPEDA Muara Enim menyambut baik inisiatif TAKE ini, mengingat ekologi menjadi masalah yang memang harus mendapatkan perhatian khusus. Karena itu sumber dana ekologi harus dipikirkan bersama.

“Akan kita sampaikan kepada teman-teman untuk membahas ini,” ujarnya.

inisiatif tersebut harus didiskusikan lebih jauh bagaiman pola yang harus dilaksanakan sehingga bisa terlaksana secara benar dan tepat sasaran sehingga hutan di Muara Enim bisa terjaga. Baik dari sisi penganggaran maupun pelaksanaannya.

“Kita harus lakukan FGD, langkah apa yang harus dilakukan untuk memasukkan formulasi ekologi ini,” pungkasnya.

 

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan