Dilarang Jalan Darat, Sungai Musi Terancam Angkutan Batubara?

  • Sejak 8 November 2018, Gubernur Sumatera Selatan [Sumsel], Herman Deru, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Semua angkutan batubara yang melalui jalan umum di darat dilarang.
  • Kebijakan ini mendapat dukungan pemerintah maupun masyarakat di Kabupaten Muara Enim dan Lahat yang selama ini terganggu dengan angkutan batubara di darat melalui jalan umum.
  • Namun, tidak semua perusahaan batubara menggunakan jalan khusus atau kereta api. Ada yang menggunakan jalur air yakni melalui Sungai Musi.
  • Dikhawatirkan, angkutan batubara di Sungai Musi yang meningkat, memberi dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem perairannya.

 

Sejak akhir 2018, Pemerintah Sumatera Selatan [Sumsel] melarang angkutan batubara menggunakan jalan umum. Larangan itu seharusnya mendorong perusahaan batubara mengakutnya melalui jalan khusus, atau kereta api. Ternyata, sebagian menggunakan jalur air atau sungai. Terancamkah Sungai Musi?

“Tambah coklat saja airnya, sejak banyak kapal tongkangnya. Kami kian sulit mendapatkan ikan. Tepian sungai juga erosi. Mungkin karena gelombang tongkang ukuran besar itu melintas. Tapi entahlah, kami orang kecil, tidak bisa apa-apa. Menerima saja,” kata nelayan yang dipanggil Mang Sin, saat mencari ikan di kawasan Pulokerto, Gandus, Palembang, Kamis [04/7/2019] lalu.

“Tidak tahu juga, yang jelas sejak tongkang batubara melintasi Sungai Musi, ikan kian sedikit. Kami juga takut agak ke tengah sungai, takut jaring atau perahu tertabrak tongkang. Semoga, ikan tetap banyak,” ujar nelayan dari Desa Arisanmusi, Kabupaten Muara Enim, yang tidak mau menyebutkan namanya. Desa Arisanmusi berada di tepian Sungai Musi.

Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, terhitung 8 November 2018, mencabut Pergub Sumsel No. 23 Tahun 2012 Tentang Transportasi Angkutan Batubara. Keputusan ini membuat pemerintah dan masyarakat Kabupaten Lahat dan Muara Enim menjadi nyaman menggunakan jalan umum yang selama ini dipenuhi truk-truk yang mengangkut batubara.

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jalur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Namun, Sungai Musi juga digunakan sebagai jalur angkutan batubara dengan kapal tongkang besar. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

Terkait kebijakan tersebut, dikutip dari Korankito.com, Jonidi, yang saat itu menjabat Wakil Ketua DPRD Kabupaten Muara Enim, mengimbau angkutan batubara di Lahat dan Muara Enim menggunakan kereta api atau jalan khusus.

Kebijakan itu akhirnya membuat perusahaan batubara mengalihkan angkutan ke sungai. Dikutip dari Palpos.id, pada 11 April 2019, Herman Deru menghadiri soft launching Transportasi Sungai dan Peresmian Terminal Batubara Muara Lawai, di Desa Muara Lawai Kabupaten Lahat, yang dibangun dan dikelola PT. Batubara Mandiri [BM], masuk Bima Citra Group.

“Ini adalah inovasi transportasi luar biasa, memindahkan trafik di darat ke air yang akan mengurangi lalu lintas harian di jalan raya. Kita sudah mengalami kepadatan jumlah kendaraan,” ungkapnya.

 

 

Tagboat yang setiap hari menarik tongkang yang mengangkut batubara di Sungai Musi. Foto: Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

Hentikan batubara

“Batubara itu energi kotor. Kotor dari hulu ke hilir. Dari menggali, mengangkut, hingga menghasilkan listrik. Mau di darat maupun di air, pasti memberikan dampak negatif pada lingkungan. Tumpahannya di sungai sangat jelas, mencemari ekosistem. Jadi wajar, jika banyak nelayan mengeluh populasi ikan terus berkurang,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Walhi [Wahana Lingkungan Hidup Indonesia] Sumsel, Jumat [05/7/2019].

“Menurut kami, sudah saatnya pemerintah beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan. Tinggalkan batubara,” ujarnya.

Selain berdampak pada lingkungan, tingginya aktivitas angkutan batubara di Sungai Musi, memungkinkan juga meningkatnya peristiwa tongkang batubara menabrak tiang jembatan.

“Jangan sampai tragedi tongkang batubara menabrak Jembatan Ampera terjadi terus. Ampera itu aset vital kita. Memang sekarang kebijakannya batas angkutan sungai hanya sampai sore, untuk menghindari tabrakan. Tapi frekuensinya tambah tinggi,” kata Dr. Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus [Pilar Nusantara], lembaga non-pemerintah yang memantau pertambangan batubara di Sumsel, Jumat [05/7/2019]. “Belum lagi tumpahannya ke Sungai Musi yang pasti berdampak pada biota air,” lanjutnya.

Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia, kapal tongkang batubara menabrak tiang Jembatan Ampera kali pertama 11 April 2005. Tongkang yang menabrak itu berbendera Singapura, bernama Topniche 7 Singapura. Meskipun tidak menyebabkan korban, namun menyebabkan kekacauan lalu lintas di Sungai Musi. Kejadian yang sama berulang hampir setiap tahun, baik terpantau media massa maupun tidak.

Bahkan, tiang pancang Jembatan Musi IV yang tengah dikerjakan juga menjadi sasaran ditabrak tongkang bermuatan batubara, sehingga pembangunannya sempat tertunda beberapa bulan. Peristiwa pertama pada 23 November 2016. Sebuah tongkang bermuatan 8 ribu ton batubara yang ditarik tagboat Surya Wira, menurut saksi mata, menghantam tiang-tiang penyangga proyek jembatan tersebut.

Nelayan yang semakin sulit mendapatkan ikan di Sungai Musi. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Pada 31 Maret 2017, peristiwa itu terulang. Sebuah tongkang bermuatan batubara menghantam 12 tiang pancang jembatan. Kali ini dampak terhadap jembatan yang direncanakan panjangnya 1.225 meter cukup parah. Satu tiang pancang tenggelam, enam tiang miring, tiga tiang goyang, dan dua tiang yang masih tegak. Peristiwa itu diduga karena tali pengikat tongkang dengan tagboat Tanjung Buyut putus, sehingga tongkang tidak terkendali.

“Terkait ancaman ini, tampaknya perlu regulasi tegas membatasi jumlah tongkang yang melalui bawah jembatan di Sungai Musi. Juga, tata cara pengangkutannya,” papar Rabin.

 

Sumber: Mongabay.co.id

 

Renggut Nyawa Lagi, Sudah 35 Korban di Lubang Tambang Batubara

  • Ahmad Setiawan [10 tahun], merupakan korban ke-35 di lubang maut tambang batubara di Kalimantan Timur dalam delapan tahun terakhir
  • Korban tenggelam di lubang bekas tambang di Jalan Suryanata, Gang Saka, RT 16, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Sabtu [22/6/2019]
  • Jarak permukiman terdekat dengn lubang tambang milik PT. Insani Bara Perkasa, tempat Ahmad tenggelam, sekitar 500 meter
  • Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan selama lubang tambang masih ada, sepanjang itu pula memakan korban jiwa

 

Kasus kematian anak di lubang tambang batubara Kalimantan Timur terus menggema. Setelah kematian Nadia [12] pada 29 Mei 2019, tragedi yang sama berlanjut. Lubang bekas tambang di Jalan Suryanata, Gang Saka, RT 16, Kelurahan Bukit Pinang, Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, merenggut nyawa Ahmad Setiawan, Sabtu [22/6/2019].

Bocah 10 tahun itu, berenang pukul 14.00 Wita, di kolam konsesi PT. Insani Bara Perkasa [IBP]. Namun, baru diketahui tenggelam pada 17.45. Jasadnya sekitar 18.52 Wita. Ahmad tercatat sebagai korban ke-35 di lubang tambang maut di Kalimantan Timur, delapan tahun terakhir.

Lubang bekas tambang batubara yang tidak direklamasi di Kalimantan Timur masih bertebaran. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM] Kalimantan Timur [Kaltim] Wahyu Widhi Heranata, Senin [24/6/2019], menyatakan, kematian Ahmad Setiawan di kolam bekas tambang disebabkan murni kesalahan orangtua.

Orangtua korban lalai menjalankan tugasnya sebagai pelindung anak. Hal ini sangat fatal, apalagi PT. IBP sudah menutup area tersebut. Namun, dibuka kembali oleh warga sekitar.

“Kalau ditanya, siapa yang salah dan siapa yang benar, ya maaf orangtuanya yang salah. Ini anak di bawah umur, kecuali dewasa. Saya punya dua anak, kewajiban saya mengawasi. Mohon kepada masyarakat yang punya anak, tolong diawasi buah hatinya, karena ini pertanggungjawaban pada Tuhan,” sebut lelaki yang biasa disapa Didit.

Setelah pengawasan orangtua, lanjut dia, baru melihat kondisi lubang tambang tersebut, titik lokasinya dan lingkungan sekitar. Apakah dekat sekolah atau permukiman.

Tambang batubara yang menyisakan berbagai persoalan lingkungan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Dijelaskan Didit, pihaknya mengundang Jatam Kaltim dan awak media untuk melihat lokasi. Kondisi lubang sekitar 500 meter dari permukiman. Terkait pengawasan, Didit mengutip pernyataan koordinator inspektor tambang Kaltim, lubang tersebut sudah ditutup perusahaan.

“Yang jelas, saya langsung lapor ke Gubernur, meninjau lokasi. Saya juga sudah koordinasi dengan Jatam, kita tidak usah saling menyalahkan, sebaiknya harus kita tangani bersama. Saya selaku pemerintah sadar, tidak bisa melakukan sendiri,” katanya.

 

Untuk penyelesaiaan masalah kematian Ahmad, pihaknya akan terus melakukan investigasi dan melaporkan pada Kementerian ESDM. “Saya sebagai Kepala Dinas ESDM wajib melaporkan hasilnya. Harapannya, kementerian akan segera melanjutkan, apabila mereka menurunkan tim, hasilnya akan kami sampaikan transparan. Tidak ada yang disembunyikan.”

Selain itu, perusahaan harus bertangung jawab dalam peristiwa meninggalnya anak di lubang tambang. PT. Insani Bara Perkasa [IBP] merupakan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara [PKP2B]. Pengurusannya di bawah kendali Kementerian ESDM.

“Saya hanya di ranah kebijakan, secara teknis ada tim sendiri yang menjelaskan. Informasi terkait PT. IBP yang sudah menutup lubang tambang di Gang Saka, akan diperiksa kembali. Polisi sudah datang,” ujarnya.

Didit berharap, antara Pemerintah, Jatam, dan rekan media bersama menuntaskan masalah tersebut. “Saya kenal rekan Jatam bukan satu atau dua tahun dan Wartawan Peduli Bencana [Wapena] harus dihidupkan lagi. Kita tuntaskan masalah ini bersama,” jelasnya.

Lubang tambang yang begitu dekat permukiman warga merupakan ancaman nyawa anak-anak. Foto: Jatam Kaltim

Korban berjatuhan

Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan korban-korban tambang terus berjatuhan. Selama lubang masih ada, selama itu pula memakan korban jiwa. Menurut Jatam, manusia memang tidak bisa melawan takdir, tapi sejatinya, kasus kematian bisa dicegah.

“Jika pemerintah tegas, kematian anak di lubang tambang bisa diantisipasi. Selama ini, jawaban Gubernur Kaltim Isran Noor hanya menyalahkan hantu dan takdir, padahal itu bisa dicegah,” paparnya.

Rupang tidak sepakat bila kematian anak di lubang tambang akibat kesalahan orangtua. Menurut dia, pemimpin sudah seharusnya melindungi masyarakat. “Pemimpin itu wajib menjaga warga. Apa tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah selain menyalahkan keluarga korban,” ujarnya.

Selama ini, Jatam melihat, pemerintah tidak pernah serius menangani kematian puluhan anak di lubang tambang. Padahal, masih banyak lubang menganga. Parahnya, kematian-kematian itu bukan dianggap sebagai peristiwa besar.

“Hilangnya nyawa manusia, adalah bukti kegagalan Pemerintah Kalimantan Timur mengurus wilayahnya. Ketegasan hukum dan kepedulian pada masyarakat tidak terlihat,” sebu Rupang.

Hingga berita ini diturunkan, orangtua korban tidak memberikan pernyataan, karena masih berduka.

 

Sumber: mongabay.co.id

 

 

Habis Banjir Terbitlah Petisi Tutup Tambang di Bengkulu

  • Petisi tutup tambang Bengkulu dibuat pada 4 Mei 2019 sebagai buntut terjadinya banjir pada 27 April 2019. Hingga 22 Juni 2019 sudah ada 77.880 tanda tangan yang digalang di Change.org
  • Banjir dan longsor di Bengkulu melanda 9 kabupaten/kota yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur
  • Berdasarkan data Genesis, sekitar 46 persen wilayah DAS Bengkulu dikapling konsesi perusahaan tambang
  • Tidak ada pengelolaan DAS terpadu menyebabkan tidak adanya kejelasan tata ruang dan poin strategis yang diutamakan

 

Banjir besar yang terjadi di Bengkulu pada Sabtu, 27 April 2019, mendorong netizen meminta Pemerintah Provinsi Bengkulu dan Presiden Republik Indonesia untuk menutup tambang batubara. Alasannya, aktivitas tersebut membuat rusaknya hutan di daerah hulu sungai penyebab banjir Bengku.

Hingga Minggu, 23 Juni 2019 pukul 09.30 WIB, sudah 78.300 orang menandatangani petisi di laman Change.org tersebut. Petisi bertajuk ‘Tutup Tambang Batubara Penyebab Banjir Bengkulu’ ini dibuat Edy Prayekno, videografer, pada 4 Mei 2019.

Menurut cerita Edy, dia tergerak melakukan hal itu, berawal dari pengalamannya menerbangkan drone di hulu Sungai Bengkulu, Maret 2019. Saat itu, dia menemukan area bukaan lahan tambang batubara di hulu DAS Bengkulu, yang merupakan daerah konservasi dan hutan lindung.

Tambang batubara yang menyisakan persoalan lingkungan, terlebih lubang yang tidak direklamasi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Satu bulan berselang, tepatnya Jum’at, 26 April 2019, terjadi hujan lebat. Besoknya, tepat pukul 5.30 WIB, genangan air membanjiri sekitar rumahnya. Pukul 09.00 WIB, ketika Edy menerbangkan drone, dia terkaget melihat setengah Bengkulu terendam. Kekhawatirannya akan bencana terbukti.

“Pengalaman itu yang mendorong saya membuat petisi,” katanya, Rabu [19/6/2019].

Data Badan Penanggulangan Bencana Nasional [BPBN] per Rabu [01/5/2029] menunjukkan, banjir merenggut 30 nyawa, 6 orang hilang, 184 rumah rusak, 7 bangunan pendidikan terdampak, dan 40 titik infrastruktur rusak [jalan, jembatan, dan gorong-gorong].

Daerah yang terdampak banjir tersebar di 9 kabupaten/kota, mulai dari Kota Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Kapahiang, Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Kabupaten Kaur.

 

46 persen dikapling

Direktur Genesis Uli Arta Siagian mengatakan, sekitar 46 persen wilayah DAS Bengkulu dikapling konsesi perusahaan pertambangan. Luas DAS Bengkulu adalah 51.951 hektar, sedangkan luas konsesi pertambangan yang sudah diizinkan sebesar 21.694 hektar.

Selain itu, ada 33 lubang tambang batubara yang belum direklamasi di wilayah DAS Bengkulu. Paling banyak di Kabupaten Bengkulu Tengah. Sebanyak 23 lubang tersebar di wilayah DAS Air Bengkulu, terutama di Hutan Lindung Bukit Daun dan Taman Buru Semidang Bukit Kabu. “Sudah jelas banjir di Bengkulu ini karena DAS yang rusak. Pemerintah harus melakukan evaluasi, lubang-lubang harus direklamasi,” jelasnya

Lubang tambang batubara di wilayah DAS Air Bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu. Foto: Dok. Genesi

Pengelolaan

Tiga akademisi dari Universitas Bengkulu, yakni Heri Suhartono, M. Fajrin Hidayat, dan Edi Suharto telah membuat presentasi kajian Pengelolaan DAS di Provinsi Bengkulu. Mereka yang tergabung dalam Forum DAS Bengkulu menyampaikan informasi tersebut pada “Rapat Evaluasi Pasca-Banjir dan Longsor FKPD Provinsi Bengkulu” pada 27 Mei 2019. Tercatat, ada 89 DAS mengalir di 10 kabupaten/kota di Bumi Rafflesia.

Di antara DAS itu ada yang terpantau rusak, yakni DAS Air Bengkulu, DAS Air Kungka, DAS Sebelat, DAS Ketahuan, DAS Air Pino, DAS Air Manna, DAS Air Nasal, DAS Air Luas, DAS Air Kinal dan DAS Air Seluma. Akibatnya, banjir dan longsor terjadi di 9 kabupaten/kota, Provinsi Bengkulu.

Para akademisi juga menyoroti ketimpangan kebijakan pemerintah di wilayah DAS, di hulu dan hilir yang terbagi atas beberapa administrasi kabupaten. Akibatnya, pengelolaan dan aktivitas yang berlangsung tidak terpadu dan tidak sinergis.

“Tidak ada master plan pengelolaan DAS terpadu yang jelas dan terukur sehingga tidak ada kejelasan tata ruang sebagai nilai rehabilitasi dan nilai konservasi,”ungkap laporan itu.

Mereka juga menuliskan pemanfaatan lahan oleh masyarakat yang sebagian besar tidak memenuhi kaidah konservasi tanah dan air. Sampai saat ini, belum ada institusi yang mengelola segala aspek di DAS secara utuh. Perencanaan hingga pelaksaan dari hulu hingga hilir tidak tampak.

Ada tiga rekomendasi yang disampaikan. Pertama, teknik pengendalian banjir harus dilakukan komprehensif pada daerah rawan dan pemasok air banjir. Kedua, prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak melimpah. Ketiga, pengendalian banjir di daerah tangkapan air bertumpu pada prinsip penurunan koefisien limpasan melalui teknik konservasi tanah dan air.

 

Mengutip Media Center Provinsi Bengkulu, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan, penanganan pasca-banjir dilakukan melibatkan Forkopimda Provinsi Bengkulu, Kabupaten dan Kota, serta pihak terkait. Segala data kerusakan dikumpulkan.

Rohidin menjelaskan, Forum Daerah Aliran Sungai [DAS] Terpadu akan dibuat sekretariat khusus. Tujuannya, agar ada upaya perbaikan pengelolaan DAS, terutama empat DAS utama, yaitu Ketahun, Bengkulu, Manna, dan Padang Guci.

“Bentuk yang disepakati adalah menanam pohon, pembangunan bendungan dan pelapisan tebing,” jelasnya, Senin [27/5/2019].

Gubernur menegaskan, akan meminta perguruan tinggi mengevaluasi dokumen lingkungan. Terutama, kinerja perusahaan perkebunan dan pertambangan yang ada di Bengkulu.

“Kita tidak bermaksud menghakimi salah satu pihak. Tetapi, kita betul-betul ingin mencari solusi produktif, kolaborasi antara investasi dan kinerja lingkungan menjadi sebuah kebutuhan. Ini semua harus dilakukan bersama, agar memberikan dampak positif untuk lingkungan Bengkulu,” tandasnya.

Sumber: Mongabay.co.id

Organisasi Lingkungan Desak Jepang Setop Biayai Energi Batubara

  • Kalangan organisasi masyarakat sipil aksi bersamaan di beberapa negara, termasuk Indonesia, mendesak Jepang mengakhiri pendanaan energi kotor baik ke tambang maupun PLTU batubara. Aksi ini menjelang pertemuan puncak G20 di Jepang pada 28-29 Juni 2019.
  • Hajatan negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia yang tergabung dalam G20 itu dianggap selalu ditunggangi korporasi yang mengeruk untung dari pertumbuhan ekonomi yang menghancurkan ruang hidup, merusak daya dukung lingkungan, melahirkan ketimpangan dan membiarkan pelanggaran hak asasi manusia.
  • Industri batubara, memperparah perubahan iklim, berkontribusi banyak kepada praktik-praktik perampasan tanah, pencemaran air, kerusakan hutan, kriminalisasi, pelanggaran HAM dan lain-lain.
  • Pemerintah dan perusahaan Jepang kalau mau berinvestasi di Indonesia, seharusnya menyasar pengembangan energi terbarukan.

 

 

Puluhan orang berkumpul di depan Gedung Sinarmas Plaza di Kawasan Thamrin Jakarta, Jumat (21/6/19). Mereka membentangkan berbagai spanduk bertulisan penolakan terhadap investor Jepang mendanai berbagai proyek batubara di Indonesia.

Gedung tempat mereka aksi itu kantor perusahaan asal Jepang, Marubeni. Perusahaan ini dinilai banyak memberikan pendanaan proyek energi berbasis batubara. Selain Marubeni, sasaran aksi juga Sumitomo dan Mizuho Bank.

Aksi organisasi lingkungan ini tak hanya di Jakarta, Indonesia, juga di Philipina dan Jepang, dalam waktu bersamaan. Mereka gelar aksi menjelang pertemuan G20 pada 28-29 Juni di Jepang. Hajatan negara-negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia itu dianggap selalu ditunggangi korporasi yang mengeruk untung dari pertumbuhan ekonomi yang menghancurkan ruang hidup, merusak daya dukung lingkungan, melahirkan ketimpangan dan membiarkan pelanggaran hak asasi manusia.

Melky Nahar, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, masyarakat sipil resah melihat sikap Pemerintah Indonesia yang memenuhi kebutuhan energi, masih bergantung batubara.

Selain itu, katanya, negara-negara maju seperti Jepang, begitu banyak memberikan duit ke Indonesia buat kepentingan tambang batubara maupun pembangkitnya. “Investasi-investasi seperti ini sebetulnya kita tolak. Indonesia memiliki energi lain, lebih ramah lingkungan daripada ketergantungan terhadap batubara,” katanya.

Aksi organisasi lingkungan di Jakarta, mendesak Jepang, setop investasi energi batubara di Indonesia. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

Industri batubara, katanya, memperparah perubahan iklim, berkontribusi banyak kepada praktik-praktik perampasan tanah, pencemaran air, kerusakan hutan, kriminalisasi, pelanggaran HAM dan lain-lain.

Melky tak menampik, pendanaan investasi Jepang untuk energi terbarukan ada, tetapi masih dominan sektor batubara. Kalau pemerintah dan perusahaan Jepang mau berinvestasi di Indonesia, kata Melky, seharusnya menyasar pengembangan energi terbarukan.

“Sudah ada kesepakatan Internasional bahwa ada perubahan iklim, sepakat mengurangi investasi batubara dan PLTU. Faktanya, enggak, justru banyak berinvestasi batubara di Indonesia.”

Pada September 2018, Marubeni sebenarnya sudah mengumumkan kepada publik tak lagi memulai proyek-proyek pembangkit listrik tenaga barubara baru.

Toni Irfan Herlambang, Aktivis 350.org Indonesia juga mendesak perusahaan-perusahaan Jepang benar-benar bertanggungjawab dengan tak lagi investasi energi kotor di Indonesia.

“Kami menuntut mereka menarik semua pendanaan dari proyek kotor di Indonesia. Pertemuan G20 ini momentum penting bagi Jepang menunjukkan komitmen mereka serius mendorong pengembangan energi terbarukan.”

Indonesia, katanya, salah satu negara yang merasakan dampak perubahan iklim parah. Kalau tetap menerima pendanaan industri berbasis batubara dari Jepang, katanya, akan mendorong krisis iklim.

“Banyak sekali bencana alam, suhu ekstrim, dan bencana-bencana lain di Indonesia. Dengan proyek energi kotor, akan makin menambah banyak lagi bencana.”

Batubara dalam negeri terserap, salah satu sebagai sumber energi buat PLTU. Dalam gambar ini tampak anak-anak kecil bermain di Pantai Menganti, yang hanya berjarak tak sampai satu kilometer dari PLTU barubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Muhammad Reza, dari KRuHA mengatakan, dalam konteks pertemuan G20, mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi proses bertukar dengan ekonomi kotor seperti batubara. Hal ini, katanya, akan melahirkan ketimpangan, mengusir banyak orang dari ruang hidup, meracuni air dan mengancam kehidupan warga.

Dwi Sawung, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi Eksekutif Nasional juga bicara. Dia bilang, Marubeni merupakan perusahaan yang banyak membangun energi kotor di Indonesia, antara lain PLTU Cirebon dan Tarahan.

“Di Cirebon itu ada kasus korupsi saat KPK penangkapan Bupati Sunjaya Purwadi Sastra. Awalnya, kasus suap jabatan. Ketika penggeledahan, ternyata ditemukan uang jauh lebih besar dibandingkan suap jabatan dari PLTU Cirebon.”

Kondisi ini, menunjukkan proyek PLTU ini tak hanya kotor, tetapi lekat dengan korupsi. Saat ini, Sanjaya sudah dihukum untuk kasus suap jabatan, persoalan suap dari PLTU belum lanjut.

Dia juga sebutkan, korupsi pembangunan PLTU Riau yang menjerat mantan anggota dewan Eni Maulani Saragih, mantan Menteri Sosial Idrus Marham dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir.

“Mereka harusnya tahu juga dana mereka lari untuk kasus suap.”

Keterangan foto utama: Aksi organisasi lingkungan di Jakarta di depan kantor perusahaan Jepang, Marubeni. Mereka desak, perusahaan setop pendanaan buat batubara. Perusahaan ini mendanai beberapa proyek PLTU batubara. Foto: Indra Nugraga/ Mongabay Indonesia

Aksi protes organisasi masyarakat sipil di Jakarta, terhadap perusahaan-perusahaan pendana energi batubara. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Indonesia Harus Belajar Riset untuk Adaptasi Perubahan Iklim

  • Perubahan iklim menjadi isu yang semakin hangat dibicarakan antar negara di seluruh dunia. Indonesia sebagai negara pulau dan kepulauan, berkepentingan untuk bisa melaksanakan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim
  • Indonesia mengajukan diri sebagai negara tetap Dewan Arktik, agar berkesempatan ikut melakukan  riset dampak perubahan iklim secara lebih baik dan cepat mendapatkan datanya
  • Peran riset juga akan bermanfaat untuk melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim, terutama bagi masyarakat umum yang tidak semuanya memiliki kemampuan intelegensia yang baik. Selain itu, yang paling besar, riset bersama juga akan menyelamatkan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah terdampak perubahan iklim
  • BAPPENAS memprediksi, dampak perubahan iklim akan terasa kuat di kawasan timur Indonesia dengan dampak seperti kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang. Khusus di pulau Lombok, NTB, dan kawasan Selatan Maluku, gelombang air laut diprediksi akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter

 

Indonesia menjadi negara pulau dan kepulauan yang terdampak langsung perubahan iklim. Fenomena alam yang sulit dihindari itu, dampaknya sudah muncul di berbagai pulau yang ada di Nusantara. Salah satunya, ada di pulau Jawa, pulau besar yang padat dengan penduduk.

Deputi Navigasi dan Keselamatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Odo Manuhutu mengatakan, diantara dampak yang sudah terasa adalah naiknya permukaan air laut dan di saat yang sama justru terjadi penurunan muka tanah. Fenomena seperti itu, tidak hanya terjadi di satu tempat saja, tapi juga di banyak tempat.

“Garis pantai di wilayah perbatasan Semarang-Demak di Jawa Tengah saja, sudah mundur ke arah daratan sepanjang 2,6 kilometer dan itu sudah berlangsung sejak 1991 lalu,” ujarnya di Jakarta, dua pekan lalu.

Odo memaparkan, dari data yang dirilis Pusat Kajian Rehabilitasi Pesisir dan Mitigasi Bencana Universitas Diponegoro, Semarang pada 2014, didapat fakta bahwa seluas 2.075,65 hektare wilayah pesisir di Kecamatan Bedono, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, kondisinya sudah terendam air laut. Padahal, sebelumnya kawasan tersebut dalah wilayah pesisir yang berada di bibir pantai.

Dampak banjir rob di Desa-Timbul-Seloko, Demak, Jateng karena kerusakan pesisir pantai utara Jawa. Foto : Wetlands International/Nanang Sujana

Menurut Odo, munculnya sejumlah bencana yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim, memberi alasan kuat bagi Pemerintah Indonesia untuk melibatkan Indonesia lebih jauh pada Dewan Arktik, yaitu organisasi tinggi antar pemerintah yang mempromosikan kerja sama, koordinasi, dan interaksi antar negara Arktik.

“Kita tengah menginisiasi usulan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara pengamat tetap dalam Dewan Arktik. Upaya ini sudah dimulai sejak 2017 lalu,” ungkapnya.

Agar inisiasi bisa berhasil, Odo menyebut kalau Pemerintah Indonesia kemudian membuat naskah urgensi sebagai syarat pengajuan menjadi pengamat tetap Dewan Arktik. Naskah tersebut melibatkan banyak elemen terkait seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian Kelautan dan Perikanan, akademisi dari bidang hukum, kelautan, dan politik, serta organisasi non Peemrintah bidang kemaritiman.

 

Negara Riset

Menurut Odo, salah satu kegiatan Dewan Arktik yang menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, adalah melaksanakan riset bersama tentang perubahan iklim dan dampaknya. Kegiatan tersebut, dinilai akan bisa memberi keuntungan bagi Indonesia, negara pulau dan kepulauan yang sudah merasakan dampak perubahan iklim.

“Dengan menjadi permanent observer, kita bisa belajar tentang mitigasi perubahan dan mendapatkan data dari tangan pertama,” tuturnya.

Odo menambahkan, jika Indonesia bisa diterima menjadi negara tetap Dewan Arktik, maka itu artinya Indonesia akan bergabung dengan negara lain yang sudah menjadi Dewan Arktik sejak 2013. Mereka adalah Jepang, Tiongkok, India, Singapura, dan Korea Selatan. Negara-negara tersebut, mengikuti jejak delapan negara penggagas Dewan Arktik mengikti Deklarasi Ottawa 1996.

“Kedelapan negara yang menjadi penggagas itu, adalah Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia,” jelasnya.

Pesisir pantai, semakin rentan akibat aktivitas manusia, dan perubahan iklim. Foto: Raymond Jakub/The Nature Conservancy

Sebagai negara yang memiliki kepentingan kuat pada isu perubahan iklim, Odo mengatakan kalau pihaknya sudah merumuskan beberapa isu utama yang menjadi kepentingan Indonesia di Arktik. Isu-isu itu, mencakup akses pengetahuan dan riset, isu perubahan iklim, isu keamanan energi, dan isu jalur pelayaran di masa depan.

“Menimbang potensi keuntungan yang dapat diperoleh dari status pengamat DA dalam isu-isu tersebut, telah disepakati bahwa pengajuan Indonesia menjadi negara pengamat DA akan diteruskan,” tambahnya.

Odo kemudian menjelaskan bahwa keinginan Indonesia untuk menjadi negara tetap Dewan Arktik sudah mendapat dukungan dari Sekretariat Dewan Arktik dan Islandia, salah satu negara anggota. Dukungan dari Islandia, menjadi faktor penting kesepakatan, karena negara tersebut akan memimpin Dewan Arktik untuk masa kepemimpinan 2019-2021.

Di mata Odo, inisiasi yang dilakukan Indonesia akan menjadi langkah penting untuk pelaksanaan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di Indonesia. Oleh itu, keberhasilan menjadi negara tetap Dewan Arktik akan menjadi capaian penting dan bersejarah bagi Indonesia.

Peneliti Arktik dari CERAC Rizki Kaharuddin menyatakan, Indonesia memang memiliki kepentingan besar untuk bisa bergabung menjadi negara tetap Dewan Arktik. Pertimbangan tersebut didasarkan pada fakta bahwa ada manfaat yang didapat dari keanggotaan tersebut untuk melaksanakan adaptasi dampak perubahan iklim di masyarakat.

“Ada kemampuan penduduk asli untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim yang dapat kita pelajari bila kita punya akses riset,” tuturnya.

April 2016 merupakan bulan terpanas sepanjang sejarah manusia, dan berdampak pada meningkatnya suhu perairan. Ini menyebabkan kematian ikan nila dan lele dalam budidaya ikan keramba di pesisir Makassar, Sulsel. Foto: Wahyu Chandra

Peran Masyarakat

Sementara, Peneliti dari Center for Coastal Rehabilitation and Mitigation Studies (CoFEM) Universitas Diponegoro Semarang, Muhammad Helmi, mengungkapkan bahwa penanggulangan dampak perubahan iklim harus dilakukan secara bersama dengan membuat beragam program dan melibatkan masyarakat secara langsung.

Helmi menuturkan, di Semarang, sejak 1991 hingga 2010 terjadi abrasi wilayah pesisir hingga sejauh 1,7 km dengan luas area terendam air laut mencapai 1.211,2 ha. Fakta tersebut, tak bisa diabaikan begitu saja oleh semua pihak, terutama masyarakat dan pemegang kebijakan yang ada di Semarang dan Jawa Tengah.

Sebelumnya, di awal 2019 lalu, Kepala Sub Direktorat Perubahan Iklim Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) Sudhiani Pratiwi mengatakan, Indonesia akan menjadi satu dari banyak negara pulau dan kepulauan di dunia yang merasakan dampak dari perubahan iklim di kawasan pesisir. Dalam hitungan 15 tahun ke depan, dampak tersebut akan mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air laut sampai kenaikan gelombang pasang.

“Pada kurun waktu tersebut, Indonesia Timur diprediksi akan menjadi wilayah terparah yang terkena dampak,” ungkap dia.

Menurut Sudhiani, perubahan iklim tak hanya berdampak pada kehidupan biota laut beserta perairannya saja, namun juga berdampak pada sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan pesisir. Jika tidak dilakukan antisipasi dari sekarang, maka akan muncul banyak masalah di kawasan pesisir dan itu tak hanya beruurusan teknis saja, namun juga non teknis.

Sudhiani menjelaskan, kawasan terparah yang terdampak perubahan iklim diprediksi terjadi di sekitar pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan kawasan Selatan Maluku. Di kedua kawasan tersebut, gelombang air laut akan mengalami kenaikan hingga mencapai empat meter. Kondisi itu, dipastikan akan menyulitkan para nelayan yang harus mencari ikan menggunakan perahu tradisional.

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

Satu-satunya cara agar dampak dari perubahan iklim itu bisa diatasi, kata Sudhiani, adalah dengan menyiapkan langkah antisipasi dari sekarang. Walaupun masih jauh, tetapi kesiapan menghadapi situasi akan menjadi solusi paling bagus untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Terlebih, kawasan pesisir adalah kawasan paling rentan terkena dampak tersebut.

“Pemetaan masalah sangat penting untuk dilakukan. Apalagi, persoalan pesisir itu ada kaitan erat dengan sosial ekonominya. Itu berarti, masyarakat di sekitar harus dilibatkan, karena memang merekalah yang akan terdampak secara langsung,” ungkapnya.

Tentang kenaikan gelombang air laut, menurut Sudhiani itu harus dicarikan solusi dari sekarang, salah satunya dengan mengganti perahu tradisional yang biasa digunakan nelayan lokal. Perahu yang akan digunakan berikutnya, minimal harus berukuran 10 gros ton (GT) dan terbuat dari material yang kuat dari serangan korosi air laut.

Untuk bisa melaksanakan program penggantian kapal, Sudhiani menyebutkan, perlu ada koordinasi yang baik untuk melaksanakan pembagian tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Karenanya, walaupun KKP sudah melaksanakan pembagian kapal kepada nelayan dalam beberapa tahun terakhir, namun dia berpendapat untuk program penggantian kapal bagi nelayan yang terdampak perubahan iklim, harus melibatkan banyak kementerian dan instansi.

“Perlu ada diversifikasi profesi yang ditawarkan kepada nelayan. Jika memang sudah tidak mungkin lagi menjadi nelayan, apa yang harus dilakukan agar bisa tetap bertahan hidup. Begitu juga, jika tetap menjadi nelayan, harus bagaimana agar bisa tetap bertahan,” jelasnya.

Sumber: Mongabay.co.id

× Hubungi Kami Untuk Pemesanan