Presiden Serahkan SK Perhutanan Sosial 56 Ribu Hektare di Sumsel

Palembang – Setelah wilayah Jawa Barat, kini Presiden Joko Widodo menyerahkan Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial di Taman Wisata Alam (TWA) Punti Kayu, Kota Palembang, Sumatra Selatan, Minggu (25/11).

Penerima SK sebanyak 9.710 kepala keluarga berasal dari 10 kabupaten yakni Muara Enim, Musi Rawas, Pagar Alam, Lahat, Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), OKI Timur, dan Musi Banyuasin, dengan luasan hutan 56.276.

“Hari ini telah diserahkan kepada bapak/ibu semuanya sebanyak 56 ribu hektar (Ha). Hati-hati 56 ribu itu gede sekali, banyak sekali. Di seluruh Indonesia telah diserahkan sebanyak 2,1 juta hektare kepada masyarakat, bukan kepada yang ‘gede-gede’, dan target 12,7 juta hektare akan kita serahkan seterusnya,” tutur Presiden Jokowi.

Pemerintah mengalokasikan distribusi kawasan hutan seluas 12,7 juta ha kepada masyarakat melalui program Perhutanan Sosial. Khusus di 2019, program Perhutanan Sosial akan direncanakan untuk 3,5 sampai dengan 4,3 juta ha. Di wilayah Provinsi Sumatera Selatan sendiri, telah tercatat pencadangan kawasan untuk hutan sosial seluas 333.651 ha.

Presiden juga menyampaikan pentingnya SK sebagai kejelasan hak hukum masyarakat dalam akses kelola lahan selama 35 tahun. Beliau juga mengingatkan para penerima SK untuk berhati-hati dalam menggunakan hak kelolanya, dan senantiasa mengelola lahan dengan produktif.

 

“Pemerintah akan terus membagikan konsesi-konsesi seperti ini kepada para petani, agar lahan-lahan yang ada betul-betuk produktif dimanfaatkan untuk kesejahteraan,” imbuh Presiden.

Turut hadir mendampingi Presiden yakni Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kapolri Tito Karnavian, serta Gubernur Sumatra Selatan Herman Deru.

Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan Perhutanan Sosial merupakan salah satu kegiatan untuk tujuan pemerataan ekonomi. Saat ini realisasi Perhutanan Sosial telah mencapai 2,173 juta ha, dari target 12,7 juta ha.

“Dalam reforma agraria, ada tiga kebijakan utama, yang pertama adalah sertifikasi lahan rakyat, kedua Perhutanan Sosial, dan ketiga, redistribusi lahan, yang pelaksanaannya baru akan mulai Januari tahun depan, dan saat ini sudah diidentifikasi bersama KLHK dan Kementerian ATR untuk langkah-langkahnya,” jelas Darmin.

Darmin juga berharap, melalui Perhutanan Sosial, masyarakat dapat bekerja secara kelompok dan belajar bekerjasama satu sama lain.
“Sebagai upaya penguatan pengembangan usaha dan produktivitas hutan sosial di Sumatera Selatan, akan diberikan bantuan 6 unit motor angkut hasil produk hutan sosial, 4 (empat) unit alat pengupas kopi, dan penyerahan bibit karet untuk tahun tanam 2019,” lanjutnya. (OL-1)

Sumber: MediaIndonesia

Presiden Jokowi akan Serahkan 50 Hektare Hutan Sosial kepada 10.500 KK di Sumatera Selatan

PALEMBANG – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan RI, Siti Nurbaya mengungkapkan pemerintah akan menyerahkan sekitar 50 ribu hektare kawasan hutan sosial bagi 10.500 KK dari 10 kabupaten yang ada di Sumatera Selatan.

Nantinya pengelolaan akses hutan sosial tersebut dapat dikelola oleh masyarakat hingga kurun waktu 35 tahun.

“Rencananya Pak Jokowi akan melakukan kunjungan ke Sumsel karena saya sebagai penanggungjawab teknis bidang kehutanan sosial maka saya cek duluan.”

“Saya masih meyakinkan ke pak Presiden bahwa Sumsel untuk hutan sosial itu bagus karena pada berbagai hal bicara hutan sosial dapat menjawab konflik-konflik teritorial,” jelas Siti Nurbaya di sela kunjungannya guna mengecek kondisi Perhutanan Sosial di Taman Wisata Punti Kayu, Rabu (21/11/2018).

Dijelaskan Siti Nurbaya, sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan sosial pihaknya sudah terlebih dahulu memiliki kajian seperti apa kondisi hutan yang bisa dijadikan kawasan hutan sosial.

“Baik tim di lapangan ataupun pemerintah sudah tahu untuk membedakan mana kawasan hutan dengan tanaman, vegetasi alam, hutan produksi, kawasan hutan konservasi atau bukan konservasi. Kawasan yang bukan termasuk itulah yang kita usulkan ke Presiden agar bisa diberikan akses pengelolaan,” ujarnya.

Sejauh ini dari target target seluas 12,7 juta hektar, sejauh ini kata Siti, baru mencapai 2,2 juta hektar hutan sosial yang sudah diberikan untuk akses kelola kawasan hutan bagi masyarakat.

“Ini tidak mudah sebab fakta dilapangan banyaknya konflik teritorial. Tapi kami masih optimis hingga akhir 2019 bisa mencapai 3,5 juta hektar,” katanya.

Sementara itu, Direktorat Hutan dan Tanaman Rakyat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Abdur Rahman menambahkan 10 kabupaten/kota yang direncanakan menjadi perhutan sosial di antaranya ada di Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), OKU Selatan, Ogan Komering Ilir (OKI), Muaraenim, Lahat, Pagaralam dan Banyuasin.

“Jadi bukan dilepas tapi hanya diberikan akses legal agar masyarakat sah masuk kawasan tersebut. Masyarakat bisa mengelola dan memanfaatkannya semisal menanam pohon dan kemudian memanfaatkan hasil kayu tersebut. Intinya pengelolaannya tetap sesuai kaedah kehutanan,” jelasnya.

Sumber : Sripoku.com

Akankah Ekonomi Hijau Terwujud?

Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) paling mutakhir menyatakan kita hanya punya waktu 12 tahun bila ingin bisa menjaga kenaikan suhu pada maksimal 1,5 derajat Celsius di tahun 2100.Kalau di tahun 2030 kita tak bisa memotong emisi sebesar yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan itu, umat manusia bakal kesulitan untuk bisa membuat kondisi kehidupan yang baik.Pilihan yang tadinya dianggap cukup baik, yaitu kenaikan 2 derajat Celsius, kini diketahui lebih buruk daripada yang kita sangka sebelumnya.

Padahal, kita kini hidup dalam cara yang trajektorinya mengarah pada kenaikan 3,2 derajat Celsius—jauh sekali di atas pilihan terbaik.Kondisi ini menjanjikan katastropik bagi peradaban manusia.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita semua akan membuat perubahan sedrastis dan secepat yang dibutuhkan untuk bisa menghindari kondisi yang sangat buruk untuk anak-cucu kita?Ataukah, seperti yang ‘diramalkan’ oleh sastrawan besar Kurt Vonnegut, kita cuma bakal menulis di batu nisan Bumi yang mati :‘We could have saved the Earth, but we were too damned cheap.’

Tentu, kondisi sebaliknyalah yang mungkin terjadi.Bumi akan melihat umat manusia mengalami kesengsaraan luar biasa akibat perbuatannya sendiri.Kecuali, kalau kemudian umat manusia memang melakukan pertobatan yang dibutuhkan.Dan, untuk bisa melakukan pertobatan yang dibutuhkan itu, kita semua perlu mengecek apa saja dosa-dosa yang sudah kita buat, dan bagaimana dosa-dosa itu bisa ditebus.

 

LaporanBrown to Green 2018 dari Climate Transparencyyang diluncurkan pada tanggal 21 November 2018 di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, menyediakan alat pengecekan ‘dosa-dosa’ kolektif kita.Betapa tidak menyenangkan, bahkan menakutkan, membaca laporan tersebut.Tetapi, itu harus dilakukan, agar kita semua bisa melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan generasi sekarang, dan terutama generasi mendatang.

Kalau laporan IPCC menyatakan bahwa seluruh dunia perlu memotong sekitar 40% emisi di tahun 2030, penurunan yang disarankan oleh laporanBrown to Green 2018 lebih dalam lagi, yaitu 50%.Tentu, lantaran objek dan sasaran laporan ini adalah negara-negara G20 yang emisinya lebih besar, dan secara ekonomi lebih kaya, maka tuntutan tersebut sangat masuk akal.

Sayangnya, laporan itu menegaskan bahwa negara-negara G20 masih jauh dari sasaran tersebut.DokumenNationally Determined Contributions(NDCs) yang disetorkan negara-negara itu tidak menggambarkan kesadaran atas kontribusi yang adil ataufair share.Yang paling parah, kalau NDC seluruh negara itu mengikuti ‘komitmen’ Rusia, Saudi Arabia dan Turki, maka atmosfer Bumi akan memanas lebih dari 4 derajat Celsius.

 

Bagaimana dengan NDC Indonesia?Laporan itu menegaskan bahwa—bersama-sama dengan Tiongkok, Uni Eropa, Jepang, Rusia, dan Arab Saudi—kita akan bisa mencapai target NDC bila emisi dari pemanfaatan lahan dan hutan (LULUCF) tidak diperhitungkan.Mengapa?Karena kita mematok ambisi yang kelewat rendah.

Status NDC Indonesia sendiri menurut Climate Action Tracker memanghighly insufficientdi tahun 2018 ini, turun status satu tingkat dariinsufficientdi tahun 2017.Dengan status tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang turut berencana menaikkan suhu atmosfer lebih dari 3 derajat Celsius. Sebuah status yang memalukan.

Biang kerok dari kondisi emisi negara-negara G20 ini adalah pemanfaatan sumber-sumber energi fosil yang kelewat tinggi dan belum cukup diturunkan setelah peringatan soal ini datang bertahun-tahun lampau.Laporan ini menyatakan bahwa 82% kebutuhan energi G20 memang dipasok dari energi fosil.Pengukuran di tahun 2017 menunjukkan bahwa di 15 dari anggota G20, emisi dari energi meningkat lagi, setelah sebelumnya oleh berbagai laporan diperkirakan sudah memuncak.

Ternyata kita masih lapar dan haus energi fosil.Batubara terus kita ‘kunyah’, dan minyak terus kita ‘minum’ dalam proporsi yang semakin besar—kecuali di Inggris, Tiongkok, dan Prancis.

 

Apa sektor yang paling perlu diubah?Pembangkitan listrik dan transportasi.Demikian yang ditegaskan dalam laporan ini.Tetapi apa yang terjadi dengan kedua sektor?Saking kurangnya negara-negara G20 bertindak dalam urusan ini, status yang diberikan adalahlaggardalias tertinggal.

Afrika Selatan, Australia dan Indonesia adalah negara-negara paling payah dalam urusan emisi dari pembangkitan listrik, lantaran masih kelewat doyan batubara.Amerika Serikat, Kanada dan Australia adalah yang paling banyak membuang emisi dari transportasinya.

Kalau kemudian sektor-sektor lainnya dilihat, maka hasilnya juga tak menggembirakan.Dalam sektor industri, satu-satunya anggota G20 yang dipandang punya kebijakan memadai adalah Uni Eropa.Tiga yang paling ketinggalan adalah Afrika Selatan, Tiongkok dan Rusia.Mereka bertiga memiliki emisi dari sektor ini yang paling tinggi intensitasnya—sementara kebijakannya tampak tak berniat menurunkan intensitas itu.

Soal sektor bangunan juga cuma Uni Eropa yang kompatibel dengan tujuan 1,5 derajat Celsius.Kanada, Jerman, dan Amerika Serikat emisinya paling tinggi.Terakhir, dari sektor kehutanan, ‘juara’ dengan emisi tertinggi adalah Indonesia, Argentina, dan Brazil.Kebijakan dan tindakan dari ketiga negara tersebut dipandang memprihatinkan.

Katrok’-nya, sudah demikian buruk situasinya, negara-negara G20 masih saja memberi subsidi gila-gilaan untuk bahan bakar fosil yang dikonsumsi.Hitung-hitungan laporan ini mengungkapkan bahwa di tahun 2016, anggota G20 secara kolektif menuangkan USD147 miliar untuk subsidi batubara, minyak dan gas.Cuma Kanada dan Prancis yang menghasilkan pendapatan dari pajak karbon yang lebih besar daripada subsidi bahan bakar fosilnya.Yang paling banyak memberi subsidi? Arab Saudi, Italia, dan Australia.

 

Memang sudah ada beberapa negara yang kini mengembangkan kebijakan pengungkapan pembiayaan terkait dengan perubahan iklim, di mana subsidi atas bahan bakar fosil bisa menjadi lebih terkendali.Kebijakan yang paling maju misalnya ditunjukkan oleh Pranis, Uni Eropa dan Jepang.

Tetapi, sebagaimana yang beberapa waktu lalu diungkap oleh laporan dari Rainforest Action Network (RAN) dan Profundo, bank-bank dari Jepang tampak masih sangat getol membiayai pembangkit listrik tenaga batubara.Jadi, pengungkapan itu tidak menjamin bahwa kemudian tindakannya akan sesuai dengan tujuan kebijakan pengungkapan.Bank-bank dari Jepang tampakcueksaja, meneruskan pembiayaan terhadap projek-projek yang membahayakan Bumi.

Komitmen Indonesia

Walaupun begitu, laporan ini juga menunjukkan bahwa ada beberapa negara anggota G20 yang mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan terkait transisi yang adil dari energi fosil.Kanada, Tiongkok, Prancis dan Indonesia adalah di antara negara-negara yang disebut mulai menunjukkan kebijakan dan tindakan yang demikian.Ketika negara yang disebut pertama itu sudah memiliki kebijakan dan anggaran yang secara khusus ditujukan untuk mendukung pekerja dan daerah yang terkena dampak dari transisi meninggalkan batubara.

Indonesia, kita tahu, punya sejumlah pemikiran awal soal pembiayaan ekonomi hijau secara menyeluruh, dengan instrumen ekonomi lingkungan hidup, juga upaya ‘menghijaukan’ Rencana Pembangunan Jangka Manengah 2020-2024, selain membuat skenario pembangunan rendah karbon hingga tahun 2045.

 

Secara umum ruang perbaikan untuk Indonesia yang paling menonjol adalah pada sektor energi dan kehutanan.Intensitas emisi dari pembangkitan listrik kita adalah salah satu yang tertinggi di antara negara-negara G20.Di sektor kehutanan, ketika banyak negara anggota G20 sudah menunjukkan peningkatan tutupan hutan dibandingkan kondisi tahun 1990, kita ternyata masih kehilangan 23%.Di sektor transportasi dan bangunan, walaupun emisi kita tergolong rendah, namun ada kecenderungan meningkat, sehingga perlu diwaspadai.

LaporanBrown to Green 2018,yang di Indonesia diluncurkan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), ini adalahdashboardyang sangat penting bagi pembangunan Indonesia, di samping berbagai laporan lain yang diproduksi di dalam maupun luar negeri.Sebetulnya semua laporan memberi pesan yang konsisten, yaitu soal ruang perbaikan yang perlu kita isi demi masa depan yang lebih baik.Pesan lainnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa kita masih punya waktu untuk memilih menjadi lebih baik.Pembangunan berkelanjutan, dengan rendah karbon sebagai salah satu kunci pentingnya, adalah satu-satunya yang masuk akal bagi kita semua.

Kalau baru-baru ini Bappenas mengeluarkan laporan bahwa skenario pembangunan rendah karbon sesungguhnya membawa Indonesia kepada tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak perlu ada lagi keraguan untuk mengambil jalur hijau itu.Sebaliknya, semakin lama berada di jalur coklat yang selama ini kita tempuh, semakin membahayakan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi Indonesia.Jadi mengapa tidak mengambil jalur hijau secepat mungkin?

Pesan ini tampaknya sangat perlu dipahami oleh siapapun yang akan memimpin Indonesia di tahun 2019 nanti.Demikian pula, kita yang hendak memilih pemimpin Indonesia, hendaknya menimbang kapasitas dan rekam jejak kandidat dalam urusan ini.Siapa yang lebih kita percaya bisa membawa Indonesia ke jalur hijau itulah yang seharusnya kita pilih.

sumber: mongabay.co.id

Workshop e-RPJMD

Palembang – Palembang, 19 Oktober 2018 Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, Jumat 19 Oktober 2018 mengadakan workshop e-RPJMD yang berlangsung di Ruang Rapat Dapunta Hyang Bappeda Provinsi Sumatera Selatan pada pukul 09.00 WIB.

Acara ini berlangsung 2 sesi dan dilanjutkan siang pembahasan bersama Perangkat Daerah Lingkungan Provinsi Sumatera Selatan. Rapat tersebut dibuka oleh Kepala Bidang Pengendalian, Evaluasi dan Perencanaan Strategis Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, M. Adhie Martadhiwira, S.Sos., M.Pol. Admin dan kemudian dilanjutkan oleh Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Selatan, DR. Ekowati Retnaningsih, SKM., M.Kes.

Pertemuan ini juga di Narasumberi oleh Iwan Kurniawan selaku Kasubbid Partisipasi Masyarakat dan Informasi Pembangunan Daerah dilanjutkan tampilan demo oleh ikhsan. Diikuti oleh Seluruh Staf Bappeda Provinsi Sumatera Selatan kemudian dilanjutkan pembahasan bersama Perangkat Daerah Provinsi Sumatera Selatan pada siang pukul 14.00 sampai dengan selesai.

Adapun paparan yang dibawakan oleh Iwan Kurniawan dalam kesempatannya yaitu; Ada dua penjelasan , yang pertama penjelasan yang terkait dengan kebijakan tusi kami untuk melakukan penerapan eplanning ini kemudian berdasarkan hukum dan apa itu eplanning dan bagaimana kondisi-kondisi daerah, Kedua kita melihat secara teknis terkait dengan kesiapan kita terhadap aplikasi eplanning nya itu sendiri, namun mngkin ada keterbatasan mulainya setelah ToT kita test dari proses kesiapan sampai penetapannya, Mengidentidikasi beberapa aplikasi yang telah dibangun di beberapa kabupaten, Isu strategis, tujuan dan sasaran, strategi program dan kegiatan dalam perencanaan pembangunan daerah harus disusun berbasis data dan informasi yang akurat dan tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, Bagaimana data dan informasi yang dikelola dipersiapkan dengan baik.

Rencana pembangunan daerah disamakan dengan data dan informasi pada uu no 23 permendagri 86 terkait dengan tata cara penyusunan pembangunan daerah. Pembangunan Perencanaan Daerah mencakup : 1. Kondisi geografis daerah, demografi, potensi sumber daya daerah, ekonomi dan keuangan kemudian aspek pelayanan umum dan daya saing daerah. Pembangunan umum pembangunan daerah dalam perpres 11/2015. Pengelolaan informasi pembangunan daerah dan partisipasi masyarakat merupakan salah satu komponen utama dalam tugas dan fungsi ditjen bina pembangunan daerah.

Eplanning ditjen bina pembangunan daerah bertujuan untuk membantu Pemda dalam menyusun dokumen perencanaan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. Bappeda selaku coordinator penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah berperan sebagai administrator ePlanning. Penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah  melalui e-planning berdasarkan data dan informasi daerah yang bersumber dari e-Database. Dalam hal tidak terdapatnya data sebagai dasar penyusunan rencana pembangunan daerah pada e-Database, pemerintah daerah dapat menggunakan data dan informasi diluar e-Database. Penggunaan data dan informasi diluar e-Database wajib mencantumkan sumber data.

 

Sumber: Bappeda.sumselprov.go.id

Pertengahan November 2018, PNBP Minerba Capai Rp 41 Triliun

Purwokerto, TAMBANG – Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari subsektor mineral dan batubara (Minerba) hingga pertengahan November 2018 mencapai angka Rp41,02 triliun. Raihan ini melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar Rp32,1 triliun.

“Kira-kira sampai akhir tahun, dari minerba diproyeksikan PNBP kurang lebih sebesar Rp 43 triliun, dari target Rp 32,1 triliun. Kalau untuk tahun depan proyeksinya (masih) Rp 32,1 triliun, tapi nanti kita lihat perkembangannya,” papar Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono saat menjadi Keynote Speaker pada acara ESDM Goes to Campus di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dalam keterangan resminya, Kamis (15/11).

Bambang menambahkan, komposisi penerimaan minerba 2018 berasal dari royalti, penjualan hasil tambang serta iuran tetap. Besarannya untuk royalti mencapai sekitar Rp24,5 triliun, penjualan hasil tambang sekitar Rp16 triliun serta iuran tetap sekitar Rp0,5 triliun.

“Intinya penerimaan negara pasti lebih baik. Pendapatan terbesar di minerba itu batubara. Batubara selain royalti ada pendapatan hasil tambang besarnya 13,5 persen dari komposisi penerimaan minerba,” lanjut Bambang.

Lebih lanjut Bambang menjelaskan, faktor-faktor yang dapat meningkatkan penerimaan negara tersebut diantaranya, harga komoditi yang fluktuatif, produksi minerba yang semakin bagus, juga peran aktif perusahaan-perusahaan dalam melakukan kegiatan yang semakin baik.

“Faktor pertama adalah harga komoditi fluktuatif dan kebetulan seasonnya bagus, kedua produksi batubara mineral juga makin bagus, artinya tercapai, ketiga perusahaan-perusahaan dalam melakukan kegiatan makin baik, dengan standar SOP akan lebih baik dan menghasilkan sesuatu yang positif, kegiatannya lancar berarti produksi tercapai, harga bagus berarti kan tinggal mengalikan saja kan proyeksinya bagaimana,” jelas Bambang.

Apabila ditelisik ke tahun-tahun sebelumnya, komposisi PNBP minerba dari tahun ke tahun terus menunjukan peningkatan. Di akhir tahun 2017 berada pada angka Rp40,6 triliun, Sedangkan untuk tahun 2016 hanya mencapai Rp27,2 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp29,6 triliun.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM terus berusaha sekuat tenaga mengawal kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara (minerba) di Indonesia agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sehingga seluruh rakyat Indonesia mendapatkan energi berkeadilan,” tandas Bambang.

Sumber: Tambang.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan