Tak Taruh Devisa di Indonesia, Ekspor Perusahaan Tambang Akan Dicabut

Perusahaan tambang wajib mengembalikan devisa hasil ekspor melalui rekening perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri.

 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan mewajibkan seluruh pelaku industri mineral dan batu bara (minerba) mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam negeri. Bahkan, ada sanksi bagi industri yang tidak melaksanakan kebijakan itu.

Kebijakan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1952 /84/MEM/2018 tentang Penggunaan Perbankan di Dalam Negeri atau Cabang Perbankan Indonesia di Luar Negeri untuk Penjualan Mineral dan Batu Bara ke Luar Negeri. Keputusan ini berlaku sejak 5 September 2018.

Ada enam kriteria yang wajib melakukan kebijakan itu. Mereka adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian, dan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

Mereka wajib menggunakan cara pembayaran Letter of Credit dan mengembalikan sepenuhnya ke dalam negeri hasil penjualan mineral dan batubara ke luar negeri melalui rekening perbankan dalam negeri atau cabang perbankan Indonesia di luar negeri. “Spirit-nya harus masuk rekening bank devisa nasional itu saja,” kata Direktur Jendral Minerba, Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono, di Jakarta, Jumat (7/9).

Nantinya, Direktur Jenderal Minerba akan melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan kewajiban tersebut. Jika, kewajiban itu dilakukan, Direktur Jenderal Minerba dapat mencabut rekomendasi persetujuan ekspor mineral, dan eksportir terdaftar batu bara ke pelaku industri tambang, selain pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada tahun berikutnya juga akan dilakukan penyesuaian. Penyesuaian dilakukan jika setelah izin ekspor itu dicabut, tapi mereka tetap tak melakukan kewajiban tersebut.

Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan ini akan mendapatkan sanksi yang berbeda. Sanksi itu yakni peringatan atau teguran tertulis dan penghentian sementara kegiatan usaha.

Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah mengatakan pengembalian hasil ekspor itu guna meningkatkan devisa. Ujungnya bisa memperkuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. “Hasil ekspornya 100 persen kembali ke indonesia, boleh dalam bentuk US$ atau bisa ditempatkan di bank-bank BUMN dalam negeri,” kata dia, di Jakarta Selasa (4/9).

Reporter: Fariha Sulmaihati

Copyright: katadata.co.id

Stop Tambang Ilegal Gunung Botak Tak Bisa Sekadar Bongkar Tenda Penambang

Awal September 2018, aparat gabungan TNI/ Polri, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Lingkungan Hidup Buru, pemerintah daerah, dan sejumlah organisasi kemasyarakatan, melakukan pembersihan dan penertiban ribuan penambang ilegal tambang Gunung Botak atau biasa disebut Gunung Emas, di Kabupaten Buru, Maluku. Ratusan tenda milik penambang yang berjejer di kawasan itu dibongkar dan dibakar.

Saat pembersihan, tak ada perlawanan dari para penambang. Mereka telah mengosongkan tenda-tenda lebih awal sebelum penertiban, hanya tampak beberapa orang membersihkan tenda mereka.

AKBP M Roem Ohoirat, Kabid Humas Polda Maluku, mengatakan, 300 personil aparat gabungan dipimpin Kapolres Pulau Buru, Dandim 1506 Namlea dan Asisten Kanor Bupati, turun penyisiran menurunkan para penambang ilegal dari gunung itu. Sebelumnya, tim sudah sosialisasi agar penambang mengosongkan Gunung Emas dari penambangan.

“Kamis pagi, aparat sudah menyisir penambang. Namun lokasi emas sudah lebih awal ditinggalkan, hanya beberapa orang sedang membereskan barangnya. Mereka juga sudah diturunkan aparat,” kata Ohoirat.

Sebelum penertiban, katanya, ada sosialisasi dan pembagian selebaran kepada sekitar 7.000-an penambang ilegal.

Data himpunan Mongabay, ribuan penambang beroperasi di Gunung Emas. Mereka menggunakan bahan kimia berbahaya seperti sianida dan merkuri. Jika sebelumnya dengan wajan, nyiru dan berbagai alat manual lain untuk menambang emas, kini sudah dengan cara moderen seperti rendaman dan penggunaan sistem pengolahan tong. Rendaman dan tong inilah yang menyebabkan merkuri dan sianida marak dijual di Gunung Emas.

 

Temuan ratusan kaleng sianida dan ratusan sak jin chan diduga mengandung B3. Zat kimia berbahaya ini ditemukan di rumah warga, di Unit 18, Desa Dobowae, Kecamatan Wailata Buru, Maluku. Foto : Rustam Soamole untuk Mongabay Indonesia

Tangkap cukong

Umar Nurlatu, Ketua Lembaga Adat Bersatu Petuanan Kaiely, Pulau Buru, mengapresiasi upaya aparat tim gabungan tetapi, belum berdampak signifikan selama aparat tak menahan pelaku usaha atau cukong sianida di Pulau Buru. Pasalnya, kata Umar, merekalah pelaku kehajatan lingkungan di wilayah itu.

 

Aparat, katanya, jangan hanya menyisir tetapi harus menangkap para cukong sianida dan merkuri yang leluasa menjual serta bertransaksi di Gunung Emas. Kalau penyisiran, katanya, sudah berkali-kali, namun penambangan ilegal tetap berjalan.

“Saya yakin setelah ini para penambang akan beraksi lagi. Apa yang kita lihat selama ini sangat jelas, berkali-kali aparat menyisir Gunung Emas namun penambang masih saja beraktivitas,” katanya.

Dia mendesak, aparat menangkap para pihak yang selama ini sering melegalkan penambangan di gunung itu. Dia bilang, yang berhak melegalkan hanya tokoh adat atau pemilik lahan sah.

 

Hatta, tokoh adat lain juga menyampaikan hal serupa. Aparat, katanya, sepantasnya mengawal ketat semua pintu-pintu masuk yang berpotensi transaksi merkuri dan sianida. Dengan langkah itu, upaya meminimalisir zat-zat kimia berbahaya masuk ke Pulau Buru berjalan epektif.

“Saya kira ini solusi harus dibijaki aparat dan pemerintah. Pemerintah juga harus proses tuntas pihak-pihak yang sudah merusak lingkungan di Buru,” katanya.

Setelah penertiban aparat dan pemerintah, kata Hatta, masyarakat adat akan membangun pos-pos jaga untuk mengawasi para penambang yang naik di Gunung Emas .

Langkah ini, katanya, samata-mata demi mengawal intruksi Presiden RI Joko Widodo pada 2015, menutup tambang emas di Pulau Buru. Jokowi mengintruksikan, pemerintah daerah menutup lokasi pertambangan karena terjadi pencemaran lingkungan luar biasa dampak penggunaan merkuri dan sianida.

Aparat gabungan mulai penyisiran dan penertiban di Gunung Emas. Foto : Humas Polda

 

Sita zat kimia berbahaya

Meski pemerintah terus berupaya menghentikan peredaran merkuri dan sianida di Gunung Emas, penggunaan zat kimia berbahaya itu masih saja marak. Pada, Minggu (19/8/18), aparat temukan dua rumah warga di Unit 18, Desa Dobowae, Kecamatan Wailata, dipakai sebagai gudang penyimpan ratusan kaleng sianida dan bahan kimia berbahaya.

Sebanyak 440 sak merek Jin Chan diduga mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dan 171 sianida dikemas dalam kaleng berukuran 30 liter. Berbagai jenis zat kimia berbahaya ini siap edar ilegal ke lokasi tambang Gunung Emas untuk kebutuhan pengolahan emas.

Data himpunan Mongabay, Sabtu (25/8/18), sianida dan jin chan ditemukan di rumah Sukardi dan Saharudin. Zat kimia ini diduga milik Monding, salah satu pengusaha sianida di yang konon tinggal di luar Pulau Buru. Dalam operasi itu, 110 sak jin chan dan 51 kaleng sianida diamankan di rumah Sukardi. Sebanyak 330 sak jin chan dan 120 kaleng sianida ditemukan di rumah Saharudin.

Ratusan kaleng sianida belum jelas siapa pemesan. Sedangkan 300 sak jin chan, merupakan orderan salah satu dari tiga perusahaan yang mendapat izin operasi di lokasi Gunung Emas.

AKBP Adityanto Budi Satrio, Kapolres Pulau Buru, mengaku ada penangkapan sejumlah bahan kimia berbahaya, namun tidak menjelaskan detil proses penangkapan. “Iya benar pak,” jawab Satrio singkat kepada Mongabay.

Dikutip dari Kabar Timur, media online lokal di Maluku, Budi bicara soal penangkapan itu. Dia mengaku sianida yang diamankan hanya 171 kaleng dan karbon ada puluhan karung.

“Kami masih melakukan penyelidikan. Jin chan ditemukan 300 sak, sianida 171 kaleng. Karung warna putih diduga karbon, saya lupa datanya. Ada puluhan,” katanya.

Sianida dan karbon terungkap pada 19 Agustus lalu, diamankan lebih awal Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Ratusan kaleng sianida berwarna abu-abu dan karung putih berisi karbon, katanya, langsung diserahkan kepada Polsek Waelata.

“Kita masih teliti, selidiki asal usulnya, keabsahan. Pemilik masih kita telusuri dulu.”

Rustam Soamole, Koordinator Lembaga Parlemen Jalanan mengatakan, merkuri dan sianida bak bisnis bebas di Gunung Emas. Upaya pemerintah menghentikan itu, katanya, masih terkendala lantaran belum mengungkap pelaku usaha itu.

“Kita juga sering audensi dengan pemerintah, DPRD, Ombudsman maupun aparat TNI/ Polri untuk menghentikan proses penambangan llegal di Gunung Emas. Kami juga sudah lapor ke pemerintah dan aparat di Jakarta,” kata pegiat lingkungan ini.

Baru-baru ini, katanya, ratusan warga adat Buru hendak menyisir para penambang ilegal di Gunung Emas. Sayangnya, upaya itu dihentikan aparat kepolisian dengan alasan keamanan. Kala itu, nyaris bentrok antara penduduk adat dan aparat kepolisian, di Desa Dava.

Mereka menilai, aparat tak bertindak tegas dalam penertiban terhadap para penambang ilegal yang hingga kini masih terus menambang. Padahal, kerusakan lingkungan dan jatuh korban sudah nyata.

“Baru-baru ini sapi kembali ditemukan mati. Juga terjadi penambang tertimbun longsor hingga meninggal, merkuri sianida tetap merajalela. Pemerintah seakan tutup mata,” katanya.

Teror merkuri dan sianida, katanya, sangat mengancam kehidupan masyarakat di Buru. Bahkan, para peneliti dari sejumlah universitas ternama di Maluku, banyak mengungkap berbagai hasil penelitian mereka. Pulau Buru, katanya, sudah masuk zona darurat lingkungan.

“Harus ada perhatian serius.”

 

 

Biota laut terkontaminasi

Yustinus Male, peneliti logam, keracunan logam dan lingkungan dari Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon mengatakan, pemerintah harus bertindak cepat mengantisipasi dampak penggunaan zat kimia berbahaya di Pulau Buru.

Setelah penelitian pada 2014, dia sudah menyampaikan kepada Ombudsman Perwakilan Maluku, agar pemerintah peka dan segera bertindak. Dia melihat, terkesan ada proses pembiaran di Pulau Buru.

Racun merkuri, katanya, sudah menyebar masuk ke laut dan mencemari lingkungan.

“Saya bilang ke Ombudsman, harusnya pemerintah peka. Ada pembiaran dengan alasan ekonomi. Mungkin masyarakat awam, bertarung hidup di tambang emas adalah soal ekonomi, tetapi bagi orang besar, tidak. Ini menyangkut uang miliaran rupiah, bukan lagi sepiring nasi. Keserakahan membawa bencana besar,” katanya.

Dosen Fakultas MIPA Unpatti ini tak membayangkan ikan-ikan yang masuk ke perut warga. “Setiap hari kita makan ikan, bahkan tiga kali sehari. Pemerintah harus menghentikan distribusi sianida dan merkuri di Gunung Botak. Masyarakat akan terkontaminasi,” katanya.

Sianida, kata Yustinus, jangka waktu lama memang tidak berbahaya bagi lingkungan, namun mematikan dalam jangka waktu pendek. Dua bahan kimia paling mematikan yakni sianida dan karbon monoksida.

“Karbon monoksida itu seperti knalpot yang kurang oksigen. Kalau orang masukkan genset dalam ruangan tertutup dipastikan semua akan mati. Seperti merokok dalam ruang ber-AC, itu juga sangat berbahaya. Jadi dua senyawa itu yang bisa membunuh oksigen kita.”

Penelitian dia sudah kali ketiga. Dari penelitian 2014, dengan sampel diuji pada laboratorium di Australia, memperlihatkan, berbagai biota laut di Teluk Kaiely sudah tercemar merkuri dengan tingkat konsentrat atau kadar pencemaran lebih 3%.

Hasil uji itu, katanya, tak terbantahkan karena merupakan laboratorium terbaik kedua di dunia. Meski kadar pencemaran masih tergolong kecil, kata Yustinus, biota laut di Teluk Kaiely, sudah tercemar.

Untuk itu, perlu langkah kongkrit pemerintah menghentikan suplai merkuri dan sianida ke Gunung Botak.

“Sesuai hasil penelitian 2014 atas perintah Presiden Joko Widodo, lokasi Gunung Botak ditutup. Namun kini penambangan dengan merkuri dan sianida kembali marak,” katanya seraya bilang, akan meneliti kembali terkait pencemaran merkuri dan sianida.

 

 

Keterangan foto utama: Aparat gabungan gelar penyisiran di lokasi Gunung Emas Pulau Buru, Maluku. Ratusan tenda milik penambang ilegal dibakar dan dibongkar. Foto: Humas Polda

emuan ratusan kaleng sianida dan ratusan sak jin chan diduga mengandung B3. Foto: Rustam Soamole untuk Mongabay Indonesia

Copyright: Mongabay.co.id

Finalisasi Berkas Usulan Kemitraan Kehutanan Desa Gunung Tiga – Ogan Komering Ulu

Pinus Sumsel – Bertempat di Desa Gunung Tiga Kabupaten Ogan Komering Ulu, berlangsung Pertemuan kampung yang dihadiri oleh ketua dan anggota Kelompok Tani Gemupuakh, Kepala Desa Gunung Tiga, perwakilan UPTD KPH Wilayah VI Bukit Nanti-Martapura. Pertemuan tersebut bertujuan  untuk membahas sekaligus melengkapi berkas usulan  kemitraan kehutanan antara KTH Gemupuakh dan KPH wilayah VI Bukit Nanti-Martapura. Kemitraan Kehutanan berupa jasa lingkungan melalui ekowisata air panas gemuhak dan air terjun puak dan HHBK ini diharapkan dapat memberikan manfaat lebih kepada masyarakat gunung tiga khususnya anggota kelompok tani baik secara ekonomi maupun kesadaran dalam pelestarian hutan.

Kepala Desa Gunung Tiga  Dadang Wijaya mengatakan Dengan adanya peetemuan ini diharapkan dapat mensinergiskan dengan instansi terkait khususnya dengan KPH wilayah VI Bukit nanti Martapura  Kabupaten Ogan Komering Ulu untuk membangun suatu kerjasama yang bermanfaat untuk  masyarakat. “Keikutsertaan masyarakat Gunung Tiga dalam program Pengusulan Perhutanan Sosial Skema Hutan Kemitraan  ini akan menjadikan nilai plus bagi Desa Gunung Tiga Khususnya dalam pengembangan jasa lingkungan. Semoga dengan pertemuan ini akan mendapatkan hasil yang baik dan dapat mengembangkan potensi yang ada di Desa Gunung Tiga, ujarnya.

Sementara itu PINUS sumsel yang memfasilitasi Pengusulan tersebut memberikan pemahaman kepada Anggota KTH Gemupuakh mengenai rencana pengalihfungsian KHL menjadi Kemitraan. Pemahaman yang dimaksud, agar masyarakat terus menjaga sisa hutan dan sumber mata air yang selama ini memenuhi kebutuhan air bersih sejumlah daerah di Desa Gunung Tiga

“Selain itu, agar masyarakat tidak lagi membuka lahan pertanian maupun perkebunan yang masuk ke area hutan kemitraan. Namun inti dari pemahaman yang kami berikan adalah, Kemitraan Kehutanan  yang dikelola memiliki nilai jual atau ekonomis,” .

“Dapat dikelola dan dimanfaatkan dalam hal ini, yakni Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Jadi, yang dapat dimanfaatkan seperti madu, rotan dan potensi ekowisata yang ada di KTH tersebut,”.

KTH Gemupuakh  akan dikelola bersama KPH Bukit nanti, Di mana seluruh anggota KTH fokus menjaga kelestarian dan dapat memanfaatkan sejumlah potensi HHBK bersama masyarakat. Sedangkan pengelola jasa lingkungan nantinya dikelola olah seluruh masyarakat yang terkait untuk dikelola.

“Intinya, KTH maupun seluruh masyarakat yang berkecimpung di dalamnya, saling menjaga dan bersinergi membangun perekonomian di sini. Karena ini kekayaan alam kita. Jadi, tidak hanya memanfaatkannya, namun juga menjaga kelestariannya agar tetap ada,” pungkasnya.

Tujuan dilakukan pertemuan  ini selain untuk memperkaya wawasan para anggota terkait dengan pola pengembangan jasa lingkungan dan wisata alam yang ada, juga diharapkan bisa menambah pemahaman peserta dalam mengelola objek wisata di Desa Gunung Tiga, khususnya wisata.

 

Namun juga potensi lain berupa buah-buahan yang memungkinkan ditanam di kawasan hutan. “Adapun pelaksanaanya nanti dilakukan bersama dengan Kelompok Tani Hutan,” ujarnya. Selain itu, potensi wisata alam di kawasan hutan  juga akan dikembangkan.

Di wilayah KPH Bukit Nanti Martapura  ada potensi wisata air terjun, dan air panas serta sungai  sipanas dengan jati alamnya.

Dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian pesat, pengelola wisata alam juga bisa memanfaatkan teknologi tersebut untuk promosi. “Agar semua orang tahu di Desa Gunung Tiga ada wisata alam yang bagus.

Ini Daftar Lokasi Tambang Emas hingga Timah Ilegal di RI

Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melakukan pendataan kegiatan penambangan ilegal atau tak berizin. Lokasi kegiatan tambang ilegal tersebut tersebar di beberapa wilayah di Indonesia.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, pertambangan tak berizin dibedakan menjadi dua yakni pada wilayah berizin dan tidak berizin. Pada wilayah berizin, yakni kegiatan pertambangan tidak direncanakan atau tidak masuk dalam persetujuan rencana kegiatan anggaran biaya (RKAB) oleh pemegang izin usaha pertambangan (IUP) pada wilayah izinnya.

Sementara, pada wilayah tak berizin yakni, kegiatan pertambangan oleh pemegang IUP pada wilayah yang belum dikeluarkan izinnya.

“Memang tadi kita sampaikan tidak punya izin tapi beroperasi wilayah izin, ataupun wilayah non-izin,” kata Direktur Jenderal Mineral Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono di Komisi VII DPR RI, Jakarta, Senin (10/9/2018).

Lebih lanjut, untuk kegiatan pertambangan tanpa izin di luar wilayah kontrak karya atau yang berizin berada di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Maluku Utara, dan Papua untuk komoditas emas.

Kemudian, untuk komoditas timah di Bangka Belitung. Serta, komoditas batuan berada di NTB, Banten, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Selawesi Selatan, Bangka Belitung, Maluku Utara, Ambon.

Sementara, pertambangan tanpa izin yang berada di dalam wilayah kontrak karya atau sudah berizin antara lain PT Agincourt Resources, PT J Resources Bolaang Mongondow, PT Ensbury Kalteng Mining, PT Pelsart Tambang Kencana, PT Indo Muro Kencana, PT Nusa Halmahera Mineral, PT Citra Palu Mineral, PT Gorontalo Sejahtera Mining, PT Dwinad Nusa Sejahtera, PT Timah, dan PT Antam.

Untuk mengatasi kegiatan tambang tanpa izin, Bambang mengatakan, telah berkoordinasi dengan pemerintah daerah, perusahaan, maupun penegak hukum.

“Kami juga kerja sama aparat penegak hukum,” tutupnya. (ara/ara)

copyright : Detik.finance

Jadi Eksportir Terbesar, RI Sumbang 2% Cadangan Batu Bara Dunia

Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan cadangan batu bara yang ada di Indonesia hanya 2% dari total cadangan yang ada di dunia. Padahal komoditas tersebut dibutuhkan untuk bahan bakar proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW).

Dengan fakta tersebut, Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan, Indonesia bukan negara yang kaya cadangan batu bara.

“Indonesia bukan negara dengan batu bara yang melimpah. Walaupun saat ini merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia, cadangan hanya 2% dari total cadangan di seluruh dunia,” kata dia dalam acara Mining & Engineering Indonesia 2018 di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Rabu (12/9/2018).

 

Dia memastikan dengan kapasitas yang ada saat ini, cadangan batu bara dapat habis dalam waktu tak lama lagi. Oleh karenanya harus dilakukan konservasi energi.

Terlebih saat ini Indonesia masih butuh ketersediaan batu bara untuk proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Selanjutnya, untuk smelter juga masih membutuhkan batu bara sebagai energi.

“Konservasi harus jadi pokok utama dalam kebijakan pengelolaan batu bara di Indonesia, mengingat proyek listrik 3,5 gigawatt (GW) yang mayoritas gunakan batu bara, dan kebijakan pembangunan smelter di Indonesia yang butuh batu bara sebagai sumber energi pabrik pengolahan dan pemurnian mineral tersebut,” jelasnya.

Pada acara yang sama, Ketua Indonesian Mining Association (IMA) Ido Hutabarat menyampaikan, penggunaan batu bara di Indonesia bakal meningkat 2 kali lipat dalam 10 tahun ke depan.

“Saat ini kebutuhan 100 juta ton, akan meningkat 200-250 juta ton per tahun dalam 10 tahun ke depan,” tambahnya.

Copyright: Okezone.com

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan